Minggu, April 05, 2009

                    


 



 

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


 


 


 


 

PERUBAHAN DAN PENGEMBANGAN SEKOLAH

MENENGAH SEBAGAI ORGANISASI BELAJAR YANG

EFEKTIF


 


 


 


 


 


 


 

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN

DIREKTORAT JENDERAL

PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

TAHUN 2007

 

KATA PENGANTAR


 

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi kompetensi yaitu: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi dan Sosial. Dalam rangka pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah untuk menguasai lima dimensi kompetensi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan telah berupaya menyusun naskah materi diklat pembinaan kompetensi untuk calon kepala sekolah/kepala sekolah.

Naskah materi diklat pembinaan kompetensi ini disusun bertujuan untuk memberikan acuan bagi stakeholder di daerah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/kepala sekolah agar dapat dihasilkan standar lulusan diklat yang sama di setiap daerah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah ini atas dedikasi dan kerja kerasnya sehingga naskah ini dapat diselesaikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi upaya-upaya kita dalam meningkatkan mutu tenaga kependidikan.


 

Jakarta,

Direktur Tenaga Kependidikan


 


 

Surya Dharma, MPA, Ph.D

NIP. 130 783 511

DAFTAR ISI


 

KATA PENGANTAR    i

DAFTAR ISI        ii

DAFTAR GAMBAR    v

DAFTAR TABEL    vi


 

BAB I    PENDAHULUAN    1

A.    Latar Belakang    1

B.    Dimensi Kompetensi    3

C.    Kompetensi yang Diharapkan Dicapai    3

D.    Indikator Pencapaian Hasil    4

E.    Pendekatan dan Mekanisme    5

F.    Mata Diklat dan Alokasi Waktu    5

G.    Prosedur Evaluasi    6


 

BAB II    ANALISIS SWOT SEKOLAH    8

A.    Analisis SWOT    9

B.    Memanfaatkan Kekuatan dan Peluang serta mengatasi Kelemahan dan Tantangan    19

C.    Peran dan Kinerja Pengawas Sekolah    30

D.    Dampak Kepala Sekolah Profesional    33


 

BAB III    FUNGSI-FUNGSI KEPALA SEKOLAH    34

A.    Signifikansi Fungsi dan Peran Kepala Sekolah    34

B.    Kepala Sekolah sebagai Pendidik (Educator)    35

C.    Kepala Sekolah sebagai Manajer    37

D.    Kepala Sekolah sebagai Administrator    41

E.    Kepala Sekolah sebagai Supervisor    47

F.    Kepala Sekolah sebagai Leader    49

G.    Kepala Sekolah sebagai Innovator    52

H.    Kepala Sekolah sebagai Motivator    53

I.    Kepala Sekolah sebagai Pejabat Formal    56


 

BAB IV    KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN PERUBAHAN    61

A.    Pengertian Kepemimpinan    61

B.    Pengertian dan Tujuan Manajemen Perubahan    66

C.    Pengembangan Organisasi    69

D.    Tahap-Tahap Manajemen Perubahan    71

E.    Elemen Manajemen Perubahan    74

F.    Dua belas Heuristik Transformasi Organisasi    82

G.    Karakteristik Organisasi Sekolah yang Efektif    96


 

BAB V    KEPALA SEKOLAH DALAM PROBLEM SOLVING    104

A.    Pengertian Keputusan    104

B.    Fungsi dan Tujuan Pengambilan Keputusan    105

C.    Unsur-unsur Pengambilan Keputusan    106

D.    Basis Pengambilan Keputusan    108

E.    Faktor Determinan Pengambilan Keputusan    110

F.    Jenis-jenis Pengambilan Keputusan    115

G.    Keputusan Dalam Pendidikan    120

H.    Pembuatan Keputusan Dalam Kurikulum    127

I.    Pengambilan Keputusan Partisipatif di Sekolah    131

J.    Keterbatasan Teknik Pengambilan Keputusan Partisipatif    137

K.    Pengambilan Keputusan untuk Mengembangkan Sekolah    140


 

DAFTAR RUJUKAN    145

EVALUASI PROSES DIKLAT    148

A.    Aktivitas Peserta Menurut Fasilitator    148

B.    Evaluasi Terhadap Materi    150

C.    Penyelenggaraan Pelatihan    152

D.    Saran dan Komentar Umum Peserta    153


 


 

DAFTAR GAMBAR


 

Gambar 3.1     Contoh Struktur Organisasi Sekolah    45

Gambar 4.1    Kepemimpinan dan Komponen Sistem Organisasi    61

Gambar 4.2    Elemen Utama Definisi Kepemimpinan    62

Gambar 4.3    Transformasi dari Kondisi Sekarang ke Kondisi Ideal    91

Gambar 4.4    Karakteristik Manajemen Sekolah Efektif    101

 


 

Tabel 1.1         Materi Pendidikan Diklat    6

Tabel 2.1        Matriks SWOT    30

Tabel 4.1        Pertanyaan Penilaian Kesediaan Melakukan Perubahan    89

Tabel 4.2        Elemen Visi Sekolah yang Baik    90

Tabel 4.3        Petunjuk Membuat Inisiatif yang Baik di Sekolah    93

Tabel 4.4        Pertanyaan Pemenuhan Heuristik Transformasi Organisasi    94

Tabel 4.5        Komponen Karakteristik keefektifan Sekolah    99

Tabel 5.1        Perspektif Kurikulum    128


 


 


 


 

 

BAB I

PENDAHULUAN


 

Latar Belakang

Paradigma pendidikan memberikan kewenangan kepada sekolah dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki. Hal ini perlu didukung dengan peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam berbagai aspek manajerial agar dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi yang diemban sekolahnya. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan – misalnya – bahwa kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan melakukan pengelolaan keuangan sekolah dengan sebaik-baiknya. Kemampuan ini diperlukan karena kalau dulu kepala sekolah diberi bantuan oleh pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan yang sering kurang bermanfaat bagi sekolah, maka dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, bantuan langsung diberikan dalam bentuk uang. Jadi, mau diapakan uang tersebut bergantung sepenuhnya kepada kepala sekolah yang penting dapat mempertanggungjawabkannya secara profesional.

Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990 dan ketentuan lainnya seperti Permen Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah pada intinya menyatakan antara lain kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana. Apa yang diungkapkan ini menjadi lebih penting sejalan dengan semakin kompleksnya tuntunan tugas kepala sekolah yang menghendaki dukungan kerja yang efektif dan efisien.

Menyadari hal tersebut, setiap kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk melakukan perubahan dan pengembangan pendidikan secara terarah, berencana dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam kerangka inilah disarankan perlunya peningkatan manajemen kepala sekolah secara profesional untuk mensukseskan program pemerintah yang sedang digulirkan, yakni otonomi daerah, desentralisasi pendidikan, manajemen berbasis sekolah, kurikulum berbasis kompetensi, benchmarking, broad basic education, life skill, kontekstual learning dan Undang-Undang Sisdiknas yang kesemuanya itu menuntut peran aktif dan kinerja profesional kepala sekolah.

Dalam upaya merealisasikan program tersebut dan mengorganisasikan sekolah secara tepat perlu dipahami struktur organisasi, hirarki, kewibawaan dan mekanisme koordinasi di lingkungan sekolah. Kepala sekolah perlu memahami teori organisasi formal yang akan bermanfaat untuk menggambarkan hubungan kerja sama antara struktur dan hasil (outcomes) sebuah sekolah. Di samping itu, agar kepala sekolah dapat memahami, mengantisipasi dan menangani konflik yang terjadi di lingkungan sekolah maka perlu dipelajari teori dimensi sistem sosial. Pemahaman ini diperlukan agar kepala sekolah mampu melakukan analisis terhadap kehidupan informal
sekolah dan iklim organisasi sekolah. Selanjutnya, kepala sekolah harus memiliki visi dan misi serta strategi manajemen pendidikan secara utuh dan berorientasi kepada mutu terpadu.

Untuk mencapai semua hal tersebut diperlukan beberapa terobosan seperti bagaimana kepala sekolah menganalisis tantangan dan peluang serta kelemahan dan tantangan yang dihadapi secara personal dan institusional (sekolah) yang biasa dikenal dengan analisis SWOT. Kemudian, fungsi dan peran kepala sekolah dalam mengarahkan perubahan dan pengembangan organisasi sekolah menuju sekolah efektif. Selanjutnya, kepemimpinan dan manajemen perubahan, dan terakhir bagaimana kepala sekolah berperan dalam pemecahan masalah.


 

Dimensi Kompetensi

Dimensi kompetensi yang diharapkan dibentuk pada akhir pendidikan dan perlatihan ini adalah dimensi kompetensi manajemen perubahan dan pengembangan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif.


 

Kompetensi yang Diharapkan Dicapai

Kompetensi dasar yang diharapkan dikuasai oleh calon/kepala sekolah adalah:

  1. Mampu melakukan diagnosis atas terjadinya kelemahan sekolah sebagai organisasi pembelajar.
  2. Mampu memerankan diri sebagai katalisator bagi terjadinya perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif.
  3. Mampu memerankan diri sebagai fasilitator bagi terjadinya perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif.
  4. Mampu memerankan diri sebagai penghubung sumber bagi terjadinya perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif.
  5. Mampu memerankan diri sebagai pemecah masalah pelaksanan perubahan (pembaharuan) sekolah dan pengembangan menuju organisasi pembelajar yang efektif.


 

Indikator Pencapaian Hasil

Setelah mempelajari materi perlatihan tentang perubahan dan pengembangan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif ini diharapkan peserta mampu:

  1. Menjelaskan hakikat analisis SWOT untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan yang dihadapi dalam lingkungan (internal dan eksternal) sekolah.
  2. Mendeskripsikan wujud dari fungsi-fungsi kepala sekolah.
  3. Menjelaskan peranan kepemimpinan dan manajemen perubahan dalam lingkungan sekolah.
  4. Mengaplikasikan perwujudan fungsi dan peran kepala sekolah dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan indikator pencapaian hasil di atas dapat dikemukakan tujuan perubahan dan pengembangan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif sebagai berikut:

  1. Sekolah memiliki rencana jangka pendek, menengah dan jangka panjang
  2. Strategi dan program sekolah secara konsisten mengarah kepada pencapaian visi dan misi sekolah
  3. Kepala sekolah mampu mempraktikkan pendekatan kepemimpinan partisipatif terutama dalam proses pengambilan keputusan
  4. Kepala sekolah mengarahkan inovasi dalam organisasi
  5. Kepala sekolah harus memiliki komitmen yang terhadap penjaminan mutu lulusan sekolah
  6. Mengembangkan budaya mutu atau kualitas di sekolah dalam mendorong budaya kompetitif, kreatif, inovatif dan kemauan untuk maju bagi warga sekolah, khususnya kepala sekolah, guru, staf dan anak didik.


 

Pendekatan dan Mekanisme

Pendidikan dan perlatihan ini diselenggarakan dengan pendekatan andragogi (pendidikan orang dewasa). Kreativitas dan keaktifan peserta ditumbuhkembangkan selama proses pendidikan dan perlatihan berlangsung. Metode dan pendekatan pembelajaran yang akomodatif terhadap pemberian fasilitasi kepada peserta untuk merefleksikan pengalamannya digunakan dalam pendidikan dan perlatihan ini, di antaranya metode diskusi kelompok terfokus (focus group discussion, FGD), problem solving, simulasi, latihan bermain peran, presentasi, refleksi diri dan praktek supervisi klinis.


 

Mata Diklat dan Alokasi Waktu

Dalam rangka penguasaan kompetensi peserta dalam rangka perubahan dan pengembangan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif serta memenuhi persyaratan indikator di atas, ada empat mata pendidikan dan perlatihan yang disiapkan sebagai berikut:


 


 


 


 

Tabel 1.1 Materi Pendidikan Diklat

No. 

Materi Diklat 

Alokasi 

1 

Analisis SWOT Sekolah 

8 

2 

Fungsi-fungsi Kepala Sekolah 

6 

3 

Kepemimpinan dan Manajemen Perubahan Kepala Sekolah 

10 

4 

Kepala Sekolah Dalam Pemecahan Masalah  

6 

 

Jumlah 

30 


 

Prosedur Evaluasi

Evaluasi yang dilaksanakan untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pendidikan dan perlatihan manajemen perubahan dan pengembangan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang efektif meliputi:

  1. Perkenalan diri selaku fasilitator atau nara sumber (individu, tim)
  2. Penjelasan singkat, jelas dan terfokus mengenai dimensi kompetensi, kompetensi, indikator pemenuhan kompetensi, alokasi waktu dan skenario pendidikan dan perlatihan tentang manajemen perubahan dan pengembangan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif.
  3. Pre test untuk semua materi pendidikan dan perlatihan.
  4. Penyamaan pemahaman peserta mengenai bahan diklat yang disajikan.
  5. Penyajian materi inti dengan pendekatan andragogi dengan menggunakan multi-media pembelajaran yang sesuai.
  6. Diskusi mengenai best practice upaya perubahan dan pengembangan sekolah yang dilakukan menuju organisasi pembelajar yang efektif.
  7. Tes formatif dan penugasan pada masing-masing materi.
  8. Post test.
  9. Evaluasi proses pelaksanaan pendidikan dan latihan.
  10. Penutup.

BAB II

ANALISIS SWOT SEKOLAH


 

Salah satu ciri paradigma baru manajemen pendidikan adalah kewenangan yang luas bagi kepala sekolah dalam melakukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pendidikan di sekolah. Kepala sekolah harus siap menerima dan menjalankan kewenangan tersebut dengan berbagai konsekuensinya. Disamping itu, percepatan perkembagan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang merambah ke sekolah juga semakin membuat kompleks kehidupan dan tantangan tugas kepala sekolah, bukan sebaliknya. Kepala sekolah tidak lagi dapat menerima perubahan sebagaimana adanya, tetapi harus berpikir untuk membuat perubahan dan inovasi di sekolah.

Faktor kunci keberhasilan kepala sekolah dan tenaga kependidikan agar tetap bertahan dan enjoy di tengah perubahan paradigma baru manajemen pendidikan adalah memahami posisinya dan apa yang sedang terjadi serta kesiapan yang dimiliki untuk menjadi bagian dari dunia baru yang sangat berbeda. Misalnya, pemahaman dan kesiapan kepala sekolah dalam manajemen yang dulu sentralistik, sekarang didesentralisasikan ke sekolah dengan model manajemen berbasis sekolah (MBS). Demikian pula halnya terhadap kurikulum dan sistem penilaian yang berlaku, seperti kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan penilaian berbasis kelas (PBK). Untuk kepentingan tersebut, bab ini membahas posisi kepala sekolah dalam pardigma baru manajemen pendidikan agar kepala sekolah memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi di sekolah dan di masyarakat. Lebih daripada itu bagaimana memanfaatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan tantangan untuk mendorong visi dan misi sekolahnya menjadi aksi nyata.


 


 

Analisis SWOT

Berdasarkan hasil analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) dan kajian dari berbagai sumber dapat dikemukakan faktor dominan (kekuatan dan peluang) serta faktor penghambat (kelemahan dan tantangan) kepala sekolah dalam paradigma baru manajemen pendidikan sebagai berikut.

Faktor Dominan (Kekuatan dan Peluang)

Faktor dominan (kekuatan dan peluang) kepala sekolah dalam paradigma baru manajemen pendidikan mencakup gerakan (sosialisasi) peningkatan kualitas pendidikan, gotong royong dan kekeluargaan, potensi sumber daya manusia, organisasi formal dan informal, organisasi profesi serta dukungan dunia usaha dan industri.

Gerakan peningkatan mutu pendidikan yang dicanangkan pemerintah

Peningkatan kualitas pendidikan merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas pendidikan. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional mencanangkan "Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan" pada tanggal 2 Mei 2002. Ini merupakan momentum yang paling tepat dalam rangka mengantisipasi dan mempersiapkan peserta didik memasuki era globalisasi, dimana beberapa indikatornya telah dapat dirasakan sekarang ini, seperti penguasaan teknologi yang mampu menembus batas-batas antar-wilayah dan antar-negara. Kesemuanya itu perlu dipersiapkan melalui pendidikan yang berkualitas di bawah kepemimpinan kepala sekolah profesional.


 

Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan

Pada saat ini, pihak Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai wilayah kerja, baik melalui pertemuan resmi maupun melalui pelatihan dasar yang berkelanjutan. Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan yang telah dilakukan antara lain berkaitan dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) yang merupakan program pemerintah pusat. Hal ini merupakan faktor pendukung agar kepala sekolah dapat memahami manajemen peningkatan mutu pendidikan dan operasionalnya di sekolah masing-masing.

Gotong royong dan kekeluargaan

Gotong royong dan kekeluargaan dapat memberi dampak positif (synergistic effect) dalam suatu pekerjaan. Jiwa dan semangat tersebut membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga dapat dikembangkan dalam mewujudkan kepala sekolah profesional menuju terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di sekolah. Semangat gotong royong dan kekeluargaan juga dapat ditumbuhkembangkan oleh pengawas dengan menjalin kerjasama dan mempererat hubungan sekolah dengan masyarakat dan dunia kerja, terutama kelompok masyarakat yang berada di lingkungan sekolah.

Kepala sekolah sebagai pemimpin formal memiliki kharisma yang cukup kuat sehingga dapat menjadi teladan dan panutan masyarakat. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh kepala sekolah untuk memperkenalkan program-program sekolah kepada masyarakat dan dunia kerja, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja sekolah dan peningkatan kualitas pendidikan.


 

Potensi Kepala Sekolah

Kepala sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Setiap kepala sekolah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Perhatian tersebut ditunjukkan dalam niat, kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan diri dan sekolahnya secara optimal.

Organisasi formal dan informal

Di lingkungan pendidikan sekolah pada berbagai wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke umumnya telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan, seperti Kelompok Kerja Pengawas (KKP) Musyawarah Kepala Sekolah (MKS), Dewan Pendidikan. Organisasi ini merupakan wadah yang mendukung tumbuh kembangnya kepala sekolah profesional yang mampu melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan di wilayah kerjanya.

Organisasi profesi

Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu pemerintah dalam meningkatan kualitas pendidikan, seperti KKPS, K3S, MKS, Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Studi Peduli Guru (FPG) dan ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hampir di seluruh Indonesia dan telah merambah ke berbagai kecamatan. Organisasi profesi tersebut sangat mendukung kepala sekolah profesional yang mampu meningkatan kinerjanya dan prestasi belajar peserta didik menuju peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Harapan terhadap kualitas pendidikan

Kepala sekolah profesional dalam paradigma baru manajemen pendidikan mempunyai harapan yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Tenaga kependidikan ini memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal, meskipun dengan segala keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di sekolah. Dalam pada itu, peserta didik juga termotivasi untuk secara sadar meningkatkan diri dalam mencapai prestasi sesuai bakat dan kemampuan yang dimiliki. Harapan tinggi dari berbagai elemen sekolah merupakan faktor dominan yang menyebabkan sekolah dinamis untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan (contiuous quality improvement).

Input Manajemen

Paradigma baru kepala sekolah profesional perlu ditunjang oleh input manajemen yang memadai dalam menjalankan roda sekolah dan mengelola sekolah secara efektif. Input manajemen yang perlu dimiliki dapat berupa tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program kerja yang mendukung implementasi, ketentuan-ketentuan yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolah dalam bertindak, serta adanya sistem pengendalian mutu yang handal untuk meyakinkan bahwa tujuan yang telah dirumuskan dapat diwujudkan di sekolah.

Kepala sekolah profesional dalam paradigma baru manajemen pendidikan harus fokus pada pelanggan melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas lulusan dari sekolahnya, meningkatkan kualitas dan kualifikasi tenaga kependidikan, serta mendorong peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Disamping itu, kepala sekolah perlu menggalang partisipasi masyarakat dan orang tua dalam pengelolaan pendidikan di sekolah melalui pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (School Counchil). Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang dibentuk harus melibatkan dan mencakup minimal kepala sekolah, guru, perwakilan orang tua peserta didik, tokoh masyarakat dan dinas pendidikan. Lembaga ini bertugas menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan pendidikan, merumuskan dan menetapkan visi dan misi serta tujuan sekolah.

Faktor-faktor Penghambat (Kelemahan dan Tantangan)

Faktor penghambat (kelemahan dan tantangan) kepala sekolah profesional untuk meningkatkan kualitas pendidikan mencakup sistem politik yang kurang stabil, rendahnya sikap mental, wawasan kepala sekolah yang masih sempit, pengangkatan kepala sekolah yang belum transparan, kurangnya sarana dan prasarana, lulusan yang kurang mampu berkompetisi, rendahnya kepercayaan masyarakat, birokrasi serta rendahnya produktivitas kerja.

Sistem politik yang kurang stabil

Sistem politik yang kurang stabil dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara selain menimbulkan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan di masyarakat juga merupakan faktor penghambat lahirnya kepala sekolah profesional. Wakil-wakil rakyat di dewan yang lamban dan plin-plan dalam mengambil suatu prakarsa serta selalu menunggu demonstrasi masyarakat dalam mengambil suatu keputusan merupakan suatu sistem politik yang kurang stabil dan kurang menguntungkan. Kondisi semacam ini sangat mewarnai berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan, beserta komponen yang tercakup di dalamnya. Pengembangan sumber daya pembangunan melalui sistem pendidikan yang memadai perlu ditunjang oleh sistem politik yang stabil dan kemauan politik yang positif dari pemerintah. Termasuk dalam hal ini adalah anggaran belanja yang dialokasikan untuk pendidikan.

Rendahnya sikap mental

Rendahnya sikap mental sebagian kepala sekolah merupakan faktor penghambat tumbuhnya kepala sekolah profesional. Rendahnya sikap mental tersebut antara lain terlihat dalam bentuk kurang disiplin dalam melaksanakan tugas, kurang motivasi dan semangat kerja, serta sering datang terlambat ke sekolah dan pulang lebih cepat dari guru dan tata usaha sekolah. Kondisi-kondisi tersebut sangat menghambat dan merupakan tantangan bagi tumbuh kembangnya kepala sekolah profesional yang harus dicarikan jalan pemecahannya secara tepat dan tepat.

Wawasan kepala sekolah yang masih sempit

Tidak semua kepala sekolah memiliki wawasan yang cukup memadai untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Sempitnya wawasan tersebut terutama terkait dengan berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi oleh para kepala sekolah dalam era globalisasi sekarang ini, dimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi begitu cepat. Begitu cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyulitkan sebagian kepala sekolah dalam melaksanakan fungsinya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah, yang mampu menghasilkan lulusan untuk dapat bersaing di era yang penuh ketidakpastian dan kesemrawutan global (chaos). Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh faktor kepala sekolah yang kurang membaca buku, majalah dan jurnal; kurang mengikuti perkembangan; jarang melakukan diskusi ilmiah; dan jarang mengikuti seminar yang berhubungan dengan pendidikan dan profesinya. Disamping itu, sempitnya wawasan kepala sekolah disebabkan oleh keberadaan Kelompok Kerka Kepala Sekolah (K3KS) yang belum didayagunakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Demikian pula halnya dengan keberadaan Musyawarah Kepala Sekolah (MKS) dimana lembaga ini hanya berperan sebagai tempat berunding kepala sekolah untuk menentukan besarnya pungutan terhadap peserta didik untuk melakukan suatu kegiatan.

Pengangkatan kepala sekolah yang belum transparan

Pengangkatan kepala sekolah yang belum transparan merupakan suatu faktor penghambat tumbuh kembangnya kepala sekolah profesional. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengangkatan kepala sekolah dewasa ini belum atau tidak melibatkan pihak-pihak masyarakat dan dunia kerja. Disamping itu, keputusan pemerintah mengenai jabatan kepala sekolah selama empat tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya belum dapat dilaksanakan. Hal tersebut secara langsung merupakan penghambat tumbuhnya kepala sekolah profesional yang mampu mendorong visi menjadi aksi dalam peningkatan kualitas pendidikan.

Kurang sarana dan prasarana

Kurangnya sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja (workshop), pusat sumber belajar (PSB) dan perlengkapan pembelajaran sangat menghambat tumbuhnya kepala sekolah profesional. Hal ini terutama berkaitan dengan kemampuan pemerintah untuk melengkapinya yang masih kurang. Disamping itu, walaupun pemerintah sudah melengkapi buku-buku pedoman dan buku-buku paket namun dalam pemanfaatannya masih kurang. Beberapa kasus menunjukkan banyak buku-buku paket belum didayagunakan secara optimal untuk kepentingan pembelajaran, baik guru maupun oleh peserta didik.

Lulusan kurang mampu bersaing

Rendahnya kemampuan bersaing dari lulusan pendidikan sekolah banyak disebabkan oleh kualitas hasil lulusan yang belum sesuai dengan target lulusan, sehingga para lulusan masih sulit untuk bisa bekerja karena persyaratan untuk diterima sebagai pegawai di suatu lembaga atau dunia usaha dan industri kian hari kian bertambah, yang antara lain harus menguasai bahasa asing, komputer dan kewirausahaan. Lulusan sekolah yang mau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi setiap tahun bertambah banyak, namun kemampuan bersaing dalam ujian pada umumnya masih rendah sehingga persentase lulusan yang diterima dan bisa melanjutkan pendidikan hanya sedikit.

Rendahnya kepercayaan masyarakat

Masyarakat Indonesia pada umumnya masih memiliki tingkat kepercayaan yang kurang terhadap produktivitas pendidikan, khususnya yang diselenggarakan pada jalur sekolah. Pendidikan sekolah secara umum belum mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yang siap pakai, baik untuk kerja maupun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kurang berhasilnya program link and match (keterkaitan dan kesepadanan) dan belum berhasilnya program pendidikan berbasis masyarakat serta kurikulum berbasis kompetensi pada sekolah kejuruan menyebabkan kekurangpercayaan masyarakat terhadap pendidikan.


 

Birokrasi

Birokrasi yang masih dipengaruhi faktor feodalisme dimana para pejabat lebih suka dilayani daripada melayani masih melekat di lingkugan Dinas Pendidikan. Kebiasaan lain seperti kurangnya prakarsa dan selalu menunggu juklak dan juknis tidak menunjang bagi tumbuh kembangnya kepala sekolah profesional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Disamping itu, dalam lingkungan sekolah perilaku kepemimpinan kepala sekolah cenderung kurang transparan dalam mengelolah sekolahnya. Hal ini menyebabkan kurang percayanya tenaga kependidikan terhadap kepala sekolah, sehingga dapat menurunkan kinerjanya dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Disamping kurang mandiri, hambatan lain yang memperlemah kinerja kepala sekolah adalah kurangnya kepekaan terhadap krisis (sense of crisis), rasa memiliki dan rasa penting terhadap kualitas pendidikan, sehingga menyebabkan lemahnya tanggung jawab, yang dapat menurunkan partisipasinya dalam kegiatan sekolah. Fenomena tersebut terutama disebabkan oleh kondisi yang selama bertahun-tahun dimana kepala sekolah kurang mendapat pendidikan dan pelatihan yang mengarah pada sistem manajemen modern, kalaupun ada pelatihan-pelatihan seringkali kurang memacu prestasi dan potensi kepala sekolah.


 

Rendanya produktivitas kerja

Produtivitas kerja yang rendah antara lain disebabkan oleh rendahnya etos kerja dan disiplin. Salah satu indikator dari masalah ini adalah masih rendahnya prestasi belajar yang dapat dicapai peserta didik, baik prestasi akademis yang tertera dalam buku laporan pendidikan dan nilai ujian akhir maupun prestasi non-akademis serta partisipasinya dalam kehidupan dan memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Lebih dari itu, tidak jarang peserta didik yang justru menambah masalah bagi masyarakat dan lingkungan, seperti keterlibannya dalam penggunaan obat-obat terlarang, VCD porno dan perkelahian antar-pelajar.


 

Belum tumbuhnya budaya mutu

Kualitas merupakan gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Kualitas dipahami pula sebagai apa yang dipahami atau dikatakan oleh konsumen. Dalam konteks pendidikan, pengertian kualitas mencakup input, proses dan output pendidikan. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sedangkan output pendidikan merupakan kinerja sekolah, yaitu prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses dan perilaku sekolah.

Paradigma baru kepala sekolah profesional dalam konteks MBS dan KBK berimplikasi terhadap budaya kualitas, yang memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (1) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; (2) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (3) hasil harus diikuti hadiah dan hukuman; (4) kolaborasi, sinergi bukan kompetisi penuh melainka harus merupakan basis kerja sama, atau diistilahkan coopetition; (5) tenaga kependidikan harus merasa aman dalam melakukan pekerjaannya; (6) suasana keadilan harus ditanamkan; dan (7) imbas jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan.

Belum tumbuhnya budaya kualitas baik dari segi input, proses maupun output pendidikan merupakan faktor penghambat tumbuhnya kepala sekolah profesional. Dalam hal ini, sekolah harus selalu menggalakkan peningkatan kualitas, yakni kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal.


 

Memanfaatkan Kekuatan dan Peluang serta mengatasi Kelemahan dan Tantangan

Upaya untuk memanfaatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan ancaman terhadap paradigma baru kepala sekolah profesional dapat dilakukan dengan pembinaan kemampuan profesional kepala sekolah, revitalisasi MGMP dan MKKS, peningkatan disiplin, pembentukan kelompok diskusi dan peningkatan layanan perpustakaan dengan menambah koleksi.

Pembinaan Kemampuan Profesional Kepala Sekolah

Pembinaan kemampuan profesional kepala sekolah merupakan perjalanan yang cukup panjang. Berbagai wadah yang telah dikembangkan dalam pembinaan kemampaun profesional kepala sekolah adalah antara lain Musyawarah Kepala Sekolah (MKS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Pusat Kegiatan Kepala Sekolah (PKKS). Disamping itu, peningkatan kompetensi kepala sekolah dapat dilakukan melalui pendidikan formal, seperti program sarjana atau pascasarjana bagi para kepala sekolah sesuai dengan bidang keahliannya, sehingga tidak terlepas dari koridor disiplin ilmu masing-masing.

Kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi yang sangat berpengaruh dan menentukan kemajuan sekolah harus memiliki kemampuan administrasi, memiliki komitmen tinggi dan luwes dalam melaksanakan tugasnya. Kepala sekolah juga harus melakukan peningkatan profesionalisme sesuai dengan gaya kepemimpinannya, berangkat dari niat, kemauan dan kesediaan, bersifat memprakarsai dan didasari pertimbangan yang matang, lebih berorientasi kepada bawahan, demokratis, lebih terfokus pada hubungan daripada tugas serta mempertimbangkan kematangan bawahan.

Beberapa kegiatan pembinaan kemampuan tenaga tenaga kependidikan (guru) yang bisa dilakukan oleh kepala sekolah adalah sebagai berikut:

Dalam melaksanakan pembinaan profesional guru, kepala sekolah bisa menyusun program penyetaraan bagi guru-guru yang memiliki klasifikasi D-III agar mengikuti penyetaraan S1/Akta-IV, sehingga para gurunya dapat menambah wawasan keilmuan dan pengetahuan yang menunjang tugasnya.

Untuk meningkatkan profesionalisme guru yang sifatnya khusus, bisa dilakukan oleh kepala sekolah dengan mengikutsertakan guru-guru dalam seminar dan pelatihan yang diadakan oleh Depdiknas maupun di luar Depdiknas. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kinerja guru dalam membenahi materi dan metodologi pembelajaran.

Peningkatan profesionalisme guru melalui PKG (Pemantapan kerja Guru) dan KKG (Kelompok Kerja Guru). Melalui wadah ini para guru diarahkan untuk mencari berbagai pengalaman mengenai metodologi pembelajaran dan bahan ajar yang dapat diterapkan dalam kelas.

Meningkatkan kesejahteraan guru. Kesejahteraan guru tidak dapat diabaikan, karena merupakan salah satu faktor penentu dalam peningkatan kinerja yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Peningkatan kesejahteraan guru dapat dilakukan antara lain melalui pemberian insentif di luar gaji, imbalan dan penghargaan serta tunjangan yang dapat meningkatkan kinerja.

Untuk melakukan berbagai pembinaan di atas, kepala sekolah sendiri harus mendapat pembinaan yang memadai dalam mengembangkan kemampuan profesionalnya.


 

Revitalisasi MGMP dan MKKS di Sekolah

Jumlah guru di sekolah yang berada di perkotaan pada umumnya sudah cukup memadai, sehingga suasana belajar cukup kondusif, karena guru bisa memilih dan menggunakan metode mengajar yang bervaraiasi. Melalui MGMP dan MKKS dapat dipikirkan bagaimana menyiasati kurikulum yang padat dan mencari alternatif pembelajaran yang tepat serta menemukan berbagai variasi metoda dan variasi media untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Kegiatan ini dapat dikoordinir oleh pengawas sekolah dan untuk setiap mata pelajaran dipimpin oleh guru senior yang ditunjuk atau Kepala Sekolah. MGMP dan MKKS seharusnya minimal bertemu satu kali per-minggu guna menyusun strategi pembelajaran dan mengatasi masalah yang muncul. Disamping itu, MGMP dan MKKS dapat mengundang ahli dari luar, baik ahli substansi mata pelajaran untuk membantu guru dan kepala sekolah dalam memahami materi yang masih dianggap sulit atau membantu memecahkan masalah yang muncul di sekolah, maupun berbagai metode pembelajaran untuk menemukan cara yang paling sesuai dalam memberikan materi pembelajaran.

MGMP dan MKKS juga dapat menyusun dan mengevaluasi perkembangan kemajuan pendidikan di sekolah. Evaluasi kemajuan dapat dilakukan secara berkala dan hasilnya digunakan untuk menyempurnakan rencana berikutnya. Kegiatan MGMP dan MKKS yang dilakukan dengan intensif dapat dijadikan sebagai wahana pengembangan diri guru dan kepala sekolah untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan, serta menambah pengetahuan dan keterampilan masing-masing. Dengan mengefektifkan MGMP dan MKKS, semua kesulitan dan permasalahan yang dihadapi oleh guru dan Kepala Sekolah dalam kegiatan pendidikan dapat dipecahkan dan diharpkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.

Peningkatan Disiplin

Rendahnya produktivitas tenaga kependidikan di sekolah baik dalam mengikuti aturan dan tata tertib sekolah maupun dalam melakukan pekerjaan sangat erat kaitannya dengan masalah disiplin. Oleh karena itu, dalam menumbuhkan kepala sekolah profesional dalam paradigma baru manajemen pendidikan di sekolah diperlukan adanya peningkatan disiplin untuk menciptakan iklim sekolah yang lebih kondusif dan dapat memotivasi kerja, serta menciptakan budaya kerja dan budaya disiplin para tenaga kependidikan dalam melakukan tugasnya di sekolah.

Sekolah membuat aturan-aturan yang harus ditaati khususnya oleh warga sekolah, guru, peserta didik, karyawan dan kepala sekolah. Aturan tersebut meliputi tata tertib waktu masuk dan pulang sekolah, kehadiran di sekolah dan di kelas serta proses pembelajaran yang sedang berlangsung dan tata tertib sekolah lainnya. Dengan meningkatnya disiplin diharapkan dapat meningkatkan keefektifan jam belajar sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan meningkatkan iklim belajar yang kondusif untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan dan mencapai hasil belajar peserta didik yang lebih baik.

Pembentukan Kelompok Diskusi Profesi

Kelompok diskusi profesi dapat dibentuk untuk mengatasi tenaga kependidikan yang kurang semangat dalam melakukan tugas-tugas kependidikan di sekolah. Kegiatan diskusi ini dapat dilakukan di sekolah minimal satu kali per-bulan. Pembentukan kelompok dilakukan oleh para tenaga kependidikan dan dibimbing oleh kepala sekolah. Dalam kegiatan diskusi dapat melibatkan pengawas sekolah, komite sekolah atau orang lain yang dianggap kapabel oleh kepala sekolah dan tenaga kependidikan sehubungan dengan tugas dan fungsinya di sekolah.

Untuk keperluan pengembangan kemampuan profesional, setiap tenaga kependidikan dapat menyampaikan hasil diskusi dalam forum yang lebih besar, sehingga terjadi saling tukar (sharing) pengalaman dan saling membantu bila terjadi kesulitan. Kelompok diskusi profesi ini didayagunakan untuk meningkatkan motivasi serta menambah wawasan seluruh tenaga kependidikan dalam meningkatan kualitas pendidikan di sekolah.

Kelompok diskusi profesi ini dapat membuahkan hasil yang memuaskan dilihat dari peningkatan motivasi dan semangat kerja para tenaga kependidikan. Dengan demikian, diskusi ini perlu dikembangkan dengan cara mencari model-model pembinaan yang efektif dan efisien.

Peningkatan layanan Perpustakaan dan Penambahan Koleksi

Salah satu sarana peningkatan profesionalisme kepala sekolah adalah tersedianya buku yang dapat menunjang kegiatan sekolah dalam mendorong visi dan misi menjadi aksi. Sangat sulit rasanya dapat mengembangkan dan meningkatkan profesionalisme kepala sekolah jika tidak ditunjang oleh sumber belajar yang memadai. Pengadaan buku pustaka diarahkan untuk mendukung kegiatan pembelajaran serta memenuhi kebutuhan peserta didik dan guru akan materi pembelajaran. Disamping itu, untuk memperkaya bahan-bahan yang diperlukan tenaga kependidikan dalam meningkatkan profesionalisme secara optimal.

Pada umumnya, sekolah masih memerlukan buku-buku bacaan wajib maupun penunjang untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan, serta mendukung kegiatan belajar peserta didik. Pengadaan buku pustaka perlu diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan, termasuk kegiatan MKKS, MGMP dan mendukung belajar peserta didik. Untuk meningkatkan profesionalisme kepala sekolah, perlu diadakan buku-buku pegangan kepala sekolah yang relevan.

Pengadaan koleksi perpustakaan dapat dimulai dengan melakukan identifikasi buku-buku yang diperlukan oleh guru dan peserta didik dan mencatat buku-buku yang tidak ada atau tidak mencukupi kebutuhan sekolah. Cara yang biasanya dilakukan dalam memenuhi kekurangan buku-buku tersebut, antara lain dengan mengadakan kerjasama dengan perpustakaan pada instansi lain yang mempunyai potensi untuk membantu pengadaan buku sekolah atau membeli buku-buku tersebut secara langsung apabila tersedia dana untuk pengembangan perpustakaan.

Untuk kepentingan tersebut, perlu upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan pengelola perpustakaan. Dalam peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan, kepala sekolah harus berupaya untuk memberikan kesempatan mengikuti pelatihan singkat bagi pengelola perpustakaan. Hal ini dipandang penting dalam peningkatan dan pengembangan perpustakaan untuk dapat menyediakan buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, kepala sekolah juga harus berupaya untuk memperhatikan penyediaan anggaran perpustakaan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah, sekolah bersama-sama dengan semua unsurnya termasuk Komite Sekolah dapat membuat rencana dan program-programnya untuk merealisasikan rencana dan mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Rencana yang dibuat harus menggambarkan aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan yang dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan serta biaya yang diperlukan. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun orang tua peserta didik, baik secara moral maupun finansial untuk melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan profesionalisme kepala sekolah.

Peningkatan profesionalisme kepala sekolah perlu dilaksanakan secara terus menerus dan terencana dengan melihat permasalahan-permasalahan dan keterbatasan yang ada. Segala bentuk kegiatan sekolah perlu diarahkan pada peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan agar dapat berkembang dan maju sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan perkembangan zaman.

Perbaikan mutu berkelanjutan (continous quality improvement) harus menjadi strategi dan salah satu paradigma peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah. Melalui strategi perbaikan mutu diharapkan dapat mengatasi masalah rendahnya mutu pendidikan yang tidak hanya mengandalkan pendekatan yang bersifat konvensional, melainkan melalui optimalisasi sumber daya dan sumber dana, yang secara langsung dapat meningkatkan kualitas pendidikan.

Peningkatan profesionalisme kepala sekolah harus merupakan proses keseluruhan dalam suatu organisasi sekolah, berjalan dengan nyata, jangka panjang, membudaya, baik bagi personil maupun bagi peserta didik. Setiap tenaga kependidikan, baik kepala sekolah, guru maupun staf administrasi, termasuk peserta didik dituntut untuk memiliki kepedulian yang muncul secara internal, bahwa apa yang dilakukan adalah dalam rangka peningkatan profesionalisme kepala sekolah serta pencapaian mutu dan prestasi belajar.

Upaya peningkatan mutu sekolah dan profesionalisme kepala sekolah tidak terlepas dari peran pengawas sekolah selaku pimpinan pendidikan, yang bersama kepala sekolah memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan sekolah. Hal ini penting, karena pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas dalam upaya peningkatan profesionalisme kepala sekolah cenderung kurang memperhatikan ide-ide baru yang berkembang di masyarakat.

Kepala sekolah hendaknya memiliki visi kelembagaan dan kemampuan konsepsional yang jelas, serta memiliki keterampilan dan seni dalam hubungan antara manusia, penguasaan aspek-aspek teknik dan subtantif, memiliki semangat untuk maju serta semangat mengabdi dan karakter yang diterima oleh masyarakat lingkungannya.

Sebagai pemimpin formal, kepala sekolah bertanggungjawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya peningkatan prestasi belajar peserta didik. Untuk itu, kepala sekolah bertugas melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, baik yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan, maupun penciptaan iklim sekolah yang kondusif bagi terlaksananya proses pendidikan secara efektif dan efisien. Dalam hal ini strategi kepemimpinan yang dilaksanakan menjadi sangat penting, karena laju perkembangan kegiatan atau program pendidikan yang ada pada setiap sekolah ditentukan oleh arahan, bimbingan dan visi yang ingin dicapai sekolah.

Dalam menetapkan visi sekolah, kepala sekolah harus terlebih dahulu memahami visi itu sendiri. Menurut Helgeson (1986) visi merupakan penjelasan tentang rupa yang seharusnya dari suatu organisasi kalau organisasi berjalan dengan baik. Definisi lain mengatakan bahwa visi atau wawasan merupakan suatu pandangan yang merupakan kristalisasi dan intisari dari suatu kemampuan (competence), kebolehan (ability) dan kebiasaan (self efficacy) dalam melihat, menganalisis dan menafsirkan.

Gaffar (1994) mengemukakan bahwa visi merupakan daya pandang yang jauh, mendalam dan meluas dan merupakan daya pikir yang abstrak, yang memiliki kekuatan amat dahsyat serta dapat menerobos segala batas-batas fisik dan tempat. Sedang Morrisey (1997) memandang visi sebagai representasi dari apa yang diyakini sebagai bentuk organisasi di masa depan dalam pandangan pelanggan, karyawan, pemilik dan stakeholder lainnya. Oleh karena itu, kepala sekolah harus dapat menyisihkan waktunya untuk mengkomunikasikan visi tersebut ke seluruh jaringan dan tingkat manajemen, dengan mengangkat visi sebagai acuan pada berbagai briefing yang dilakukan para kepala sekolah.

Dalam pengembangan visinya, kepala sekolah harus mampu mendayagunakan kekuatan-kekuatan yang relevan bagi kegiatan internal sekolah. Kekuatan-kekuatan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kekuatan yang berhubungan dengan apa yang sedang berlangsung di luar sekolah. Kedua, kekuatan yang berhubungan dengan klien pendidikan, yaitu latar belakang socsial, aspirasi keuangan, sumber-sumber masyarakat, karakteristik ketenagakerjaan dan sebagainya. Kepala sekolah dalam mendorong visinya menjadi aksi nyata harus mampu menyeleksi secara berkelanjutan kelompok-kelompok kekuatan tersebut.

Visi sekolah adalah gambaran sekolah yang diinginkan di masa depan. Gambaran tersebut didasarkan pada landasan yuridis (undang-undang pendidikan dan peraturan pemerintah), khususnya pendidikan nasional sesuai level dan jenis sekolahnya, serta disesuaikan dengan profil sekolah, sehingga dimungkinkan sekolah memiliki visi yang tidak sama dengan sekolah lain, asalkan tidak keluar dari koridor pendidikan nasional. Kepala sekolah di dalam menetapkan visinya harus berpijak pada peningkatan mutu masa depan.

Dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan kualitas sekolah, kepala sekolah profesional seperti disarankan Sellis harus memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Mempunyai visi atau daya pandang yang mendalam tentang mutu yang terpadu bagi lembaganya maupun bagi tenaga kependidikan dan peserta didik yang ada di sekolah.
  2. Mempunyai komitmen yang jelas pada pengembangan sekolah
  3. Mengkomunikasikan pesan yang berkaitan dengan kualitas
  4. Menjamin kebutuhan peserta didik sebagai perhatian kegiatan dan kebijakan lembaga/sekolah
  5. Meyakinkan para pelanggan (peserta didik, orang tua, masyarakat) bahwa terdapat "channel" cocok untuk menyampaikan harapan dan kenginannya.
  6. Pemimpin mendukung pengembangan tenaga kependidikan
  7. Tidak menyalahkan pihak lain jika ada masalah yang muncul tanpa dilandasi bukti yang kuat.
  8. Pemimpin melakukan inovasi terhadap sekolah.
  9. Menjamin struktur organisasi yang menggambarkan tanggung jawab yang jelas.
  10. Mengembangkan komitmen untuk mencoba menghilangkan setiap penghalang, baik yang bersifat organisasional maupun budaya.
  11. Membangun tim kerja yang efektif.
  12. Mengembangkan mekanisme yang cocok untuk melakukan monitoring dan evaluasi (MONEV).

Untuk mempermudah kita untuk mengetahui dan memahami tentang analisis SWOT, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan analisis situasi atau kondisi dengan pendekatan analisis SWOT sehingga dapat dirumuskan kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat), dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Inventarisasi faktor internal yang mempengaruhi pencapaian tujuan, sasaran, misi dan visi yang telah ditetapkan secara rinci dengan teknik brainstroming (curah pendapat) atau Nominal Group Technique (NGT).
  2. Inventarisasi faktor eksternal yang mempengaruhi pencapaian tujuan, sasaran, misi dan visi yang telah ditetapkan secara rinci dengan teknik brainstroming atau NGT.
  3. Diskusikan setiap faktor internal hasil kerja (no. 1), apakah termasuk kekuatan atau kelemahan dengan cara pooling pendapat. Kekuatan adalah kegiatan (proses) dan sumberdaya (input) yang sudah baik. Kelemahan adalah kegiatan (proses) dan sumberdaya (input) yang belum baik.
  4. Diskusikan setiap faktor eksternal hasil (no. 2), apakah termasuk peluang atau ancaman dengan cara pooling pendapat. Ancaman adalah faktor eksternal yang negatif. Peluang adalah faktor eksternal yang positif.

 

Faktor Internal


 


 


 


 


 

Faktor Eksternal 

STRENGTH (S)

1

2

3

4

5

6 

WEAKNESS (W)

1

2

3

4

5

6 

OPPORTUNITIES (O)

1

2

3

4

5

6 

  

TREATHS (T)

1

2

3

4

5

6 

  


 


 

Peran dan Kinerja Pengawas Sekolah

Profesionalisme kepala sekolah dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk mendorong visi menjadi aksi tidak terlepas dari peran berbagai pihak yang terlibat dalam pembinaan kepala sekolah, antara lain pengawas sekolah. Peran dan kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan pembinaan terhadap kepala sekolah agar profesional dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Pengawas sekolah harus memahami tugasnya dalam membina dan mengembangkan kepala sekolah yang profesional, terutama yang berkaitan dengan pengembangan kreativitas dan pemberian motivasi, karena pengembangan kepala sekolah profesional merupakan program pengawas sekolah yang harus diproritaskan. Hal ini perlu ditekankan terutama untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak dalam rangka mempersiapkan kepala sekolah sebagai pemimpin yang handal dalam paradigma baru manajemen pendidikan, pelaksanaan otonomi daerah, desentralisasi pendidikan dan mempersiapkan kepala sekolah dalam perspektif global. Hal ini penting, karena kepala sekolah merupakan ujung tombak penyelenggaraan pendidikan yang sudah sewajarnya dibina berbagai kemampuannya agar dapat berkembang secara optimal dalam memajukan sekolah yang dipimpinnya, terutama dalam rangka mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan, baik dalam lingkup makro, meso, maupun mikro.
  2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan pengawas sekolah dalam mengembangkan kepala sekolah profesional dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
    1. Mengadakan kunjungan langsung ke sekolah, dan memberikan masukan kepada kepala sekolah mengenai penyelenggaraan sekolah. Masukan tersebut terutama berkaitan dengan tugas dan fungsi kepala sekolah sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator pendidikan; dengan maksud agar para kepala sekolah dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan kreatif.
    2. Menciptakan iklim yang kondusif sehingga memungkinkan kepala sekolah berdiskusi dengan koleganya (kepala sekolah lain) untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan.
    3. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kepala sekolah untuk melanjutkan pendidikannya dalam rangka menunjang karier dan meningkatkan kemampuannya.
    4. Memberikan perhatian dan jalan keluar atas segala permasalahan yang dihadapi oleh kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya.
  3. Pengawas sekolah harus memiliki program kegiatan dalam satu tahun ajaran, untuk:
    1. Memantau dan membimbing pelaksanaan penerimaan peserta didik
    2. Mengumpulkan dan mengolah data sumber daya pendidikan, proses pembelajaran dan bimbingan peserta didik
    3. Menganalisis hasil belajar, bimbingan peserta didik, guru dan sumber daya pendidikan yang mempengaruhi hasil belajar untuk menentukan jenis pembinaan
    4. Mengadakan pembinaan administrasi kepala sekolah
    5. Memberikan arahan dan bimbingan kepada tenaga kependidikan (guru) tentang pelaksanaan pembelajaran dan bimbingan belajar
    6. Memberikan contoh tugas guru dalam bimbingan peserta didik
    7. Memberikan arahan dan bimbingan kepada guru tentang pelaksanaan pembelajaran dan bimbingan belajar


 


 


 

Dampak Kepala Sekolah Profesional

Kepala sekolah profesional dalam paradigma baru manajemen pendidikan akan memberikan dampak positif dan perubahan positif cukup mendasar dalam pembaharuan sistem pendidikan di sekolah. Dampak tersebut antara lain terhadap efektifitas pendidikan, kepemimpinan sekolah yang kuat, pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, budaya mutu, team work yang kompak, cerdas dan dinamis, kemadirian, partisipasi warga sekolah dan masyarakat, keterbukaan manajemen, kemauan untuk berubah, evaluasi dan perbaikan berkelanjutan, responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, akuntabilitas, dan sustainabilitas.


 


 


 

BAB III

FUNGSI-FUNGSI KEPALA SEKOLAH


 

Signifikansi Fungsi dan Peran Kepala Sekolah

Untuk menggapai visi dan misi pendidikan perlu ditunjang oleh kemampuan aktor kepala sekolah yang handal dalam menjalankan roda kepemimpinan. Meskipun pengangkatan kepala sekolah dilakukan secara tidak sembarangan, bahkan diangkat dari guru yang sudah berpengalaman atau mungkin sudah lama menjabat sebagai wakil kepala sekolah, namun tidak dengan sendirinya membuat kepala sekolah menjadi profesional dalam melakukan tugas. Pada beberapa kasus ditunjukkan masih banyaknya kepala sekolah yang terpaku dengan urusan–urusan administratf, yang sebenarnya bisa dilimpahkan kepada tenaga administrasi sekolah. Dalam pelaksanaannya, pekerjaan kepala sekolah merupakan pekerjaan berat, yang menuntut kemampuan ekstra.

Dinas pendidikan telah menetapkan bahwa kepala sekolah harus mampu melaksanakan pekerjaannya sebagai edukator, manajer, administrator dan suvervisor (EMAS).
Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman, kepala sekolah juga harus mampu berperan sebagai leader, inovator dan motivator di sekolahnya. Dengan demikian, dalam paradigma baru manajemen pendidikan, kepala sekolah sedikitnya harus mampu berfungsi sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator, disingkat EMASLIM.

Perspektif ke depan mengisyaratkan bahwa kepala sekolah juga harus mampu berperan sebagai figur dan mediator yang berjiwa wirausaha bagi perkembangan masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian, pekerjaan kepala sekolah semakin hari semakin meningkat dan akan selalu meningkat sesuai dengan perkembangan pendidikan yang diharapkan. Dalam hal ini pekerjaan kepala sekolah tidak hanya sebagai EMASLIM, tetapi akan berkembang menjadi EMASLIM-FM atau EMASLIME. Semua itu harus dipahami oleh kepala sekolah dan yang lebih penting adalah bagaimana kepala sekolah mampu mengamalkan dan menjadikan hal tersebut dalam bentuk tindakan nyata di sekolah. Pelaksanaan tugas dan fungsi kepala sekolah tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena saling terkait dan saling mempengaruhi serta menyatu dalam pribadi seorang kepala sekolah profesional. Kepala sekolah yang demikian akan mampu mendorong visi dan misi menjadi aksi dalam paradigma baru manajemen pendidikan.


 

Kepala Sekolah sebagai Pendidik (Educator)

Dalam melakukan fungsinya sebagai edukator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolahnya. Fungsi kepala sekolah sebagai edukator adalah menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberikan nasehat kepada warga kepala sekolah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan, serta melaksanakan model pembelajaran yang menarik, seperti team teaching, moving class dan mengadakan program akselerasi (acceleration) bagi peserta didik yang cerdas di atas normal.

Wahyusumidjo (1999: 122), memahami arti pendidik tidak cukup berpegang pada konotasi yang terkandung dalam definisi pendidik melainkan harus dipelajari keterkaitannya dengan makna pendidikan, sarana pendidikan dan bagaimana strategi pendidikan itu dilaksanakan. Untuk kepentingan tersebut kepala sekolah harus berusaha menanamkan, memajukan dan meningkatkan sedikitnya empat macam nilai, yakni pembinaan mental, moral, fisik dan artsitik.

Pembinaan mental, yaitu membina para tenaga kependidikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sikap, batin dan wataknya. Dalam hal ini kepala sekolah harus mampu menciptakan iklim yang kondusif agar setiap tenaga kependidikan dapat melaksanakan tugas dengan baik, proposional dan profesional. Untuk itu, kepala sekolah harus berusaha melengkapi sarana, prasarana dan sumber belajar agar dapat memberikan kemudahan kepada guru dalam melaksanakan tugas utamanya mengajar. Mengajar dalam arti memberikan kemudahan belajar bagi peserta didik.

Pembinaan moral, yaitu membina para tenaga kependidikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ajaran baik buruk suatu perbuatan, sikap, hak dan kewajiban sesuai dengan tugas masing-masing tenaga kependidikan. Kepala sekolah profesional harus berusaha memberikan nasehat kepada seluruh warga sekolah, misalnya, pada setiap upacara bendera atau pertemuan rutin.

Pembinaan fisik, yaitu membina tenaga kependidikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan dan penampilan mereka secara lahiriah. Kepala sekolah profesional harus mampu memberikan dorongan agar para tenaga kependidikan terlibat secara aktif dan kreatif dalam berbagai kegiatan olah raga, baik yang diprogramkan di sekolah maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat di sekitar sekolah.

Pembinaan artistik, yaitu membina tenaga kependidikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepekaan manusia terhadap seni dan keindahan. Hal ini biasanya dilakukan melalui kegiatan karyawisata yang dilaksanakan setiap semester atau tahun ajaran. Dalam hal ini, kepala sekolah dibantu oleh para pembantunya harus mampu merencanakan berbagai program pembinaan artistik, seperti karyawisata, agar dalam pelaksanaannya tidak mengganggu kegiatan pembelajaran. Lebih daripada itu, pembinaan artistik harus terkait atau merupakan pengayaan dari pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Sebagai edukator, kepala sekolah harus selalu berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh para guru. Dalam hal ini faktor pengalaman akan sangat mendukung terbentuknya pemahaman tenaga kependidikan terhadap pelaksanaan tugasnya. Pengalaman semasa menjadi guru, wakil kepala sekolah, atau anggota organisasi kemasyarakatan sangat mempengruhi kemampuan kepala sekolah dalam melaksanakan pekerjaaannya demikian pula halnya pelatihan dan penataran yang pernah diikuti.

Upaya yang dapat dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerjanya sebagai edukator, khususnya dalam peningkatkan kinerja tenaga kependidikan dan prestasi belajar peserta didik dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, mengikutsertakan guru-guru dalam penataran atau pelatihan untuk menambah wawasan para guru. Kepala sekolah juga harus memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Misalnya, memberikan kesempatan bagi para guru yang belum mencapai jenjang sarjana untuk mengikuti kuliah di universitas terdekat dengan sekolah, yang pelaksanaannya tidak mengganggu kegiatan pembelajaran. Kepala sekolah harus berusaha mencarikan beasiswa bagi guru yang melanjutkan pendidikan melalui kerjasama dengan masyarakat atau dengan dunia usaha dan kerjasama lain yang tidak mengikat.

Kedua, kepala sekolah harus berusaha menggerakkan tim evaluasi hasil belajar peserta didik untuk lebih giat bekerja, kemudian hasilnya diumumkan secara terbuka dan diperlihatkan di papan pengumuman. Hal ini bermanfaat untuk memotivasi para peserta didik agar lebih giat belajar dan meningkatkan prestasinya.

Ketiga, menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah dengan cara mendorong para guru untuk memulai dan mengakhiri pembelajaran sesuai waktu yang telah ditentukan, serta memanfaatkannya secara efektif dan efisien untuk kepentingan pembelajaran.


 

Kepala Sekolah sebagai Manajer

Manajemen pada hakekatnya merupakan suatu proses merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, memimpin dan mengendalikan usaha para anggota organisasi serta mendayagunakan seluruh sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dikatakan suatu proses, karena semua manajer dengan ketangkasan dan keterampilan yang dimilikinya mengusahakan dan mendayagunakan berbagai kegiatan yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan (McFarland, 1979).

Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama yang kooparatif, memberikan kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.

Pertama, memberdayakan tenaga kependidikan melalui persaingan sehat yang membuahkan kerjasama (coopetition). Maksudnya ialah dalam peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus mementingkan kerjasama dengan tenaga kependidikan dan pihak lain yang terkait dalam melaksanakan setiap kegiatan. Sebagai manajer kepala sekolah harus mau dan mampu mendayagunakan seluruh sumber daya sekolah dalam rangka mewujudkan visi, misi dan mencapai tujuannya. Kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan di sekolah, berpikir secara analitik dan konseptual dan harus senantiasa berusaha untuk menjadi juru penengah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh para tenaga kependidikan yang menjadi bawahannya, serta berusaha untuk mengambil keputusan yang memuaskan bagi semua stakeholders sekolah.

Kedua, memberikan kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya. Sebagai manajer kepala sekolah harus mampu meningkatkan profesi tenaga kependidikan secara persuasif dan dari hati ke hati. Dalam hal ini, kepala sekolah harus bersikap demokratis dan memberikan kesempatan kepada seluruh tenaga kependidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Misalnya, memberi kesempatan kepada bawahan untuk meningkatkan profesinya melalui berbagai penataran dan lokakarya sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Ketiga, mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan. Kepala sekolah harus berusaha untuk mendorong keterlibatan semua tenaga kependidikan dalam setiap kegiatan di sekolah (partisipatif). Dalam hal ini kepala sekolah bisa berpedoman pada asas tujuan, asas keunggulan, asas mufakat, asas kesatuan, asas persatuan, asas empirisme, asas keakraban dan asas integritas.

Azas tujuan, bertolak dari anggapan bahwa kebutuhan dasar tenaga kependidikan akan harga dirinya mungkin dicapai dengan turut menyumbang pada suatu tujuan yang lebih tinggi. Hal tersebut merupakan kesempatan bagi kepala sekolah selaku pemimpin untuk memenuhi kebutuhan tenaga kependidikan tersebut. Kemampuan untuk menyampaikan dan menanamkan tujuan merupakan seni yang harus dimiliki oleh kepala sekolah dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya.

Asas keunggulan, bertolak dari anggapan bahwa setiap tenaga kependidikan membutuhkan kenyamanan dan harus memperoleh kenyamanan serta harus memperoleh kepuasan dan penghargaan pribadi. Kepuasan mengandung makna penerimaan keadaan seperti apa adanya, sehingga ketidakpuasan merupakan sumber motivasi yang dapat menggerakkan tenaga kependidikan untuk menutupi ketidakpuasan tersebut dan mencapai kepuasan yang diinginkan. Oleh karena itu, kepala sekolah harus berusaha untuk mengembangkan budaya kerja dan ketidakpuasan kreatif.

Azas mufakat, dalam hal ini kepala sekolah harus mampu menghimpun gagasan bersama dan membangkitkan tenaga kependidikan untuk berpikir kreatif dan bertindak inovatif dalam melaksanakan tugasnya.

Azas kesatuan, dalam hal ini kepala sekolah harus menyadari bahwa tenaga kependidikan tidak ingin dipisahkan dari tanggung jawabnya. Oleh karena itu, kepala sekolah harus berusaha untuk menjadikan tenaga kependidikan sebagai pengurus upaya-upaya pengembangan sekolah. Hal ini penting untuk menumbuhkan rasa kepemilikan pada tenaga kependidikan terhadap sekolah tempatnya melaksanakan tugas.

Azas persatuan, kepala
sekolah harus mendorong tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesionalismenya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi sekolah. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dengan sistem imbalan terhadap setiap kegiatan yang dilakukan oleh bawahan. Dalam konsep kontemporer dikenal dengan istilah kompensasi berbasis kinerja.

Azas empirisme, kepala sekolah harus mampu bertindak berdasarkan atas nilai dan angka yang menunjukkan prestasi para tenaga kependidikan. Oleh karena itu, data dan informasi yang memuat semua komponen sekolah memegang peranan yang sangat penting.

Azas keakraban, kepala sekolah harus berupaya menjaga keakraban dengan para tenaga kependidikan, agar tugas-tugas dapat dilaksnakan dengan lancar. Hal ini dimungkinkan karena keakraban mendorong berkembangnya saling percaya dan kesediaan untuk berkorban di antara para tenaga kependidikan.

Azas integritas, kepala sekolah harus memandang bahwa peran kepemimpinannya merupakan suatu komponen kekuasaan untuk menciptakan dan memobilisasi energi seluruh tenaga kependidikan dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Integritas merupakan kejujuran dan upaya mencapai suatu langkah tindakan yang telah ditetapkan secara bertanggung jawab dan konsisten.

Sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam penilaian kinerja kepala sekolah, kepala sekolah harus memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dengan baik, yang diwujudkan dalam kemampuan menyusun program sekolah, organisasi personalia, memberdayakan tenaga kependidikan dan mendayagunakan sumber daya sekolah secara optimal.

Kemampuan menyusun program sekolah harus diwujudkan dalam: (1) pengembangan program jangka panjang, baik program akademis maupun non-akademis, yang dituangkan dalam kurun waktu lebih dari lima tahun; (2) pengembangan program jangka menengah, baik program akademis maupun non-akademis, yang dituangkan dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun; (3) pengembangan program jangka pendek, baik program akademis maupun non-akademis yang dituangkan dalam kurun waktu satu tahun (program tahunan), termasuk pengembangan rencana anggaran pendapatan belanja sekolah (RAPBS) dan Anggaran Biaya Sekolah (ABS). Dalam pada itu, kepala sekolah harus memiliki mekanisme yang jelas untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program secara periodik, sistemik dan sistematik.

Kemampuan menyusun organisasi personalia sekolah harus diwujudkan dalam pengembangan susunan personalia sekolah dan personalia pendukung, seperti pengelola laboraturium, perpustakaan dan pusat sumber belajar (PSB); serta penyusunan kepanitiaan untuk kegiatan temporer, seperti panitia penerimaan peserta didik baru (PSB), panitia ujian dan panitia peringatan hari-hari besar keagamaan.

Kemampuan memberdayakan tenaga kependidikan di sekolah harus diwujudkan dalam pemberian arahan secara dinamis, pengkoordinasian tenaga kependidikan dalam pelaksanaan tugas, pemberian hadiah bagi mereka yang berprestasi dan pemberian hukuman (punishment) bagi yang kurang disiplin dalam melaksanakan tugas. Disamping itu, kemampuan mendayagunakan sumber daya sekolah, yang harus diwujudkan dalam pendayagunaan serta perawatan sarana dan prasarana sekolah, pencatatan berbagai kinerja tenaga kependidikan dan pengembagan program peningkatan profesioanlisme.


 

Kepala Sekolah sebagai Administrator

Kepala sekolah sebagai administrator memiliki hubungan erat dengan berbagai aktivitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan dan pendokumenan seluruh program sekolah. Secara spesifik, kepala sekolah harus memiliki kemampuan untuk mengelola kurikulum, mengelola administrasi kearsipan dan mengelola administrasi keuangan. Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara efektif dan efisien agar dapat menunjang produktivitas sekolah. Untuk itu, kepala sekolah harus mampu menjabarkan kemampuan di atas ke dalam tugas-tugas opersional.

Membuat Perencanaan

Dalam berbagai kegiatan administrasi, membuat perencanaan mutlak diperlukan. Perencanaan yang akan dibuat oleh kepala sekolah bergantung pada berbagai faktor, di antaranya banyaknya sumber daya manusia yang ada, banyaknya dana yang tersedia dan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan rencana tersebut.

Perencanaan yang dilakukan oleh kepala sekolah di antaranya adalah menyusun program tahunan sekolah yang mencakup program pengajaran, kesiswaan, kepegawaian, keuangan dan perencanaan fasilitas yang diperlukan. Perencanaan ini selanjutnya dituangkan ke dalam rencana tahunan sekolah yang dijabarkan dalam dua program semester.

  1. Program pengajaran. Program pengajaran yang harus dilakukan oleh kepala sekolah adalah penyediaan kebutuhan guru, pembagian tugas mengajar, pengadaan berbagai fasilitas, di antaranya penambahan laboratorium, lapangan olah raga, ekstrakurikuler dan sebagainya.
  2. Kesiswaan. Mencakup penerimaan siswa baru, berapa banyak yang akan ditampung, apakah perlu menambah kelas lagi atau menguranginya, pengadaan bimbingan dan penyuluhan bagi siswa dengan bekerjasama dengan lembaga-lembaga bimbingan yang bersangkutan, pelayanan kesehatan sekolah yang bekerjasama dengan rumah sakit atau puskesmas terdekat, pelaksanaan kebersihan dan keindahan sekolah dengan mengadakan lomba kebersihan dan keindahan sekolah tiap tahun.
  3. Kepegawaian. Meliputi penerimaan guru-guru baru, mengadakan orientasi bagi guru-guru baru, memberikan tugas-tugas kepada guru, petugas administrasi sekolah, petugas kebersihan sekolah, pemutasian dan pemindahan pegawai, pemberian insentif bagi pegawai, mengatur kenaikan pangkat, meningkatkan kesejahteraan pegawai sekolah.
  4. Keuangan. Meliputi pengadaan dana bagi keseluruhan administrasi pendidikan, di antaranya mengatur pemberian gaji bagi seluruh pegawai sekolah, mengajukan penambahan dana dari pihak pemerintah, yayasan, dan sebagainya.
  5. Sarana dan prasarana. Mencakup penambahan sarana olah raga, kegiatan ekstrakurikuler, laboratorium, perbaikan gedung sekolah, pengecetan gedung sekolah, pembangunan sarana beribadah, sarana kegiatan ekstrakurikuler, dan sebagainya.

Menata Struktur Organisasi

Organisasi memainkan peranan penting dalam fungsi administrasi karena merupakan tempat pelaksanaan semua kegiatan administrasi. Selain itu, dilihat dari fungsinya organisasi juga menetapkan dan menyusun hubungan kerja seluruh anggota organisasi agar tidak tumpang tindih dalam melakukan tugasnya msing-masing. Oleh karena itu, organisasi perlu disusun secara sistematis agar kegiatan administrasi dapat berjalan dengan lancar.

Penyusunan organisasi merupakan tanggung jawab kepala sekolah sebagai administrator pendidikan. Sebelum ditetapkan, penyusunan organisasi itu sebaiknya dibahas bersama-sama dengan seluruh anggota organisasi agar hasil yang diperoleh benar-benar merupakan kesepakatan bersama. Hal ini dilakukan untuk memudahkan tercapainya tujuan karena seluruh anggota organisasi sekolah jelas tugas-tugasnya, apa kewajiban yang harus dilakukan dan mereka pun harus mengetahui kepada siapa mereka bertanggungjawab atas tugas-tugasnya. Selain menyusun struktur organisasi kepala sekolah juga bertugas untuk mendelegasikan tugas-tugas dan wewenang kepada setiap anggota organisasi sekolah sesuai dengan struktur organisasi yang ada. Dengan demikian, tidak terjadi tumpang tindih pekerjaan antara masing-masing bagian dan tujuan yang diharapkan pun dapat segera tercapai.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan organisasi adalah struktur organisasi disusun secara sederhana, fleksibel tetapi bersifat permanen dan memiliki tujuan yang jelas. Selaian itu, pembagian tugasnya pun sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anggota organisasi. Berikut ini merupakan contoh struktur organisasi sekolah.


 

Gambar 3.1 Contoh Struktur Organisasi Sekolah


 

Koordinator dalam organisasi sekolah

Betapapun baiknya struktur organisasi yang telah disusun dan jelasnya pembagian tugas di dalamnya, bila tidak dikoordinasikan, maka tujuan yang diharapkan tidak akan tercapai. Terjadinya tumpang tindih antara pekerjaan satu anggota dengan anggota lain, terciptanya suasana yang tidak tenteram dan tidak kondusif karena masing-masing bagian berusaha untuk saling menunjukkan kekuasaan dan kelebihannya masing-masing. Pengkoordinasian merupakan kegiatan menghubungkan seluruh personal organisasi dengan tugas yang dilakukan supaya terjalin kesatuan dan keselarasan sehingga menghasilkan kebijakan dan keputusan yang tepat. Tindakan pengkoordinasian meliputi pengawasan, pemberian nilai, pengarahan dan bimbingan terhadap setiap personal organisasi.

Pengkoordinasian organisasi sekolah ini merupakan wewenang dari kepala sekolah. Untuk itu, kecakapan kepala sekolah juga melibakan pihak lain, seperti bimbingan dan konseling, guru yang menangani pengaturan kurikulum, wali kelas, petugas tata usaha, petugas BP-3 dan sebagainya. Dengan kata lain, diperlukan kerjasama dari berbagai bagian dalam organisasi agar pengkoordinasian yang dilakukan dapat menyelesaikan semua hambatan dan halangan yang ada.


 

Mengatur kepegawaian dalam Organisasi Sekolah

Kepala sekolah memiliki wewenang mengangkat pegawai, mempromosikan, menempatkan, atau menerima pegawai baru, baik guru, pegawai tata usaha (sfaf), ataupun pembimbing ekstrakurikuler. Dalam melakukan semua wewenang tersebut kepala sekolah hendaknya bekerjasama dengan para stafnya, misalnya dengan bagian tata usaha, wakil kepala sekolah, pengurus OSIS, koordinator kurikulum sekolah dan sebagainya.

Pengelolaan kepegawaian ini akan berjalan dengan baik apabila kepala sekolah memperhatikan kesinambungan dan kesesuaian antara pemberian tugas dengan kondisi dan kemampuan pelaksananya, misalnya berdasarkan jenis kelamin, kemampuan dan bakat yang dimiliki pegawai, kekuatan fisik pegawai, dan lain-lain. Kepala sekolah harus benar-benar memperhatikan kesesuaian tersebut agar proses kerja administrasi menjadi lancar. Selain itu, kepala sekolah juga harus memperhatikan kesejahteraan pegawainya dengan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan agar mereka dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.

Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah dalam mengelola pegawai, di antaranya adalah mengadakan diskusi, membentuk koperasi, memberikan bantuan dan kesempatan seluas-luasnya kepada para pegawai untuk meningkatkan kemampuannya, dan sebagainya. Selain itu, kepala sekolah juga harus bijaksana dalam menghadapi para pegawai, mendengar keluhannya, mencarikan jalan keluar bagi hambatan yang dirasakan oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya serta melibatkan pegawai dalam kegiatan yang berhubungan dengan sekolah, baik lingkungan intern ataupun lingkungan ekstern.


 

Kepala Sekolah sebagai Supervisor

Salah satu tugas kepala sekolah adalah sebagai supervisor, yaitu mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan. Sergiovani dan Starrat (1993) menyatakan bahwa supervisi merupakan suatu proses yang dirancang secara khusus untuk membantu para guru dan supervisor dalam mempelajari tugas sehari-hari di sekolah, agar dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memberikan layanan yang lebih baik pada orang tua peserta didik dan sekolah, serta berupaya menjadikan sekolah sebagai komunitas belajar yang lebih efektif.

Supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor, tetapi dalam sistem organisasi pendidikan modern diperlukan supervisor khusus yang lebih independen dan dapat meningkatkan objektivitas dalam pembinaan dan pelaksanaan tugasnya. Jika supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah, maka ia harus mampu melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan. Pengawasan dan pengendalian ini merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah terarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan dan pengendalian juga merupakan tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya.

Pengawasan dan pengendalian yang dilakukan kepala sekolah terhadap tenaga kependidikan khususnya guru, disebut supervisi klinis, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pembelajaran yang efektif. Salah satu supervisi akademik yang popular adalah supervisi klinis, yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Supervisi diberikan berupa bantuan (bukan perintah), sehingga inisiatif tetap berada di tangan tenaga kependidikan;
  2. Aspek yang disupervisi berdasarkan usul guru, yang dikaji bersama kepala sekolah sebagai supervisor untuk dijadikan kesepakatan;
  3. Instrumen dan metode observasi dikembangkan bersama oleh guru dan kepala sekolah;
  4. Mendiskusikan dan menafsirkan hasil pengamatan dengan mendahulukan interpretasi guru;
  5. Supervisi dilakukan dalam suasana terbuka secara tatap muka, dimana supervisor lebih banyak mendengarkan serta menjawab pertanyaan guru daripada memberi saran dan pengarahan;
  6. Supervisi klinis sedikitnya memiliki tiga tahap, yakni pertemuan awal, pengamatan dan umpan balik;
  7. Adanya penguatan dan umpan balik dari kepala sekolah sebagai supervisor terhadap perubahan perilaku guru yang positif sebagai hasil pembinaan;
  8. Supervisi dilakukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan suatu keadaan memecahkan suatu masalah.

Tugas kepala sekolah sebagai supervisor diwujudkan dalam kemampuan menyusun dan melaksanakan program supervisi pendidikan serta memanfaatkan hasilnya. Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam penyusunan program supervisi kelas, pengembangan program supervisi untuk kegiatan ekstra-kurikuler, pengembangan program supervisi perpustakaan, laboraturium dan ujian. Kemampuan melaksanakan program supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam pelaksanaan program supervisi klinis dan dalam program supervisi kegiatan ekstra-kurikuler. Sedangkan kemampuan memanfaatkan hasil supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam pemanfaatan hasil supervisi untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan dan pemanfaatan hasil supervisi untuk mengembangkan sekolah.

Dalam pelaksanaannya, kepala sekolah sebagai supervisor harus memperhatikan prinsip-prinsip: (1) hubungan konsulatif, kolegial dan bukan hirarkis; (2) dilaksanakan secara demokratis; (3) berpusat pada tenaga kependidikan; (4) dilakukan berdasarkan kebutuhan tenaga kependidikan; (5) merupakan bantuan profesional.


 

Kepala Sekolah sebagai Leader

Kepala sekolah sebagai leader harus mampu memberikan petunjuk dan pengawasan, meningkatkan kemauan dan kemampuan tenaga kependidikan, membuka komunikasi dua arah dan mendelegasikan tugas. Wahjosumijo (1999: 110) mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan profesional serta pengetahuan administrasi dan pengawasan.

Kemampuan yang harus diwujudkan kepala sekolah sebagai leader dapat dianalisis dari kepribadian, pengetahuan terhadap tenaga kependidikan, visi dan misi sekolah, kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan berkomunikasi. Sedangkan kepribadian kepala sekolah sebagai leader akan tercermin dalam sifat-sifatnya yang (1) jujur, (2) percaya diri, (3) tanggung jawab, (4) berani mengambil risiko dan keputusan, (5) berjiwa besar, (6) emosi yang stabil dan (7) teladan.

Pengetahuan kepala sekolah terhadap tenaga kependidikan akan tercermin dalam kemampuan: (1) memahami kondisi tenaga kependidikan (guru dan non-guru), (2) memahami kondisi dan karakteristik peserta didik, (3) menyusun program pengembangan tenaga kependidikan, (4) menerima masukan, saran dan kritikan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kepemimpinannya.

Pemahaman kepala sekolah terhadap visi dan misi sekolah akan tercermin dari kemampuannya untuk: (1) mengembangkan visi sekolah, (2) mengembangkan misi sekolah, (3) melaksanakan program untuk mewujudkan visi dan misi ke dalam tindakan.

Kemampuan kepala sekolah mengambil keputusan akan tercermin dalam: (1) mengambil keputusan bersama tenaga kependidikan di sekolah, (2) mengambil keputusan untuk kepentingan internal sekolah, dan (3) mengambil keputusan untuk kepentingan eksternal sekolah.

Kemampuan kepala sekolah dalam berkomunikasi tercermin melalui upayannya untuk: (1) berkomunikasi secara lisan dengan tenaga kependidikan di sekolah, (2) menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, (3) berkomunikasi secara lisan dengan peserta didik, (4) berkomunikasi secara lisan dengan orang tua dan masyarakat sekitar lingkungan sekolah.

Dalam implementasinya, kepala sekolah sebagai leader dapat dianalisis dari tiga sifat kepemimpinan, yakni demokratis, otoriter dan bebas. Ketiga sifat tersebut sering dimiliki secara bersamaan oleh seorang pemimpin, sehingga dalam melaksanakan kepemimpinannya, sifat-sifat tersebut muncul secara situasional. Oleh karena itu, kepala sekolah sebagai pemimpin mungkin bersifat demokratis, otoriter dan mungkin bersifat bebas. Meskipun kepala sekolah ingin selalu bersifat demokratis, namun seringkali situasi dan kondisi menuntut untuk bersikap lain, misalnya harus oteriter. Dalam hal tertentu sifat kepemimpinan oteriter lebih cepat dan tepat digunakan dalam pengambilan suatu keputusan.

Dimilikinya ketiga sifat tersebut oleh seorang kepala sekolah sebagai leader, maka dalam menjalankan roda kepemimpinannya di sekolah, kepala sekolah dapat menggunakan strategi yang tepat sesuai dengan tingkat kematangan para tenaga kependidikan dan kombinasi yang tepat antara perilaku tugas dan perilaku hubungan. Strategi tersebut dapat dilaksanakan dalam gaya mendikte, menjual, melibatkan dan mendelegasikan.

Gaya mendikte dapat digunakan ketika para tenaga kependidikan berada dalam tingkat kematangan rendah, sehingga perlu petunjuk serta pengawasan yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan dan dimana tugas dilakukan. Gaya ini ditekankan pada tugas, sedangkan hubungan hanya dilakukan sekedarnya saja.

Gaya menjual dapat digunakan ketika kondisi tenaga kependidikan di sekolah berada dalam taraf rendah sampai moderat, sehingga mereka telah memiliki kemauan untuk meningkatkan profesionalismenya tetapi belum didukung oleh kemampuan yang memadai. Gaya ini disebut menjual karena pemimpin banyak memberikan petunjuk. Dalam tingkat kematangan tenaga kependidikan seperti ini maka diperlukan tugas dan hubungan yang tinggi agar dapat memelihara dan meningkatkan kemauan dan kemampuan yang dimiliki.

Gaya melibatkan dapat digunakan ketika tingkat kematangan tenaga kependidikan di sekolah berada pada taraf kematangan moderat sampai tinggi, yaitu ketika mereka mempunyai kemampuan tetapi kurang memiliki kemajuan kerja dan kepercayaan diri dalam meningkatkan profesionalismenya. Gaya ini disebut melibatkan, karena kepala sekolah dengan tenaga kependidikan lain bersama-sama berperan di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kematangan seperti ini upaya tugas tidak digunakan, namun upaya hubungan senantiasa ditingkatkan dengan membuka komunikasi dua arah dan iklim yang transparan.

Gaya mendelegasikan dapat digunakan oleh kepala sekolah jika tenaga kependidikan telah memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghadapi sesuatu persoalan, demikian pula ada kemauan untuk meningkatkan profesionalismenya. Gaya ini disebut mendelegasikan, sehingga para tenaga kependidikan dibiarkan melaksanakan kegiatan sendiri melalui pengawasan umum, karena mereka berada pada tingkat kedewasaan yang tinggi. Dalam tingkat kematangan yang tinggi, upaya tugas hanya diperlukan sekedarnya saja, demikian pula upaya hubungan.


 

Kepala Sekolah sebagai Innovator

Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai inovator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan model-model pembelajaran yang inovatif. Kepala sekolah sebagai inovator dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah akan tercermin dari caranya melakukan pekerjaan secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional, obyektif, pragmatis, keteladanan, disiplin serta adaptable dan fleksibel.

Konstruktif dimaksudkan bahwa kepala sekolah harus berusaha mendorong dan membina setiap tenaga kependidikan agar dapat berkembang secara optimal dalam melakukan tugas-tugas yang diembankan kepadanya. Kreatif dimaksudkan bahwa kepala sekolah harus berusaha mencari gagasan dan cara-cara baru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini dilakukan agar para tenaga kependidikan dapat memahami apa-apa yang disampaikan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin, sehingga dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi sekolah. Delegatif dimaksudkan bahwa kepala sekolah berupaya mendelegasikan tugas kepada tenaga kependidikan sesuai dengan deskripsi tugas, jabatan dan kemampuan masing-masing. Integratif, dimaksudkan bahwa kepala sekolah berusaha mengintegrasikan semua kegiatan sehingga dapat menghasilkan sinergi untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif, efisien dan produktif. Rasional dan objektif, dimaksudkan bahwa kepala sekolah berusaha beritndak berdasarkan pertimbangan rasio dan objektif. Pragmatis, dimaksudkan bahwa kepala sekolah berusaha menetapkan kegiatan atau target berdasarkan kondisi dan kemampuan nyata yang dimiliki sekolah. Keteladanan, dimaksudkan bahwa kepala sekolah berusaha memberikan teladan dan contoh yang baik. Adaptable dan fleksibel, dimaksudkan bahwa kepala sekolah mampu beradaptasi dan fleksibel dalam menghadapi situasi baru serta berusaha menciptakan situasi kerja yang menyenangkan dan memudahkan para tenaga kependidikan untuk beradaptasi dalam melaksanakan tugasnya.

Kepala sekolah sebagai inovator harus mampu mencari, menemukan dan melaksanakan berbagai pemabaharuan di sekolah. Gagasan baru tersebut misalnya moving class. Moving class adalah mengubah strategi pembelajaran dari pola kelas tetap menjadi kelas bidang studi, sehingga setiap bidang studi memiliki kelas tersendiri, yang dilengkapi dengan alat peraga dan alat-alat lainnya. Moving class ini biasa dirangkaikan dengan pembelajaran terpadu, sehingga dalam suatu laboratorium bidang studi dapat dijaga oleh beberapa guru, yang bertugas memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam belajar.


 

Kepala Sekolah sebagai Motivator

Sebagai motivator, kepala sekolah memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif dan penyediaan berbagai sumber belajar melalui pengembangan Pusat Sumber Belajar (PSB).

Pengaturan lingkungan fisik. Lingkungan yang kondusif akan menumbuhkan motivasi tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kepala sekolah harus membangkitkan motivasi tenaga kependidikan agar dapat melaksanakan tugas secara optimal. Pengaturan lingkungan fisik tersebut antara lain mencakup ruang kerja yang kondusif, ruang belajar, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, bengkel kerja, serta mengatur lingkungan sekolah yang nyaman dan menyenangkan.

Pengaturan suasana kerja. Seperti halnya iklim fisik, suasana kerja yang tenang dan menyenangkan juga akan membangkitkan semangat kerja para tenaga kependidikan. Untuk itu, kepala sekolah harus mampu menciptakan hubungan kerja yang harmonis dengan para tenaga kependidikan, serta menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan menyenangkan.

Disiplin. Disiplin dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolahm, kepala sekolah berusaha menanamkan disiplin kepada semua bawahannya. Melalui disiplin diharapkan dapat tercapai tujuan secara efektif dan efisien serta dapat meningkatkan produktivitas sekolah.

Beberapa strategi yang dapat digunakan oleh kepala sekolah dalam membina disiplin para tenaga kependidikan adalah: (1) membantu para tenaga kependidikan dalam mengembangkan pola berikutnya; (2) membantu para tenaga kependidikan dalam meningkatkan standar perilakunya; dan (3) melaksanakan semua aturan yang telah disepakati bersama.

Peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan harus dimulai dengan sikap demokratis. Oleh karena itu, dalam membina disiplin para tenaga kependidikan kepala sekolah berpedoman pada pilar demokrasi, yakni dari, oleh dan untuk tenaga kependidikan, sedangkan kepala sekolah tutwuri handayani.

Dorongan. Keberhasilan suatu organisasi atau lembaga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang datang dari dalam maupun datang dari lingkungan. Dari berbagai faktor tersebut, motivasi merupakan suatu faktor yang cukup dominan dan dapat menggerakan faktor-faktor lain ke arah efektivitas kerja, bahkan motivasi sering disamakan dengan mesin dan kemudi mobil, yang berfungsi sebagai penggerak dan pengarah.

Setiap tenaga kependidikan memiliki karakteristik khusus, yang berbeda satu sama lain, sehingga memerlukan perhatian dan pelayanan khusus pula dari pimpinannya agar mereka dapat memanfaatkan waktu untuk meningkatkan profesionalismenya. Perbedaan tenaga kependidikan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi dalam kondisi psikisnya, misalnya motivasi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan, kepala sekolah harus memperhatikan motivasi para tenaga kependidikan dan faktor-faktor lain yang berpengaruh.

Terdapat beberapa prinsip yang dapat diterapkan kepala sekolah untuk mendorong tenaga kependidikan agar mau dan mampu meningkatkan profesionalismenya. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

  1. Para tenaga kependidikan akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan.
  2. Tujuan kegiatan perlu disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada para tenaga kependidikan sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja. Para tenaga kependidikan juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut.
  3. Para tenaga kependidikan harus selalu diberitahu tentang hasil dari setiap pekerjaannya.
  4. Pemberian hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan.
  5. Usaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga kependidikan dapat dilakukan dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, memberikan rasa aman, menunjukkan bahwa kepala sekolah memperhatikan mereka, mengatur pengalaman sedemikian rupa sehingga setiap pegawai pernah memperoleh kepuasan dan penghargaan.

Penghargaan (rewards) sangat penting artinya untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan dan untuk mengurangi kegiatan yang kurang produktif. Melalui penghargaan ini para tenaga kependidikan dapat dirangsang untuk meningkatkan profesionalisme kerjanya secara positif dan produktif. Pelakasanaan penghargaan dapat dikaitkan dengan prestasi tenaga kependidikan secara terbuka, sehingga mereka memiliki peluang untuk meraihnya. Kepala sekolah harus berusaha menggunakan penghargaan ini secara tepat, efektif dan efisien untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkannya.


 

Kepala Sekolah sebagai Pejabat Formal

Di dalam lingkungan suatu organisasi, kepemimpinan terjadi melalui dua bentuk, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal terjadi apabila jabatan atau otoritas formal dalam organisasi tersebut diisi oleh orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses seleksi. Sedangkan kepemimpinan informal terjadi, dimana kedudukan pemimpin dalam suatu organisasi diisi oleh orang-orang yang muncul dan berpengaruh terhadap orang lain karena kecakapan khusus yang dimiliki atau berbagai sumber yang dimilikinya dirasakan mampu memecahkan persoalan organisasi serta memenuhi kebutuhan dari anggota organisasi tersebut.

Kepala sekolah adalah jabatan pemimpin yang tidak bisa diisi oleh orang-orang tanpa didasarkan atas pertimbangan. Siapa pun yang akan diangkat menjadi kepala sekolah harus ditentukan melalui prosedur serta persyaratan tertentu seperti latar belakang pendidikan, pengalaman, usia, pangkat dan integritas. Oleh sebab itu, kepala sekolah pada hakikatnya adalah pejabat formal, sebab pengangkatannya melalui suatu proses dan prosedur yang didasarkan atas peraturan yang berlaku. Secara sistem, jabatan kepala sekolah sebagai pejabat atau pemimpin formal dapat diuraikan melalui berbagai pendekatan: pengangkatan, pembinaan, tanggung jawab.

Sebagai pejabat formal, pengangkatan seorang menjadi kepala sekolah harus didasarkan atas prosedur dan peraturan yang berlaku. Prosedur dan peraturan yang berlaku dirancang dan ditentukan oleh suatu unit yang bertanggung jawab dalam bidang sumber daya manusia. Dalam hal ini perlu ada kerjasama pula dengan unit-unit yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah.

Prosedur pengangkatan memberikan petunjuk tentang sumber dari mana calon kepala sekolah dicalonkan, siapa yang harus mencalonkan mulai dari tingkat sekolah, kabupaten, provinsi, sampai tingkat pusat dan instasni terkait mana saja yang terlibat dalam proses pencalonan tersebut. Sedangkan peraturan yang dimaksud lebih ditekankan kepada persyaratan yang perlu dipenuhi oleh para calon.

Adapaun klasifikasi persyaratan formal kepala sekolah yang perlu diperhatikan, yaitu:

  1. Bersifat administratif yang meliputi: (1) usia minimal dan maksimal, (2) pangkat, (3) masa kerja, (4) pengalaman dan (5) berkedudukan sebagai tenaga fungsional guru.
  2. Bersifat akademis, yaitu latar belakang pendidikan formal dan pelatihan terakhir yang dimiliki oleh calon.
  3. Kepribadian: bebas dari perbuatan tercela dan loyal kepada Pancasila dan pemerintah.
  4. Pembinaan. Selama menduduki jabatan kepala sekolah, dalam rangka pembinaan kepada para kepala sekolah selaku pejabat formal yaitu:
    1. diberikan gaji serta penghasilan dan pendapatan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku
    2. memperoleh kedudukan dalam jenjang kepangakatan tertentu
    3. memperoleh hak kenaikan gaji atau kenaikan pangkat
    4. memperoleh kesempatan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi
    5. memperoleh kesempatan untuk pengembangan diri
    6. memperoleh penghargaan atau fasilitas
    7. dapat diberi teguran oleh atasannya karena sikap, perbuatan serta perilakunya yang dirasakan dapat menggangu tugas dan tanggung jawab sebagai kepala sekolah
    8. dapat dimutasikan atau diberhentikan dari jabatan kepala sekolah karena hal-hal tertentu.
  5. Tugas dan tanggung jawab. Sebagai seorang pejabat formal, kepala sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap atasan, terhadap sesama rekan kepala sekolah atau lingkungan terkait dan kepada bawahan.
    1. Kepada atasan

      Seorang kepala sekolah mempunyai atasan, yaitu atasan langsung dan atasan yang lebih tinggi. Mengingat kedudukannya yang terkait kepada atasan/sebagai bawahan maka seorang kepala sekolah:

      1. wajib loyal dan melaksanakan apa yang digariskan oleh atasan.
      2. wajib berkonsultasi atau memberikan laporan mengenai pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
      3. wajib selalu memelihara hubungan yang bersifat hirarki antara kepala sekolah dan atasan.
    2. Kepada sesama rekan kepala sekolah atau instansi terkait:
      1. wajib meberikan hubungan kerja sama yang baik dengan para kepala sekolah yang lain
      2. wajib memelihara hubungan kerja sama sebaik-baiknya dengan lingkungan baik dengan instansi terkait maupun tokoh-tokoh masyarakat dan BP3
    3. Kepada bawahan

      Kepala sekolah berkewajiban menciptakan hubungan yang sebaik-baiknya dengan para guru, staf dan siswa, sebab esensi kepemimpinan adalah kepengikutan.

Peran kepala sekolah sebagai pejabat formal secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Diangkat dengan surat keputusan oleh atasan yang mempunyai kewenangan dalam pengangkatan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku;
  2. Memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas serta hak-hak dan sanksi yang perlu dilaksanakan;
  3. Secara hirarki mempunyai atasan langsung, atasan yang lebih tinggi dan memiliki bawahan;
  4. Mempunyai hak kepangkatan, gaji dan karier.


 


 


 

BAB IV

KEPEMIMPINAN DAN

MANAJEMEN PERUBAHAN


 

Pengertian Kepemimpinan

Organisasi sebagaimana layaknya tubuh manusia, terdiri dari organ dan struktur vital yang memberi kekuatan dan rigiditas, bentuk dan fungsi sebagai komponen penting bagi kehidupan organisasi. Menurut Gilley dan Maycunich (2000), sistem organisasi terdiri dari atas tujuh unsur, yakni: struktur, kepemimpinan, budaya organisasi, praktek manajerial, misi dan strategi, kebijakan dan prosedur, serta iklim kerja (lihat Gambar).


 

Gambar 4.1    Kepemimpinan dan Komponen Sistem Organisasi


 

Pada gambar 1 terlihat bahwa kepemimpinan merupakan pusat sistem organisasi. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa pemimpin merupakan jantung organisasi. Kepemimpinan merupakan pusat dari setiap interaksi, keputusan, komunikasi dan tindakan dalam organisasi. Kepemimpinan diumpamakan seperti jantung manusia dan sistem sirkulasi yang menentukan hidup manusia. Elemen kunci kepemimpinan meliputi pemimpin-pengikut, pengaruh, orang, perubahan dan tujuan organisasi).


 

Gambar 4.2    Elemen Utama Definisi Kepemimpinan


 

Organisasi mepunyai dua klasifikasi pekerja, yakni manajer dan pekerja. Manajer memiliki bawahan dan kewenangan formal untuk menyatakan kepada bawahan mengenai apa yang dikerjakan, sedangkan para pekerja tidak memiliki kedua hal yang dimiliki oleh manajer. Semua manajer memerankan empat fungsi utama, yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Kepemimpinan merupakan bagian tugas manajer yang menjalankan fungsi kepemimpinan secara efektif. Di sisi lain, ada juga sejumlah orang yang bukan manajer, namun mempunyai pengaruh besar terhadap karyawan. Fenomena inilah yang menyebabkan mengapa Lussier dan Achua (2001) tidak mempertukarkan pemakaian kata manajer dan pemimpin. Kata manajer dipakai untuk menunjukkan orang yang memiliki titel dan kewenangan formal. Sedangkan kata pemimpin dipakai untuk menunjukkan orang yang dianggap sebagai manajer atau bukan manajer. Pemimpin selalu memliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, sebaliknya manajer mungkin saja tidak memiliki kemampuan itu. Pemimpin tidak perlu orang yang memegang sejumlah posisi formal seperti manajer.

Pengikut. Pengikut adalah orang-orang yang dipengaruhi oleh pemimpin. Pengikut dapat saja manajer atau non-manajer. Pengikut yang baik tidak selalu mengiyakan atau mengikuti pemimpin. Singkatnya, pemimpin yang efektif mempengaruhi pengikutnya dan pengikut mempengaruhi pemimpinnya. Kualitas yang diperlukan bagi kepemimpinan yang efektif sama dengan kualitas yang dibutuhkan oleh pengikut yang efektif.

Pengaruh. Mempengaruhi adalah proses di mana pemimpin mengkomunikasikan gagasan dan memperoleh tanggapan atas gagasannya serta memotivasi pengikutnya agar mendukung dan mengimplementasikan gagasannya dengan melakukan perubahan. Pengaruh merupakan esensi kepemimpinan. Mempengaruhi juga merupakan hubungan timbal-balik antara pimpinan dan pengkitnya. Pimpinan memperoleh komitmen dan antusias pengikut yang dipengaruhi. Pemimpin yang efektif mengajarkan keahlian kepemimpinan kepada stafnya.

Tujuan Organisasi. Pemimpin yang efektif mempengaruhi pengikutnya dalam berpikir bukan saja untuk kepentingannya tetapi juga untuk kepentingan orgnisasi. Kepemimpinan muncul ketika para pengikut terpengaruh untuk melakukan apa yang dianggap etis dan bermanfaat bagi organisasi sehingga perlu bekerja secara bersama-sama agar memperoleh hasil yang diinginkan baik oleh pimpinan maupun oleh pengikut, termasuk meraih masa depan yang diharapkan atau berbagai tujuan yang dapat memotivasi kedua pihak untuk meraih hasil yang lebih baik.

Perubahan. Mempengaruhi pihak lain dan menentukan tujuan yang akan dicapai merupakan salah satu bentuk perubahan. Organisasi perlu melakukan perubahan secara terus-menerus agar dapat beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dalam lingkungan global. Pemimpin yang efektif memahami perlunya melakukan kegiatan ke arah tujuan organisasi yang diharapakan di masa depan.

Orang. Meskipun istilah orang tidak secara spesifik dikemukakan dalam definisi kepemimpinan yang dibuat, namun setelah membaca elemen definisi lain tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa kepemimpinan adalah mengarahkan orang. Hal ini sejalan dengan pengertian umum bahwa organisasi adalah komunitas orang-orang (Lussier dan Achua, 2001: 6-8).

Salah satu cara untuk mengklasifikasikan teori atau penelitian mengenai kepemimpinan dapat dilihat dari tingkat analisisnya. Adapun tingkat analisis teori kepemimpinan adalah tingkat individu, kelompok dan organisasi. Pada tingkat analisis individu, teori kepemimpinan terfokus pada individu pemimpin dan hubungannya dengan individu pengikutnya. Tingkat analisis individu pemimpin disebut dyadic process yaitu proses pengaruh mempengaruhi antara pemimpin dan pengikutnya. Hal ini mengandung makna bahwa efektifitas kepemimpinan tidak dapat dipahami tanpa menjelaskan bagaimana cara pemimpin dan pengikutnya saling mempengaruhi satu sama lain sepanjang waktu. Konsep mempengaruhi juga menyangkut hubungan antara pemimpin dan pengikutnya.

Tingkat analisis teori kepemimpinan kedua terfokus pada hubungan antara pemimpin dengan pengikut kolektif. Tingkat analisis ini juga disebut proses kelompok. Teori proses kelompok memfokuskan pada bagaimana kontribusi seorang pemimpin terhadap efektivitas kelompok. Tingkat analisis teori kepemimpinan ketiga terfokus pada organisasi. Kinerja organisasi dalam jangka panjang tergantung pada penyesuaian secara efektif terhadap lingkungan dan perolehan sumber daya yang dibutuhkan untuk tetap hidup serta proses transformasi organisasi untuk menghasilkan produk dan jasa. Hasil penelitian pada level organisasi memperlihatkan bagaimana pengaruh pimpinan level puncak terhadap kinerja organisasi.

Jika dianalisis lebih lanjut hubungan ketiga tingkat analisis teori kepemimpinan terlihat bahwa individu menempati posisi di bawah dari sebuah segitiga, karena kelompok dan kinerja organisasi berbasis pada kinerja individu. Oleh karena itu, Williams (1991: 1) menyatakan bahwa organisasi adalah kumpulan dari transaksi seluruh karyawan. Kinerja individu tergantung pada ukuran kelompok dan organisasi tempat individu bekerja, karena kinerjanya dapat mempengaruhi kinerja kelompok dan organisasi baik sifatnya negatif maupun positif. Jika kinerja individu rendah maka bentuk hubungan yang diumpamakan seperti sebuah segitiga tersebut akan runtuh, karena organisasi tidak memiliki fondasi yang kokoh.

Pendekatan tingkat kelompok memberikan suatu pemahaman yang lebih baik mengenai efektivitas kepemimpinan bila dibandingkan dengan tingkat individu. Tetapi, fungsi kelompok di dalam suatu sistem sosial yang lebih luas tidak dapat dipahami keefektifannya jika fokus penelitian dibatasi hanya pada level analisis proses internal kelompok. Jadi, kelompok merupakan bagian yang mendukung segitiga sisi organisasi. Jika kelompok tidak efektif, maka segitiga tersebut akan jatuh atau kinerja organisasi akan rendah. Demikian pula sebaliknya, kinerja kelompok dan organisasi mempengaruhi kinerja individu.

Istilah kepemimpinan digunakan dalam berbagai dimensi, baik dimensi waktu maupun konteks. Dalam konteks organisasi, kepemimpinan dianggap sebagai salah satu komponen terpenting di antara komponen yang lain seperti struktur, budaya, praktek manajerial, misi dan strategi, kebijakan dan prosedur, serta iklim kerja.

Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1994), Robbins, et.al (1994) serta
Manz dan Sims mengartikan kepemimpinan sebagai upaya mempengaruhi atau memotivasi individu untuk mencapai beberapa tujuan. Kepemimpinan adalah proses saling mempengaruhi antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi melalui perubahan. Sedangkan Gilley dan Maycunich (2000) mengartikan kepemimpinan sebagai proses keputusan mengenai bagaimana berinteraksi dengan pekerja agar termotivasi dan menerjemahkan keputusan dalam bentuk tindakan nyata. Kepemimpinan didefinisikan secara luas sebagai proses mempengaruhi tindakan para pengikut dan memilih tujuan bagi kelompok atau organisasi. Selanjutnya Burke (1992) mengartikan kepemimpinan sebagai perilaku manajer dan eksekutif yang menunjukkan arah dan membesarkan hati orang lain untuk melakukan tindakan yang diperlukan.

Berbagai definisi yang dikemukakan oleh pakar tersebut mengandung makna bahwa pengikut yang baik juga menunjukkan peran kepemimpinan jika diperlukan. Artinya, para pengikut juga mempengaruhi pemimpinnya. Dengan demikian proses mempengaruhi terjadi antara pemimpin dan para pengikutnya. Dalam hal ini, bukan hanya pemimpin yang mempengaruhi pengikutnya, tetapi pengikut juga mempengaruhi pemimpinnya. Dengan kata lain, aktivitas saling pengaruh mempengaruhi berlangsung dalam dua arah. Definisi para penulis di atas juga mempertegas bahwa kepemimpinan merupakan inti dari seluruh komponen sistem organisasi di mana semua aktivitas organisasi berlangsung. Konsep ini merefleksikan bahwa tugas utama pemimpin adalah sebagai motivator bagi orang lain untuk melakukan tindakan yang mengarah pada tujuan yang ditetapkan.


 

Pengertian dan Tujuan Manajemen Perubahan

Pada beberapa dekade terakhir terjadi perubahan yang tidak dapat diduga. Perubahan merupakan konstanta percepatan yang mengandung dilema besar. Oleh karena itu, organisasi perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi jika ingin tetap eksis dan akan mewujudkan visi dan misinya. Dalam perspektif kajian manajemen stratejik, manajemen perubahan adalah suatu strategi perubahan organisasi yang bertujuan untuk melakukan pembaruan terhadap kemampuan organisasi agar memiliki kinerja yang tinggi.

Organisasi senantiasa dituntut untuk fleksibel agar dapat mengantisipasi perubahan yang terjadi. Sebuah organisasi dalam upaya meningkatkan kinerjanya harus berubah lebih cepat dan bergerak lebih efektif. Untuk itu, dibutuhkan accelerating organization yaitu organisasi yang terus menerus berubah dengan cekatan dan gesit (skillfully and nimbly) dan dengan visi yang tepat (Arun Maria, Peter Scott and Morgan, 1997). Menurut William A. Pasmore (1994), organisasi harus fleksibel dalam berbagai aspek, yakni aspek (1) individu, (2) teknologi, (3) pekerjaan, dan (4) kepemimpinan.

Menurut Liz Clark (1994), organisasi perlu mengupayakan bagaimana membuat perubahan terlaksana, membangun pengalaman organisasi dari kesuksesan dan kegagalan perubahan serta menyediakan wawasan praktis bagi proses perubahan. Pada kondisi ini pemimpin harus proaktif dan kreatif memahami tekanan faktor eksternal dan internal dalam melakanakan perubahan dalam lingkungan organisasi.

Kinerja suatu organisasi bisa ditingkatkan jika cara kerja organisasi klasik ditinggalkan. Pola tersebut perlu diganti dengan cara pandang bahwa organisasi harus cekatan dan fleksibel dalam menggapai perubahan lingkungan yang kadang-kadang sulit diprediksi, sehingga dalam menjalankan roda organisasi hendaknya memakai pendekatan manajemen perubahan. Pola operasi organisasi kini sangat mengutamakan pelayanan yang cepat.

Pada kenyataannya, organisasi seringkali sangat terlambat melakukan perubahan, bahkan tidak mampu menciptakan, meneruskan dan menglola perubahan agar mampu menyelaraskan dirinya dengan tuntutan perubahan. Oleh karena itu, perubahan organisasi yang didasarkan pada pendekatan manajemen perubahan (change manajement) akan membuat organisasi menjadi lebih kapabel dalam melayani tuntunan kliennya.

Thomas Walther dalam Reinventing The CFO (1997) mengatakan bahwa "Change management in the process of aligning the organizations, people and culture with change in business strategy, organizational structure, system and process, properly executed". Selanjutnya menurut Walther dengan melakukan manajemen perubahan akan tercipta: (a) Kepemilikan dan komitmen dengan perubahan yang direncanakan, (b) Perbaikan yang berkelanjutan dan dapat diukur, dan (c) Meningkatkan kapabilitas untuk mengelola perubahan di masa yang akan datang. Sedangkan menurut Lance A. Berger dkk. (1994): … Change management as continuous process of aligning an organization with marketplace and doing it more responsively and effectively that competitors. Dengan kata lain, tindakan seperti itu akan membuat organisasi akan selalu dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan organisasi sehingga berdampak kepada tumbuhnya kinerja yang tinggi bagi organisasi.

Pada umumnya, literatur manajemen perubahan memaparkan dua aspek utama yang perlu diperhatikan dalam melakukan manajemen perubahan yaitu: (1) Sisi lunak yang berhubungan dengan manusia (soft side of management), dan (2) Sisi selain manusia (hard side of management). Pandangan tersebut sejalan dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Timothy J. Balpin (1996) bahwa dalam melakukan manajemen perubahan, dapat dilakukan dari dua aspek yaitu aspek hard side seperti perbaikan pada prosedur operasional, proses manufaktur, restrukturisasi organisasi, manajemen mutu terpadu, proses keuangan dan efisiensi biaya administratif. Sedangkan pada aspek soft side yaitu perubahan pada soft aspect of management yang dilakukan dengan cara menetapkan kebutuhan akan perubahan dan mengembangkan suatu visi ke mana perubahan harus diarahkan, menetapkan suatu tim infrastruktur perubahan, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi komunikasi, mengintegrasikan budaya organisasi dengan perubahan yang direkomendasikan, mengembangkan sifat kepemimpinan perubahan, menyusun sasaran spesifik, menyusun alat untuk mengukur efektivitas perubahan serta menyusun mekanisme umpan balik dan sistem kompensasi.


 

Pengembangan Organisasi

Pengembangan organisasi disingkat PO merupakan suatu strategi perbaikan organisasi yang menggunakan prinsip-prinsip dan praktek ilmu keperilakuan untuk meningkatkan efektivitas individu, kelompok dan organisasi. PO diaplikasikan dalam konteks yang luas dan ditetapkan sebagai strategi untuk memfasilitasi perubahan dalam organisasi (French et al, 2000: v). PO mengacu pada organisasi dan pengembangannya.

Menurut Schein (1992), organisasi adalah koordinasi kegiatan sejumlah orang yang direncanakan untuk mencapai maksud atau tujuan umum. Kegiatan ini dilakukan melalui pembagian tugas dan fungsi serta melalui hirarki kewenangan dan tanggung jawab. Organisasi merupakan sistem sosial yang memiliki sejumlah karakteristik. Sedangkan pengembangan adalah aksi atau tindakan, proses, hasil atau pernyataan mengenai sesuatu yang dikembangkan yang juga berarti memajukan, mempromosikan pertumbuhan, mengembangkan kemungkinan dari, mengarah ke masa depan, memperbaiki, atau memperluas sesuatu. Dua elemen penting dari definisi ini adalah pertama, pengembangan dapat diartikan sebagai tindakan, proses atau keadaan akhir. Kedua, pengembangan diartikan sebagai perbaikan sesuatu. Menurut French et al (2000: 3), PO merupakan perubahan sistem yang direncanakan untuk lebih memungkinkan organisasi mencapai tujuan dan sasarannya dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Organisasi (di sini) diartikan sebagai sistem sosio-teknikal. PO dicapai dengan cara mengajar anggota organisasi untuk memanajemeni perubahan proses, struktur dan kultur organisasi secara lebih efektif.

Beberapa hal yang dapat diidentifikasi dalam PO yang membedakan dengan pengembangan lainnya menurut para pakar adalah:

  1. PO digunakan untuk seluruh sistem organisasi secara keseluruhan, misalnya untuk seluruh bagian dalam suatu departemen sebagai suatu sistem atau suatu unit sebagai suatu sistem.
  2. PO diterapkan berdasarkan ilmu pengetahuan perilaku, termasuk di dalamnya konsep mikro seperti kepemimpinan, dinamika kelompok dan perencanaan kerja serta konsep makro seperti strategi organisasi, struktur organisasi dan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya.
  3. Pembaruan, perubahan dan penyempurnaan yang dikenalkan oleh PO secara normal bukan hanya diterapkan pada perencanaan bisnis, melainkan pula PO merupakan strategi yang adaptif bagi organisasi.
  4. PO merupakan kreasi dan konsekuensi penguatan perubahan itu sendiri.
  5. PO meliputi strategi, struktur dan proses pembaruan serta perubahan dan penyempurnaan.
  6. PO berorientasi untuk menyempurnakan efektivitas organisasi.

French dan rekannya merumuskan sifat dan karaktristik PO yang paling menonjol yaitu:

  1. Lebih menekankan walaupun tidak eksklusif pada proses kelompok dan organisasi dibandingkan dengan isi yang substantif.
  2. Menekankan kerja tim.
  3. Menekankan manajemen kolaboratif dari budaya kerja tim.
  4. Menekankan manajemen yang berbudaya sistem keseluruhan.
  5. Mempergunakan model penelitian kaji tindak (action research).
  6. Mempergunakan ahli-ahli perilaku sebagai agen pembaharuan atau katalisator.
  7. Suatu pemikiran dari usaha perubahan tersebut ditujukan bagi proses-proses yang sedang berlangsung.

Hal yang perlu dipahami dari uraian di atas adalah konsep pengembangan organisasi merupakan isi dan konteks yang mewadahi perubahan struktur organisasi yang berpengaruh terhadap kapabilitas organisasi.


 

Tahap-Tahap Manajemen Perubahan

Dari sekian banyak pendekatan yang dipaparkan dalam literatur tentang manajemen perubahan, pendekatan yang dikemukakan oleh Liz Clark (1994) relevan dijadikan sebagai acuan berpikir. Menurut Clark, langkah pertama yang dilakukan dalam melakukan manajemen perubahan adalah menganalisis lingkungan organisasi. Kegiatan ini merupakan kegiatan menemukenali apa karakteristik lingkungan organisasi dan bagimana karakteristik itu berubah. Kedua, penetapan strategi, yaitu strategi apa yang secara jelas terlihat cocok antara lingkungan dengan organisasi. Sedangkan langkah ketiga yaitu kegiatan mencocokkan strategi dengan pengungkit yang lain. Pengungkit pertama adalah orang. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan mengenai kesenjangan apa yang dapat dilihat antara perilaku dan keahlian orang? bagaimana dengan para pemimpin? bagaimana kecocokan gaya manajemen masa lalu dengan masa sekarang? dan bagaimana kultur organisasinya? Pengungkit kedua asalah sistem. Ini berkaitan dengan pertanyaan mengenai apakah sistem yang diperlukan telah ada sehingga organisasi dapat berjalan? Sistem dimaksud meliputi sistem operasional, sistem pemeliharaan sumber daya manusia, sistem penghargaan dan sistem komunikasi. Pengungkit ketiga berkaitan dengan pertanyaan seperti apakah struktur organisasi saat ini, apakah line and staf, fungsional, atau divisional? Rentang kendali, tingkat hirarki, pertanggung jawaban, derajat spesialisasi? serta apakah struktur organisasi telah berjalan?

Pandangan berikutnya dikemukakan oleh Gary Desler (1992). Menurut Desler, rangkaian tahapan yang dilalui di dalam melakukan manajemen perubahan adalah: Pertama, mengenali penekanan peubah, bisa disebabkan oleh karena tekanan persaingan, perubahan teknologi, dll. Kedua, mengakui perlunya perubahan yang melibatkan pengakuan dan persetujuan dari pimpinan. Ketiga, mendiagnosis masalah, karena tujuan dari kegiatan ini adalah mengidentifikasi penyebab permasalahan yang sesuai dengan perubahan yang direncanakan dan diimplementasikan. Keempat, rencana perubahan, yaitu perubahan yang direncanakan berhubungan dengan organisasi, sehingga perkembagan proses yang direncanakan berubah. Tahapan ini berkaitan dengan pertanyaan mengenai apa yang akan diubah, kapan akan mengubah dan bagaimana mengubahnya. Kelima, implementasi perubahan, yaitu tahapan yang berhubungan dengan perubahan nyata pada struktur, teknologi, tugas atau orang melalui program reorganisasi. Keenam, menindaklanjuti perubahan.

Collin Bainbridge (1996) mengemukakan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam mendesain perubahan terhadap organisasi antara lain pertama, menganalisis situasi secara lebih teliti, faktor atau tekanan apa yang mendorong terjadinya perubahan, apakah faktor internal atau faktor eksternal. Hal ini memerlukan respon dalam bentuk desain yang mencakup proses untuk menanggulangi kendala yang ditimbulkan. Langkah kedua adalah membahas konsep desain tersebut, kemudian menunjukkan bagaimana desain disusun. Upaya ini tidak hanya mencakup cara kerja baru, melainkan pula kemampuan mengidentifikasi setiap segi perubahan yang terjadi di dalamnya. Ketiga, membahas pengembangan desain tersebut dengan mempergunakan kemampuan sistem informasi berbasis teknologi, memodifikasi budaya kerja, mengembangkan keahlian dan teknologi melalui pendekatan yang terintegrasi. Keempat, membahas keahlian dan pendekatan yang dapat mendeteksi proses perubahan. Hal ini mencakup pemanfaatan secara nyata proses perubahan dan kapabilitas pendukungnya yang mencakup pengelolaan program dan komunikasi, sehingga organisasi terhindar dari penyimpangan pola rancangan dan dari program pengembangan ke arah pelaksanaan.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Baindbridge, David A. Nadler dkk (1994) mengemukakan pula pendekatan manajemen perubahan melalui lima tahap, yaitu dimulai dengan mendiagnosis keadaan, baik yang menyangkut kekuatan, kelemahan, ancaman maupun peluang dan keunggulannya. Fokus kegiatan ini adalah pada aspek kepemimpinan, identitas organisasi dan arsitektur organisasi. Kedua, menjelaskan dan membangunan koalisi dengan cara menyeleksi dan mengklarifikasi visi keadaan ke depan, menciptakan agen perubahan dan mengoptimalkan rencana perubahan organisasi serta intervensi yang dilakukan. Ketiga, tindakan yaitu melakukan aktivitas organisasi yang merupakan penyelesaian dari serangkaian isu yang harus dipecahkan melalui tindakan nyata. Keempat, konsolidasi dan perbaikan. Kelima, tindakan untuk mempertahankan (sisi positif dan kemanfaatan) dari perubahan yang telah dilakukan.

Pendekatan manajemen perubahan lainnya yang dapat diadopsi adalah apa yang dikemukakan oleh Lance A. Berger dkk (1994). Kegiatan pertama yang dilakukan menurut Berger dkk adalah mengidentifikasi sumber pemicu perubahan (change trigger), menilai dampak dari pemicu perubahan, menilai kesesuaian organisasi dengan situasi eksternal, memutuskan perubahan yang diambil, menetapkan rencana perubahan dan melakukan penyesuaian dengan elemen-elemen manajemen. Sementara itu, pendekatan manajemen perubahan yang dikemukakan oleh Kotler (1996) dikenal dengan proses delapan tahap yang meliputi tahap: (1) Menetapkan rasa urgensi, (2) membentuk koalisi pengaruh, (3) Mengembangkan visi dan strategi, (4) Mengkomunikasikan visi perubahan, (5) Memberdayakan banyak orang untuk melakukan tindakan, (6) Menghasilkan keuntungan atau kemanfaatan jangka pendek, (7) Mengkonsolidasikan hasil yang dicapai dan menghasilkan lebih banyak perubahan, dan (8) Merencanakan pendekatan baru ke dalam kultur.

Adapun elemen yang dapat diungkit untuk mendukung manajemen perubahan adalah apa yang dikemukakan – misalnya – oleh Robert H. Miles (1997) dan dikembangkan oleh Walton (2000). Elemen yang diungkit menurut Miles adalah: (1) visi, (2) strategi, (3) struktur organisasi (4) infrastruktur, (5) Sumber daya manusia, (6) kompetensi, dan (7) kultur.


 

Elemen Manajemen Perubahan

Strategi

Di masa lalu strategi hanya difokuskan pada salah satu dimensi organisasi yang secara strategis diharapkan akan berhasil mencapai kinerja yang tinggi. Kini, pendekatan tersebut sudah tidak cukup, karena strategi yang efektif adalah strategi yang bersifat holistik.

Strategi sangat menentukan keberhasilan organisasi hari ini dan hari esok. Oleh karena itu, perlu pengenalan siapa sebenarnya obyek yang dilayani, bagaimana operasionalisasi kegiatannya? bagaimana caranya diorganinisir, bagaimana seharusnya mengalokasikan sumber daya yang ada, dan bagaimana peranan sistem informasi dalam upaya mencapai kinerja yang tinggi. Dalam hal ini, tentu saja dibutuhkan suatu strategi multi-dimensional yang dapat melakukan harmonisasi berbagai macam persoalan yang ada dalam organisasi.

Strategi yang efektif mampu menciptakan keterkaitan antara semua komponen internal dan eksternal dari suatu sistem penghantaran menyeluruh (total delivery system) organisasi. Secara internal sistem penghantaran tersebut mencakup operasionalisasi dan jenis pelayanan yang disediakan organisasi. Secara eksternal, mencakup hubungan dengan klien yang dilayani dan semua pihak yang turut mempengaruhi lingkungan organisasi.

Hal lain yang penting diperhatikan adalah masalah implementasi, karena implementasi adalah faktor kunci yang menunjukkan baik keberhasilan apa yang telah direncanakan maupun apa yang senyatanya dikerjakan. Oleh karena itu, implementasi yang tepat harus dibangun ke dalam strategi dan sedapat mungkin diupayakan terjadi peningkatan pemenuhan harapan stakeholders organisasi.

Untuk mengukur pengaruh perubahan secara kontinyu, perlu memonitor hal-hal yang merupakan faktor kunci di dalam berhubungan, baik di dalam maupun ke luar organisasi, untuk selanjutnya direspon lebih awal, dengan membentuk organisasi, kemampuan dan proses yang sesuai. Kuncinya adalah memandang strategi sebagai suatu penyusunan proses dan kebutuhan perbaikan kontinyu. Berkaitan dengan hal tersebut, Rich & Miffin (1994) menyatakan bahwa strategi yang efektif adalah strategi yang holistik yang mencakup dimensi antara lain: (1) Berbagai segi dan dimensi, (2) Keterkaitan yang dinamis baik secara internal maupun eksternal, (3) Didesain untuk diimplementasikan, (4) Adaptif sepanjang waktu. Sementara itu, Douglas K. Smith (1996) menyatakan bahwa suatu strategi hendaknya menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya yang akan digunakan untuk mencapai misi dan tujuan organisasi. Termasuk di dalamnya kegiatan perencanaan, kebijakan, prosedur, skema pengelolaan sumberdaya, desain organisasi, teknik motivasi, evaluasi, sistem pengawasan dan bagaimana menggunakan tim untuk menjalankan strategi. Senada dengan hal tersebut, James Champy (1995) menyarankan agar strategi yang akan disusun hendaknya memiliki aspek-aspek yang menyeluruh, strategi berdasarkan keahlian, standar, misi serta memiliki nilai-nilai dan kepemimpinan yang berorientasi kinerja, keterampilan pelanggan, kecakapan personal dan sikap yang baik terhadap kerja dan kehidupan.

Khusus aspek kepemimpinan, perlu dipertegas sebab berkaitan dengan aspek yang sangat berperan dalam mendukung perubahan. Untuk itu, perlu dikembangkan sifat-sifat kepemimpinan seperti kreatif, berorientasi tim, suka mendengarkan, memberikan pengasuhan, bertanggung jawab dan apresiatif (Galpin, 1996). Karakteristik kepemimpinan yang juga sangat perlu dan relevan dimiliki oleh pemimpin perubahan adalah kepemimpinan visioner. Kepemimpinan ini dicirikan oleh fokus kepemimpinan, keahlian interpersonal, keterpercayaan, respek pada diri sendiri dan orang lain, mengambil risiko, kepemimpinan level bawah, kepemimpinan yang memberdayakan, visi jangka panjang, kepemimpinan organisasi dan kepemimpinan budaya (Clark, 1994).

Sistem

Sistem Operasi

Kegiatan organisasi harus disesuaikan dengan faktor perubahan. Oleh karena itu, struktur organisasi yang dirancang dan diharapkan adalah struktur yang adaptif. Menurut Certo dan Peter (dalam Purnomo & Zulkieflimansyah, 1996) setidaknya dua alasan utama mengapa perubahan dalam strategi biasa memerlukan bahkan mengharuskan perubahan dalam struktur organisasi karena: (1) struktur organisasi menjelaskan bagaimana kebijakan akan disusun dan (2) struktur organisasi menjelaskan bagaimana sumberdaya akan dialokasikan. Oleh karena itu, apabila perubahan struktur organisasi dilakukan maka harus dapat digunakan dalam konteks formal dan informal serta dalam bentuk organisasi yang cocok. Struktur organisasi formal adalah struktur organisasi yang mewakili hubungan antara sumber daya yang dirancang oleh pihak manajemen dan biasanya disampaikan dalam bentuk bagan. Sedangkan struktur organisasi informal adalah struktur yang mewakili hubungan sosial berdasarkan persahabatan atau kepentingan bersama di antara anggota organisasi.

Sketeratangan sistem informasi sendiri sebenarnya tidak bergeser yang paling penting adalah n keputusan-keputusan yang efektif. etruktur yang adaptif terlihat dari adanya saling keterkaitan antara proses kerja, pelayanan dan informasi yang bertumpu kepada nilai obyek yang dilayani. Organisasi yang memiliki nilai seperti itu dapat dibangun di atas lima pilar, yakni: (1) Focus pada klien, (2) Keterlibatan penuh, (3) Memiliki ukuran, (4) Dukungan yang sistematik, dan (5) Perbaikan yang kontinyu (Weintraub, 1994).

Sementara itu, mengaitkan seluruh komponen organisasi agar proses operasi dapat berjalan dengan haromoni bukanlah hal yang sederhana. Oleh karena itu, untuk mengaitkan seluruh komponen organisasi agar harmoni memerlukan suatu konsep yang multi-dimensi yang mencakup hal-hal berikut:

  1. Kejelasan visi, misi, nilai dan sasaran yang akan dicapai;
  2. Rangkaian proses penyebaran yang baik dari visi, misi dan nilai untuk membantu percapaian sasaran;
  3. Metode kunci untuk mengukur kemajuan yang dicapai, termasuk proses, hasil dan keputusan klien;
  4. Komitmen seluruh komponen organisasi baik dari atas ke bawah, dari bawah ke atas dan ke samping terhadap apa yang menjadi sasaran kritik, bagaimana sasaran tersebut dicapai dan bagaimana pegawai dilibatkan, dinilai dan dihargai;
  5. Pengakuan dari luar organisasi termasuk dari para klien yang dilayani (Weintraub, 1994).

Oleh karena operasi harus diselaraskan dengan strategi perubahan, maka menurut Gunn (1994) ada delapan langkah yang dapat ditempuh:

  1. Menentukan kerangka referensi perencanaan
  2. Perencanaan
  3. Mendapatkan pengalaman dan komitmen
  4. Mendorong program perbaikan kinerja bersama-sama
  5. Pemahaman terhadap hirarki kebutuhan organisasi
  6. Rasionalisasi rencana perbaikan operasi
  7. Pembuatan rencana yang terkait dengan jelas
  8. Menempatkan orang-orang di belakang program perbaikan operasi.

Sistem Pelatihan

Orang membutuhkan pelatihan agar dapat belajar, berkembang dan meningkat. Tanpa pendidikan dan pelatihan perubahan akan terjadi dengan semborono, bahkan stagnan. Ketika individu, tim atau organisasi berhenti belajar maka ketika itu pula peningkatan kinerja akan terhenti. Pendidikan dan pelatihan memungkinkan orang dapat menyesuaikan usahanya dengan baik melalui penentuan sasaran perubahan.

Menurut Stewart (1997), pelatihan memiliki konstribusi dalam mengelola perubahan. Pertama, menjamin supaya isu dan implikasi pelatihan diterima dan dimengerti oleh para pembuat keputusan organisasi. Kedua, membantu individu, khususnya pimpinan dalam mengembangkan kemampuannya untuk berhadapan dengan perubahan itu sendiri. Ketiga, memberikan kemampuan pada pimpinan untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dalam mengembangkan kemampuan para staf yang dipimpin. Keempat, memberikan kemampuan dan keterampilan dalam menggunakan proses perubahan. Kelima, seringkali perubahan tertentu akan menciptakan kebutuhan akan pengetahuan dan keterampilan baru yang harus tersedia dalam organisasi. Untuk memberikan kemampuan kepada individu supaya dapat bekerja secara efektif, maka pelatihan di sini memberikan konstribusi melalui diagnosis kebutuhan pelatihan dan pelaksanaan strategi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Keenam, fungsi yang tepat dan bermanfaat dari pelatihan dalam mendukung dan memberikan kemampuan pada individu, kelompok dan organisasi untuk secara teratur mengevaluasi kinerjanya dan membuka mata supaya dapat mengamati apa yang terjadi dalam lingkungannya.

Agar program pelatihan menjadi lebih efektif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: (1) Sebelum melatih seseorang terlebih dahulu tentukan bentuk pelatihan yang akan diterapkan kepada setiap orang; (2) Buatlah pelatihan tepat pada waktunya, (3) Laksanakan sebaik mungkin untuk membuat orang merasa cukup senang melakukan pelatihan; (4) Jangan mencela/mengancam, (5) Pelihara pelatihan secara sederhana dan informal; (6) Pilih waktu dan salah satu lokasi yang cocok tanpa mendapat gangguan; (7) Tema pelatihan agar lebih spesifik; (8) Pelihara keseimbangan pelatihan; (9) Lebih empati; (10) Mendorong anggota tim untuk saling melatih tentang perubahan yang dibuat (Galpin, 1996).

Menurut J. E. Ross (dalam Tjiptono dan Diana, 1998) dalam mengembangkan suatu sistem pelatihan akan dihadapkan pada pertanyaan sebagai berikut:

  1. Pelatihan macam apa yang akan dibutuhkan? (Penentuan kebutuhan pelatihan).
  2. Siapa yang harus dilatih? (Peserta pelatihan).
  3. Di mana lokasi pelatihan? (Tempat pelatihan).
  4. Bagaimana cara pemberian pelatihan itu? (materi dan isi pelatihan serta pemberian pelatihan)
  5. Bagaimana cara mengetahui efektivitas pelatihan yang telah dilakukan? (Evaluasi pelatihan).

Sistem Informasi

Dalam lingkungan organisasi yang gradual, informasi merupakan sumber daya yang sangat berharga bagi organisasi. Pemilikan atas informasi yang akurat dan tepat waktu menjadi syarat utama dalam menghasilkan keputusan yang efektif. Oleh karena itu, pengembangan sistem informasi menjadi hal yang amat penting.

Inti pengembangan sistem informasi itu sendiri sebenarnya tidak bergeser dari sebelumnya karena yang paling penting adalah keteraturan pengelolaan informasi sebagai sumberdaya organisasi yang diandalkan untuk meningkatkan kinerja organisasi. Untuk menjembatani maksud tersebut, pengembangan sistem informasi tidak terlepas dari kemampuan teknologi informasi yang dirancang atau digunakan.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa pengembangan kemampuan sistem informasi yang dikembangkan benar-benar merupakan refleksi dari kebutuhan suatu kegiatan sebagai suatu cara yang ditempuh dalam proses desain perubahan (Bainbridge, 1996). Pengembangan sistem informasi ditujukan untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan dalam setiap operasi organisasi serta menentukan bagaimana informasi dikumpulkan, disalurkan, diproses dan disimpan. Sistem yang baru dibangun hendaknya dispesifikasi dan dikembangkan secara bersama dengan komponen lainnya sehingga bermanfaat secara keseluruhan bagi suatu proses perubahan dan juga sesuai dengan orang yang menggunakannya, kemampuannya serta dapat direalisasikan.

Menurut Bainbridege (1996), langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam merancang kemampuan suatu teknologi informasi kaitannya dengan proses perubahan adalah:

  1. Desain, yaitu merancang keseluruhan arsitektur dan aplikasi sistem informasi yang diperlukan;
  2. Definisi, yaitu melakukan perincian kebutuhan untuk proses informasi dan gabungan aplikasi dan database;
  3. Mengembangkan kemampuan yang baru dan cocok dengan program datebase dan aplikasinya;
  4. Membongkar sistem lama, termasuk mengumpulkan data baru yang dibutuhkan, menggabungkan dan memindahkan data sistem informasi yang baru;
  5. Distribusi sistem informasi yang baru ke dalam lingkungan organisasi sebagai bagian dari kemampuan proses yang baru.

Dalam merancang sebuah sistem informasi yang baik tidak dapat dipisahkan dari bagaimana cara penggunaan teknologi. Penggunaan aplikasi komputer dan teknologi tambahan diperlukan untuk mendukung seluruh aktivitas seperti dalam berkomunikasi, jaringan kerja, percetakan, gambar, dan sebagainya.

Pengembangan kemampuan teknologi informasi untuk mendukung sistem informasi organisasi akan tergantung kepada kemampuan para pemimpin dan ahli teknologi dalam merancang dan mengimplementasikan rancangan tersebut. Menurut McKennedy dan Ducan (1995), tantangan pimpinan untuk menformulasi suatu teknologi informasi yang efektif serta membangun suatu kompetensi untuk menemukan dan mengeksploitasi sistem yang dapat meningkatkan kemampuan suatu organisasi, rahasianya terletak pada adanya keterlibatan pemimpin.

Seiring dengan berlangsungnya revolusi informasi maka kehidupan berubah secara pesat menembus sekat dan batas negara. Hal ini membawa konsekuensi pentingnya kesadaran setiap organisasi bahwa perubahan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Organisasi dengan seluruh anggotanya yang tidak memiliki kesadaran kolektif bisa dipastikan akan ketinggalan, tidak mampu memberikan kepuasan kepada konsumen dan akhirnya akan mati ditinggalkan oleh pelanggannya.


 

Dua belas Heuristik Transformasi Organisasi

Dalam materi pelatihan ini kata perubahan digunakan secara bergantian dengan kata transformasi karena kata transformasi menyiratkan perubahan. Menurut Walton (2000), terdapat dua belas heuristik transformasi organisasi yang dapat dijadikan sebagai refleksi untuk memahami transformasi organisasi pada umumnya dan organisasi sekolah pada khususnya. Keduabelas heuristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.


 

Heuristik 1 : Energi Transformasi

Semua transformasi memerlukan stimulus awal untuk menciptakan urgensi perubahan. Stimulus ini muncul ketika pemimpin atau kepala sekolah memahami realitas kondisi keunggulan daya saing organisasi sekolah. Misalnya, kekurangan dana, studi patok duga, analisis kecenderungan industri pendidikan atau diagnosis kekuatan dan kelemahan organisasi sekolah yang memotivasi perubahan. Apapun bentuk stimulusnya harus cukup kuat untuk mempengaruhi kepala sekolah dan warga sekolah agar mengakui urgensi dan signifikansi melakukan perubahan.

Untuk membangkitkan energi perubahan, kepala sekolah perlu melihat dan mensponsori perubahan tersebut. Kepala sekolah harus siap membuktikan apa yang dikatakan (walk the talk) dan memerankan model perilaku yang diharapkan. Kepala sekolah juga harus aktif mengarahkan proses perubahan, memberi penghargaan kepada orang yang menunjukkan perilaku baru dan mendorong para guru dan staf untuk melakukan perubahan yang diharapkan.

Keinginan kepala sekolah secara personal untuk mendorong refleksi dan perubahan dalam dirinya merupakan motivator dan signal keamanan bagi orang lain. Untuk membangkitkan energi yang diperlukan bagi perubahan maka kepala sekolah selaku pemimpin transformasional perlu memahami dinamika perubahan personal baik untuk dirinya sendiri maupun untuk semua orang dalam organisasi.

Heuristik 2 : Fokus Pelanggan

Sebagian besar praktisi organisasi sepakat bahwa kepuasan pelanggan perlu dijadikan sebagai motivasi utama bagi perubahan organisasi (Senge et al, 1999; Tapscott, 1996); Trahant & Koonce, 1997). Bentuk transformasi yang lebih terfokus pada pengendalian biaya atau peningkatan profitabilitas mungkin akan mengalienasi pelanggan dan pada akhirnya mengurangi keuntungan. Berdasarkan kenyataan tersebut Champy & Hammer (1993) mengklaim bahwa fokus pengendalian biaya disamping fokus pelanggan merupakan salah dua penyebab utama kegagalan usaha rekayasa ulang. Dalam tulisan ini pelanggan organisasi sekolah meliputi pelanggan internal (para guru dan staf dan para siswa) dan pelanggan eksternal (orang tua siswa, dunia usaha dan industri serta masyarakat).

Heuristik 3 : Komitmen Eksekutif

Komitmen kepemimpinan kepala sekolah dalam proses perubahan secara umum dianggap mendasar, meskipun inisiatif perubahan yang berasal dari bawahan dan pekerja pada umumnya juga sangat penting. Dalam banyak hal, sejumlah perubahan signifikan mensyaratkan sumber daya yang sesuai dan komitmen kepala sekolah untuk menyediakannya secara berkelanjutan. Selain itu, pengaruh dan kekuatan yang dimiliki kepala sekolah perlu ditunjukkan sebagai pemimpin program.

Heuristik 4 : Rencana Transformasi yang Komprehensif

Langkah transformasi yang berhasil dapat mengubah sistem organisasi sekolah dari kondisi saat ini ke kondisi yang diharapkan yakni sekolah efektif atau sekolah unggulan. Upaya ini menuntut orkestrasi dan penyelarasan perubahan organisasi sekolah dengan cara mendorong kritik dari warga sekolah pada umumnya dalam proses tersebut. Implementasinya bukan hanya menuntut keahlian manajemen proyek, melainkan pula keahlian dalam memanajemeni kompleksitas, reaksi emosional, politik dan menanamkan perilaku baru.

Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa tanpa perhatian terhadap dinamika perubahan maka transformasi yang dilakukan akan gagal dan tersesat ke dalam berbagai jalan yang tidak jelas (Miles, 1997; Senge et al, 1999; Wilbur, 1999). Untuk menjamin perhatian yang cukup besar terhadap dinamika perubahan maka rencana transformasi yang komprehensif perlu ditunjukkan melalui empat tingkatan yang berbeda (Anderson et al, 1995), yakni:

  1. Transformasional: pengembangan dan pemeliharaan visi, strategi, nilai-nilai dan arah yang akan dituju.
  2. Kependidikan: memasangkan keahlian manajemen perubahan, termasuk perubahan model, keahlian, metodologi dan alat-alat untuk mengkoordinir upaya yang kompleks.
  3. Tim: pengembangan kemampuan pemimpin dalam memperkenalkan keahlian ke dalam tim dan membangun tim untuk menangani perubahan secara efektif.
  4. Personal: pelatihan individu untuk menggunakan keahlian baru dan menyelaraskan dengan visi dan strategi.

Sekiranya semua tingkatan tersebut terpenuhi maka tiga proses pendukung diciptakan untuk menumbuhkan satu sama lain, yakni: (1) meningkatkan hasil yang dicapai individu, (2) jaringan kerja orang yang tertarik dan (3) meningkatkan hasil usaha (Senge et al, 1999: 43). Untuk mencapainya ada beberapa elemen kunci yang terlihat dalam implementasi yang berhasil, yakni:

  1. Metode untuk menanamkan visi dan inisiatif dalam organisasi dilakukan dengan cara menyediakan warga sekolah: kesempatan mendengar perubahan dan memahami alasannya dan menyediakan peluang umpan balik dan membantu menajamkan implementasi visi serta inisiatif perubahan pada.
  2. Mekanisme untuk mengatasi konflik kepentingan. Proses perubahan harus dapat menghilangkan potensi konflik dan menyediakan arena yang aman dan memuaskan dalam mengatasi konflik. Arena tersebut dapat bersifat formal atau informal melalui tim (Bolman & Deal, 1999; Senge et al, 1994).
  3. Sarana mengatasi umpan-balik dan menyatukannya ke dalam rencana transformasi, inisiatif perubahan atau desain baru organisasi.
  4. Perhatian pada siklus pembelajaran (Senge et al, 1994). Rencana perubahan perlu mengantisipasi revisi, eksperimentasi, trial and error dan menyediakan waktu luang untuk berefleksi.
  5. Sarana untuk menanamkan perubahan dalam budaya organisasi sekolah. Perilaku perubahan tidak akan terpatri dalam budaya sekolah sekiranya tidak ditanamkan melalui beberapa sarana, seperti penyepadanan sistem ganjaran dan kompensasi atau tujuan kinerja personal.
  6. Akhirnya, rencana transformasi perlu diarahkan melalui rangkaian teori, metode dan alat-alat yang terkoordinasi. Menurut Senge et al (1994), teori tersebut harus didasarkan pada teori-teori perubahan organisasi yang tangguh. Tanpa teori maka pembelajaran tidak akan terjadi.

Heuristik 5 : Infrastuktur Perubahan yang Handal

Perancangan dan implementasi rencana transformasi yang komprehensif memerlukan kecakapan dan infrastruktur. Biasanya infrastruktur perubahan terdiri dari beberapa tim dimana satu sama lain memiliki tanggung jawab dan komposisi yang berbeda untuk mengkoordinir transformasi melalui sarana yang beragam dan terkait dengan berbagai tingkatan.

Kotter (1997) mendukung bahwa perubahan harus diarahkan dengan arahan koalisi yang terdiri dari lima sampai sepuluh orang individu yang terpilih untuk: (a) mengatur kekuasaan, (b) keahlian perusahaan yang berbasis luas, (c) kredibilitas dan (d) kepemimpinan. Namun, jika diperhatikan berbagai dinamika kelompok yang diperlukan bagi perubahan maka hal ini terlihat agak sederhana bagi organisasi besar.

Para pakar seperti Anderson et al (1995), Miles (1997), Jaffe & Scott (1999), Kotnour, Matkovick & Ellison (1999), semuanya merekomendasikan struktur yang mengaitkan tim dan individu. Tim tersebut pada konteks persekolahan secara umum dapat meliputi beberapa variasi berikut:

  1. Panitia pengarah kepala sekolah – terdiri dari individu-individu kelas atas yang memegang fungsi utama, yakni memiliki kekuasaan dan kewenangan mengalokasikan sumber daya dan menentukan prioritas.
  2. Dewan perubahan – satu atau lebih individu yang memiliki kecakapan dalam merancang transformasi berskala besar. Individu ini melakukan aktivitas seperti menilai kesediaan melakukan perubahan, mengembangkan seminar bagi eksekutif bersama para staf dan merancang ulang transformasi seperlunya untuk mengakomodasi permasalahan yang muncul.
  3. Tim inisiator perubahan – tim yang secara khusus terfokus untuk menentukan bagaimana cara mengimplementasikan inisiatif dan mendidik organisasi. Tim ini terlihat dalam beberapa bentuk, komposisi dan ukuran.
  4. Tim lintas fungsional dan lintas kegiatan – tim yang menggambarkan kebersamaan individu, karena mungkin berasal dari berbagai komunitas praktis (community of practice). Tujuannya adalah untuk membantu mengatasi isu, mengarahkan perubahan dan mengatasi potensi pertentangan politik.
  5. Tim penasehat – kelompok individu yang berasal dari level organisasi berbeda ini berperan memberikan umpan-balik reguler mengenai kemajuan perubahan.

Heuristik 6 : Komitmen Sumber daya yang Cukup

Pada skala besar transformasi memerlukan aplikasi sumber daya yang besar secara berkelanjutan dalam waktu tertentu. Menurut Senge (1999: 43), perubahan yang dicanangkan memerlukan investasi – waktu, energi dan sumber daya. Suatu kesalahan umum jika meyakini bahwa sumber daya yang dibutuhkan dapat menekan operasi yang berlangsung. Secara pasti sejumlah sumber daya mungkin saja tersedia melalui peningkatan ukuran kinerja, namun organisasi masih perlu mengeluarkan cadangan atau meminjam uang untuk membiaya inisiatif perubahan (Miles, 1997: 21). Agar kredibel maka sumber daya harus tersedia dan terlihat. Miles lebih jauh mengakui, individu yang resisten pada perubahan menyandarkan pemahamannya pada proporsi langsung terhadap besarnya kesenjangan yang dipersepsikan antara tingkat upaya yang diperlukan dengan sumber daya yang tersedia.

Heuristik 7 : Penilaian Kesiapan melakukan Perubahan

Penilaian kesediaan kepala sekolah bersama warga sekolah melakukan perubahan perlu ditunjukkan sebelum melakukan perubahan. Menurut Jaffe & Scott (1999), Trahant, Burke dan Koonce (1997), penilaian kesediaan melakukan perubahan digunakan sebelum meluncurkan inisiatif perubahan untuk menentukan keluwesan dan hakekat persiapan serta tipe dan jumlah arahan yang diperlukan di sepanjang upaya tersebut. Proses perubahan akan kandas jika kurang kapabilitas dalam sistem (lihat tabel 1).


 


 

Tabel 4.1    Pertanyaan Penilaian Kesediaan Melakukan Perubahan

no

Pertanyaan-pertanyaan 

1 

Tingkat keahlian manajemen perubahan apa yang melekat di sekolah

2 

Seberapa baik warga sekolah memahami misi dan strategi organisasi sekolah? 

3 

Bagaimana persepsi warga sekolah terhadap manajemen? Apakah warga sekolah mempercayai pimpinan sekolah? Apakah warga sekolah menganggap pimpinan sekolah sebagai motivator yang berhasil?

4 

Apa yang dipikirkan oleh warga sekolah mengenai budaya organisasi sekolah? Apakah budaya tersebut mendukung atau memberdayakan/ 

5 

Seberapa besar hubungan dan alur pelaporan kegiatan mempengaruhi efektivitas sekolah?

6 

Apakah sekolah mendukung otonomi dan kerjasama tim? 

7 

Apa yang dipikirkan warga sekolah mengenai sistem yang mendukung cara orang melakukan tugasnya? Apakah teknologi perkantoran saat ini mendukung cara baru orang sebagaimana yang ditekankan oleh pimpinan sekolah atau tidak?

8 

Apa yang dipikirkan oleh warga sekolah mengenai praktek manajemen, iklim sekolah dan isu kinerja: apakah manajemen mendukung penekanan baru sekolah terhadap akuntabilitas individu dan kepemilikan tugas? 

9 

Apakah keahlian staf sesuai dengan bidang tugasnya? Apakah sekolah memiliki keunggulan dan produktif? Apa tuntutan lingkungan eksternal sekolah, lingkungan persaingan dan operasi? Apakah pimpinan sekolah berkeinginan menyediakan sumber daya dan menunjukkan upaya yang esensial?


 


 

Heuristik 8 : Visi yang Diformulasi secara Jelas

Visi merupakan pernyataan (gambaran) keadaan sesuatu yang ideal atau terlihat di masa kini dan di masa depan yang menginspirasi dan memberdayakan stakeholders sekolah. Visi memberikan kejelasan dan motivasi kepada stakeholders dan mengarahkannya dalam pembuatan keputusan. Visi membantu mengidentifikasi keinginan dan energi anggota organisasi (Miles, 1997; Trahant, Burke dan Koonce, 1997). Menurut Kotter (1996: 73), rekayasa ulang, rekstrukturisasi dan program perubahan lainnya tidak berjalan baik dalam jangka panjang jika tidak diarahkan dengan visi yang menjelaskan siapa orang yang berkepentingan: staf, pelanggan, pemegang saham, pemasok, masyarakat (di perusahaan), atau guru dan sfaf, siswa, orang tua siswa, dunia usaha dan industri dan masyarakat (di sekolah). Penuntun visi yang dibuat dengan baik digambarkan dari pendapat Kotter (1996) dan Cowley bersama Domb (1997).


 

Tabel 4.2    Elemen Visi Sekolah yang Baik

ELEMEN 

DESKRIPSI 

Dapat diramalkan

Menyajikan gambaran seperti apa sekolah masa depan yang diinginkan.

Dapat diraih

Mewakili kepentingan jangka panjang warga sekolah dan pihak lain yang berkepntingan dengan sekolah. Visi harus dapat mengundang dan menginspirasi orang agar terarah pada pencapaian hasil yang diharapkan.

Layak

Terdiri dari tujuan-tujuan yang realistis dan dapat dicapai. Warga sekolah harus dapat melihatnya sendiri dan kepentingannya terwakili dalam visi.

Terfokus

Cukup jelas memberikan petunjuk dalam pembuatan keputusan.

Fleksibel

Cukup memungkinkan bagi inisiatif individu dan tanggapan alternatif dalam perubahan kondisi yang jelas. 

Komunikatif

Mudah disampaikan kepada pihak lain – dapat dijelaskan secara tepat dalam waktu lima menit.

Menantang

Dapat menciptakan sejumlah masalah baru bagi organisasi

Terintegrasi

Harus lebih merupakan hasil pemikiran terintegrasi dari tim manajemen sekolah daripada kumpulan visi individu


 


 

Heuristik 9 : Definisi Kondisi Masa Depan Keseluruhan Elemen Sistem

Transformasi berskala besar mempengaruhi keseluruhan elemen sistem organisasi dan beranjak dari kondisi saat ini ke kondisi masa depan dengan mengubah semua elemen dasar dari sistem (Miles, 1997). Transformasi tersebut secara konseptual ditunjukkan pada gambar


 


 

Gambar 4.3    Transformasi dari Kondisi Sekarang ke Kondisi Ideal


 

Setiap elemen dalam sistem organisasi sekolah saling terkait satu sama lain. tanpa perhatian pada semua elemen sistem, maka kekayaan homeostatik sistem organisasi mungkin akan menghalangi perubahan yang diinginkan. Kemudian, kondisi masa depan (ideal, diharapkan) harus mencakup kesepahaman dan perubahan yang diperlukan oleh semua elemen, karena pada akhirnya akan mendukung sistem pada titik stabilitas (keseimbangan) baru. Inisiatif perubahan yang hanya terfokus pada satu atau dua elemen mungkin akan "ditolak."

Berkaitan dengan maksud heuristik ini, akan disajikan transformasi sistem secara menyeluruh dalam bentuk model enam elemen dari Miles (1997) yang mencakup strategi, infrastruktur, budaya, kompetensi dan orang. Definisi keenam elemen tersebut ditunjukkan dalam tabel 3. Konsepsi lain mungkin juga bisa digunakan namun model elemen sistem organisasi ini dianggap sederhana, efektif dan sesuai dengan model populer dari McKinsey tentang Model 7-S's (style, strategy, structure, system, skill, shared value, staff) yang diajarkan dalam sekolah bisnis.

Heuristik 10 : Analisis Dampak Keseluruhan Sistem

Sistem ada yang perlu dipahami minimal pada tingkat tinggi, sebelum mencoba mengubahnya. Begitu pula intrik inefisiensi penampilan sistem yang rendah masih diperlukan agar sistem tetap berjalan dan memutuskan interaksi tersebut secara sewenang wenang dapat merusak sistem. Selanjutnya, memutuskan bagian-bagiannya mungkin lebih sukar daripada yang terlihat sekaligus pada mulanya, karena menyebabkan sistem terjebak ke dalam masalah kompleks dan tidak dapat dipecahkan. Miles (1997: 34) menyatakan bahwa perubahan besar dalam satu atau beberapa elemen organisasi yang tidak dikaitkan dengan perubahan elemen lain cenderung menciptakan kekacauan (chaos), karena elemen desain penting mulai menekan organisasi dari arah yang berbeda.

Heuristik 11 : Inisiatif dibuat secara Baik

Sistem yang diubah perlu menggunakan inisiatif perubahan yang terpilih secara baik. Inisiatif perubahan yang dibentuk secara baik akan mengarahkan keseluruhan sistem dengan cara yang terkonsentrasi secara cermat melalui perubahan bagian-bagian organisasi yang mendukung dan menguatkan perubahan. Mengingat sistem organisasi dibentuk dari sejumlah sub-sistem yang terkait satu sama lain, maka inisiatif harus memiliki fokus yang luas dan mampu mengubah banyak aspek organisasi secara bersamaan.

Target perubahan harus mencakup beberapa sub-sistem dan berusaha menghindari hambatan yang resisten atau menghalangi perubahan. Jika inisiatif perubahan melalui cara ini tidak didesain untuk mendukung orang dalam pekerjaannya maka inisiatif tersebut membantu menciptakan suasana kesepadanan (climate of alignment) yang dibutuhkan bagi keberhasilan yang akan dicapai (Trahant, Burke dan Koonce, 1997). Tabel 4 menyajikan petunjuk untuk membuat inisiatif yang baik.


 

Tabel 4.3    Petunjuk Membuat Inisiatif yang Baik di Sekolah

No 

Petunjuk 

1 

Masukkan inisiatif perbaikan kegiatan dan perubahan budaya: Berikan perhatian pada perubahan fundamental mengenai keahlian dan orientasi orang, gaya manajemen, nilai dan kompetensi sekolah.

2 

Masukkan beberapa inisiatif yang terfokus pada aspek eksternal dan internal. 

3 

Buat rancangan yang mencakup transformasi organisasi sekolah yang membentang dari satu tahap ke tahap selanjutnya.

4 

Adakan enam atau lebih inisiatif utama dalam keseluruhan, meskipun setiap tahap memiliki sub-inisiatif. 

5 

Lakukan perubahan secara simultan yang mencakup seluruh dimensi organisasi. 

6 

Struktur yang dibuat secara unik bukan hanya sejajar dengan visi melainkan pula saling menguatkan satu sama lain.


 


 

Heuristik 12 : Meletakkan Basis sebagai Organisasi Adaptif

Inisiatif perubahan yang berhasil harus diarahkan pada realitas perubahan yang berkelanjutan. Inisiatif yang dibuat bukan hanya memuaskan organisasi dalam bentuk sederhana berupa tujuan akhir yang diharapkan dan transisi dari keadaan tersebut, melainkan pula karena seketika terjadi transisi maka keadaan akan menjadi usang. Oleh karena itu, organisasi (sekolah) yang ingin bersaing dalam lingkungan e-learning (electronic learning) pada akhirnya harus berencana menjadi organisasi pembelajar dengan cara terus-menerus beradaptasi terhadap lingkungan. Hal ini menuntut penerapan praktek manajemen baru yang mendorong pembelajaran. Praktek ini harus mencakup kepercayaan lingkungan, penekanan pada pemikiran sistem, berbasis pada pengambilan risiko, pemberdayaan dan kolaborasi (Jaffe & Merron, 1995; Senge et al, 1994).


 

Tabel 4.4    Pertanyaan Pemenuhan Heuristik Transformasi Organisasi

KRITERIA 

PERTANYAAN DIAGNOSTIK 

Energi transformasi 

  • Apakah rasa urgen melakukan perubahan telah dikembangkan?
  • Apakah sekolah memahami posisinya ketika disandingkan dengan kompetitor/sekolah lain?
  • Apakah kekuatan dan kelemahan organisasi sekolah dipahami?
  • Apakah patokan kinerja telah dinaikkan?
  • Apakah keharusan (pemaksaan) melakukan perubahan telah tercipta? Apakah pemaksaan itu tertulis? Dapatkah pemaksaan itu dikomunikasikan secara jelas dan efektif?

Fokus pelanggan 

  • Apakah transformasi terfokus pada pelayanan yang lebih baik terhadap pelanggan (warga sekolah)?

Komitmen eksekutif 

  • Apakah pimpinan sekolah memiliki komitmen?
  • Apakah pemimpin transformasional berada pada tingkat eksekutif?
  • Apakah model kepemimpinan transformasional mengarahkan perilaku warga sekolah?

Rencana implementasi yang komprehensif 

  • Apakah empat dimensi perubahan sudah menjadi sasaran?
  • Apakah rancangan yang disusun mencakup perencanaan pembelajaran, revisi, eksperimentasi dan trial and error?
  • Adakah rencana komunikasi yang komprehensif?
  • Adakah rencana kemenangan jangka pendek?
  • Adakah rencana untuk merayakan kemenangan?
  • Apakah ada metode pelatihan untuk guru dan staf yang sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan bagi perubahan dan mengarahkan keahlian tersebut dalam proses perubahan?
  • Adakah rencana komprehensif untuk menanamkan perilaku baru dalam budaya?
  • Apakah proses perubahan berdasarkan teori yang tepat?

Infrastruktur perubahan yang handal 

  • Adakah komite pengarah eksekutif?
  • Apakah dewan dan tim perubahan ditempati oleh para (guru dan staf) profesional?
  • Apakah ada bauran tim?
  • Apakah tim perubahan sesuai dalam menjalankan transformasi?

Komitmen sumber daya yang cukup 

  • Apakah pemimpin dipersiapkan untuk menangani sumber daya penting dalam jangka waktu yang lama?
  • Apakah sumber daya telah tersedia?
  • Apakah komitmen tersebut layak bagi para guru dan staf?

Penilaian kesiapan melakukan perubahan 

  • Apakah kesiapan kepemimpinan dan organisasi sudah diakses secara tepat?
  • Apakah penilaian kesiapan organisasi telah dilakukan?
  • Apakah pelatihan dan kebutuhan mempersiapkan organisasi dipahami secara baik?
  • Apakah rencana yang ada ditujukan untuk mengatasi kekurangan?
  • Apakah peninjauan pentingan telah dilakukan?

Visi perubahan dibuat secara baik 

  • Apakah visi dipahami secara baik? Apakah visi itu jelas dan mengikat?
  • Apakah visi memenuhi kriteria sebagai visi yang diformulasi secara baik (tabel 2)?
  • Apakah visi mengalir ke bawah mata rantai manajemen sehingga nyata dan dimiliki oleh sebagian besar guru dan staf/

Definisi kondisi masa depan keseluruhan sistem

  • Apakah kondisi masa depan keseluruhan sistem telah diidentifikasi?
  • Apakah kondisi masa depan yang diharapkan telah dipahami?
  • Apakah semua elemen sistem organisasi sekolah dipertimbangkan?

Analisis dampak keseluruhan sistem 

  • Apakah dampak sistem telah dianalisis?
  • Apakah dampak tersebut dipahami secara baik?

Inisiatif dibuat secara baik 

  • Apakah inisiatif dibuat secara baik?
  • Apakah inisiatif dirangkai dan disusun secara baik?
  • Apakah perubahan ditujukan pada keseluruhan sistem?

Rencana pembelajaran organisasi

  • Apakah rencana diimplementasikan bagi pembelajaran organisasi?
  • Apakah kebutuhan pembelajaran organisasi dipahami oleh para pimpinan sekolah? 


 


 

Karakteristik Organisasi Sekolah yang Efektif

Asumsi yang dianut dalam membahas sekolah efektif adalah manajemen sekolah yang baik akan menciptakan proses pendidikan dan pengajaran yang berkualitas dan pada gilirannya akan menghasilkan keluaran pendidikan yang diharapkan (Arismunandar, 2007: 1). Dengan posisi itu manajemen sekolah selain perlu lebih dinamis dalam menjawab perubahan yang terjadi, terutama yang berkaitan dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pengelolaan sekolah, juga yang terpenting ialah memiliki konsep yang jelas mengenai wujud sekolah efektif yang diharapkan. Hal ini penting dipahami bersama mengingat semakin maraknya pencitraan sekolah seperti sekolah unggulan, sekolah efektif, sekolah berstandar nasioanl (SBN) dan sekolah berstandar internasional (SBI) dan sebagainya.

Tanpa mengurangi kredibilitas pencitraan tersebut, Moejiato (1980) mengatakan bahwa penelitian tentang sekolah efektif di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, menurut Scheeners (1992), sebelum menentukan karakteristik sekolah yang efektif lebih dahulu perlu menentukan orientasi produk sekolah. Misalnya, lulusan yang diharapkan, kelengkapan organisasi yaitu pemerolehan sumber daya, karakteristik pengajaran dan motivasi kerja guru serta model evaluasi dan pengukuran hasil belajar yang disepakati dan berkesinambungan. Karakteristik organisasi yang demikian ini menurut Edmons (1979) secara lebih sederhana menunjuk kepada lima karakteristik keefektifan, yakni: (1) harapan yang tinggi dari keefektifan pengajaran, (2) kepemimpinan instruksional yang kuat oleh kepala sekolah, (3) iklim yang teratur, tenang dan berorientasi kerja sekolah, (4) melaksanakan kegiatan administrasi keuangan dan akademik, dan (5) pemantauan atas kemajuan belajar peserta didik. Karakteristik organisasi sekolah yang efektif tersebut menggambarkan bahwa pendekatan proses internal merupakan ukuran keefektifan yang memusatkan pada proses pengelolaan semua program sekolah dengan baik dan benar.

Dilihat dari aspek mutu sebagai gambaran keefektifan manajemen sekolah tampak bahwa keefektifan sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor yang melingkupinya. Croghan (dalam Sagala, 2004: 82) telah melakukan suatu penelitian yang luas tentang kemampuan kepala sekolah di Florida yang menyimpulkan bahwa kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang memiliki kompetensi yang mampu menciptakan sekolah efektif. Penelitian Croghan ini memberi gambaran bahwa kemampuan kepala sekolah menjadi jaminan tingkat keefektifan sekolah, karena kepala sekolah merupakan motor penggerak utama pelaksanaan program sekolah. Fakor-faktor tersebut menggambarkan dedikasi guru yang tinggi, kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, harapan peserta didik dan staf yang terpenuhi, pemantauan kemajuan peserta didik, iklim belajar yang positif, kesempatan yang cukup untuk belajar, pelibatan orang tua dan masyarakat dalam program sekolah.

Hasil penelitian di atas sejalan dengan karakteristik keefektifan sekolah yang dikemukakan oleh Ornstein dan Levine (1989) yakni: (1) lingkungan sekolah yang aman dan teratur dalam mendukung proses belajar mengajar, (2) misi dan komitmen kerjasama staf sekolah yang jelas, (3) karakteristik kepemimpinan instruksional yang lugas dan kuat oleh kepala sekolah, (4) iklim yang mendukung bagi murid untuk mencapai keterampilan yang tinggi, (5) perencanaan dan pelaksanaan yang dapat memberikan mutu yang terukur terhadap hasil belajar peserta didik, (6) adanya pemantauan atas kemajuan belajar peserta didik dan perbaikan pengajaran, (7) hubungan sekolah dan keluarga yang positif dan harmonis, yaitu orang tua memainkan peranan penting dalam mendukung misi dasar sekolah untuk membantu pencapaian tujuan dan target sekolah.

Sementara itu, karateristik organisasi sekolah yang efektif menurut hasil penelitian Purkey dan Smith (1983) didasarkan pada tiga belas (13) indikator organisasi yang efektif, yakni: (1) Fokus manajemen didasarkan pada kapabilitas sekolah; (2) Kepemimpinan yang kuat; (3) stabilitas staf, (4) Konsensus tujuan; (5) Pengembangan dan pembinaan staf sekolah; (6) Dukungan orang tua; (7) Hasil akademik yang berkualitas; (8) Penggunaan waktu yang efektif; (9) Ada dukungan kuat dari pemerintah daerah; (10) Hubungan kolegial dan perencanaan; (11) Komitmen organisasi; (12) Tujuan yang jelas dan harapan yang tinggi di sekolah; dan (13) Aturan yang baik dan kuat.

Mengacu pada komponen karakteristik keefektifan sekolah menurut hasil penelitian pakar dan sesuai dengan model atau pendekatan efektivitas organisasi, yang meliputi antara lain model tujuan rasional, model proses internal, model sistem terbuka, model kepuasan pelanggan, model konstituen strategis, nilai yang bersaing, dan sebagainya (Simatupang dan Akib, 2007), dapat disederhanakan ke dalam beberapa aspek yakni, manajemen dan kepemimpinan sekolah yang partisipatif, komitmen warga sekolah, iklim sekolah dan lingkungan strategis yang mendukung, komitmen dan peran pemerintah daerah.

Optimalisasi setiap komponen tersebut menjadi karakteristik utama manajemen perubahan dan pengembangan organisasi sekolah menuju sekolah efektif, efisien dan berkualitas. Sekolah yang beroperasi dengan baik sangat memperhatikan manajemen pengajaran, metode dan perilaku (guru) dalam mengajar, kurikulum dan desain pengajaran yang dijadikan acuan, terknologi pembelajaran yang up-to-date, layanan teknis pendidikan yang memuaskan stakeholders sekolah dan layanan kepala sekolah terhadap guru, staf dan warga sekolah. Di lain pihak, hal yang mempengaruhi keefektifan sekolah adalah sikap dan perilaku kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan dan karyawan sekolah.


 

Tabel 4.5    Komponen Karakteristik keefektifan Sekolah

KOMPONEN 

KARAKTERISTIK

Manajemen 

Fokus manajemen didasarkan pada lembaga pendidikan yang bersangkutan yaitu prosesnya menekankan pada prosedur pengembangan organisasi yang akurat dan penggunaan waktu yang efektif, berpusat pada hasil dan tujuan yang jelas dan terukur, semua warga sekolah memiliki komitmen dan harapan yang tinggi terhadap sekolahnya.

Kepemimpinan 

Berfungsinya komponen organisasi secara optimal dan keefektifan manajerial ditandai dengan kepemimpinan instruksional yang lugas dan kuat oleh kepala sekolah, performansi guru dan tenaga kependidikan yang profesional ditopang oleh kemampuan teknologi, perkembangan lingkungan, peluang yang baik, kecakapan individu dan motivasi yang kuat dengan penuh kreativitas dan inovasi.

Komitmen 

Kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan menggambarkan sikap: (1) konsisten, (2) memiliki komitmen, (3) memiliki integritas yang tinggi, (4) berpikir luas dan terbuka, (5) bersikap jujur, (6) percaya diri, (7) kreatif, dan sebagainya, yang ditandai dengan hubungan perencanaan dan sikap kolegialitas dan didukung dengan aturan yang baik, kuat dan memadai serta dipahami secara luas.

Lingkungan Strategis 

Keterlibatan secara sinergis kelompok informal, kebutuhan individu dan tujuan birokrasi yang secara bersama-sama berperan optimal sehingga terwujud stabilitas staf ditandai dengan suasana hubungan antar manusia yang harmonis dan teratur.

Harapan 

Harapan yang tinggi dan keefektifan pengajaran oleh para pengajar dengan penggunaan waktu secara efisien dan pengembangan staf lembaga pendidikan yang memadai serta perhatian terhadap kondisi fasilitas fisik untuk pembelajaran.

Iklim Sekolah 

Suasana yang teratur dan berorientasi kerja, tenang, berorientasi pendidikan, terpelihara dan tercapai hasil akademik serta pemantauan secara rutin terhadap kemajuan aktivitas personal maupun kemajuan belajar peserta didik.

Peran Pemerintah 

Adanya dukungan pemerintah pusat terhadap standarisasi dan dukungan pemerintah daerah (kabupaten, kota) terhadap pelayanan anggaran dan fasilitas sekolah serta adanya dukungan orang tua dan masyarakat.


 


 

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami karakteristik sekolah efektif yang pada dasarnya meliputi aspek-aspek proses persekolahan yang berkontribusi terhadap peningkatan kualitas dan nilai tambah hasil belajar siswa. Organisasi sekolah yang efektif didukung dengan manajemen sekolah yang efektif.

Berdasarkan pandangan pakar dan hasil penelitian dapat diidentifikasi dua kelompok kajian mengenai karakteristik manajemen sekolah efektif (dalam Depdiknas, 2007: 34). Pertama, kajian yang memusatkan analisisnya terhadap karakteristik tertentu yang berkontribusi terhadap sekolah efektif, di antaranya adalah karakteristik budaya organisasi sekolah (Cheng, 1993), proses pembuatan keputusan (Taylor & Levine, 1991), perubahan organisasi dan manajemen (Louis & Miles, 1991) dan keefektifan pengajaran (Virgilio, Teedlie & Oesher, 1991). Kedua, kajian yang memusatkan pada berbagai karakteristik umum sekolah, seperti ditemukan dalam kajian Martimore (1993), penelitian Moedjiarto (1990) dan penelitian Witte dan Walsh (1990).

Dari berbagai sumber di atas dapat diidentifikasi berbagai karakteristik proses sekolah efektif, sebagaimana diilustrasikan pada gambar 3.


 


 

Gambar 4.4    Karakteristik Manajemen Sekolah Efektif


 

Berdasarkan karakteristik manajemen sekolah efektif tersebut, khusus mengenai elemen kepemimpinan kepala sekolah dapat dikemukakan secara singkat berikut ini dengan asumsi bahwa kepemimpinan berpengaruh terhadap prestasi akademik dan semua aspek kinerja sekolah.

Terdapat dua dimensi proses kepemimpinan, yaitu: (1) Beban kepemimpinan yang terkait dengan seberapa besar tanggung jawab diambil alih atau didelegasikan oleh kepala sekolah. Kemudian (2) bentuk atau gaya kepemimpinan, yakni cara kepala sekolah bermain peran, misal situasional sesuai tingkat kematangan bawahan dilihat dari dimensi kemampuan (keterampilan, pengetahuan) dan dimensi kemauan (tanggung jawab, komitmen).

Kombinasi kemampuan dan kemauan tersebut melahirkan empat tipe kematangan manusia (bawahan) dan gaya kepemimpinan yang sesuai, yakni:

  1. Kematangan rendah (gaya direktif)
  2. Kematangan rendah-sedang (gaya konsultatif);
  3. Kematangan sedang-tinggi (gaya partisipatif)
  4. Kematangan tinggi (gaya delegatif)

Sementara itu, indikator kepemimpinan kepala sekolah yang efektif meliputi antara lain:

  1. Penerapkan pendekatan partisipatif dan demokratis;
  2. Menyiapkan waktu untuk berkomunikasi dgn warga sekolah;
  3. Menekankan kpda guru & staf utk memenuhi norma pembljrn;
  4. Memantau kemajuan belajar siswa via guru;
  5. Aktif melakukn pertemuan dgn warga sekolah ttg topik aktual;
  6. Dana dialokasikan sesuai prioritas yang ditentukan;
  7. Melakukan kunjungan kelas;
  8. Peka terhadap kebutuhan guru, staf, siswa & warga sekolah;
  9. Menunjukkan sikap dan perilaku sebagai model u teladan;
  10. Mengarahkan inovasi organisasi sekolah;
  11. Akuntabel, transparan dan profesional (khususnya keuangan);
  12. Membangun kelompok kerja aktif;
  13. Memiliki komitmen terhadap penjaminan mutu sekolah;
  14. Memberikan ruang pemberdayaan sekolah
  15. Dan lain-lain.


 


 


 

BAB V

KEPALA SEKOLAH DALAM PROBLEM SOLVING


 

Pengertian Keputusan

Para pakar memberikan pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang pemikirannya. Menurut Ralp C. Davis, keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapinya dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula.

Menurut Mary Follet, keputusan adalah suatu atau sebagai hukum situasi. Apabila semua fakta dari situasi itu dapat diperoleh dan semua yang terlibat, baik pengawas maupun pelaksana mau mentaati hukum atau ketentuan maka tidak sama dengan mentaati perintah. Wewenang tinggal dijalankan, tetapi hal itu merupakan wewenang dari hukum situasi. Sementara itu, menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut.

Pengertian keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif. Dari pengertian keputusan tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif.

Setelah dipahami pengertian keputusan, selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau – yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling cepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah. Selanjutnya, teori pengambilan keputusan merupakan konsep, teknik atau pendekatan yang digunakan dalam suatu proses pengambilan keputusan.


 

Fungsi dan Tujuan Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan sebagai kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi antara lain, sebagai pangkal atau permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Disamping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.

Terkait dengan fungsi tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan atas dua, yaitu:

  1. Tujuan yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain.
  2. Tujuan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari satu masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak kontradiktif.


 

Unsur-unsur Pengambilan Keputusan

Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah sebagai berikut:

  1. Tujuan dari pengambilan keputusan;
  2. Identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah;
  3. Perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia;
  4. Sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.

Berikut ini contoh berupa ilustrasi dari unsur pengambilan keputusan. Untuk mengembangkan suatu model pengambilan keputusan yang bersifat umum, kita perlu mengadakan identifikasi dan mengambil kategori dari berbagai unsur yang merupakan bagian dari masalah beserta pemecahannya.

Unsur pertama, mengetahui lebih dahulu apa tujuan dari pengambilan keputusan itu. Misalnya, jika anda akan membeli mobil baru, maka anda harus mengetahui lebih dahulu tujuannya, biasanya yang paling umum adalah tujuan yang bersifat ekonomis.

Unsur kedua, mengadakan identifikasi sejumlah alternatif yang akan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu, perlu kiranya membuat daftar macam-macam tindakan yang memungkinkan untuk mengadakan pilihan.

Unsur ketiga, perhitungan mengenai faktor-faktor di luar jangkauan manusia. Keberhasilan setiap alternatif keputusan dikaitkan dengan tujuan yang dikehendaki ini sangat tergantung pada keadaan yang mungkin berada di luar jangkaun manusia. Keadaan seperti ini disebut peristiwa di luar jangkauan manusia. Peristiwa di luar jangkuan manusia adalah peristiwa yang dapat dibayangkan sebelumnya, namun manusia tidak sanggup atau kurang berdaya untuk mengatasinya. Keputusan untuk membeli mobil baru itu perlu dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan, misalnya biaya pembelian bensin, karena hal ini berpengaruh terhadap penghematan dalam pemakaian kendaraan tersebut. Untuk ini, anda dapat mengidentifikasi kemungkinan harga bensin nantinya akan naik sebagai peristiwa di luar jangkauan individu manusia.

Unsur keempat adalah adanya sarana atau alat untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari pengambilan keputusan. Selanjutnya alternatif keputusan dan peristiwa di luar jangkauan manusia itu perlu dirinci dengan menggunakan alat untuk mengukur apa yang akan diperoleh atau pengeluaran yang perlu dilakukan dari setiap kombinasi alternatif keputusan dan peristiwa di luar jangkauan manusia itu. Jadi, misalkan, apabila kita perlu menetapkan 12 hasil di mana setiap alternatif dapat menghasilkan suatu hasil yang berkaitan dengan 4 kemungkinan peristiwa di luar jangkauan manusia.


 

Basis Pengambilan Keputusan

Dasar-dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan bermacam-macam, tergantung dari permasalahannya. George R. Terry memperkenalkan dasar-dasar pengambilan keputusan yang berlaku sebagai berikut:

  1. Intuisi. Pengambilan keputusan yang berdasarkan atas intuisi atau perasaan memiliki sifat yang subyektif sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi mengandung beberapa kebaikan dan kelemahan.

Kebaikannya antara lain sebagai berikut:

  1. Waktu yang digunakan untuk mengambil keputusan relatif pendek
  2. Untuk masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan keputusan akan memberikan kepuasan pada umumnya.
  3. Kemampuan mengambil keputusan dari pengambil keputusan sangat berperan dan itu perlu dimanfaatkan dengan baik.

Kelemahannya antara lain sebagai berikut:

  1. Keputusan yang dihasilkan relatif kurang baik
  2. Sulit mencari alat pembandingnya sehingga sulit diukur kebenaran dan keabsahannya
  3. Dasar-dasar pertimbangan lain dalam pengambilan keputusan seringkali diabaikan.
  1. Pengalaman. Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat bagi pengetahuan praktis, karena dengan pengalaman seseorang maka dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan untung-ruginya dan baik-buruknya keputusan yang akan dihasilkan. Begitu pula karena pengalaman seseorang yang menduga masalahnya walaupun hanya dengan melihat sepintas saja mungkin sudah dapat memperkirakan cara penyelesaiannya.
  2. Fakta. Pengambilan keputusan berdasarkan data dan fakta empiris dapat memberikan keputusan yang sehat, solid dan baik. Dengan fakta, tingkat kepercayaan terhadap pengambil keputusan dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima keputusan yang dibuat itu dengan rela dan lapang dada.
  3. Wewenang. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya, atau oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang juga memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan.

Kelebihannya antara lain sebagai berikut:

  1. Kebanyakan (pihak) penerimaannya adalah bawahan, terlepas apakah penerimaan tersebut secara sukarela ataukah secara sukar rela (terpaksa).
  2. Keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama
  3. Memiliki otentisitas (otentik)

Kelemahannya antara lain sebagai berikut:

  1. Dapat menimbulkan sifat rutinitas
  2. Mengasosiasikan dengan praktek diktatorial
  3. Sering melewati permasalahan yang seharusnya dipecahkan sehingga dapat menimbulkan kekaburan
  1. Rasional. Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasio, keputusan yang dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan dan konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Pengambilan keputusan secara rasional ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan yang ideal. Pada pengambilan keputusan secara rasional terdapat beberapa hal sebagai berikut:
    1. Kejelasan masalah: tidak ada keraguan dan kekaburan masalah.
    2. Orientasi tujuan: kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapai.
    3. Pengetahuan alternatif: seluruh alternatif diketahui jenisnya dan konsekuensinya.
    4. Preferensi yang jelas: alternatif bisa diurutkan sesuai kriteria.
    5. Hasil maksimal: pemilihan alternatif terbaik berdasarkan atas hasil ekonomis yang maksimal.


 

Faktor Determinan Pengambilan Keputusan

Dalam pengambilan keputusan, ada beberapa hal atau faktor yang mempengaruhinya antara lain sebagai berikut:

  1. Posisi/kedudukan. Dalam kerangka pengambilan keputusan, posisi atau kedudukan seseorang dapat dilihat dalam hal berikut:
    1. Letak
      posisi: dalam hal ini apakah dia sebagai pembuat keputusan (decision maker), penentu keputusan (decision taker), ataukah staf (staffer).
    2. Tingkatan posisi: dalam hal ini apakah sebagai strategi, policy, peraturan organisasional, operasional atau teknis.
  2. Masalah. Masalah atau problem adalah apa yang menjadi penghalang untuk tercapainya tujuan yang merupakan penyimpangan dari apa yang diharapkan, direncanakan atau dikehendaki dan harus diselesaikan. Masalah tidak selalu dapat dikenali dengan segera, ada yang memerlukan analisis, ada pula yang bukan memerlukan riset sendiri.

Masalah dapat dibagi ke dalam dua jenis, yakni:

  1. Masalah terstruktur yaitu masalah yang logis, dikenal dan mudah diidentifikasi;
  2. Masalah tidak terstruktur yaitu masalah yang masih baru, tidak biasa dan informasinya tidak lengkap.

Selain pembagian masalah tersebut, masalah dapat pula dibagi menjadi sebagai berikut:

  1. Masalah rutin yaitu masalah yang sifatnya sudah tetap, selalu dijumpai dalam hidup sehari-hari.
  2. Masalah insidental yaitu masalah yang sifatnya tidak tetap, tidak selalu dijumpai dalam hidup sehari-hari.

  1. Situasi. Situasi adalah keseluruhan faktor dalam keadaan yang berkaitan satu sama lain dan yang secara bersama-sama memancarkan pengaruh terhadap kita beserta apa yang hendak kita perbuat. Faktor-faktor dimaksud dapat dibedakan atas dua, yakni:
    1. Faktor-faktor yang konstan ( K ), yaitu faktor-faktor yang sifatnya tidak berubah-ubah atau tetap keadaannya;
    2. Faktor-faktor yang tidak konstan, atau variabel ( V ), yaitu faktor-faktor yang sifatnya selalu berubah-ubah, tidak tetap keadaannya.

    Di antara variabel-variabel ini ada yang dapat diperhitungkan bahkan dapat dikendalikan, namun ada pula yang sama sekali di luar jangkauan manusia.

  2. Kondisi. Kondisi adalah keseluruhan faktor-faktor yang secara bersama-sama menentukan daya gerak, daya berbuat atau kemampuan kita. Sebagian besar faktor tersebut merupakan sumber daya-sumber daya.
  3. Tujuan. Tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan perorangan, tujuan unit (kesatuan), tujuan organisasi, maupun tujuan usaha, pada umumnya telah ditentukan. Tujuan yang ditentukan dalam pengambilan keputusan merupakan tujuan antara (objective).

Pendapat lain yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah:

  1. Keadaan intern organisasi. Keadaan intern organisasi bersangkut paut dengan apa yang ada di dalam oragnisasi tersebut. Keadaan intern organisasi antara lain meliputi dana yang tersedia, keadaan sumber daya manusia, kemampuan karyawan, kelengkapan dan peralatan organisasi dan struktur organisasi.
  2. Keadaan ekstern organisasi. Keadaan ekstern organisasi bersangkut paut dengan apa yang ada di luar organisasi tersebut. Keadaan ekstern organisasi antara lain meliputi keadaan ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan sebagainya. Keputusan yang diambil tidak boleh bertentangan dengan norma, undang-undang, hukum dan peraturan yang berlaku. Keputusan yang diambil jika ada kaitannya, baik langsung maupun tidak langsung dengan bidang politik, jangan sekali-kali bertentangan dengan pola kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan pengusaha. Jika keputusan yang diambil ada kaitannya dengan budaya sebaiknya memperhatikan keadaan budaya setempat dan sebagainya.
  3. Tersedianya informasi yang diperlukan. Dalam pengambilan keputusan, informasi yang diperlukan harus lengkap dan memiliki sifat-sifat tertentu, sehingga keputusan yang dihasilkan berkualitas dan baik.

Sifat-sifat informasi itu antara lain sebagai berikut:

  1. Akurat, artinya informasi harus mencerminkan atau sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
  2. Up-to-date, artinya informasi tersebut tepat waktu, tidak ketinggalan zaman;
  3. Komprehensif, artinya informasi harus dapat mewakili semua elemen dari realitas yang ada;
  4. Relevan, artinya informasi harus ada hubungannya dengan masalah yang akan diselesaikan;
  5. Memiliki kesalahan baku kecil, artinya informasi itu memiliki tingkat ketepatan yang tinggi.
  1. Kepribadian dan kecakapan pengambil keputusan. Kepribadian dan kecakapan dari pengambil keputusan meliputi penilainnya, kebutuhannya, intelegensinya, keterampilannya, kapasitasnya, dan sebagainya. Nilai-nilai kepribadian dan kecakapan tersebut turut pula mewarnai tepat-tidaknya keputusan yang diambil. Jika pengambil keputusan memiliki kepribadian dan kecakapan yang kurang, maka keputusan yang diambil juga akan kurang, demikian pula sebaliknya.

    Sebagai bahan komparasi, dikemukakan pula pendapat George R. Terry mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan sebagai berikut:

    1. Hal-hal yang berwujud dan tidak berwujud, yang emosional maupun yang rasional.
    2. Tujuan organisasi. Setiap keputusan nantinya harus dapat dijadikan sebagai bahan dalam pencapaian tujuan dari organisasi.
    3. Orientasi. Keputusan yang diambil tidak boleh memiliki orientasi kepada diri pribadi, tetapi harus lebih berorientasi kepada kepentingan organisasi.
    4. Alternatif-alternatif tandingan. Jarang sekali ada satu pilihan yang betul-betul memuaskan, karenanya harus disediakan alternatif tandingan.
    5. Tindakan. Pengambilan keputusan merupakan tindakan mental, karenanya harus diubah menjadi tindakan fisik.
    6. Waktu. Pengambilan keputusan yang efektif memerlukan waktu dan proses yang lebih lama.
    7. Kepraktisan. Dalam pengambilan keputusan diperlukan pengambil keputusan yang (berpikir) praktis untuk memperoleh hasil yang optimal.
    8. Pelembagaan. Setiap keputusan yang diambil harus dilembagakan, agar dapat diketahui tingkat kebenarannya.
    9. Kegiatan berkelanjutan. Setiap keputusan merupakan tindakan permulaan dari serangkaian mata rantai (valu chain) kegiatan berikutnya.

Sementara itu, menurut Jhon D. Millet, faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan adalah sebagai berikut:

  1. Pria dan wanita (pembagian gender). Pria umumnya bersifat lebih tegas atau berani dan cepat dalam mengambil keputusan. Sedangkan wanita umumnya relatif lebih lambat dan sering ragu-ragu.
  2. Peranan pengambil (pembuat) keputusan. Peranan orang yang mengambil keputusan perlu diperhatikan. Peranan dimaksud mencakup kemampuan mengumpulkan informasi, menganalisis dan menginterpretasikan serta menggunakan konsep yang cukup luas tentang perilaku manusia secara fisik untuk memperkirakan perkembangan hari depan yang lebih baik.
  3. Keterbatasan kemampuan. Perlu disadari adanya kemampuan yang terbatas dalam pengambilan keputusan di bidang manajemen baik yang bersifat institusional ataupun yang bersifat pribadi.


 

Jenis-jenis Pengambilan Keputusan

Berdasarkan kriteria yang menyertainya, pengambilan keputusan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

  1. Berdasarkan programnya, pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni:
    1. Pengambilan keputusan terprogram, adalah pengambilan keputusan yang sifatnya rutinitas, berulang-ulang dan cara menanganinya telah ditentukan. Pengambilan keputusan terprogram ini digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terstruktur melalui hal-hal berikut:
      1. Prosedur, yaitu serangkaian langkah yang berhubungan dan berurutan yang harus diikuti oleh pengambil keputusan;
      2. Aturan, yaitu ketentuan yang mengatur apa yang boleh (harus) dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh pengambil keputusan;
      3. Kebijakan, yaitu pedoman yang menentukan parameter untuk membuat keputusan.
    2. Pengambilan keputusan tidak terprogram adalah pengambilan keputusan yang tidak rutin dan sifatnya unik sehingga memerlukan pemecahan yang khusus. Pengambilan keputusan tidak terprogram ini lazim digunakan untuk menyelesaikan masalah yang tidak terstruktur.
  2. Berdasarkan lingkungannya, keputusan dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut:
    1. Pengambilan keputusan dalam kondisi pasti adalah pengambilan keputusan di mana berlangsung hal-hal berikut:
      1. Alternatif yang harus dipilih hanya memiliki satu konsekuensi, jawaban atau hasil. Ini berarti hasil dari setiap alternatif tindakan tersebut dapat ditentukan dengan pasti.
      2. Keputusan yang diambil didukung oleh data dan informasi yang lengkap, sehingga dapat diramalkan secara akurat atau eksak hasil dari setiap tindakan yang dilakukan.
      3. Dalam kondisi ini, pengambil keputusan secara pasti mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang.
      4. Biasanya selalu dihubungkan dengan keputusan yang menyangkut masalah rutin, karena kejadian tertentu di masa yang akan datang dijamin terjadi.
      5. Pengambilan keputusan seperti ini dapat ditemui dalam kasus-kasus atau model-model yang bersifat deterministik.
      6. Teknik penyelesaian atau pemecahannya lazim menggunakan antara lain teknik program liner, model transportasi, model penugasan, model invetori, model antrian dan model jaringan kerja.
    2. Pengambilan keputusan dalam kondisi berisiko adalah pengambilan keputusan dimana berlangsung hal-hal berikut:
      1. Alternatif yang harus dipilih mengandung lebih dari satu kemungkinan hasil.
      2. Pengambil keputusan memiliki lebih dari satu alternatif tindakan.
      3. Diasumsikan bahwa pengambil keputusan mengetahui peluang yang akan terjadi terhadap berbagai tindakan dan hasil.
      4. Risiko terjadi karena hasil pengumpulan keputusan tidak dapat diketahui dengan pasti, walaupun diketahui nilai probabilitasnya.
      5. Pada kondisi ini, keadaan alam sama dengan kondisi tidak pasti, bedanya ialah dalam kondisi ini ada informasi atau data yang akan mendukung dalam membuat keputusan, berupa besaran atau nilai peluang terjadinya bermacam-macam keadaan.
      6. Peluang pemecahannya menggunakan konsep probabilitas, seperti model keputusan probabilistik, model inventori probabilistik dan model antrian probabilitik.
    3. Pengambilan keputusan dalam kondisi tidak pasti adalah pengambilan keputusan dimana:
      1. Tidak diketahui sama sekali jumlah kondisi yang mungkin timbul serta kemungkinan munculnya kondisi-kondisi itu.
      2. Pengambilan keputusan tidak dapat menentukan probabilitas terjadinya berbagai kondisi atau hasil yang keluar.
      3. Yang diketahui hanyalah kemungkinan hasil dari suatu tindakan, tetapi tidak dapat diprediksi berapa besar probabilitas setiap hasil tersebut.
      4. Pengambil keputusan tidak mempunyai pengetahuan atau informasi lengkap mengenai peluang terjadinya bermacam-macam keadaan tersebut.
      5. Hal yang akan diputuskan biasanya relatif belum pernah terjadi.
      6. Tingkat ketidakpastian keputusan semacam ini dapat dikurangi dengan beberapa cara, antara lain, mencari informasi lebih banyak, melalui riset atau penelitian dan penggunaan probabilitas subyektif.
      7. Teknik pemecahannya menggunakan beberapa metode (kriteria), yaitu antara lain metode maximin, metode maximax, metode Laplace, metode minimax regret, metode realisme dan dibantu dengan tabel hasil (Pay Off Table).
    4. Pengambilan keputusan dalam kondisi konflik adalah pengambilan keputusan dimana:
      1. Kepentingan dari dua atau lebih pengambil keputusan saling bertentangan dalam situasi persaingan.
      2. Pengambil keputusan saling bersaing dengan pengambil keputusan lainnya yang rasional, tanggap dan bertujuan untuk memenangkan persaingan tersebut.
      3. Di sini pengambil keputusan bertindak sebagai pemain dalam suatu permainan.
      4. Teknik pemecahannya adalah menggunakan teori permainan.


 

Keputusan Dalam Pendidikan

Filsafat Pendidikan dan Keputusan Pendidikan

Masalah pendidikan merupakan salah satu problema kehidupan yang dihadapi manusia dan memerlukan pengambilan keputusan. Manusia harus memutuskan apa yang menjadi dasar dan tujuan pendidikan serta harus merumuskan bagaimana cara mencapai tujuan yang diinnginkan. Oleh karena itu, manusia harus mengenali persoalan substansi kehidupan dan kebutuhannya terhadap pendidikan serta mampu menentukan alternatif untuk mencapai tujuannya.

Pengambilan keputusan memiliki spektrum kegiatan yang sangat luas sehingga dapat dilakukan oleh individu dan kelompok atau tim dalam organisasi dan masyarakat. Fitzgibbons (1981) berpendapat bahwa jika suatu keputusan dibuat secara rasional maka keputusan itu didasarkan atas kepercayaan pengambil keputusan. Pendapat lain menegaskan bahwa setiap keputusan akan tergantung dari si pengambil keputusan dan setiap decision maker adalah produk dari perkembangan kehidupannya. Dengan kata lain, kemampuan berpikir manusia dalam pengambilan keputusan secara rasional berpangkal tolak dari kepercayaan sebagai tingkat tertinggi berpikir dalam konfigurasi filsafat.

Salah satu aspek penting yang perlu didalami dalam konteks pengambilan keputusan pendidikan adalah jenis kepercayaan atau filsafat yang diyakini manusia terhadap pendidikan, sebab kepercayaan biasanya berfungsi sebagai dasar bagi usaha manusia dalam pembuatan keputusan secara rasional. Kepercayaan tertentu dapat menjadi dasar filsafat bagi seseorang tentang pendidikan. Dengan kata lain, penerapan pemikiran filosofis dalam memecahkan masalah pendidikan yang bersifat filosofis adalah aktivitas filsafat pendidikan.

Masalah-masalah pendidikan yang dihadapi para manajer, pengelola dan pelaksana kegiatan pendidikan sangat kompleks. Oleh karena itu, tidak seluruh masalah pendidikan bersifat teknis dan manajerial. Menurut Soltis dkk (1981), masalah yang muncul dalam perumusan tujuan, kurikulum, organisasi, mengajar-belajar dan metodologi penelitian berkualifikasi sebagai masalah pendidikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak semua masalah pendidikan bersifat filosofis namun ada beberapa masalah bersifat teknis, ada yang bersifat administratif dan ada pula masalah-masalah yang berkenaan dengan fakta. Apabila suatu masalah pendidikan menuntut konsep logika, epistemologi, metafisika, etika dan etestika maka filsafat menjadi relavan dalam penggunaannya.

Menurut Pidarta (1997: 84), filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Filsafat pendidikan akan bekerja untuk menjawab pertanyaan filosofis yang terdiri dari apakah pendidikan itu? Apa yang hendak dicapai dalam pendidikan? Bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan pendidikan itu.

Filsafat pendidikan akan menjawab persoalan pendidikan yang bersifat filosofis. Oleh karena itu, diperlukan kepercayaan atau pemikiran mendalam mengenai pendidikan dalam melaksanakan aktivitas pendidikan manusia. Dalam Pidarta (1997) dikemukakan maksud filsafat pendidikan yaitu: (1) menginspirasikan kepada pendidik tentang hakekat pendidikan, (2) menganalisis atau memeriksa elemen atau bagian pendidikan dan validitasnya, (3) mempreskripsikan (upaya menjelaskan atau pengarahan kepada pendidik) mengenai tujuan ideal pendidikan, (4) menginvestigasi (meneliti dan memeriksa) kebenaran teori pendidikan yang berkembang dan dipraktikkan.

Filsafat Pendidikan sebagai Kumpulan Kepercayaan

Seperangkat kepercayaan fundamental adalah produk dari pemikiran rasional. Oleh karena itu, filsafat pendidikan sebagai kepercayaan mendasar mengenai pendidikan akan menentukan dan menjadi alasan yang seringkali muncul dalam tataran pengambilan keputusan pendidikan oleh para pereancang, pengelola dan pelaksana kegiatan pendidikan. Dengan kata lain, setiap orang mendasarkan pengambilan keputusan pendidikan dari dasar kepercayaan fundamental mengenai pendidikan.

Menurut Fitzgibbons (1981), filsafat pendidikan adalah seperangkat kepercayaan seseorang yang berkenaan dengan apa yang seharusnya (atau tidak seharusnya) dilakukan di dalam pendidikan dan apakah hasil pendidikan yang seharusnya (dan tidak seharusnya). Bersama dengan kepercayaan lain, filsafat pendidikan dijadikan sebagai alasan dukungan kepercayaan ini. Filsafat pendidikan yang diyakini seseorang adalah bagian dari keseluruhan kumpulan kepercayaan individu. Sejalan dengan hal itu, Kilpatrick (1956) berpendapat bahwa filsafat bertujuan untuk memberikan secara lebih mencukupi suatu pengertian dan konsepsi tentang hidup, mencakup suatu kehidupan yang lebih ideal dan terbuka. Proses berfilsafat memikirkan nilai-nilai terbaik mengenai pendidikan yang diwujudkan dalam pribadi manusia.

Bagaimana filsafat pendidikan terlibat dalam proses pengambilan keputusan? Paling tidak, faktor kepercayaan manusia apakah seorang guru, pengelola pendidikan atau perancang pendidikan sangat menentukan keputusan dan tindakan aktual di dalam praktik pendidikan. Seandainya anda seorang guru sejarah dan anda menggunakan metode bermain peran dalam mengajarkan sejarah revolusi Amerika, dapat dibuat kemungkinan alasan anda dalam pengambilan keputusan antara lain sebagai berikut:

  1. Kolaborasi tim, manajemen atau kepemimpinan partisipatif akan lebih bermakna bagi kepala sekolah, guru dan staf jika mempelajarinya melalui permainan peran.
  2. Para guru dan staf akan mengerjakan tugasnya lebih baik jika mereka secara aktif terlibat dalam apa yang mereka telah putuskan bersama kepala sekolah.
  3. Permainan peran penting bagi kepala sekolah untuk memahami bagaimana cara membangun kerjasama tim dan mengembangkan kepemimpinan partisipatif di sekolah.
  4. Permainan peran adalah suatu metode terbaik bagi para kepala sekolah untuk digunakan dalam mensosialisasikan suatu keputusan di sekolah, seperti halnya keputusan lain yang menyangkut kepentingan warga sekolah atau warga masyarakat tempat kepala sekolah berdomisili.

Alasan tersebut mengakar pada kepercayaan ideal seseorang, termasuk calon/kepala sekolah sehingga melahirkan keputusan metodologis dalam memerankan gaya manajemen atau kepemimpinan partisipatif. Hal ini terkait dengan keputusan yang mungkin diambil oleh seorang kepala sekolah dan tentu demikian pula bagi kepala-kepala sekolah dan tenaga kependidikan atau pengelola dan perancang pendidikan lainnya dalam aktivitas pendidikan.

Untuk itu, perlu diketahui apa keputusan pendidikan yang dibuat seseorang dan apa alasan-alasan dalam membuat keputusan pendidikan. Hal itu adalah cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui filsafat pendidikan yang dipergunakan seseorang dalam mengambil keputusan pendidikan. Disamping itu, merupakan dasar bagi munculnya peranan filsafat pendidikan dalam kehidupan seorang kepala sekolah dan sekaligus mempengaruhi kepercayaan dan tindakan para guru dalam pengambilan keputusan kependidikan dalam sistem persekolahan.

Ada beberapa aliran filsafat yang mendasari prinsip-prinsip fundamental dalam wacana filsafat pendidikan. Hal ini bertolak dari aliran filsafat utama yaitu idealisme, realisme dan pragmatisme, sebagaimana dijelaskan Fitzgibbons (1990) sebagai berikut:

  1. Idealisme. Realitas terakhir menurut idealisme adalah dunia ide atau spiritual (bukan material). Benda fisik atau materi muncul dalam kenyataan, tetapi dunia ide tidak demikian. Pemikiran tentang benda fisik muncul begitu saja adanya. Benda fisik akan muncul hanya dengan munculnya hal yang lebih fundamental yang mendasari realitas, yaitu dunia ide. Segala sesuatu ada sebab Tuhan berpikir tentangnya. Sesuatu itu ada sebagai suatu ide (benda non-materi) di dalam jiwa Tuhan. Aliran idealisme percaya bahwa hakikat manusia secara esensial adalah suatu jiwa. Untuk alasan ini pilihan manusia bukan ditentukan hukum.
  2. Realisme. Menurut aliran ini realitas adalah dunia materi. Semua itu nyata (semua yang ada) bersifat materi dan keberadaannya terbebas dari ide. Materi, kenyataan dan dunia adalah keinginan hukum dan perubahan tertentu yang terjadi berdasarkan hukum alam. Banyak golongan realisme menyangkal bahwa hakikat manusia sebagai jiwa. Penganjur aliran realisme berpendirian bahwa seseorang hanya mahluk biologis dan material. Manusia tidak memiliki kebebasan sebab tunduk pada hukum alam, namun ada pula yang menganggap sebagian tindakan ditentukan dan yang lain memilih bebas.
  3. Pragmatisme. Aliran ini berpendirian bahwa realitas secara benar ada pada pengalaman. Realitas bukan ide, melainkan hanya berupa materi saja. Realitas adalah keinginan hukum tertentu dan tidak dapat dipredisksi dan tidak merupakan hukum alam. Penganut pragmatisme memandang bahwa pendapat tentang adanya dualisme tentang kenyataan, yaitu tubuh dan jiwa yang bebas dan tergantung tidak dapat dipertahankan karena cara ini tidak benar dalam melihat realitas. Menurut aliran pragmatisme, realitas bersifat interaktif, yaitu manusia berinteraksi dengan (pengalaman) lingkungannya. Karakteristik realitas adalah fakta dari perubahan, sebab manusia berhubungan dengan lingkungan sebagai suatu perubahan. Kita sebagai makhluk dapat berpikir untuk mengadakan sesuatu secara teratur dalam lingkungan kita. Kemudian kita melihat realitas sebagai makhluk yang teratur seperti suatu hukum. Akan tetapi pada saat yang sama, lingkungan memerlukan kita untuk mengubah yang teratur tersebut dari waktu ke waktu. Akibatnya, realitas selalu berubah.

Lebih jauh Fitzgibbons (1981) berpendapat bahwa kepercayaan filosofis termasuk bidang epistemologi merupakan kepercayaan mengenai hakikat, batas dan atau keadaan pengetahuan. Apakah epistemologi sebagai cara untuk mengetahui sesuatu? Bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Haruskah sesuatu secara langsung diketahui melalui satu dari lima alat indrawi supaya menjadi tahu? Atau sesuatu dapat diketahui tanpa pengetahuan indrawi? Pertanyaan ini hanya menyangkut hakikat pengetahuan dan kedudukan pengetahuan yang menuntut pertanyaan epistemologis. Jenis jawabannya merupakan kepercayaan epistemologi. Sebagai contoh, ada yang mengatakan anda dapat mengetahui sesuatu hanya dengan melalui pengalaman diri sendiri. Pengalaman pribadi seseorang sebagai hal penting untuk mengetahui sesuatu.

Manusia memiliki kemampuan berpikir dengan akalnya dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, pemikiran filosofis kepala sekolah akan mempengaruhi tindakannya karena kekuatan akal adalah berpikir terhadap kebenaran yang diketahui dan diyakini. Manusia dalam berpikir berpangkal tolak dari filsafat sebagai kepercayaan tingkat tertinggi dalam menentukan pilihan dengan penuh tanggung jawab dan segala akibatnya. Manusia merupakan makhluk yang bebas dan beradab.

Ketiga jenis aliran filsafat tersebut secara khusus ditemukan dalam filsafat pendidikan seseorang sebagai kepercayaan logis terutama tentang kriteria kekuatan akal. Setiap kepala sekolah dan guru memiliki filsafat kependidikan yang mempengaruhinya dalam memahami dan mengambil keputusan di bidang pendidikan. Henderson (1959) berpendapat bahwa filsafat pendidikan sangat penting bagi kepala sekolah dan guru karena apa yang disadarinya tentang hal tertentu dalam kehidupan di sekolah akan mempengaruhi keputusan yang dibuat setiap saat. Dengan kata lain, filsafat pendidikan bagi seseorang merupakan kepercayaan normatif, kepercayaan tentang sesuatu baik dan buruk, benar atau salah, atau yang seharusnya dan yang tidak seharusnya. Keadaan materi, proses dan hasil pendidikan diukur dari kepercayaan normatif tadi dalam kerangka filsafat pendidikan yang diyakini oleh kepala sekolah dan guru serta praktisi pendidikan lainnya. Logika dan kepercayaan normatif penting bagi pembuatan keputusan pendidikan yang cerdas dan efektif.

Filsafat pendidikan merupakan kumpulan kepercayaan seseorang tentang pendidikan, atau sebagai suatu aktivitas dasar tentang pembenaran (activity of justification) karena kegiatannya mencoba membuktikan atau memastikan kebenaran dari kepercayaan filosofis yang relevan dengan pendidikan. Berpikir filosofis tentang pendidikan bermaksud melakukan salah satu dari dua aktivitas, yaitu: (1) mencoba menunjukkan (memberi alasan) bahwa kepercayaan filosofis relevan dengan pendidikan sehingga benar untuk dilaksanakan dan (2) secara kritis menguji alasan yang digunakan dalam mendukung kepercayaan filosofis yang relevan dengan pendidikan. Namun, perlu ditegaskan bahwa menjalankan dua aktivitas itu sekaligus merupakan suatu hal yang sangat penting dalam fungsi aktivitas filsafat pendidikan dalam mengambil keputusan di bidang pendidikan. Keputusan pendidikan yang diambil seorang pakar, perancang, penge1ola (kepala sekolah) dan guru dalam bidang pendidikan harus memiliki alasan logis dan dapat diuji sebagai kebenaran filosofis dan sekaligus normatif bagi pelaksanaan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain, seorang praktisi pendidikan, khususnya kepala sekolah tidak bisa menghindar dari berpikir filosofis tentang pendidikan jika akan membuat keputusan pendidikan secara rasional.


 

Pembuatan Keputusan Dalam Kurikulum

Keputusan dalam membuat kurikulum didasarkan pada apakah secara jelas atau tidak didasarkan pada asumsi dan nilai. Kompleksitas pengambilan keputusan dan kurikulum dalam pendidikan berarti manajer menyimpan perspektif ganda atau kerangka ketika mengumpulkan data, menilai gagasan dan memutuskan apa yang dikerjakan berikutnya. Keterlibatan pihak terkait atau stakeholders (pemerintah, orang tua, kelompok, minat, industri) menambah kompleksitas pembuatan keputusan kurikulum yang menantang para manajer pendidikan, khususnya dalam rangka perluasan informasi dan pengetahuan tentang ideologi yang diperlukan. Bahkan, secara historis kurikulum memiliki kebebasan secara re1atif dari pengawasan pusat, dimana inisiatif kebijakan bagi kita baru tiga tahun terakhir. Hal itu pun baru memberikan kebebasan menyusun kurikulum muatan lokal bagi daerah. Kedua, peningkatan bentuk tantangan kurikulum meskipun ada kurikulum nasional.

Dalam otonomi daerah yang di dalamnya Pemda diberikan kewenangan mengurusi pendidikan di daerah kabupaten dan kota, kemampuan mengambil keputusan dalam kurikulum pendidikan merupakan hal yang perlu diketahui dan ditingkatkan. Sejalan dengan itu, Law dan Glover (2000) menjelaskan bahwa meskipun sentralisasi mulai dikurangi dan beralih pada desentralisasi namun biasanya masih menyisakan berbagai hal dalam sistem, melalui:

  1. Level tinggi dari otonomi guru dan lembaga atas materi pedagogik
  2. Fleksibilitas atas aspek khusus dari isi kurikulum
  3. Penyebaran pembuatan keputusan melalui penggunaan pemerintah otonom pada semua level sistem pendidikan
  4. Mendelegasikan pembuatan keputusan berdasarkan sumber daya finansial.

Bagi manajer pendidikan (Dinas Pendidikan, kepala sekolah, supervisor dan guru) perlu memperhatikan perspektif kurikulum di bawah ini dalam mengambil keputusan kurikulum.

Tabel 5.1    Perspektif Kurikulum
 

Perspektif Klasik 

Perspektif Romantik 

Perspektif Modern

Pendekatan 

Pengajaran kelas


 

Dominasi guru 

Pembelajaran individu

Berpusat pada murid 

Guru fleksibel

Berpusat pada riset 

Filsafat 

Otokratis

Kepastian 

Bebas terkendali

Membingungkan 

Partisipatif

Kemungkinan 

Ideologi 

Konservatif

Disiplin 

Pelepasan

Kebebasan 

Bebas

Bertanggungjawab 

Fokus 

Mata pelajaran

Keterampilan 

Metode

Penemuan 

Proses

Kreativitas 

Hubungan 

Kompetitif

Pengarahan


 

Melakukan sesuatu kepada

Kerja sama

Pengarahan ke dalam

Melakukan sesuatu 

Pertumbuhan

Memenuhi sendiri


 

Melakukan sesuatu dengan 


 


 

Keragaman institusi pendidikan, otonomi sekolah dan interpretasi kepala sekolah atas perintah Dinas Pendidikan kadangkala menghilangkan hubungan antara kenyataan dengan retorika interpretasi kebijakan bahkan mengaburkan pula antara maksud dan tindakan. Semua itu cenderung masih diawasi karena rendahnya kemampuan mengambil keputusan oleh kepala sekolah dan guru mengenai kurikulum sekolah. Di sini diperlukan pakar kurikulum dan pakar pendidikan untuk membantu setiap daerah menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam segala aspek yang mempengaruhinya.

Dalam persoalan pendidikan, pengambilan keputusan tentang kurikulum biasanya didekati secara rasionalitas dan sistemik. Dalam proses pembelajaran sebe1umnya perlu diambil berbagai nilai positif dari materi, tujuan dan metodologi kurikulum pembelajaran. Para kepala sekolah dan guru yang berpengalaman perlu dilibatkan dalam mengambil keputusan akan kurikulum yang diinginkan. Oleh karena itu, kebijakan dan pengambilan keputusan menuntut adanya persetujuan dan monitoring dari Dinas Pendidikan yang didampingi para ahli pendidikan dan kurikulum di setiap daerah.

Upaya lain yang perlu dilakukan adalah penelitian yang menjadi dasar bagi reformasi kurikulum sekolah untuk pengambilan keputusan. Hal itu akan dijadikan bahan masukan dan konsolidasi pemikiran untuk mengambil keputusan rancangan kurikulum baru. Rancangan kurikulum yang akan diputuskan berasal dari pengalaman pembelajaran, baik pembe1ajaran efektif, mengajar efektif dan implikasinya yang berhubungan dengan karakteristik masyarakat dalam hal persamaan dan akses kurikulum berdasarkan suku, gender, agama, latar belakang sosial dan fisik.

Lawton (1990) yang dikutip Law dan Glover (2000) berpendapat bahwa ada lima tingkatan pengambilan keputusan kurikulum, yaitu nasional, daerah, institusional, bagian (unit) dan individu. Keputusan secara berjenjang tersebut menyarankan bahwa keputusan pada setiap tingkatan berhubungan satu sama lain. Jika pengawasan kurikulum dilakukan dari atas ke bawah (top-down) maka inovasi kurikulum dalam institusi dapat dikembangkan dari bawah ke atas (bottom-up), bahkan pengembangan kurikulum dan keputusannya perlu diberikan kewenangan kepada institusi yang paling bawah dalam pengawasan level atas.

Persoalan utamanya adalah masalah sentralisasi dan desentralisasi pengambilan keputusan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum sekolah. Ada dua pendekatan pada perencanaan kurikulum yang berhubungan dengan pencapaian tujuan (rasional dan behavioral/kultural)
dan hubungannya dengan proses pembelajaran. Menurut Law dan Glover (2000), model pengembangan kurikulum yang berhubungan dengan tujuan adalah sebagai berikut.

Model Rasional

Model ini secara esensial bersifat linier dan gerakan pendekatannya melalui empat langkah, yaitu mengkhususkan tujuan, perencanaan isi, susunan metode dan model pembelajaran, serta pengukuran dan evaluasi keberhasilan. Penilaian hasil ini akan memberikan umpan balik bagi pengembangan dinamika sekolah karena terkait dengan mutu lulusan.

Model Perilaku dan Model Budaya

Berkaitan dengan tujuan perilaku tentang perilaku pelajar dijelaskan dalam istilah yang terukur. Rasionalitas berdasarkan atas prestasi yang penting dari keterampilan pembelajaran. Biasanya hal itu dilihat dari domain kognitif, afektif dan psikomotorik dari pembelajaran siswa dimana akan diketahui hasil perubahan perilaku.

Gagasan dari kurikulum berdasarkan lingkungan budaya umum telah ditingkatkan. Tujuannya adalah untuk pembelajaran budaya. Dalam hal ini nilai-nilai budaya dipertahankan dalam perencanaan model kurikulum sesuai konteks masyarakat dan analisis situasional yang akan dipelajari dalam sekolah sebagai institusi sosial.

Model budaya dalam keputusan rancangan kurikulum biasanya menawarkan urutan perencanaan sebagai berikut:

  1. Analisis situasi berdasarkan atas pengaruh internal dan eksternal (harapan masyarakat, orang tua, mata pelajaran yang diajarkan, sistem dukungan guru, aliran sumber daya) dan pengaruh internal (murid, guru, sumber daya material dan masalah) atas lembaga/sekolah;

  1. Formulasi tujuan bagi lembaga di dalam masyarakat;
  2. Pengembangan program;
  3. Interpretasi dan implementasi berdasarkan pada kebutuhan murid;
  4. Pemantauan, umpan balik, penilaian dan rekonstruksi.

Untuk mengembangkan model budaya ini, hal yang penting diperhatikan adalah sebagai berikut:

  1. Perencanaan kurikulum berdasarkan institusional;
  2. Peranan guru dan pertimbangan profesional (ahli) dalam menafsirkan kurikulum;
  3. Kebutuhan pada fokus atas kebulatan kurikulum daripada fragmentasi pendekatan mata pelajaran;
  4. Negosiasi kurikulum dengan mengakomodasi berbagai perspektif berbeda di antara kelompok guru dan pendekatan demokratis kepada manajemen kurikulum.

Pandangan ini menempatkan pelajar sebagai partner yang aktif dan proses pembelajaran lebih bersifat pertemanan. Oleh karena itu, hal ini lebih bersifat pendekatan demokratis pada manajemen kurikulum.


 

Pengambilan Keputusan Partisipatif di Sekolah

Salah peranan kepemimpinan kepala sekolah adalah peranan decisional (pengambil keputusan). Proses pengambilan keputusan partisipatif merupakan suatu bentuk reformasi utama di sekolah pada tahun 1990-an. Di Amerika, cara ini sudah banyak diterapkan oleh Asosiasi Administrator Pendidikan Amerika di sekolah-sekolah kabupaten dan negara bagian. Oleh karena itu, yang perlu dipahami oleh kepala sekolah adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengambilan keputusan partisipatif itu? Dalam konteks otonomi pendidikan di Indonesia maka para kepala sekolah dengan otonomi baru sudah saatnya mendalami bagaimana konsep dan teknik dalam pengambilan keputusan partisipatif.

Pada kenyataannya, melibatkan staf kepala sekolah, guru dan pegawai dalam pengambilan keputusan merupakan hal yang penting bagi keberhasilan pelaksanan keputusan. Adair (1985: 157) menjelaskan bahwa "For a decision will be effective only if is fully implemented. People are more likely to put their hearts into it if they have shared either explicity or implicitly in the making of decision." Di sini lah bagi kepala sekolah selaku manajer pada setiap sekolah penting memahami konsep dasar dan implikasi "membagi" pengambilan keputusan (shared decision making) atau – dalam tulisan ini selanjutnya disebut – pengambilan keputusan partisipatif.

Premis dan Tujuan Pengambilan Keputusan Partisipatif

Pengambilan keputusan partisipatif merupakan suatu pengembangan konsep to grasp, menurut Allen dan Glikman (1992). Kegiatan itu mencakup perubahan fundamental mengenai cara sekolah dikelola dan cara mengungkapkan peranan dan hubungan kepala sekolah dengan masyarakat sekolah. Pengambilan keputusan partisipatif adalah proses membuat keputusan sekolah dalam suasana kerjasama pada semua level. Proses ini berlangsung dalam pola membagi pengambilan keputusan yang "tidak dilakukan sekali dan kemudian dilupakan", melainkan dilakukan secara berkelanjutan.

Menurut Bauer (1992), pengambilan keputusan partisipatif meliputi banyak bentuk dan menekankan beberapa keyakinan umum atau premis. Pertama,
keputusan partisipatif berarti lebih dekat kepada anak didik dan tindakannya sehingga akan dibuat keputusan terbaik tentang pendidikan bagi anak-anak. Kedua, guru, orang tua dan staf sekolah memiliki lebih banyak pendapat tentang kebijakan dan program yang mempengaruhi sekolah dan anak didik. Ketiga, tanggung jawab pengambilan keputusan partisipatif memiliki kekuatan dalam menentukan keputusan. Akhirnya, perubahan yang dilakukan cocok dan efektif dan bila dilaksanakan maka keputusan tersebut menjadi milik bersama kepala sekolah dan seluruh warga sekolah.

Tujuan pengambilan keputusan partisipatif ialah untuk meningkatkan efektivitas sekolah dan pembelajaran murid dengan cara peningkatan komitmen staf dan menjamin bahwa sekolah lebih bertanggung jawab terhadap kebutuhan anak didik dan masyarakat. Keberhasilan anak didik dan prestasi yang dicapai dipelihara dalam pencerahan pemikiran kita sebagai alasan untuk mengimplementasikan pemikiran tentang pengambilan keputusan partisipatif. Penggunaan teknik pengambilan keputusan partisipatif ini bertujuan untuk pergantian akuntabilitas atau mengabaikan tanggung jawab dari atas kepada pusat kekuatan staf, membuat sederhana pembagian pengambilan keputusan kepada yang lain. Setiap orang yang berpartisipasi membuat keputusan harus dimintai tanggung jawab terhadap hasil yang dicapai.

Keuntungan Pengambilan Keputusan Partisipatif

Pengambilan keputusan partisipatif memiliki nilai potensial untuk meningkatkan mutu keputusan, mempermudah penerimaan keputusan dan pelaksanaannya, membangkitkan kekuatan moral staf, meneguhkan komitmen dan tim kerja, membangun kepercayaan, membantu staf dan administrator memperoleh keterampilan baru dan meningkatkan keefektifan sekolah.

Sejumlah alternatif besar dapat diajukan dan dianalisis bila banyak orang dilibatkan. Hal itu seringkali menghasilkan pendekatan inovatif terhadap persoalan. Otonomi dapat dikembangkan, keputusan lebih baik dicapai dibandingkan dengan manajemen sekolah terpusat. Kepercayaan sekolah juga ditingkatkan sehingga staf memperoleh pengertian tentang kompleksitas manajemen dan kepala sekolah mempelajari penghargaan atas pertimbangan program.

Pengambilan keputusan partisipatif membawa sejumlah tantangan. Hal itu menempatkan tuntutan baru atas guru dan administrator. Semua warga sekolah harus mengusahakan dengan beban kerja berlebih dan rasa kecewa atas kelambanan proses kelompok. Peningkatan tuntutan atas waktu warga sekolah mungkin diletakkan pada penyimpangan besar untuk melaksanakan dan mempertahankan pengambilan keputusan bersama.

Dalam lingkungan pengambilan keputusan bersama, kepala sekolah dan para guru yang secara tipikal bekerja dalam keterbatasan juga harus memperhatikan warga sekolah yang lain, bernegosiasi, memecahkan perbedaan dan membuat keputusan dengan memperhatikan persoalan yang secara tradisional berada dalam ruang lingkup tugasnya. Untuk melakukannya secara efektif, kepala sekolah bersama guru dan staf harus mengembangkan dirinya ke dalam lapangan baru sebagai tenaga ahli.

Perubahan Peran Kepala Sekolah

Keputusan untuk bekerjasama tidak menggantikan fungsi dan peran kepala sekolah sebagai pengambil keputusan atas semua persoalan di sekolah. Kepala sekolah menjadi bagian dari tim pengambilan keputusan dan akan menyerupai membuat keputusan atas persoalan di luar ruang lingkup dari kelompok pengambil keputusan atau panitia. Kepala sekolah memainkan peranan penting dalam membangun dan mempertahankan pengambilan keputusan bersama.

Stine (1993) menjelaskan bahwa peran baru kepala sekolah sebagai pengorganisasi, pemberi nasihat dan pembangun konsensus memperoleh manfaat dari kelompok pemikir. Dengan kata lain, kepala sekolah menggunakan pengambil keputusan bersama sebagai "konsultan internal", yaitu orang yang memberikan penelitian baru dan nasihat kepada staf. Penekanan lain dalam aspek kemudahan adalah sebagai penemu ruang dan waktu bagi staf untuk bertemu dan menolong kelompok kerja secara efektif serta meminimalisasi perpecahan dan penolakan bagi anggota pengambilan keputusan bersama. Kepala sekolah menolong sekolah agar dapat mengambil keputusan secara bersama dengan menciptakan situasi kooperatif, iklim percaya dan peluang bagi staf untuk menyatakan gagasan dan menempatkan prioritas atas pengembangan keprofesionalan.

Faktor-faktor Keberhasilan Pelaksanaan Keputusan

Ada beberapa petunjuk yang disarankan oleh para perintis pengambilan keputusan bersama (partisipatif) sebagai berikut:

  1. Mulai dari yang kecil dan berjalan dengan pelan. Untuk hal ini banyak bukti yang dapat dijadikan sebagai pelajaran dalam adopsi inovasi. Oleh karena itu, pengambilan keputusan partisipatif akan lebih berhasil jika diawali dengan langkah kecil daripada "perubahan menyeluruh" yang dianggap asing oleh warga sekolah. Caranya ialah menganalisis kebutuhan sekolah, kemudian mengadaptasi pemilihan proses yang memperhatikan situasi lokal. Komponennya dapat ditambahkan bila staf sudah siap.
  2. Setuju atas penataan yang khusus. Tidak ada kebenaran "tunggal" dalam cara melakukan pengambilan keputusan bersama. Hal itu bergantung atas apa yang diinginkan dari kebersamaan. Banyak sekolah mengembangkan satu tim pengambilan keputusan atau menggunakan kelompok lain atau komite. Jika tidak ada mandat maka dapat diputuskan orang yang akan terlibat (bisa saja guru, pelajar, orang tua, anggota masyarakat dan konsultan luar). Ukuran kelompok dapat bervariasi dari sembilan sampai tujuh belas orang yang penting ada jaminan bahwa kelompok terwakili. Selanjutnya, menentukan bagaimana keputusan akan dibuat (ambil suara terbanyak atau konsensus) dan siapa yang akan membuat keputusan akhir atas persoalan yang dihadapi.
  3. Prosedur yang jelas mengenai peranan dan harapan. Staf membutuhkan pengertian akan langkah-langkah dan prosedur untuk diikuti sebelum keputusan dibuat. Ketidakjelasan proses menciptakan kebingungan yang menimbulkan fragmentasi tindakan. Sementara itu, kejelasan proses memberdayakan anggota kelompok juga membutuhkan pengertian apakah mereka diikutkan membuat batang tubuh keputusan atau sebagai pemberi masukan saja. Hal ini akan mengurangi moral kelompok untuk berpikir membuat keputusan hanya mengambil keputusan demi kepentingannya semata.
  4. Berikan kesempatan setiap orang untuk melibatkan diri. Keputusan yang dibuat berdasarkan pemikiran administratif dalam menghadapi memilih atau kelompok sukarelawan mungkin mendahului sebagai keputusan dari atas ke bawah. Kedudukan para sukarelawan atau kekuatan tugas mereka memberikan peluang baginya untuk berpartisipasi sebanyak atau sesedikit mungkin sesuai yang diinginkan. Paling tidak, semua guru dan staf dapat mengaksesnya.
  5. Bangun kepercayaan dan dukungan. Jika kurang kepercayaan dan penghargaan di antara administrator, guru dan staf maka dapat dipastikan pengambilan keputusan bersama kurang dapat diterima. Oleh karena itu, jangan menolak solusi kelompok atau lebih kuat memberikan keputusan kepada kelompok pengambil keputusan bersama. Derajat dukungan yang kurang juga menjadi gagal jika kultur luar sekolah tidak berubah.


 

Persolan yang Menjadi Fokus

Suatu hal yang sangat sukar bagi banyak sekolah adalah seringkali tidak ada orang di luar sekolah yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan bersama dan bagaimana kesukaran itu diarahkan. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara mendorong sekolah mengatasi persoalan yang kompleks maka Kirby (1992) menyarankan bahwa tim pengambilan keputusan bersama akan lebih cocok untuk terfokus pada isu-isu yang lebih besar ketika bermaksud memecahkannya pertama kali. Pengetahuan berperan dalam mempercepat pemecahan masalah pembelajaran dan akan lebih berhasil jika pengambil keputusan secara keseluruhan memeriksa alternatif, mencari informasi kepada yang lain dan menganalisis konsekuensi sebelum keputusan dibuat.

Pengambilan keputusan bersama bukanlah "panacea" atau obat mujarab yang menyembuhkan segala penyakit dalam menangani problem pendidikan secara cepat dan baik. Namun diakui pula bahwa pendekatan ini merupakan sumber daya bernilai yang harus dipandang dalam konteks restrukturisasi sekolah dan bagian dari harapan yang benar untuk menghasilkan perubahan di sekolah.


 

Keterbatasan Teknik Pengambilan Keputusan Partisipatif

Menurut Adair (1985: 157), "management in not solely about getting the intellectual quality of a decision right, important though it is
to do so. It is about getting result through people. Therefore the manager will need to include other people in the process of decision making". Dalam pengambilan keputusan partisipatif, kepala sekolah bersama para guru adalah pemain kunci dalam menentukan kebijakan sekolah dan pelaksanaannya. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa orang yang dekat dengan pembelajaran murid merupakan aktor terbaik untuk membuat keputusan pendidikan.

Para penganjur mengatakan bahwa pengambilan keputusan partisipatif akan meningkatkan pembelajaran murid, menciptakan kepuasan guru dan mengembangkan bentuk baru kepemimpinan yang disebut kepemimpinan partisipatif (Robbins et al, 1994). Pertanyaannya apakah pengambilan keputusan partisipatif mengantarkan janji-janji ini?

  1. Apakah pengaruh yang diprediksi dari pengambilan keputusan partisipatif? Menurut Liontos (1994), tujuan utama pengambilan keputusan partisipatif adalah untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran. Sejak murid belajar di kelas, guru seharusnya terlibat secara mendalam dalam proses membuat keputusan. Kedua, hasil yang diharapkan adalah meningkatkan kepuasan kerja. Keterlibatan guru dalam pembuatan keputusan akan menciptakan kepemilikan, komitmen dan perasaan diberdayakan sebagai wujud kepemimpinan bersama di sekolah. Ketiga, pengambilan keputusan partisipatif akan menciptakan bentuk baru kepemimpinan.
  2. Bagaimana pengambilan keputusan partisipatif mempenagruhi pengajaran dan pembelajaran? Sejauh ini masih sedikit bukti yang konsisten bahwa pengambilan keputusan partisipatif meningkatkan prestasi murid (Edward Miller, 1995). Sementara itu, pengambilan keputusan partisipatif mungkin terlalu dini untuk mengharapkan hasil menakjubkan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa usaha-usaha pengambilan keputusan partisipatif selalu diarahkan sebagai isu inti dari pengajaran dan pembelajaran. Kajian terhadap pengambilan keputusan partisipatif seringkali menyebutkan suatu kecenderungan fokus atas isu yang remeh seperti masalah perparkiran, pengawasan bus dan merokok dalam ruang istirahat. Griffin (1995) menemukan bahwa ketika guru bermaksud menangani isu sekolah yang luas sebagaimana kerangka kerja kurikulum, mereka selalu melakukan ujian harian di kelas. Weiss (1995) menemukan bahwa sekolah yang menerapkan pengambilan keputusan partisipatif kadang-kadang meluncurkan pembaruan signifikan, tetapi yang mendorong inovasi biasanya datang dari oposisi banyak guru yang melawan kepala sekolah. Partisipasi guru dilakukan sebagai rem atas reformasi sekolah. Dalam menghadapi temuan negatif, peneliti berspekulasi bahwa budaya sekolah tradisional mungkin menghalangi pengambilan keputusan partisipatif. Peranan baru dan hubungan membingungkan akan memakan waktu dan sering kurang menyenangkan. Pengambilan keputusan partisipatif mungkin dianggap secara skeptis sebagai hanya mode iseng yang lain, dengan memberikan kepada guru sedikit alasan untuk mentransfer kesetiaannya pada cara baru melakukan sesuatu.
  3. Bagaimana pengambilan keputusan partisipatif mempengaruhi kepuasan guru? Weiss, dkk. (1992) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan partisipatif sering menciptakan konflik di antara guru. Pada kesempatan lain Weiss (1993) mengatakan bahwa pada kelompok yang diteliti tidak terlihat kemajuan yang linier dalam pengambilan keputusan partisipatif di sekolah karena dii mana saja terjadi peningkatan dan penurunan, gerakan, optimisme dan keputusasaan. Pengambilan keputusan partisipatif merupakan proses yang berkelanjutan.
  4. Bagaimana kepala sekolah mengarahkan proses pengambilan keputusan partisipatif? Dalam teorinya, pengambilan keputusan partisipatif dianggap sebagai model baru kepemimpinan (kepemimpinan partisipatif), dimana para guru memberikan keahliannya dan kepala sekolah lebih berperan sebagai fasilitator daripada pengatur. Para guru seringkali cenderung membentuk peranan baru mereka dengan asumsi lama. Sebagai contoh, Spaulding (1994) meneliti seorang kepala sekolah memanipulasi secara sadar proses untuk menggerakkan pengambilan keputusan partisipatif sesuai arah yang diinginkan dengan menanamkan ide-ide, menekan lawan dan menunjukkan keterkenalan untuk pendukung. Ciri pendekatan kepala sekolah ini "berjalan melalui gerakan" pengambilan keputusan partisipatif, tetapi kepala sekolah masih melihat dirinya sebagai sumber keputusan. Bahkan, ketika kepala sekolah memiliki tekad melakukan pengambilan keputusan partisipatif, dia masih memiliki akuntabilitas khusus yang membuat upaya pengambilan keputusan partisipatif sukar difasilitasi.
  5. Pelajaran apa yang dapat dipelajari tentang pengambilan keputusan partisipatif? Penelitian dan praktik yang bijaksana menunjukkan secara jelas bahwa pengambilan keputusan partisipatif tidak mudah bagi setiap orang. Sekolah yang akan menggunakan teknik pengambilan keputusan partispatif seharusnya dipersiapkan melalui proses waktu yang lama dan memerlukan pertimbangan latihan. Kepala sekolah yang sudah berhasil melakukan pengambilan keputusan partisipatif secara sadar berusaha membangun efektivitas keterampilan pengambilan keputusan dan strukturnya.


 

Pengambilan Keputusan untuk Mengembangkan Sekolah

Nilai demokratis menyatakan secara tidak langsung bahwa banyak orang yang mempengaruhi suatu keputusan yang akan dikonsultasikan. Gagasan ini adalah logika yang wajar dari suatu motto revolusioner: tidak ada perhitungan tanpa keterwakilan. Dalam suatu sistem persekolahan, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan memiliki tidak hanya suatu dasar etika, tetapi sekaligus memberikan keuntungan praktis. Orang yang dipengaruhi oleh suatu keputusan mengetahui apa kebutuhan yang terbaik dan untuk apa perluasan kebijakan yang efektif dalam mencapai kebutuhan tersebut. Mereka begitu dekat pada situasi dan mengetahui atau dapat memahami kondisi yang terjadi dan memiliki taruhan khusus (yang kadang-kadang menjadi kepentingan) dalam melihat keputusan yang tidak akan mempengaruhi atau merugikan kepentingannya.

Menurut Newel (1992), pembuatan keputusan partisipatif dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik sebab sejumlah pemikiran orang diperkenalkan dalam memecahkan suatu masalah. Jika orang dilibatkan dalam membuat keputusan maka orang tersebut lebih suka untuk melaksanakan keputusan itu secara efektif. Prosedur partisipasi dalam pembuatan keputusan membantu penyatuan tujuan individu dengan tujuan organisasi. Partisipasi dalam pembuatan keputusan bermakna bagi perkembangan individu dan bagi upaya fungsionalisasi diri, proses membangun keterampilan kelompok dan pengembangan kompetensi kepemimpinan. Barangkali, nilai yang paling besar dari keikutsertaan dalam pengambilan keputusan adalah kekuatan pengertian yang disampaikan kepada individu. Peserta membutuhkan respek dari orang lain dalam rangka aktualisasi dirinya.

Berbagai penelitian menemukan bahwa orang memberikan respek dan memperoleh manfaat dari teknik pengambilan keputusan partisipatif. Temuan itu menunjukkan bahwa:

  1. Individu kehilangan kepentingan dalam pemecahan masalah jika tidak terlibat secara aktif;
  2. Partisipasi dalam pembuatan keputusan mengurangi penolakan terhadap perubahan, karena kelompok dapat terus berfungsi secara efektif meskipun kehilangan kedudukan sebagai pemimpin jika kepemimpinan telah dibagi dengan anggota kelompok;
  3. Keterlibatan dalam pengawasan yang berhubungan dengan tugas dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja;
  4. Interaksi kelompok seringkali mengarahkan untuk mengambil risiko lebih besar atas bagian daripada anggota kelompok, bahwa kelompok pembuat keputusan memperkuat nilai perilaku anggota kelompok yang secara umum diterima dalam budaya tertentu;
  5. Partisipasi dalam pembuatan keputusan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasan guru di sekolah;

Temuan penelitian di atas meneguhkan asumsi bahwa peningkatan peranan individu dan kelompok dalam proses pembuatan keputusan dapat meningkatkan produktivitas dan kepuasan diri yang lebih besar. Penelitian ini juga menemukan bahwa peningkatan peranan manajemen (level) bawah dalam pembuatan keputusan dapat meningkatkan produktivitas.

Disamping temuan penelitian di atas, ada beberapa temuan berbeda yang diperoleh dalam penelitian Alutto dan Belasco (Newwel, 1978) yang telah mengidentifikasi tiga keadaan keputusan dari para guru, yaitu: (1) kehilangan (guru yang ingin lebih berpartisipasi); (2) keseimbangan (guru yang ingin tidak ada perubahan dalam partisipasinya sekarang); (3) kejenuhan (para guru yang ingin mengurangi partisipasinya). Temuan ini berdasarkan pandangan guru muda yang mengajar pada sekolah menengah di daerah pinggiran yang merasa kehilangan kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan guru yang lebih tua pada sekolah dasar di daerah pertanian cenderung mengalami rasa jenuh yang sangat besar dalam pengambilan keputusan. Singkatnya, temuan penelitian secara umum mengindikasikan bahwa keterlibatan dalam pengambilan keputusan sangat disukai, tetapi struktur pembuatan keputusan harus cukup fleksibel untuk membolehkan bagi keragaman tingkat partisipasi.

Menurut Simon (1985: 177), aspek internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku individu dalam organisasi hubungannya dengan pengambilan keputusan adalah kewenangan, komunikasi, pelatihan, efisiensi dan loyalitas kepatuhan. Kelima aspek ini merupakan konsep yang dapat mendorong seseorang membuat dan melaksanakan keputusan organisasi. Di dalamnya ada premis nilai dan premis fakta. Oleh karena itu, kewenangan ada dalam struktur formal organisasi yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap perilaku seseorang sebagai anggota organisasi dibanding yang lainnya. Unity dan coordination membentuk group mind.

Simon (1985: 179) selanjutnya menyatakan bahwa "Authority is as the power to make decision which guide actions of anothers". Dalam hal ini pola perilaku dari kewenangan menurutnya adalah perintah. Kewenangan ada dalam hubungan antara atasan dengan bawahan. Oleh karena itu, pimpinan membuat dan mengirimkan keputusan dengan harapan bawahan menerima. Sementara itu, bawahan berharap akan melakukan pekerjaan berdasarkan keputusan tersebut.

Cara manajer menentukan saat yang tepat menggunakan wewenangnya adalah dengan cara mengomunikasikan keputusan yang dibuatnya kepada bawahan untuk memelihara koordinasi perilaku dalam satu kelompok dimana keputusan atasan dikomunikasikan kepada yang lain. Dalam hal ini fungsi keputusan menurut Simon (1997: 187) ada tiga, yaitu (1) it enforce responsibility of the individual to choose who wield the authority; (2) it secures expertise in the making of decisions; (3) it permits coordination of activity. Dengan demikian, jika semua warga sekolah memahami fungsi keputusan yang mencakup upaya memperkuat tanggung jawab individu kepala sekolah bersama warga sekolah untuk mau menjalankan kewenangan, memelihara keahlian dalam membuat keputusan dan memungkinkan adanya koordinasi aktivitas maka konflik dapat dihindarkan di antara anggota organisasi sekolah.

Pertimbangan yang didijadikan sebagai premis dalam menggunakan wewenang adalah pertimbangan nilai dan pertimbangan fakta. Pertimbangan nilai menyangkut nilai, budaya, pandangan dan pengalaman seseorang yang dipakainya dalam menggunakan wewenang. Sedangkan pertimbangan fakta berdasarkan data dan informasi yang ada untuk digunakan dalam kewenangan organisasi. Kedua pertimbangan tersebut sangat penting difungsikan dalam wewenang karena dengan begitu akan dapat melahirkan loyalitas bawahan melaksanakan keputusan.


 

DAFTAR RUJUKAN


 

Akib, Haedar. 2007. Perubahan dan Pengembangan Organisasi Sekolah menuju Sekolah Efektif, (powerpoint), Direktorat Tenaga Kependidikan, Depdiknas Jakarta.

Anzizhan, Syafaruddin. 2006. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan, Grasindo Jakarta.

Beer, Michael. 1980. Organization Change and Development, Scott, Foresman and Company, Gleview Illinois, USA.

Bennis, Warren G. 1969. Organization Development, Addison-Wesley Publishing Company USA.

Cowley M., & Domb E. 1997. Beyond Strategic Vision, Butterworth-Heineman, Newton MA.

Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan, Pustaka Setia Bandung.

Depdiknas. 2000. Manajemen Sekolah, Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan menengah, Direktur Sekolah Lanjutan Pertama, Jakarta.

Depdiknas. 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education), Dikdasmen, Jakarta.

Depdiknas. 2007. Kumpulan Makalah Sajian, Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.

French, Wendell L et al (ed.). 2000. Organization Development and Transformation: Managing Effective Change, Irwin McGrall-Hill Singapore.

Gilley, Jerry W and Ann Maycunich. 2000. Beyond the Learning Organization, Perseus Books Cambridge, Massachusetts.

Gouillart, Francis J., and James N. Kelly. 1995. Transforming the Organization, McGraw-Hill, Inc., New York.

Hasan, Iqbal. 2004. Teori Pengambilan Keputusan, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan.

Indrawijaya, Adam. 1983. Perubahan dan Pengembangan Organisasi, Sinar Baru Bandung.

Iswanto, Yun dan Renny Purwanti. 2002. Manajemen Perubahan, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta.

Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.

Kasali, Rhenald. 2006. Change, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kotter J.P. 1996. Leading Change, Harvard Business School Press.

Lussier, Robert N and Christopher F. Achua. 2001. Leadership: Theory, Application, Skill Development, South-Western College Publishing, United States.

Marquardt, Michael J. 1996. Building the Learning Organization, McGraw-Hill Companies, Inc. USA.

Miles, R. 1997. Leading Corporate Transformation, Jossey Bass, San Francisco.

McFarland, Dalton. 1979. Management, Foundations and Practices, Macmillan Publishing Co,. Inc. New York and Collier Macmillan Publishers, London.

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Rachmany, Hasan. 2006. Kepemimpinan dan Kinerja, Yapensi Jakarta.

Sagala, Syaiful.2007. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Alfabeta Bandung.

Schein, Edgar H. 1992. Organizational Culture and Leadership, Jossey-Bass Publishers San Francisco.

Senge P., Kleiner, A., Roberts, C., Ross, & Smith, B. 1994. The Fifth Discipline Fieldbook, Dobleday new York.

Soenarno, Adi. 2007. Decision Making and Problem Solving: Games untuk Pelatihan Manajemen, ANDI Yogyakarta.

Sulaksana, Uyung. 2004. Manajemen Perubahan, Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Syafaruddin, Anzizhan. 2006. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan, Grasindo Jakarta.

Trahant, B, Burke, W.W., & Koonce, R. Principles of Organizational Transformation, Management Review, 86 (8) September 1997, p. 17-21.

Wahjosumidjo. 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah, PT RajaGarfindo Persada; Jakarta.

Walton, Douglas C. 2000. Twelve Heuristics of Successful Organizational Transformation,
http://www.networkeddemocracy.com/www/pdf/12_heuristics.pdf (diakses 16 Agustus 2003).

Wharton. 2002. Leadership Made Simple, Wharton Books (S) Pte Ltd, Henderson Industrial Park Singapore.

EVALUASI PROSES DIKLAT


 

Aktivitas Peserta Menurut Fasilitator

Penampilan

No 

ASPEK PENILAIAN

ALTERNATIF 

ST 

T 

S 

R 

SR 

1 

Kesiapan peserta mengikuti diklat 

     

2 

Kehadiran dalam kegiatan belajar 

     

3 

Semangat belajar 

     

4 

Kesungguhan memperhatikan sajian 

     

5 

Energi mengikuti kegiatan 

     


 

Keterangan:

ST     =     Sangat Tinggi

T     =     Tinggi

S     =     Sedang

R     =     Rendah

SR     =     Sangat Rendah


 


 

Aktivitas Belajar

No 

ASPEK PENILAIAN 

ALTERNATIF 

ST 

T 

S 

R 

SR 

1 

Intensitas mendengarkan 

     

2 

Intensitas mencatat 

     

3 

Intensitas bertanya 

     

4 

Intensitas menjawab 

     

5 

Frekuensi bertanya

     

6 

Frekuensi menjawab 

     

7 

Penguasaan materi 

     


 

Keterangan:

ST     =     Sangat Tinggi

T     =     Tinggi

S     =     Sedang

R     =     Rendah

SR     =     Sangat Rendah


 


 


 

Evaluasi Terhadap Materi

Evaluasi Materi Menurut Peserta:

No 

ASPEK PENILAIAN 

ALTERNATIF 

SB 

B 

S 

J 

SJ 

1 

Relevansi materi 

     

2 

Penggunaan bahasa 

     

3 

Kemudahan dipahami 

     

4 

Waktu penyajian 

     

5 

Tugas-tugas latihan 

     


 

Keterangan:

SB     =     Sangat Baik

B         =     Baik

S         =     Sedang

J         =     Jelek

SJ        =     Sangat Jelek


 


 


 


 

Performansi Fasilitator Menurut Peserta:

No 

ASPEK PENILAIAN 

ALTERNATIF 

SB 

B 

S 

J 

SJ 

1 

Penguasaan materi 

     

2 

Penggunaan metode penyajian 

     

3 

Kesungguhan pembimbingan 

     

4 

Penggunaan bahasa 

     

5 

Sikap dan penampilan 

     


 

Keterangan:

SB     =     Sangat baik

B     =     Baik

S     =     Sedang

J     =     Jelek

SJ     =     Sangat Jelek


 


 


 


 

Penyelenggaraan Pelatihan

No 

ASPEK PENILAIAN 

ALTERNATIF 

SB 

B 

S 

J 

SJ 

1 

Kualitas tempat/ ruangan pelatihan 

     

2 

Kondisi alat bantu penyajian 

     

3 

Kuantitas makalah untuk peserta 

     

4 

Kuantitas alat tulis untuk peserta 

     

5 

Kualitas sarana akomodasi 

     

6 

Kualitas dan kuantitas bahan konsumsi utama 

     

7 

Kualitas dan kuantitas bahan konsumsi pendukung 

     

8 

Kualitas sarana transportasi 

     

9 

Kualitas dan kuantitas sarana kesehatan

     


 

Keterangan:

SB     =     Sangat Baik

B     =     Baik

S     =     Sedang

J     =     Jelek

SJ     =     Sangat Jelek

Saran dan Komentar Umum Peserta

(terkait dengan persiapan, pelaksanaan kegiatan ini)

..................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

    


 


 

Baca selengkapnya......