Kamis, Februari 05, 2009

TOT Diklat Calon Pengawas Tahun 2009 (01: Kode 01-B1-Mengenal Diri Sendiri


 


 


 


 


 



 


 


 


 


 


 


 


 

PENGENALAN DIRI


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN

DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU

PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

2008

KATA PENGANTAR


 

    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah berisi standar kualifikasi dan kompetensi pengawas sekolah. Standar kualifikasi menjelaskan persyaratan akademik dan nonakademik untuk diangkat menjadi pengawas sekolah. Standar kompetensi memuat seperangkat kemampuan yang harus dimiliki dan dikuasai pengawas sekolah untuk dapat melaksanakan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.

    Ada enam dimensi kompetensi yang harus dikuasai pengawas sekolah yakni: (a) kompetensi kepribadian, (b) kompetensi supervisi manajerial, (c) kompetensi supervisi akademik, (d) kompetensi evaluasi pendidikan, (e) kompetensi penelitian dan pengembangan, dan (f) kompetensi sosial. Dari hasil uji kompetensi di beberapa daerah menunjukkan kompetensi pengawas sekolah masih perlu ditingkatkan terutama dimensi kompetensi supervisi manajerial, supervisi akademik, evaluasi pendidikan dan kompetensi peneli- tian dan pengembangan. Untuk itu diperlukan adanya diklat peningkatan kompetensi pengawas sekolah baik bagi pengawas sekolah dalam jabatan terlebih lagi bagi para calon pengawas sekolah.

    Materi dasar untuk semua dimensi kompetensi sengaja disiapkan agar dapat dijadikan rujukan oleh para pelatih dalam melaksanakan diklat pening- katan kompetensi pengawas sekolah di mana pun pelatihan tersebut dilaksanakan. Kepada tim penulis materi diklat kompetensi pengawas sekolah yang terdiri atas dosen LPTK dan widya iswara dari LPMP dan P4TK kami ucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini ada manfaatnya.


 

Jakarta, Juni 2008

Direktur Tenaga Kependidikan

Ditjen PMPTK


 


 


 

Surya Dharma, MPA., Ph.D


 


 

DAFTAR ISI


 


 

KATA PENGANTAR        i

DAFTAR ISI        ii

BAB I PENDAHULUAN        1

A. Latar Belakang        1

B. Dimensi Kompetensi        2

C. Kompetensi yang Hendak Dicapai        2

D. Indikator Ketercapaian        2

E. Alokasi Waktu        2

F. Skenario Pelatihan        3

BAB II PENGENALAN DIRI

A Tipe-tipe Kepribadian        4

B. Cara Membina Hubungan         8

BAB III MENGELOLA STRES

A. Gejala-gejala Stres        21    

  1. Faktor-Faktor Penyebab Stres        23
  2. Reaksi Adaptasi Terhadap Stres        24
  3. Mengelola Stres        25


    BAB IV MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPERILAKU ASERTIF

    A. Perilaku Submisif, Agresif, dan Asertif        28

    B. Melatih Diri Berperilaku Asertif         31

BAB V MEMPENGARUHI ORANG LAIN SECARA POSITIF

A. Memberdayakan Orang Lain        35

B. Mendengar Orang Lain        37

DAFTAR PUSTAKA        44

    

 

BAB I

PENDAHULUAN


 

A.     Latar Belakang.

     Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk mewujudkan visi tersebut tentu segala sumber daya harus dikerahkan adar berfungsi optimal sesuai dengan posisi dan kapsistas masing-masing. Semua pendidikan dan tenaga kependidikan serta siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini hendaknya memiliki komitmen yang sama.     

Salah satu unsur tenaga kependidikan yang memiliki peran strategis untuk membina, memantau, memberikan supervisi, dan mengevaluasi satuan atau lembaga pendidikan adalah Pengawas. Melihat tugasnya tersebut, semestinya pengawas memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan mutu pendidikan, yang pada akhirnya akan mewujudkan visi pendidikan nasional di atas. Peran tersebut tentunya menurut penguasaan berbagai kompetensi pada diri pengawas.

Salah satu kompetensi pengawas yang mendasari seluruh kompetensi lainnya, karena berkaitan dengan aspek nilai dan sikap serta motivasi dan komitmen adalah kompetensi kepribadian. Tanpa didukung oleh pribadi yang baik maka pengawas tidak akan dapat menunaikan tugasnya secara optimal, terutama dalam membina para kepala sekolah dan guru. Pengawas idealnya memiliki pribadi yang menarik, mudah berkomunikasi, terbuka, berpikir dan bersikap positif, serta dapat melihat dan menempatkan dirinya secara proporsional.

Dengan latar belakang di atas, maka materi pelatihan pengenalan diri ini menjadi penting dalam rangka mengembangkan pengawas pendidikan yang kompeten.


 


 


 

B.     Dimensi Kompetensi

    Dimensi kompetensi yang diharapkan dibentuk pada akhir pendidikan dan pelatihan ini adalah dimensi kompetensi kepribadian.

        

C. Kompetensi yang Hendak Dicapai

        Setelah menyelesaikan pelatihan ini Pengawas diharapkan dapat memahami cara mengenali dan menemukan kekuatan dan kelemahan pada diri sendiri sehingga membantu dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.


 

D.     Indikator Pencapaian

        Setelah mengikuti pelatihan ini, Pengawas diharapkan dapat:

1. Menjelaskan konsep pengenalan diri dan langkah-langkahnya

2. Mengidentifikasi tipe kepribadiannya sendiri

2. Mendeskripsikan langkah-langkah dalam mengelola stres dan mencoba menerapkannya.

3. Menjelasakan perilaku asertif dan upaya mewujudkannya

4. Menjelaskan langkah-langkah dalam mempengaruhi orang lain secara positif.

5. Melaksanakan pembinaan kepada kepala sekolah/guru sesuai dengan tipe kepribadian dan kecenderungan perilaku masing-masing.


 

E.      Alokasi Waktu

No. 

Materi Diklat 

Alokasi 

1. 

Konsep pengenalan diri dan langkah-langkahnya

2 jam 

2. 

Mengelola stres

2 jam 

3. 

Perilaku asertif dan upaya mewujudkannya

3 jam 

4. 

Mempengaruhi orang lain secara positif

3 jam 


 

F. Skenario

1. Perkenalan

2. Penjelasan tentang dimensi kompetensi, indikator, alokasi waktu dan skenario pendidikan dan pelatihan pengenalan diri.

3. Pre-test

4. Eksplorasi pemahaman peserta berkenaan dengan langkah-langkah pengenalan diri, mengelola stres, dan mempengaruhi orang lain melalui pendekatan andragogi.

5. Penyampaian Materi Diklat:

a. Menggunakan pendekatan andragogi, yaitu lebih mengutamakan pengungkapan kembali pengalaman peserta pelatihan, menganalisis, menyimpulkan, dan mengeneralisasi dalam suasana diklat yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan bermakna. Peranan pelatih lebih sebagai fasilitator.

b. Diskusi tentang indikator keberhasilan pengenalan diri dan mempe-ngaruhi orang lain.

c. Praktik pengisian kuesioner pengenalan diri.

6. Post test.

7. Refleksi bersama antara peserta dengan pelatih mengenai jalannya pela-tihan.

8. Penutup

    
 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB II

PENGENALAN DIRI


 

Profesi apa pun yang dipilih seseorang pasti menuntut tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Demikian pula dengan profesi Pengawas Pendidikan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun2007 Tentang Standar Kompetensi Sekolah/madrasah dinyatakan bahwa seorang pengawas satuan pendidikan memiliki tugas (1) melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan (2) meningkatkan kualitas proses belajar mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bim- bingan siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

Dari uraian tugas tersebut jelas bahwa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, para pengawas satuan pendidikan harus memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain (dalam hal ini kepala sekolah, guru, dan staf sekolah) dan mampu memotivasi mereka untuk terus maju dan berubah ke arah lebih baik.

Akan tetapi, berhubungan dengan orang lain dan mendorong mereka untuk berubah bukanlah sesuatu yang mudah. Pernahkan kita merenungkan, mengapa seseorang memberikan respons yang berbeda dengan orang lain padahal kita menyatakan hal yang sama dan dengan cara yang sama pula kepada mereka? Alasan yang paling mendasar adalah bahwa tiap manusia memiliki tipe kepribadian yang berbeda, dan setiap tipe kepribadian memiliki prioritas yang berbeda pula, baik dalam bertindak, berinteraksi, maupun bereaksi terhadap orang lain. Karena adanya perbedaan inilah, maka para pengawas satuan pendidikan perlu memiliki bekal untuk mengenali berbagai karakteristik kepribadian, baik karakteristik kepribadian dirinya sendiri maupun orang lain, sehingga bisa menjalin hubungan dengan baik untuk bisa mencapai tujuan yang diharapkan.


 

A. Tipe-tipe Kepribadian

Menurut William Marston, tipe kepribadian seseorang dapat diketahui berdasarkan observasi terhadap pola perilaku yang ditampilkannya. Tipe kepribadian tersebut terdiri atas tipe dominant, inspiring, supportive, dan cautious. Tiap tipe kepribadian tersebut menggambarkan paduan dari dimensi gaya hubungan dengan orang lain, yaitu peramah (outgoing) atau pendiam (reserved) dan dimensi prioritas, yaitu berorientasi terhadap tugas (task-oriented) atau berorientasi terhadap orang (people-oriented). Hal ini divisualisasikan dalam gambar 2.1. di bawah ini:

 

OUTGOING 

 

TASK ORIENTED 

D 

I 

PEOPLE ORIENTED 

C 

S 

 

RESERVED 

 


 

Gambar 2.1. Paduan Gaya Hubungan yang Menunjukkan Tipe Kepribadian


 

  • Tipe D (Dominant) merupakan perpaduan Outgoing dan Task-oriented.

  • Tipe I (Inspiring) merupakan perpaduan Outgoing dan People-oriented
  • Tipe S (Supportive) merupakan perpaduan Reserved dan People-oriented
  • Tipe C (Cautious) merupakan perpaduan Reserved dan Task-oriented

Rincian karakteristik dari tiap-tiap tipe kepribadian tersebut adalah sebagai berikut:

A. TIPE "DOMINANT"

Kata-kata penjelas 

Dominan (dominant), pengatur (direct), penuntut/banyak permintaan (demanding), tegas (decisive), tekun (determined), pelaku (doer)

Mind-set 

Lakukan! Wujudkan! Raih kemenangan! Hasil! 

Hal yang disukai 

Kegiatan, Kompetisi, Kerja keras, Melakukan sesuatu, Tantangan, Mendapatkan hasil, Menjadi pimpinan, Menyelesaikan tugas-tugas 

Mereka adalah orang yang

Goal-oriented, tidak mudah puas, percaya diri, tabah, tekun, menyadari pentingnya prestasi 

Dimotivasi oleh 

Tantangan, pilihan, pengendalian 

Lingkungan yang dibutuhkan 

Kebebasan, kewenangan, kegiatan yang bervariasi, kesempatan berkembang 

Gaya komunikasi 

Komunikasi lugas/terus terang 

Kelemahan 

Kurang sensitif terhadap orang lain, kurang bisa santai, kurang sabar. 


 

B. TIPE "INSPIRING"

Kata-kata penjelas 

Bersemangat (inspiring), berpengaruh (influencing), penting (important), interaktif (interactive), mengesankan (impressive), berminat pada hubungan dengan orang lain (interrested in people)

Mind-set 

Jadi bintang pertunjukan; bersenang-senang dan gembira!

Hal yang disukai 

Mempengaruhi orang lain, rencana jangka pendek, membuat orang tertawa, melakukan banyak hal/kegiatan, berbincang-bincang dengan orang lain, prestise, dipandang penting.

Mereka adalah orang yang  

Banyak bicara, pandai memulai hubungan, menyenangkan, cenderung membesar-besarkan, mudah gembira, senang menonton.

Dimotivasi oleh 

Penghargaan, persetujuan, popularitas 

Lingkungan yang dibutuhkan 

Prestise, hubungan persahabatan, kesempatan untuk mempengaruhi orang lain, Kesempatan untuk mengilhami orang lain, kesempatan untuk mengemukakan ide. 

Gaya komunikasi 

Bersahabat dan komunikasi informal

Kelemahan 

Kurang bisa mengelola waktu, kurang realistis, kurang mendengarkan orang lain, kurang memperhatikan penyelesaian tugas 


 

C. TIPE "SUPPORTIVE"

Kata-kata penjelas 

Pendukung (supportive), kokoh (steady), tabah/teguh hati (stable), ramah (sweet), peka (sensitive), sentimentil (sentimental)

Mind-set 

Netral. Bergaullah dengan semua orang. Tidak ada konflik. 

Hal yang disukai 

Perdamaian, harmoni, ketenteraman hati, kelompok persahabatan, kerja tim, menolong orang lain, kerjasama. 

Mereka adalah orang yang  

Beorientasi kelompok (team-oriented), bersahabat, kooperatif, teman setia, peka terhadap kebutuhan orang lain, mau memahami dan menerima orang lain

Dimotivasi oleh 

Keamanan, penghargaan, kepastian/jaminan (Assurance)

Lingkungan yang dibutuhkan 

Wilayah khusus (specialization), identifikasi dengan kelompok, pola kerja yang mapan, situasi yang stabil, lingkungan yang konsisten

Gaya komunikasi 

Komunikasi yag hangat, terbuka, tulus. 

Kelemahan 

Sulit bila harus menghadapi perubahan, tidak mampu mengatakan "Tidak", sulit bertindak bebas/independen 


 

D. TIPE "CAUTIOUS"

Kata-kata penjelas 

Hati-hati (cautious), penuh perhitungan (calculating), mampu (competent), konsisten (consistent), pemikir (contemplative), teliti (careful)

Mind-set 

Kerjakan sesuatu dengan benar dan sempurna. Apa rencananya? Sudahkah mempertimbangkan segala sesuatunya? Apa tujuan sesungguhnya? Mengapa? 

Hal yang disukai 

Konsistensi, kerja hebat, mengerjakan dengan tepat, informasi/data, nilai (value), kualitas, segala sesuatu berjalan dengan benar, ada perencanaan, prosedur, kejujuran.

Mereka adalah orang yang  

Berorientasi pada prosedur (procedure-oriented), mengabdikan diri pada tugas, terfokus pada detail, logis, akurat, menaruh rasa hormat (respectful)

Dimotivasi oleh 

Jawaban berkualitas, keunggulan, nilai (value)

Lingkungan yang dibutuhkan 

Tugas yang ditentukan dengan jelas, sumber daya dan waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas, bebas untuk mengajukan pertanyaan, resiko terbatas, tugas yang membutuhkan perencanaan dan ketepatan

Gaya komunikasi 

Komunikasi yang logis, tepat, dan detail. 

Kelemahan 

Analisis berlebihan (over-analizyng), kurang mampu menepati deadline, perfeksionis, kurang mampu mengekspresikan perasaan, kurang memperhatikan pentingnya perasaan orang lain.


 

B. Cara Membina Hubungan Yang Lebih Baik

Bila sudah mengenali tipe kepribadian diri sendiri, kita bisa mencoba untuk mengenali tipe kepribadian para kepala sekolah, guru, dan staf sekolah lainnya. Dengan demikian, kita akan bisa menentukan bagaimana cara berinteraksi yang lebih baik dengan mereka. Hal ini akan memudahkan kita dalam menjalankan tugas sebagai pengawas satuan pendidikan. Agar mudah dalam berinteraksi dengan para kepala sekolah, guru, dan staf sekolah lainnya, marilah kita pahami Pedoman untuk menjalin hubungan yang lebih baik berdasarkan tipe kepribadian orang yang berinteraksi.

Pedoman Untuk Membina Hubungan Yang Lebih Baik

A. TIPE "DOMINANT"

Berhubungan dengan orang yang memiliki tipe 

Keuntungan, Kesulitan, dan Strategi Hubungan 

Dominant

(D) 

Keuntungan :

Cita-cita, kebanggaan, dan keinginan untuk mencapai tujuan akan menjadi sangat positif dan saling menguatkan 

Kesulitan :

Kekuatan untuk saling bersaing merupakan tantangan yang sangat besar. Kita maupun orang ini sama-sama tidak mau mundur atau menyerah atau berkompromi.

Strategi :

Jangan memaksakan persoalan. Biarkan orang ini memiliki beberapa pilihan, pengendalian, dan kewenangan. Jangan beradu argumen atau memberikan ultimatum. Arahkan pada pekerjaan (business)

Inspiring

(I) 

Keuntungan :

Baik kita maupun orang ini adalah orang-orang yang bergerak cepat. Orang ini ingin menyenangkan kita dan mengikuti kepemimpinan kita.  

Kesulitan :

Kita yang terfokus pada penyelesaian tugas bisa bertentangan dengan orang ini, yang ingin bersenang-senang dan berprinsip "biarkan hidup berjalan apa adanya". Orang ini tidak mampu mendukung kita dalam penyelesaian tugas. Orang ini lebih terfokus pada orang daripada tugas.

Strategi :

Sadarilah bahwa orang ini tidak biasa terfokus pada satu hal, melainkan pada banyak hal. Bantulah orang ini (Inspiring people) dalam menyelesaikan tugas dengan cara BEKERJA BERSAMANYA. Jadikan segala sesuatu MENYENANGKAN. Biarkan ia berbicara dan bersosialisasi. Kita harus berlega hati mengekspresikan persetujuan kita kepadanya. Terimalah ekspresi emosi/ perasaannya.

Supportive

(S) 

Keuntungan :

Kita senang memimpin, dan orang ini senang mengikuti dan menolong. Orang yang supportive akan merasa aman selama kita menampilkan perilaku yang terkendali dan stabil.

Kesulitan :

Jika kita terlalu keras, orang ini akan merasa terintimidasi dan menganggapnya sebagai persoalan pribadi. Kita bisa salah paham, menganggap kelembutan hatinya sebagai "lemah", Hal ini bisa menyakiti hatinya dan ia merasa ditolak. Jangan lupa bahwa ia adalah seorang yang people-oriented dan ia cenderung "bergerak lambat"

Strategi :

Sabarlah. Uraikanlah segala sesuatu secara rinci dan tahap demi tahap dalam menyelesaikan tugas. Komunikasikan hal ini dengan tenang dan cara yang lembut. Rileks, jangan menekan. Sering-seringlah mengekspresikan penghargaan. Jangan lupa pula untuk bersikap tulus.

Cautious

(C)

Keuntungan :

Baik kita maupun orang ini terfokus pada tugas dan senang bekerja secara independen. Dengan perhatian orang ini pada detail, kita dapat menyelesaikan banyak tugas bersama-sama.

Kesulitan :

Kita cenderung bergerak cepat sedangkan orang ini sangat banyak pertimbangan. Kita ingin segala sesuatu dikerjakan sekarang, sedangkan orang ini ingin segala sesuatu dikerjakan dengan benar. Keinginan kita untuk mengendalikan sesuatu bisa jadi membuatnya merasa kecil hati karena orang ini tidak tahan dengan tekanan.

Strategi :

Jangan tergesa-gesa atau menekan orang ini. Juga jangan mengkritiknya. Sabarlah, dan berilah ia waktu untuk membuat keputusan. Relakan hati kita menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan menjawabnya dengan cara sopan. Jangan berharap bahwa orang ini mau mengambil resiko seperti kita.


 

HAL YANG PERLU DIINGAT OLEH TIPE DOMINANT:

Setiap orang itu penting. Janganlah terlalu menekan orang lain. Biarkan mereka bekerja sesuai dengan kecepatannya. 


 

B. TIPE "INSPIRING"

Berhubungan dengan orang yang memiliki tipe 

Keuntungan, Kesulitan, dan Strategi Hubungan 

Dominant

(D)

Keuntungan :

Baik kita maupun orang ini sama-sama ramah dan didorong oleh kegiatan, serta senang dengan kemenangan. Kita boleh merasa bangga dengan kekuatan dan prestasi orang ini. 

Kesulitan :

Kita mungkin melihat orang ini terlalu mengendalikan, sementara kita seorang yang permisif. Kita lebih sosial, sedangkan orang ini lebih mengutamakan tugas  

Strategi :

Harus kita pahami bahwa orang ini berorientasi pada arah dan hasil. Jadi, kita juga harus mencoba lebih terarah dan mencapai tujuan bersama-sama. Kita tak perlu takut dengan pertentangan, dan jangan sampai menjadikan pertentangan itu sebagai masalah pribadi. Kita harus mau bekerja dahulu, baru kemudian bersenang-senang.

Inspiring

(I)

Keuntungan :

Kita dan orang ini sama-sama orang yang bersemangat dan menikmati kebersamaan dengan orang lain, suka bersenang-senang, serta cenderung mudah memaafkan.  

Kesulitan :

Baik kita maupun orang ini cenderung emosional dan mungkin saling bersaing untuk mendapatkan perhatian. Selain itu juga impulsif, dan hal ini merupakan tantangan bagi pelaksanaan tanggung jawab dan bertahannya keteraturan.

Strategi :

Kita perlu ingat untuk mendengar orang lain karena dia pun sama seperti kita, senang berbicara banyak. Pada saat mengerjakan tugas penting, jagalah agar masing-masing tetap bertanggung jawab dan jelas pula siapa bertanggung jawab tentang apa. Kita juga perlu memberikan pengakuan yang tulus terhadap kemampuan, ide, dan kontribusi orang ini.

Supportive

(S)

Keuntungan :

Kita dan orang ini adalah orang yang people-oriented. Kita senang berbicara sedangkan orang ini senang mendengarkan. Kita maupun orang ini cenderung untuk bisa bergaul dengan baik. 

Kesulitan :

Sebagian besar tantangan berhubungan dengan kecepatan. Kita senang segala sesuatu yang berjalan dengan cepat, bersemangat, spontan, dan berenergi, sedagkan orang ini senang segala sesuatu berjalan dengan tenang, perlahan, dan dapat diprediksikan. 

Strategi :

Kita harus memperlambat pendekatan kita dan menurunkan sedikit kobaran semangat kita. Kita juga harus tulus dengan penghargaan dan pujian kita. Jangan sampai kita mempermalukan ia di depan umum. Kita perlu memberikan waktu padanya untuk tertarik dan terbuka pada kita.

Cautious

(C)

Keuntungan :

Kekuatan kita yang berlawanan dengan orang ini merupakan penyeimbang yang baik bagi kelemahan masing-masing. Kita bisa belajar dari sifat analitis orang ini, sedangkan orang ini bisa belajar untuk tidak terlalu serius dalam menghadapi segala hal serta belajar untuk lebih menikmati kesenangan.

Kesulitan :

Perbedaan di antara kita dengan orang ini bisa menimbulkan salah pengertian. Kita senang berbicara dan bersama orang lain, sedangkan orang ini lebih menyukai saat-saat bersendiri.

Strategi :

Kita harus menurunkanlah reaksi emosional kita, mencoba untuk lebih memperhatikan fakta-fakta dan objektif, khususnya dalam menghadapi konflik. Jangan sampai kita menyuruh dan mendesak orang ini untuk terburu-buru. Kita harus mencoba untuk spesifik dalam berkomunikasi, dan meminta orang ini untuk berbicara dan melakukan segala sesuatu secara harfiah.

HAL YANG PERLU DIINGAT OLEH TIPE INSPIRING:

Belajar itu penting. Tugas harus diselesaikan. Tetaplah fokus. 


 

C. TIPE "SUPPORTIVE"

Berhubungan dengan orang yang memiliki tipe 

Keuntungan, Kesulitan, dan Strategi Hubungan 

Dominant

(D)

Keuntungan :

Kita adalah seorang pendukung dan pemberi semangat yang hebat bagi orang ini, orang yang selalu berusaha untuk meraih prestasi dan menggunakan kepemimpinan.

Kesulitan :

Orang ini bisa membuat kita kelelahan dengan tindakannya yang selalu mengendalikan dan meminta pelaksanaan tugas segera. Kita senang rileks dan "bergerak" perlahan, tapi orang ini melakukan segala sesuatu seolah-olah dalam keadaan mendesak. Kita bisa jadi stres, sementara orang ini bisa jadi tidak sabar.

Strategi :

Jangan menganggap sebagai masalah pribadi bila orang ini mengambil tindakan tanpa kita. Cobalah lebih tabah dan result-oriented dengan orang ini. Coba pula untuk lebih terarah, tegas, dan berorientasi tindakan bila bekerja sama dengan orang ini.

Inspiring

(I)

Keuntungan :

Kita maupun orang ini cenderung untuk bisa bergaul dengan baik karena sama-sama people-oriented, dan saling memberikan pujian dan penghargaan yang dibutuhkan untuk merasa nyaman tentang diri sendiri.

Kesulitan :

Kesulitan terbesar adalah dalam menjaga "kecepatan" orang ini. Orang ini menyukai semangat dan kegiatan, sedangkan kita lebih tenang dan lambat. Orang ini memiliki lingkup sosial yang besar, dan kita merasa kewalahan dibuatnya.

Strategi :

Kita perlu mencoba lebih ramah/bersahabat dan enerjik dengan orang ini. Orang ini sangat impulsif. Kita harus berhati-hati untuk tidak membiarkan orang ini menyuruh kita melakukan sesuatu. Buatlah beberapa batasan, dan jangan merasa tertekan dengan energinya. Harus kita sadari bahwa ia orang yang bergaul dalam lingkup sosial yang besar, sehingga kita tidak perlu menganggap sebagai masalah pribadi bila perhatiannya pada kita hanya sedikit.

Supportive

(S)

Keuntungan :

Kita maupun orang ini sudah biasa dan menikmati kebersamaan dengan orang lain, menyukai keadaan rileks dan suasana yang pribadi.

Kesulitan :

Tantangan terbesar adalah dalam hal komunikasi. Baik kita maupun orang ini saling berbicara tidak secara langsung dan tidak secara tegas mengatakan apa yang kita masing-masing inginkan. Kita maupun orang ini sama-sama tidak senang membuat keputusan yang sulit. Kita maupun orang ini tidak menyukai konflik atau ketegangan, sehingga menghindari membicarakan isu-isu yang tidak menyenangkan.

Strategi :

Yang perlu kita lakukan adalah mencoba untuk lebih mengambil inisiatif dan ketegasan, menyadari bahwa beberapa konflik dan perubahan itu sehat, mencobal untuk memahami bagaimana orang lain merasa, dan mencoba untuk jujur menyatakan perasaan kita. Jangan sampai kita menyembunyikan perasaan tersakiti. Kita juga sebaiknya mendiskusikan berbagai isu dan perasaan.

Cautious

(C)

Keuntungan :

Baik kita maupun orang ini sama-sama "bergerak lambat", tak ada yang terdorong untuk tergesa-gesa, dan lebih suka menghindari konflik. Kita dan orang ini bisa menikmati kebersamaan tanpa banyak percakapan.

Kesulitan :

Kita cenderung sensitif, sedangkan orang ini cenderung kritis. Sifat feeling-oriented kita bisa bertentangan dengan sifat logic-oriented orang ini. Kita ingin hubungan yang hangat, namun orang ini lebih "dingin".

Strategi :

Jangan sampai kita menjadikan pertanyaan dan kritik orang ini sebagai masalah pribadi. Orang ini senang berpikir secara mendalam dan menganalisis segala sesuatu. Kita harus mencoba untuk memberikan jawaban yang mendalam pula. Jangan memaksakan orang ini kedalam ketertutupan. Sadarilah bahwa orang ini lebih task-oriented daripada people-oriented, sehingga ia tidak akan sehangat atau sesensitif kita.

HAL YANG PERLU DIINGAT OLEH TIPE SUPPORTIVE:

Tak masalah untuk mengatakan "Tidak". Yakinlah dengan keputusan kita. Cobalah lebih percaya diri. 


 

D. TIPE "CAUTIOUS"

Berhubungan dengan orang yang memiliki tipe 

Keuntungan, Kesulitan, dan Strategi Hubungan 

Dominant

(D)

Keuntungan :

Kita dan orang ini memiliki kecenderungan yang sama yaitu menyelesaikan tugas. Bila memiliki tujuan yang sama, maka kita dan orang ini akan bisa menjadi tim yang efektif. 

Kesulitan :

Kesulitan akan muncul bila kita dan orang ini menggunakan pendekatan yang berbeda dalam penyelesaian tugas. Kita ingin segala sesuatu berjalan dengan benar, sementara orang ini ingin segala sesuatu berjalan dengan cepat, benar atau salah bukan masalah. Orang ini beranggapan bahwa kita berlebihan dalam menganalisis sesuatu, sementara kita mungkin menganggap orang ini terlalu gegabah.

Strategi :

Kita harus mau menerima kenyataan bahwa orang ini perlu pengendalian dan kemampuan mengambil tindakan, serta membiarkannya mengambil resiko. Kita tidak perlu mengkritik atau mengharapkan kesempurnaan, tapi justru perlu menghargai dan dan menyokong penyelesaian tugasnya. Kita perlu mencoba untuk melihat sudut pandangnya daripada memperdebatkan pandangan kita.

Inspiring

(I)

Keuntungan :

Kekuatan kita maupun orang ini saling menyeimbangkan. Kita butuh kesegaran dan kegembiraan orang ini, sementara orang ini membutuhkan logika dan disiplin kita. 

Kesulitan :

Karena kita berlawanan dalam kepribadian, mungkin kita akan mengalami saat-saat sulit untuk saling memahami. Kita mungkin tidak "nyambung" dengan sifatnya yang banyak bicara dan ramah, sementara ia pun tidak "nyambung" dengan sifat kita yang analitis dan hati-hati. Standar kita mungkin terlalu tinggi baginya. Kita mungkin tidak secara spontan memberinya pujian yang sebenarnya menjadi pendorong baginya untuk melakukan sesuatu.

Strategi :

Kita harus memodifikasi harapan kita padanya. Kita harus menyadari bahwa orang ini tidak akan pernah memperhatikan detail sebagaimana kita lakukan. Kita harus menemukan kekuatan orang ini, dan jangan ragu untuk memberinya penghargaan dan persetujuan.

Supportive

(S)

Keuntungan :

Kita dan orang ini sama-sama "bergerak lambat" dan menikmati hubungan yang bebas dari konflik.

Kesulitan :

Bisa jadi kita akan frustrasi saat orang ini tidak mempertimbangkan cara yang kita lakukan atau tidak menunjukkan semangat untuk merinci sesuatu. Orang ini feelings-oriented sehingga mungkin saja kita dianggap dingin dan kaku. 

Strategi :

Perlu kita sadari bahwa fokus kita terhadap pengerjaan tugas dengan benar berlawanan dengan fokus orang ini pada ketenangan dan keamanan dalam hubungan (relationship). Kita harus mencoba untuk menjadi seseorang yang lebih hangat dan akrab dengan orang ini, berhati-hati jangan sampai mengkritik, bahkan sebaliknya, memberikan penghargaan tulus atas setiap usaha yang dilakukannya. Kita pun jangan menetapkan standar yang terlalu tinggi, karena bisa jadi orang ini akan merasa tidak mampu dan kemudian menyerah.

Cautious

(C)

Keuntungan :

Kita dan orang ini sama-sama pekerja keras dan terfokus pada detail dan kualitas. Dalam pembicaraan, kita maupun orang ini cenderung serius dan saling mengemukakan fakta.  

Kesulitan :

Ada kesulitan bila kita dan orang ini saling tidak menyetujui tentang apa yang benar. Salah satu dari kita atau orang ini merasa "Benar", tapi yang lain merasa "Lebih Benar". Kita maupun orang ini dapat dengan mudah menutup dan menarik diri, serta cenderung "berperang " dengan berkomunikasi secara tidak langsung.

Strategi :

Kita harus mencoba terbuka dan fleksibel saat orang ini mengusulkan cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu, juga harus sangat berhati-hati dengan kritikan, karena kita tahu bahwa kritikan terhadap pekerjaan kita merupakan hal yang sangat kita takuti. Kita tidak boleh menentukan standar yang begitu tinggi sehingga orang lain merasa tidak akan mampu mencapainya. Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah memilihlah kata-kata yang spesifik saat memberikan dorongan pada orang ini dan mengatakan dengan jelas apa yang dilakukannya dengan benar dan mengapa kita menyukai hal tersebut.

HAL YANG PERLU DIINGAT OLEH TIPE CAUTIOUS:

Setiap orang itu penting. Ingatlah bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna. Janganlah terlalu menganalisis segala sesuatu.


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB III

MENGELOLA STRES


 

Pada umumnya, pelaksanaan tugas selalu mengandung permasalahan dan tantangan. Masalah dan tantangan ini seringkali menimbulkan stres yang bisa mengganggu pencapaian tujuan. Oleh karena itu, para pengawas satuan pendidikan harus pula memiliki kemampuan mengelola stres.

Stres adalah suatu kondisi tegangan (tension) baik secara faal maupun psikologis yang diakibatkan oleh tuntutan dari lingkungan yang dipersepsi sebagai ancaman. Stres merupakan bagian dari kondisi manusiawi. Dalam batas tertentu, stres membantu kita agar tetap termotivasi (eustres). Tetapi kadang-kadang kita terlalu banyak mendapatkan stres sehingga menurunkan kualitas kinerja kita (distres). Oleh karena itu, kita perlu memiliki kemam- puan mengelola stres.

Untuk bisa mengelola stres, maka langkah yang harus kita lakukan adalah: mengenali gejala-gejala stres, memahami faktor-faktor penyebab stres, dan melatih diri melakukan mekanisme penanganannya (coping mechanism).


 

A. Gejala-gejala Stres

Stres mempengaruhi seluruh diri kita. Kondisi stres dapat diamati dari gejala-gejalanya, baik gejala emosional/kognitif maupun gejala fisik. Jika kita dapat menandai gejala-gejalanya, maka kita akan dapat mengelolanya.

Seseorang yang stres tidak berarti harus memiliki/menampakkan seluruh gejala ini, bahkan satu gejala pun sudah bisa kita curigai sebagai pertanda bahwa seseorang mengalami stres. Namun kita juga perlu menyadari bahwa gejala-gejala ini bisa juga merupakan indikator dari masalah lain, misalnya karena memang benar ada gangguan kesehatan secara fisik.

Tabel berikut menggambarkan gejala-gejala stres:

GEJALA EMOSIONAL/KOGNITIF 

GEJALA FISIK 

  • Mudah merasa ingin marah
  • Merasa putus asa saat harus menunggu sesuatu
  • Merasa gelisah
  • Tidak dapat berkonsentrasi
  • Sulit berkonsentrasi
  • Jadi mudah bingung
  • Bermasalah dengan ingatan (mudah lupa, susah mengingat)
  • Setiap saat memikirkan hal-hal negatif
  • Berpikir negatif tentang diri sendiri
  • Mood naik turun (mood mudah berubah-ubah, misalnya merasa gembira tapi tak lama kemudian merasa bosan dan ingin marah)
  • Makan terlalu banyak
  • Makan padahal tidak lapar
  • Merasa tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan sesuatu
  • Merasa tidak mampu mengatasi masalah
  • Sulit membuat keputusan
  • Emosi suka meluap-luap (baik gembira, sedih, marah, dan sebagai- nya)
  • Biasanya merasa marah dan bosan
  • Kurang memiliki sense of humor
  • Otot-otot tegang
  • Sakit punggung bagian bawah
  • Sakit di bahu atau leher
  • Sakit dada
  • Sakit perut
  • Kram otot
  • Iritasi atau ruam kulit yang tidak dapat dijelaskan kategorinya
  • Denyut jantung cepat
  • Telapak tangan berkeringat
  • Berkeringat padahal tidak melakukan aktivitas fisik
  • Perut terasa bergejolak
  • Gangguan pencernaan dan cegukan
  • Diare
  • Tidak dapat tidur atau tidur berlebihan
  • Napas pendek
  • Menahan napas


 

B. Faktor-Faktor Penyebab Stres

Secara umum, faktor penyebab stres meliputi:

1. Ancaman.

Persepsi tentang adanya ancaman membuat seseorang merasa stres, baik ancaman fisik, sosial, finansial, maupun ancaman lainnya. Keadaan akan menjadi buruk bila orang yang mempersepsikan tentang adanya ancaman ini merasa bahwa dirinya tidak dapat melakukan tindakan apa pun yang akan bisa mengurangi ancaman tersebut.

2. Ketakutan

Ancaman bisa menimbulkan ketakutan. Ketakutan membuat orang membayangkan akan terjadinya akibat yang tidak menyenangkan, dan hal ini membuat orang menjadi stres.

3. Ketidakpastian

Saat kita merasa tidak yakin tentang sesuatu, maka kita akan sulit membuat prediksi. Akibatnya kita merasa tidak akan dapat mengendalikan situasi. Perasaan tidak mampu mengendalikan situasi akan menimbulkan ketakutan. Rasa takut menyebabkan kita merasa stres.

4. Disonansi kognitif

Bila ada kesenjangan antara apa yang kita lakukan dengan apa yang kita pikirkan, maka dikatakan bahwa kita mengalami disonansi kognitif, dan hal ini akan dirasakan sebagai stres. Sebagai contoh, bila kita merasa bahwa kita adalah orang yang baik, namun ternyata menyakiti hati orang lain, maka kita akan mengalami disonansi dan merasa stres. Disonansi kognitif juga terjadi bila kita tidak dapat menjaga komitmen. Kita yakin bahwa diri kita jujur dan tepat janji, namun adakalanya situasi/lingkungan tidak mendukung kita untuk jujur atau tepat janji. Hal ini akan membuat kita merasa stres karena kita terancam dengan sebutan tidak jujur atau tidak mampu menepati janji.

Faktor lain yang bisa menimbulkan stres adalah kehidupan sehari-hari, seperti:

  • Kematian, baik kematian pasangan, keluarga, maupun teman
  • Kesehatan: kecelakaan, sakit, kehamilan
  • Kejahatan: penganiayaan seksual, perampokan, pencurian, pencopetan.
  • Penganiayaan diri: penyalahgunaan obat, alkoholisme, melukai diri sendiri
  • Perubahan keluarga: perpisahan, perceraian, kelahiran bayi, perkawinan.
  • Masalah seksual
  • Pertentangan pendapat: dengan pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, pimpinan
  • Perubahan fisik: kurang tidur, jadual kerja baru.
  • Tempat baru: berlibur, pindah rumah
  • Keuangan: kekurangan uang, memiliki uang, menginvestasikan uang.
  • Perubahan lingkungan: di sekolah, di rumah, di tempat kerja, di kota, masuk penjara.
  • Peningkatan tanggung jawab: adanya tanggungan baru, pekerjaan baru.

Di tempat kerja, selain faktor penyebab yang bersifat umum di atas, ada 6 kelompok faktor utama penyebab stres, yaitu:

  1. Tuntutan tugas
  2. Pengendalian terhadap pegawai, yang berhubungan dengan bagaimana para pegawai melaksanakan pekerjaannya
  3. Dukungan yang didapatkan dari rekan kerja dan pimpinan
  4. Hubungan dengan rekan kerja
  5. Pemahaman pegawai tentang peran dan tanggung jawab
  6. Seberapa jauh instansi tempat bekerja berunding dengan pegawai baru.


 

C. Reaksi Adaptasi Terhadap Stres

Seberapa banyak, lama, dan berat keberadaan gejala-gejala stres menggambarkan pada tahap mana reaksi seseorang terhadap stres yang dialaminya. Menurut Hans Selye (1974), ada 3 tahap reaksi adaptasi seseorang terhadap stres, yaitu:

  • Tahap 1: Alarm Reaction.

    Gejala muncul sebagai respons permulaan terhadap adanya stres, misalnya karena harus menyusun Persiapan Mengajar Harian, seorang guru baru mendadak sakit perut/mulas-mulas.

  • Tahap 2: Resistance

    Seseorang yang sudah terbiasa menghadapi stres pada akhirnya akan lebih tahan (resisten) terhadap stres. Pada tahap ini, seseorang menemukan adaptasi yang baik terhadap situasi yang menimbulkan stres, sehingga alarm reaction menurun. Namun adakalanya pada tahap ini timbul diseases of adaptation, yaitu suatu keadaan dimana seolah-olah seseorang sudah beradaptasi dengan situasi yang menimbulkan stres, padahal sebenarnya adaptasinya tidak tepat sehingga timbul penyakit-penyakit seperti darah tinggi, maag, eksem, dan sebagainya.

  • Tahap 3: Exhaustion.

    Tahap ini adalah suatu keadaan dimana seseorang benar-benar sakit, yang terjadi bila stres terus menerus dialami dan orang tersebut tidak dapat mengatasinya. Pada tahap ini gejala sudah lebih berat, misalnya seseorang menjadi benar-benar putus asa, mengalami halusinasi, delusi, dan bahkan kematian.


 

D. Mengelola Stres

Manusia adalah makhluk kompleks yang berada dalam kehidupan yang kompleks pula. Kompleksitas kehidupan berpotensi menimbulkan stres, dan menuntut seseorang untuk mengatasinya.

Cara seseorang mengatasi stres dapat dikelompokkan menjadi dua kategori.

Pertama, cara ini merupakan cara yang spontan dan tidak disadari, dimana pengelolaan stres berpusat pada emosi yang dirasakan. Dalam istilah psikologi diklasifikasikan sebagai defense mechanism. Beberapa perilaku yang tergolong kedalam kelompok ini adalah:

  • Acting out, yaitu menampilkan tindakan yang justru tidak mengatasi masalah. Perilaku ini lebih sering terjadi pada orang yang kurang mampu mengendalikan/menguasai diri, misalnya merusak barang-barang di sekitarnya.
  • Denial, yaitu menolak mengakui keadaan yang sebenarnya. Hal ini bisa bermakna positif, bisa pula bermakna negatif. Sebagai contoh, seseorang guru menyadari bahwa dirinya memiliki kelemahan dalam berbahasa Inggris, namun ia terus berupaya untuk mempelajarinya; bisa bermakna positif bila dengan usahanya tersebut terjadi peningkatan kemampuan; bermakna negatif bila kemampuannya tidak meningkat karena memang potensinya sangat terbatas, namun ia tetap berusaha sampai mengabaikan pengembangan potensi lain yang ada dalam dirinya.
  • Displacement, yaitu memindahkan/melampiaskan perasaan/emosi tertentu pada pihak/objek lain yang benar-benar tidak ada hubungannya namun dianggap lebih aman. Contohnya: Seorang guru merasa malu karena ditegur oleh Kepala Sekolah di depan guru-guru lain, maka ia melampiaskan perasaan kesalnya dengan cara memarahi murid-murid di kelas.
  • Rasionalisasi, yaitu membuat alasan-alasan logis atas perilaku buruk. Contohnya: Seorang Kepala Sekolah yang tidak menegur guru yang membolos selama 3 hari mengatakan bahwa ia tidak menegur guru tersebut karena pada saat itu ia sedang mengikuti pelatihan untuk kepala sekolah di ibukota provinsi.

Kedua, cara yang disadari, yang disebut sebagai direct coping, yaitu seseorang secara sadar melakukan upaya untuk mengatasi stres. Jadi pengelolaan stres dipusatkan pada masalah yang menimbulkan stres. Ada dua strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi stres, yaitu:

  • Meningkatkan toleransi terhadap stres, dengan cara meningkatkan keterampilan/kemampuan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis, misalnya:
    • Secara psikis: menyadarkan diri sendiri bahwa stres memang selalu ada dalam setiap aspek kehidupan dan dialami oleh setiap orang, walaupun dalam bentuk dan intensitas yang berbeda.
    • Secara fisik: mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup gizi, menonton acara-acara hiburan di televisi, berolahraga secara teratur, melakukan tai chi, yoga, relaksasi otot, dan sebagainya.
    • Mengenal dan mengubah sumber stres, yang dapat dilakukan dengan tiga macam pendekatan, yaitu:
      • Bersikap asertif, yaitu berusaha mengetahui, menganalisis, dan mengubah sumber stres. Misalnya: bila ditegur pimpinan, maka respon yang ditampilkan bukan marah, melainkan menganalisis mengapa sampai ditegur.
      • Menarik diri/menghindar dari sumber stres. Tindakan ini biasanya dilakukan bila sumber stres tidak dapat diatasi dengan baik. Namun cara ini sebaiknya tidak dipilih karena akan menghambat pengembangan diri. Kalaupun dipilih, lebih bersifat sementara, sebagai masa penangguhan sebelum mengambil keputusan pemecahan masalah.
      • Kompromi, yang bisa dilakukan dengan konformitas (mengikuti tuntutan sumber stres, pasrah) atau negosiasi (sampai batas tertentu menurunkan intensitas sumber stres dan meningkatkan toleransi terhadap stres)


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB IV

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPERILAKU ASERTIF


 

    Pertentangan dalam hubungan sosial bukan hal yang aneh, baik karena masalah pekerjaan maupun masalah pribadi. Adakalanya pertentangan tersebut segera berakhir, namun adakalanya berlarut-larut, dan semuanya terjadi karena perilaku yang ditampilkan semua pihak dalam menyikapi pertentangan tersebut.

    Dalam hubungan kerja, tentu sangat diharapkan agar pertentangan yang muncul bisa segera ditangani, sehingga tujuan dari masing-masing pekerjaan bisa tercapai secara optimal. Yang menjadi masalah adalah, perilaku seperti apakah yang paling dapat diharapkan bisa menyelesaikan permasalahan sehingga kedua belah pihak yag bermasalah sama-sama merasa diperlakukan adil?

    Sebelum kita membahas materi ini lebih lanjut, kita lakukan dulu evaluasi diri untuk mengukur seberapa jauh tingkat keasertifan kita saat ini.


 

A. Perilaku Submisif, Agresif, dan Asertif

    Dalam hubungan interpersonal, perilaku seseorang terhadap orang lain dapat dikelompokkan menjadi perilaku asertif, perilaku submisif, dan perilaku agresif.

    Pada saat kita menampilkan perilaku "manis", "tidak menimbulkan masalah bagi orang lain", lemah, pasif, mengorbankan diri sendiri, tidak bisa menolak, membiarkan kebutuhan, pendapat, pikiran, penilaian orang lain mendominasi kebutuhan, pendapat, pikiran, dan penilaian diri kita sendiri, maka kita sudah menampilkan perilaku submisif. Sebagai contoh: seorang Kepala Sekolah cenderung menghindari memberi tugas yang cukup rumit kepada salah seorang guru karena guru tersebut seringkali mengajukan keberatan bila diberi tugas seperti itu.

Perilaku submisif ini cepat atau lambat akan menimbulkan rasa terancam dan tersakiti, tidak puas, depresi, penyakit fisik, serta akan mengukuhkan keberadaan perilaku agresif orang lain.

Perilaku submisif muncul karena didorong oleh adanya keyakinan sumbisif, yaitu keyakinan bahwa:

  • Orang lain lebih penting, lebih cerdas, atau apapun, yang semuanya lebih baik daripada saya.
  • Orang lain tidak menyukai saya karena saya tidak layak disukai
  • Pendapat saya tidak berharga dan tidak akan dihargai
  • Saya harus sempurna dalam melakukan apa pun, jika tidak, sempurnalah kegagalan saya
  • Lebih baik aman dan tak mengatakan apa pun daripada saya mengatakan apa yang saya pikirkan.

    Perilaku agresif adalah perilaku yang self-centered (hanya mengutamakan hak, kepentingan, pendapat, kebutuhan, dan perasaan sendiri), mengabaikan hak orang lain. Orang-orang yang agresif berasumsi bahwa hanya dirinyalah yang benar, sehingga perilakunya berisi permusuhan dan kesombongan. Mereka sering menggunakan kemarahan dan bahasa tubuh yang agresif serta perilaku mengancam lain untuk menggertak, menaklukkan, dan mendominasi orang lain. Mereka akan menggunakan bahasa yang menyakiti orang lain untuk menyimpulkan bahwa seseorang bersalah serta mempermalukannya. Sebagai contoh, saat seorang guru tidak bisa melaksanakan tugas seperti yang diharapkannya, seorang kepala sekolah berkata "Masa yang begini saja tidak bisa. Saya kan sudah bilang, kerjakan saja seperti petunjuk saya, tidak perlu cari-cari cara lain".

Orang-orang yang agresif biasanya mengambil keuntungan dari orang-orang yang submisif. Dari orang-orang agresif ini pulalah munculnya chauvinisme.

Munculnya perilaku agresif didorong oleh adanya keyakinan bahwa:

  • Saya lebih pandai dan lebih memiliki kekuatan dibandingkan dengan orang lain.
  • Orang lain tidak bisa dipercaya mampu melaksanakan apa yang mereka katakan
  • Ini adalah dunia "jeruk makan jeruk". Saya harus bertindak kepada orang lain daripada orang lain bertindak kepada saya.
  • Satu-satunya cara agar sesuatu terlaksana adalah menyuruh orang lain. Meminta merupakan tanda kelemahan.
  • Orang harus bertarung dengan keras (fight hard) untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan

    Perilaku asertif adalah perilaku yang merupakan ekspresi/pernyataan dari minat, kebutuhan, pendapat, pikiran, dan perasaan, yang dilakukan secara bijaksana, adil, dan efektif, sehingga hak-hak kita bisa dipertahankan dengan tetap memperhatikan penghargaan atas kesetaraan dan hak orang lain.

Perilaku asertif membuat seseorang menjadi lebih percaya diri dan merasa berharga, memiliki konsep diri yang tepat, meningkatkan pengendalian diri (self-control) dalam kehidupan sehari-hari, serta memperoleh hubungan yang adil dengan orang lain. Perilaku asertif ini merupakan penangkal terhadap perilaku submisif dan perilaku agresif.

Munculnya perilaku asertif didorong oleh keyakinan bahwa:

  • Saya sederajat/setara dengan orang lain, dengan hak dasar yang sama
  • Saya bebas untuk berpikir, memilih, dan membuat keputusan untuk diri saya sendiri
  • Saya mampu untuk mencoba sesuatu, membuat kesalahan, belajar, dan mengembangkan diri.
  • Saya bertanggung jawab atas tindakan saya dan respons saya terhadap orang lain
  • Saya tidak perlu minta ijin untuk mengambil tindakan
  • Tidak masalah bila tidak setuju dengan orang lain. Persetujuan tidak selalu diperlukan dan tidak selalu tepat.

Bila dibandingkan, maka karakteristik ketiga jenis perilaku tersebut adalah sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3.1. Perbedaan Karakteristik Perilaku Submisif, Agresif dan Aserif

Sifat 

Perilaku Submisif 

Perilaku Agresif 

Perilaku Asertif 

Penghargaan kepada orang lain 

Tinggi 

Rendah 

Tinggi 

Penghargaan kepada diri sendiri 

Rendah 

(Biasanya) tinggi 

Tinggi 

Tindakan utama 

  • Tunduk kepada orang lain
  • Saya yang terakhir
  • Kelemahan tampak
  • Kekuatan jadi kurang penting
  • Selalu menyerah
  • Menyerang orang lain
  • Saya yang pertama
  • Kelemahan di sembunyikan
  • Kekuatan dibesar-besarkan
  • Tidak tunduk
  • Menghargai orang lain
  • Saya dan Anda sederajat
  • Terbuka mengenai kelemahan dan kekuatan
  • Pertukaran yang adil

Keuntungan yang dirasakan 

  • Tidak diganggu
  • Resiko pribadi rendah
  • Akan disukai
  • Mendapatkan apa yang diinginkan
  • Tidak diganggu
  • Akan dihargai
  • Banyak mendapatkan apa yang diinginkan
  • Akan dihargai
  • Hubungan yang adil/wajar

Kerugian yang mungkin didapat 

  • Hubungan buruk
  • Diabaikan
  • Orang lain mengambil keuntungan
  • Hubungan buruk
  • Ada balas dendam tersembunyi
  • Kehilangan komunikasi
  • Tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan
  • Membingungkan/ membuat cemburu orang lain


 

B. Melatih Diri Berperilaku Asertif

    Ada beberapa asumsi yang mendasari, mengapa kita perlu melatih diri untuk berperilaku asertif. Pertama, setiap orang memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Kedua, setiap orang memiliki hak yang sama. Ketiga, setiap orang bisa memberikan kontribusi terhadap apa yang dibicarakan. Selain itu, perilaku asertif juga berguna sebagai penangkal terhadap rasa takut, malu, kepasifan, bahkan kemarahan.

Berdasarkan penelitian, Schimmel (1976) menyatakan bahwa beberapa jenis perilaku asertif yang perlu dilatihkan terutama adalah:

  1. Berani mengemukakan pendapat, permintaan, kesukaan, dsb, yang menjadikan seseorang dihargai sebagai manusia yang sederajat dengan manusia lain.
  2. Mengekspresikan emosi-emosi negatif (keluhan, kebencian, kritik, ketidaksetujuan, rasa tertekan, kebutuhan untuk dibiarkan sendirian) dan menolak permintaan.
  3. Memperlihatkan emosi-emosi positif (senang, menghargai, menyukai seseorang, merasa tertarik), memberikan pujian, dan menerima pujian dengan mengucapkan "terima kasih".
  4. Memulai, melaksanakan, mengubah, atau menghentikan percakapan secara menyenangkan, berbagi perasaan, pendapat, dan pengalaman dengan orang lain.
  5. Mengatasi ketersinggungan sebelum kemarahan makin meningkat dan meledak menjadi agresi.

Untuk melatihkan dan menerapkan perilaku asertif, ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu:

  • Mengenali dan menyadari dimana perubahan perlu dilakukan, dan kita harus yakin dengan hak kita.

    Mengisi buku diary bisa membantu kita menilai seberapa jauh kita terintimidasi, pasif, malu, atau seberapa jauh orang lain menuntut, memaksa, atau agresif terhadap kita. Ambillah contoh, dimana kita pasif atau agresif.

    Beberapa dari kita masih memiliki kelemahan untuk berkata "tidak" terhadap teman yang meminta bantuan, kita tidak bisa memberikan atau menerima pujian, kita membiarkan pasangan atau anak kita menguasai kehidupan kita, kita tidak berani berbicara di depan forum tentang ketidaksetujuan kita, kita malu meminta tolong, kita takut membuat orang lain merasa terhina, dsb. Tanyakanlah pada diri sendiri, maukah kita terus menerus dalam kelemahan ini?

    Selain itu, pertimbangkan pula, "darimana nilai-nilai yang kita miliki berasal". Pada masa kecil, kita biasa dijejali dengan aturan-aturan "jangan emosional, jangan berbuat salah, jangan mementingkan diri sendiri, jangan bilang pada orang kalau kita tidak menyukainya, jangan membantah", dan banyak lagi aturan lain yang berlawanan dengan apa yang kita inginkan. Aturan-aturan tersebut menjadikan anak, bahkan setelah dewasa, sebagai seorang yang selalu tunduk (submisif). Mungkin beberapa aturan tersebut ada benarnya untuk anak-anak, tetapi selaku orang dewasa, seharusnya tidak membabi buta menerapkan aturan tersebut.

    Perlu pula kita sadari, betapa perilaku asertif akan membawa kita menjadi seseorang yang menghargai diri sendiri dan bahagia, dan di sisi lain, betapa tidaknyamannya diri kita menjadi seorang yang submisif, misalnya: 1) kita menipu diri sendiri dan kehilangan harga diri karena didominasi orang lain dan tidak bisa melakukan perubahan, 2) kita dituntut untuk tidak jujur, menyangkal perasaan yang sebenarnya, 3) ketidaksetaraan dan submisif mengancam, jika tidak merusak, rasa cinta dan penghargaan, 4) hubungan yang terjalin dengan orang lain didasarkan pada keberadaan kita sebagai "budak", "yes man", "pelayan", 5) karena harus menutupi perasaan yang sesungguhnya, maka kita harus selalu melakukan manipulasi untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan, dan ini menciptakan kebencian, 6) ketundukan kita membuat penindasan terhadap kita makin menjadi-jadi.

    Kesadaran tentang kelemahan, ke-submisifan, dan ketidaknyamanan akibat submisif akan mendorong kita untuk mau mengubah diri menjadi seorang yang asertif. Tapi tentu saja, setiap perubahan biasanya memunculkan kecemasan, dan ini harus diatasi. Kita pun harus meredam konflik dalam diri kita karena melawan nilai-nilai yang selama ini kita anut. Selain itu, juga perlu berbicara dengan orang lain, yang mungkin akan merasa kaget dengan perubahan perilaku yang kita tampilkan. Jelaskan kepada mereka alasan kita menjadi asertif sehingga mereka bisa memahami dan menerima, atau bahkan pada akhirnya, menghargai kita karena menjadi seseorang yang mempertimbangkan mereka, orang lain, dan diri sendiri.

  • Memperhitungkan cara-cara yang sesuai untuk menyatakan diri sendiri dalam setiap situasi khusus yang berkaitan dengan diri kita.

    Ada banyak cara untuk mencari respons-respons asertif yang efektif, bijaksana, dan adil. Kita bisa mengamati model/contoh yang baik, mendiskusikan situasi yang bermasalah dengan seorang teman, kolega, konselor, atau orang lain, mencatat dengan teliti bagaimana orang-orang berespons terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang sesungguhnya kita hadapi, lalu mempertimbangkan apakah mereka tergolong asertif, submisif, atau agresif. Agar respons kita asertif, maka perlu kita pahami bahwa respons-respons yang asertif terdiri atas tiga bagian, yaitu:

    • Menjelaskan (kepada orang lain yang terlibat) situasi bermasalah sebagaimana kita melihatnya. Khususkan pada waktu dan tindakannya, bukan memberikan pernyataan yang bersifat umum/ general, seperti "Anda selalu memusuhi…… membingungkan…… sibuk". Kita harus objektif, jangan menilai seseorang sebagai orang yang buruk secara keseluruhan. Kita juga harus memfokuskan pada perilakunya, bukan pada alasannya.
    • Menjelaskan perasaan kita dengan menggunakan pernyataan "Saya" yang menunjukkan bahwa kita memang bertanggung jawab terhadap perasaan kita sendiri. Kita harus tegar dan menguatkan diri, yakin, menatap mereka, dan tidak emosional. Juga memfokuskan pada perasaan positif yang berhubungan dengan tujuan kita, bukan pada kebencian orang lain. Kadang-kadang bisa sangat membantu bagi kita apabila menjelaskan alasan, mengapa kita memiliki perasaan tertentu, misalnya "Saya merasa…….. karena……….".
    • Menjelaskan perubahan yang ingin kita buat, mengkhususkan pada tindakan apa yang seharusnya dihentikan dan dimulai. Kita harus meyakin diri kira bahwa perubahan yang diharapkan tersebut masuk akal, kita pun mempertimbangkan kebutuhan orang lain, dan sebaliknya merelakan bahwa kita pun harus berubah. Kita juga harus siap dengan konsekuensi, yaitu bila orang lain ternyata berubah sesuai dengan yang kita harapkan, atau justru tidak berubah. Kita harus menjaga jangan sampai mengancam bila mereka tidak berubah sebagaimana kita inginkan.

BAB V

MEMPENGARUHI ORANG LAIN SECARA POSITIF


 

     Setiap orang yang melaksanakan fungsi kepemimpinan harus mampu memberdayakan orang lain agar mau melakukan upaya-upaya untuk menca- pai tujuan organisasi. Demikian pula dengan pengawas satuan pendidikan. Sejalan dengan tugas pokoknya yaitu melakukan pembinaan pengembangan kualitas sekolah, kinerja sekolah, kepala sekolah, guru, dan seluruh staf sekolah, maka para pengawas dituntut memiliki kemampuan memberdayakan para mereka agar bekerja seoptimal mungkin guna peningkatan kualitas kinerja mereka.

Memberdayakan berarti "memasukkan daya ke dalam", atau "menyalurkan energi dan antusiasme". Dengan perkataan lain, member- dayakan berarti membuat usaha yang sistematis dan berkesinambungan untuk memberi orang lain informasi, pengetahuan, dukungan, dan kesempatan yang lebih banyak guna melatih kekuatan mereka untuk meraih keberhasilan. Maka tahap pertama dalam memberdayakan orang lain adalah menjaga agar jangan sampai mengulang melakukan apapun yang bisa membuat mereka merasa tak berdaya atau yang mengurangi energi dan antusiasme mereka atas apa yang mereka lakukan.

Sebelum membahas lebih jauh tentang upaya memberdayakan orang lain, marilah kita evaluasi dulu, apakah kita selama ini sudah cukup memberdayakan orang lain.

A. Memberdayakan Orang Lain

Kebutuhan yang paling mendalam dari masing-masing orang adalah harga diri, merasa dianggap penting, bernilai, dan bermanfaat. Apa pun yang kita lakukan dalam interaksi dengan mereka, pasti akan mempengaruhi harga diri mereka. Kita harus mempunyai kerangka acuan yang sangat tepat untuk menentukan segala sesuatu yang dapat kita lakukan untuk mendorong harga diri mereka, dan karenanya juga memunculkan perasaan kekuatan pribadi mereka. Berikanlah kepada mereka apa yang kita sukai bagi diri kita sendiri.

Tiga hal sederhana yang dapat kita lakukan setiap hari untuk memberdayakan orang lain dan membuat mereka merasa nyaman dengan diri mereka sendiri akan diuraikan di bawah ini.

  1. Apresiasi (Appreciation)

    Mungkin hal paling sederhana untuk membuat orang lain merasa nyaman dengan dirinya sendiri adalah ekspresi kita yang berkesinambungan atas segala hal yang mereka lakukan, besar maupun kecil. Katakan "terima kasih" dalam setiap kesempatan yang sesuai.

    Makin banyak kita mengucapkan terima kasih atas apa yang mereka lakukan untuk kita, makin banyak hal yang akan mereka lakukan. Setiap saat kita berterima kasih pada mereka, kita telah menjadikan mereka merasa lebih baik. Kita membangkitkan rasa harga diri mereka dan meningkatkan self-image mereka. Kita membuat mereka merasa dipentingkan. Kita membuat mereka merasa bahwa mereka berharga dan berguna. Kita telah memberdayakan mereka.

    Bila kita mengembangkan sikap penghargaan yang mengalir dengan tulus dari diri kita kedalam seluruh interaksi kita dengan orang lain, kita akan sangat terkejut dengan kenyataan mengenai betapa populernya kita dan betapa orang lain sangat berhasrat untuk membantu kita dalam melakukan apa pun yang kita kerjakan.

  2. Pendekatan (Approach)

    Cara kedua untuk membuat orang menjadi merasa dipentingkan, untuk meningkatkan harga diri mereka, dan memberikan mereka rasa kekuatan dan berenergi adalah dengan banyak menggunakan pujian dan pendekatan. Ken Blanchard (Brian, 2007) menyarankan untuk memberikan "pujian satu menit" pada setiap kesempatan. Jika kita memberikan pujian dan pendekatan yang jujur dan tulus kepada orang lain atas prestasi mereka, besar maupun kecil, kita akan dikejutkan dengan kenyataan betapa banyaknya orang yang menyukai kita dan betapa banyaknya orang yang dengan sukarela mau membantu kita mencapai tujuan.

    Ada hukum resiproksitas psikologis yang menyatakan "jika anda merasa baik tentang diri saya, maka saya akan menemukan cara untuk membuat anda merasa baik tentang diri anda". Dengan perkataan lain, orang akan selalu mencari cara membalas kebaikan kita kepada mereka. Jika kita mencari setiap kesempatan untuk melakukan dan mengatakan sesuatu yang membuat orang lain merasa nyaman tentang diri mereka, kita akan heran dengan tidak hanya bagaimana senangnya perasaan kita, tapi juga heran dengan hal-hal menakjubkan yang mulai terjadi di sekitar kita.

  3. Perhatian (Atention)

    Cara ketiga untuk memberdayakan orang lain, membangun harga diri, dan membuat mereka merasa penting adalah memberikan perhatian penuh terhadap mereka saat mereka bicara. Sebagian besar orang sangat disibukkan dengan usaha untuk didengar, yang membuat mereka jadi tidak sabar saat orang lain bicara. Ingatlah, satu kegiatan paling penting yang harus dilakukan dari waktu ke waktu adalah mendengarkan secara sungguh-sungguh terhadap orang lain saat mereka berbicara atau mengeksresikan diri.

    B. Mendengarkan Orang Lain (Listening)

Menjadi pendengar yang baik merupakan salah satu syarat mutlak bagi seorang pengawas untuk bisa memiliki pengaruh terhadap kepala sekolah, guru, dan staf sekolah lainnya. Dengan memiliki pengaruh, seorang pengawas memiliki bekal yang lebih baik untuk memberdayakan para perangkat sekolah tersebut sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Apa yang ada pada tubuh kita sebenarnya sudah menggambarkan bagaimana seharusnya kita menggunakannya secara bijak agar bisa memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Sebagai contoh, kita memiliki satu mulut dan dua telinga, artinya kita dituntut untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara.

Sayangnya, kita tidak terbiasa untuk terampil menggunakan telinga kita untuk mendengar lebih banyak daripada berbicara. Padahal, dengan banyak mendengar, akan makin banyak pula informasi yang kita dapatkan. Dengan banyak informasi, kita pun akan memiliki bekal yang lebih baik lagi guna mempengaruhi orang lain.

Seberapa jauhkah keterampilan mendengar kita selama ini? Mari kita coba uji dengan mengisi kuis di bawah ini.


 

  1. Mengapa Kita Harus Mendengar

    Mendengar tidak hanya merupakan perilaku yang sopan dan memberikan nilai yang berharga bagi si pendengar. Kita juga bisa mendapatkan banyak hal.

    Banyak alasan mengapa kita harus mau mendengar:

  • Membangun kepercayaan.

    Orang-orang yang mau mendengarkan ternyata lebih dipercaya daripada orang-orang yang banyak bicara dan mengobrol. Kepercayaan merupakan pelumas bagi terjadinya perubahan pemikiran, dan mendengarkan adalah kuncinya.

  • Kredibilitas.

    Jika kita mau sungguh-sungguh mendengar terhadap orang lain, maka kredibilitas kita pada mereka akan meningkat. Mereka akan mempersepsikan kita sebagai orang yang memiliki kapabilitas dan akan bisa bekerja bersama mereka, bukan menyerang mereka. Para pemimpin, pelatih, fasilitator yang hebat adalah orang-orang yang mampu menjadi pendengar yang baik, dan sebaliknya, para pendengar yang baik pun memiliki potensi untuk bisa menjadi pemimpin yang besar.

  • Dukungan

    Pada umumnya orang mengakui bahwa mereka merasa memperoleh dukungan bila didengar, khususnya saat mereka merasa marah atau gelisah. Dengan didengar, mereka merasa dihargai dan dipahami. Jadi, jika kita mau mendengar seseorang, sama artinya dengan kita mengirimkan pesan yang menyatakan "Anda penting bagi saya. Saya menghargai anda".

  • Menjadikan sesuatu terlaksana

    Sebagaimana membangun kepercayaan, mendengar juga memungkinkan kita mencapai tujuan, karena orang yang didengar akan mau bekerja sama dengan kita

  • Informasi

    Mendengar memberikan kita banyak informasi yang berguna, baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang. Dengan memiliki banyak informasi, maka kita akan dapat mengarahkan apa yang dikatakan orang.

  • Pertukaran

    Jika kita mendengarkan orang lain, maka mereka akan lebih mendengarkan kita. Sesuai dengan prinsip pertukaran, dukungan kita kepada orang lain akan membuat mereka juga mendukung kita sehingga akhirnya kita akan bisa mencapai tujuan.

  1. Kebiasaan Mendengar Yang Buruk

    Mendengar secara buruk sudah menjadi hal yang umum, namun jarang diperhatikan. Menurut Robertson (1994), ada sepuluh kebiasaan mendengar yang buruk yang paling umum dilakukan orang. Kesepuluh kebiasaan tersebut adalah:

  • Kurang perhatian pada masalah yang dibicarakan
  • Perhatian dipusatkan pada orangnya, bukan pada isi pembicaraan.
  • Melakukan interupsi.
  • Memusatkan perhatian pada detail dan mengabaikan gambaran umum.
  • Memaksakan mencocokkan ide pembicara kedalam model mental sendiri.
  • Menunjukkan bahasa tubuh yang menandakan ketidaktertarikan
  • Menciptakan atau membiarkan terjadinya kebingungan
  • Mengabaikan apa yang tidak dipahami
  • Membiarkan emosi menghalangi pemahaman materi yang dibicarakan
  • Mengkhayal, sehingga tidak bisa mendengar pembicaraan secara utuh.


 

  1. Kebiasaan Mendengar Yang Baik

    Meskipun kebiasaan mendengar yang baik sudah merupakan hal umum, namun ada beberapa pola kebiasaan mendengar yang bisa dilakukan untuk membantu orang lain, termasuk pada akhirnya membantu diri sendiri.

    Kebiasaan mendengar yang baik tersebut adalah:

  • Memberikan perhatian penuh.

    Berikan perhatian terhadap orang yang sedang berbicara. Berikan mereka perhatian penuh, tidak hanya dengan telinga, tapi dengan seluruh badan; menghadaplah pada orang yang sedang berbicara dan tataplah. Lakukan hal ini dengan sepenuh hati, bukan hanya secara fisik. Jika hati kita benar-benar terarah untuk memperhatikan, secara otomatis tubuh pun akan mengikuti.

  • Membantu orang lain untuk bicara.

    Kadang-kadang orang yang berbicara mengalami kesulitan mengemukakan apa yang ingin ia bicarakan. Mungkin mereka bukan pembicara yang baik, atau memang sedang mencari cara untk menjelaskan sesuatu yang kompleks. Kita bisa membantu mereka dan diri kita sendiri dengan dorongan yang positif (positive encouragement). Jika mereka kurang yakin, doronglah mereka dengan anggukan, senyuman, dan suara yang positif (misalnya ya...ya, hmm). Perlihatkan bahwa kita tertarik pada mereka dan jangan pikirkan bahwa mereka tidak cukup terpelajar/pandai. Jika mereka susah payah dalam mengemukakan suatu konsep, cobalah bantu mereka mengemukakan apa yang mereka maksudkan dengan menggunakan kalimat lain. Mengajukan pertanyaan yang positif merupakan suatu pendekatan yang bagus, baik untuk menguji pemahaman kita sendiri maupun menunjukkan ketertarikan kita kepada mereka.

  • Memberi orang lain dukungan (support).

Mendengar yang baik juga mencakup tindakan yang menunjukkan bahwa kita penuh perhatian kepada orang lain. Sebagai bagian dari mendengar, kita seharusnya berusaha untuk membantu orang lain merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Sikap mendasar untuk memberikan dukungan adalah menghargai dan menerima semua orang, bahkan saat kita tidak setuju dengan apa yang mereka katakan atau cara mereka mengatakan sesuatu. Jika kita tidak setuju, maka ketidaksetujuan kita adalah terhadap argumennya, bukan terhadap orangnya. Perlihatkan penerimaan kita atas hak mereka untuk berbeda dengan kita.

  • Mengelola reaksi kita.

    Hati-hatilah dengan reaksi kita terhadap apa yang orang lain katakan. Mudah saja bagi seseorang yang menjadi pendengar untuk menunjukkan ketidaktertarikannya, menunjukkan bahwa mereka tidak mau mendengarkan kita, atau menunjukkan bahwa mereka lebih tertarik untuk mengkritik kita. Sebelum kita berkomentar dan memberikan respons tentang apa yang orang lain katakan, berhentilah sejenak untuk merenungkan kesimpulan dan prasangka yang ada dalam diri kita. Pikirkan tentang apa yang akan kita katakan dan efek yang mungkin ditimbulkannya. Pertimbangkan apakah hal tersebut yang memang ingin kita capai.

  1. Gaya Mendengar

Menurut Barker (1971) dan Watson (1995), ada empat gaya mendengarkan yang biasanya digunakan orang, tergantung pada kesukaan dan tujuannya. Keempat gaya mendengar tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Gaya Orientasi Orang (People-Oriented)

    Orang-orang yang people oriented menunjukkan perhatian yang kuat pada orang lain dan perasaannya. Mereka tergolong external focus, mendapatkan energinya dari orang lain dan mendapatkan banyak makna dalam hubungan/relasi, lebih banyak berbicara tentang "kita" daripada "anda" atau "mereka".

    Orang-orang tipe ini berusaha memahami sejarah kehidupan orang lain dan menggunakan teknik "penceritaan diri mereka sendiri" sebagai makna pemahaman. Mereka memusatkan perhatian pada emosi, berempati, dan melibatkan emosi dalam argumen-argumennya. Mereka bisa menampilkan diri sebagai orang yang mudah dikritik dan akan menggunakannya untuk menunjukkan bahwa mereka tidak berbahaya.

    Orang dengan tipe ini bisa mendapat masalah bila mereka terlibat terlalu mendalam dengan orang lain. Hal ini bisa mengganggu kepekaan mereka dalam membuat keputusan maupun kemampuan untuk membedakan. Mereka bisa berhubungan sangat erat dengan orang lain yang mengakibatkan mereka tidak dapat melihat secara objektif keterbatasan dan kesalahannya, dan bisa jatuh kedalam hubungan yang tidak bijaksana. Mereka juga akan tampak sebagai orang yang turut campur saat berusaha menjalin hubungan dengan orang lain yang tidak begitu berorientasi pada hubungan.


     

  2. Gaya Orientasi Isi (Content-Oriented)

    Orang dengan gaya orientasi isi lebih tertarik dengan apa yang dikatakan daripada siapa yang berkata atau apa yang mereka rasakan. Mereka menilai orang lain berdasarkan pada seberapa kredibel mereka dan akan berusaha menguji keahlian dan keadaan yang sebenarnya dari orang tersebut.

    Orang tipe ini memusatkan perhatian pada fakta dan bukti dan senang menyelidiki detail. Mereka berhati-hati dalam melakukan asesmen, berusaha mencari tahu hubungan sebab akibat, dan mencari bukti sebelum menerima apa pun sebagai hal yang benar.

    Orang-orang ini bisa menghadapi masalah bila mereka menolak ide-ide dan harapan-harapan orang lain serta menolak informasi karena belum memiliki cukup bukti yang mendukung.


     

  3. Gaya Orientasi Tindakan (Action-Oriented)

    Pendengar yang berorientasi tindakan memusatkan perhatian pada apa yang akan dilakukan, tindakan apa yang akan terjadi, kapan, dan siapa yang akan melakukannya. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan "lalu apa?" dan mencari tahu rencana tindakan. Mereka menyukai penjelasan yang gamblang, ringan, dan jawaban yang didasarkan pada bukti nyata/konkret.

    Orang dengan tipe ini bisa tidak sabar dan meminta pembicara agar segera menyampaikan kesimpulan. Mereka juga bisa mengkritik orang yang berbicara tentang gambaran besar sesuatu atau berbicara tentang ide-ide dan konsep-konsep. Hal ini bisa menyebabkan mereka untuk terlalu memusatkan perhatian pada pengendalian dan kurang memperhatikan kesejahteraan/kenyamanan orang lain.

  4. Gaya Orientasi Waktu (Time-Oriented)

    Orang dengan gaya ini "mempunyai mata yang terus terpaku pada jam". Mereka mengatur hari-hari mereka kedalam bagian-bagian yang rapi dan mengalokasikan waktunya untuk mendengar, dan akan sangat mempermasalahkan bila sesinya melewati batas waktu.

    Orang tipe ini mengelola waktunya dengan berbicara tentang ketersediaan waktu dan mencari jawaban-jawaban singkat terhadap permasalahan yang ada. Hal ini bisa menjengkelkan orang lain yang memusatkan perhatian pada elemen orang dan ingin bersama-sama selama mungkin.

Bila pengawas dapat mengenali gaya mendengar kita sendiri dan juga para kepala sekolah, guru, ataupun staf sekolah lainnya, serta mengenali tingkat keterampilannya sendiri dalam mendengar, maka ia akan bisa memperkirakan seberapa jauh pemahamannya terhadap apa yang mereka sampaikan dan sebaliknya. Dengan demikian, ia pun akan dapat merancang strategi yang lebih tepat dalam memberdayakan mereka untuk mencapai tujuan yang diharapkan.


 

DAFTAR PUSTAKA


 

Fox, Katherine. 2007. Twelve Valuable Steps to Raise Your Self Esteem. Tersedia: www.panicdisorder.about.com.

Lloyd, Sam R. 2007. How Assertive Are You?. Tersedia: www.tgasso- ciates.com.

Nurkhasanah, A., dkk. 2005. Efektivitas Relaksasi Otot Progresif Untuk Menurunkan Kecemasan Belajar Matematika Pada Siswa Kelas XI SMA Hidayatullah Semarang, dalam Jurnal Psikologi Vol.2 No.2. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Perera, Karl. Self Esteem Test. 1999. Tersedia: http://www.more-selfes- teem.com.

Perera, Karl. 2003. Low Self Esteem Can Be Cured! Here is How. Tersedia: http://www.more-selfesteem.com.

Perme, Cathy., dan Glenda Eoyang. 1992. Empowering Others, dalam buletin CM Perme and Associates, vol. 2, issue 1. Bloomington: Briar Circle.

Purwanto, Yadi., dan Rachmat Mulyono. 2006. Psikologi Marah. Bandung: Refika Aditama.

Raudsepp, Eugene. 2007. Strong Self-Esteem Can Help You Advance. Tersedia: www.careerjournal.com.

Rohm, Robert A. 2004. Knowing Personality Style Helps You To Understand Yourself...And Others!. Tersedia: www.personalityinsight.com.

Rohm, Robert A. 2004. Better Relationships. Tersedia: www.personality- insight.com.

SAMHSA'S National Mental Health Information Center. 2007. Building Self-esteem, A Self-Help Guide. Tersedia: http://mentalhealth.sam-hsa.gov.

Sudjana, Nana., dkk. 2007. Naskah Akademik Pengembangan Pengawas Satuan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas.

The Counseling & Mental Health Center. 1999. Better Self-Esteem. The University of Texas at Austin. Tersedia: www.utexas.edu.

Tracy, Brian. 2007. Empowering Others. Tersedia: http://www.ifma-. org/daily-articles.

-. 1987. Kesehatan Mental. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (Bahan ajar, tidak diterbitkan)

http://changingminds.org/techniques/listening. 5 April 2007.

http://www.changingminds.org/techniques/stress. 05 April 2007

http://mhnet.org/psyhelp. 05 April 2007

http://changingminds.org/techniques/assertiveness. 05 April 2007


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar