PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA DI SEKOLAH DASAR DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL TAHUN 2007 KATA PENGANTAR Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah menetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi kompetensi yang perlu dimiliki kepala sekolah, yaitu: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi dan Sosial. Dalam rangka pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah yang profesional, Direktorat Tenaga Kependidikan telah berupaya menyusun naskah materi diklat pembinaan kompetensi untuk calon kepala sekolah/kepala sekolah. Naskah materi diklat pembinaan kompetensi ini disusun bertujuan untuk memberikan acuan bagi stakeholder di daerah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/kepala sekolah agar dapat dihasilkan standar lulusan diklat yang sama di setiap daerah. Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah ini atas dedikasi dan kerja kerasnya sehingga naskah ini dapat diselesaikan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi upaya-upaya kita dalam meningkatkan mutu tenaga kependidikan. Jakarta, Direktur Tenaga Kependidikan Surya Dharma, MPA, Ph.D NIP. 130 783 511 DAFTAR ISI D. Indikator Pencapaian Kompetensi 2 BAB II TUGAS DAN PERANAN KEPALA SEKOLAH DASAR 5 BAB III KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DASAR 10 BAB IV KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DASAR DI ERA DESENTRASISASI 17 BAB V PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN SEMANGAT KERJA GURU DI SEKOLAH DASAR 23 BAB VI PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU DI SEKOLAH DASAR 27 Lampiran 1 : Latihan Pencapaian Kompetensi 44 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Alternatif Skenario Kegiatan 4 Gambar 6.1 Gambaran Profesionalisme Guru 31 BAB I PENDAHULUAN Penjaminan mutu merupakan kata kunci yang menjadi fenomena dalam dunia pendidikan, hal ini terjadi seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar nasional pendidikan. Implementasi dari kedua payung hukum tersebut di lakukan oleh pemerintah, antara lain dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Kepala Sekolah. Salah satu isi dari PerMendiknas tersebut adalah kompotensi manajerial, kepemimipinan merupakan standar kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah. Disamping itu pelaksanaan Otonomi Daerah mengharuskan kepala sekolah untuk mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi peraturan yang berlaku di daerah masing masing. Atas dasar pokok pikiran tersebut maka kepala sekolah harus mempunyai ketrampilan dalam bidang kepemimpinan. Dimensi kompensi yang diterapkan dalam pelaksanaan Pendidikan dan pelatihan adalah dimensi Kompetensi Manajerial tentang poin kepemimpinan. Memimpin sekolah dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia sekolah secara optimal. Alokasi waktu penyampaian materi kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan Sumber Daya Manusia di SD adalah selama 10 jam pelajaran (@ 45 menit). Skenario kegiatan dibawah ini bersifat tentatif dan dapat dikembangkan dengan model pembelajaran untuk orang dewasa (andragogi) sesuai dengan kondisi pelakasanaan Diklat. Adapun dalam pelaksanaan diklat fasilitator dapat mengembangkan pembelajaran yang variatif dengan menggunakan fasilitas ICT serta menampilkan tayangan berupa kejadian/kasus/ model kepemimpinan yang bersipat situasional. Disamping itu fasilitator dapat pula mengajak peserta untuk melakukan kegiatan bermain peran (role playing) yang mampu membuat peserta menghayati pentingnya kepemimpinan. oleh karena itu dalam pelatihan ini fasilitator dapat memilih alternatif kegiatan seperti dibawah ini: Gambar 1.1 Alternatif Skenario Kegiatan BAB II
TUGAS DAN PERANAN KEPALA SEKOLAH DASAR
Sekolah dasar merupakan salah satu organisasi pendidikan yang utama dalam jenjang pendidikan dasar. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 1990 telah disebutkan bahwa pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa sekolah dasar sebagai lembaga pendidikan dasar diharapkan bisa berfungsi sebagai: (1) peletak dasar perkembangan pribadi anak untuk menjadi warga negara yang baik, (2) peletak dasar kemampuan dasar anak, dan (3) penyelenggara pendidikan awal untuk persiapan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu pendidikan menengah. Kemampuan dasar utama yang diberikan kepada anak sekolah dasar adalah kemampuan dasar yang membuat bisa berpikir kritis dan imajinatif yang tercermin dalam modus kemampuan menulis, berhitung dan membaca. Ketiga aspek kemampuan dasar tersebut merupakan kemampuan utama yang dibutuhkan dalam abad informasi.
Ditinjau dari komponennya, ada beberapa unsur atau elemen utama dalam organisasi sekolah dasar. Unsur-unsur tersebut meliputi: (1) sumber daya manusia, yang mencakup kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa, (2) sumber daya material, yang mencakup peralatan, bahan, dana, dan sarana prasarana lainnya, (3) atribut organisasi, yang mencakup tujuan, ukuran, struktur tugas, jenjang jabatan, formalisasi, dan peraturan organisasi, (4) iklim internal organisasi, yakni situasi organisasi yang dirasakan personel dalam proses interaksi, dan (5) lingkungan organisasi sekolah.
Ditinjau dari karakteristiknya, sekolah dasar merupakan suatu sistem organisasi. Sebagai suatu sistem organisasi, sekolah dasar bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi struktur organisasi dan perilaku organisasi. Struktur organisasi mengacu pada framework organisasi, yaitu tata pembagian tugas dan hubungan baik secara vertikal, horizontal dan diagonal. Hal ini bisa mencakup spesifikasi jabatan, pembagian tugas, garis perintah, peraturan organisasi, serta hierarki kewenangan dan tanggung jawab. Perilaku organisasi mengacu pada aspek-aspek tingkah laku manusia dalam organisasi. Organisasi sekolah dipandang sebagai suatu sistem sosial, yang di dalamnya terjadi interaksi antar individu untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu atribut yang banyak berkaitan dengan interaksi perilaku individu dalam organisasi adalah budaya organisasi.
Budaya organisasi adalah ikatan sosial yang mengikat anggota suatu organisasi secara bersama dalam memberikan nilai-nilai, alat simbolis dan ide-ide sosial. Greenberg & Baron (1995) menekankan budaya organisasi sebagai suatu kerangka kognitif yang berisi sikap, nilai, norma, perilaku, dan harapan yang dimiliki anggota organisasi. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan psikologis, Getzel dan Guba mengemukakan bahwa perilaku individu dalam organisasi dipengaruhi oleh dua dimensi, yaitu dimensi institusi yang dikenal dengan istilah nomothetic dimension, dan dimensi individu yang dikenal dengan istilah idiographic dimension (Lunenburg & Orstein, 2000). Ditinjau dari sisi institusi, setiap anggota dituntut untuk bertindak sesuai dengan peranan dan harapan untuk mencapai tujuan organisasi. Ditinjau dari sudut individu, setiap anggota dituntut untuk bertindak sesuai dengan pribadi dan kebutuhannya, maupun norma-norma institusi.
Bila diterapkan dalam organisasi sekolah dasar, ada tiga komponen yang berkaitan dengan budaya organisasi sekolah dasar, yaitu: (1) institusi atau lembaga yang perannya dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi sekolah, (2) guru-guru sekolah dasar sebagai individu yang memiliki kepribadian dan kebutuhan, baik kebutuhan profesional maupun kebutuhan sosial, dan (3) interaksi dari kedua komponen tersebut. Untuk itu, kepala sekolah harus mampu mengintegrasikan kedua komponen tersebut, yakni peranan, tuntutan dan harapan lembaga, dengan kepribadian, dan kebutuhan guru, agar bisa mencapai tujuan organisasi secara optimal.
Keberhasilan organisasi sekolah banyak ditentukan keberhasilan kepala sekolah dalam menjalankan peranan dan tugasnya. Peranan adalah seperangkat sikap dan perilaku yang harus dilakukan sesuai dengan posisinya dalam organisasi. Peranan tidak hanya menunjukkan tugas dan hak, tapi juga mencerminkan tanggung jawab dan wewenang dalam organisasi.
Ada banyak pandangan yang mengkaji tentang peranan kepala sekolah dasar. Campbell, Corbally & Nyshand (1983) mengemukakan tiga klasifikasi peranan kepala sekolah dasar, yaitu: (1) peranan yang berkaitan dengan hubungan personal, mencakup kepala sekolah sebagai figurehead atau simbol organisasi, leader atau pemimpin, dan liaison atau penghubung, (2) peranan yang berkaitan dengan informasi, mencakup kepala sekolah sebagai pemonitor, disseminator, dan spokesman yang menyebarkan informasi ke semua lingkungan organisasi, dan (3) peranan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, yang mencakup kepala sekolah sebagai entrepreneur, disturbance handler, penyedia segala sumber, dan negosiator.
Di sisi lain, Stoop & Johnson (1967) mengemukakan empat belas peranan kepala sekolah dasar, yaitu: (1) kepala sekolah sebagai business manager, (2) kepala sekolah sebagai pengelola kantor, (3) kepala sekolah sebagai administrator, (4) kepala sekolah sebagai pemimpin profesional, (5) kepala sekolah sebagai organisator, (6) kepala sekolah sebagai motivator atau penggerak staf, (7) kepala sekolah sebagai supervisor, (8) kepala sekolah sebagai konsultan kurikulum, (9) kepala sekolah sebagai pendidik, (10) kepala sekolah sebagai psikolog, (11) kepala sekolah sebagai penguasa sekolah, (12) kepala sekolah sebagai eksekutif yang baik, (13) kepala sekolah sebagai petugas hubungan sekolah dengan masyarakat, dan (14) kepala sekolah sebagai pemimpin masyarakat.
Dari keempat belas peranan tersebut, dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu kepala sekolah sebagai administrator pendidikan dan sebagai supervisor pendidikan. Business manager, pengelola kantor, penguasa sekolah, organisator, pemimpin profesional, eksekutif yang baik, penggerak staf, petugas hubungan sekolah masyarakat, dan pemimpin masyarakat termasuk tugas kepala sekolah sebagai administrator sekolah. Konsultan kurikulum, pendidik, psikolog dan supervisor merupakan tugas kepala sekolah sebagai supervisor pendidikan di sekolah.
Sergiovanni (1991) membedakan tugas kepala sekolah menjadi dua, yaitu tugas dari sisi administrative process atau proses administrasi, dan tugas dari sisi task areas bidang garapan pendidikan. Tugas merencanakan, mengorganisir, meng-koordinir, melakukan komunikasi, mempengaruhi, dan mengadakan evaluasi merupakan komponen-komponen tugas proses. Program sekolah, siswa, personel, dana, fasilitas fisik, dan hubungan dengan masyarakat merupakan komponen bidang garapan kepala sekolah dasar.
Di sisi lain, sesuai dengan konsep dasar pengelolaan sekolah, Kimbrough & Burkett (1990) mengemukakan enam bidang tugas kepala sekolah dasar, yaitu mengelola pengajaran dan kurikulum, mengelola siswa, mengelola personalia, mengelola fasilitas dan lingkungan sekolah, mengelola hubungan sekolah dan masyarakat, serta organisasi dan struktur sekolah.
Berdasarkan landasan teori tersebut, dapat digarisbawahi bahwa tugas-tugas kepala sekolah dasar dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu tugas-tugas di bidang administrasi dan tugas-tugas di bidang supervisi.
Tugas di bidang administrasi adalah tugas-tugas kepala sekolah yang berkaitan dengan pengelolaan bidang garapan pendidikan di sekolah, yang meliputi pengelolaan pengajaran, kesiswaan, kepegawaian, keuangan, sarana-prasarana, dan hubungan sekolah masyarakat. Dari keenam bidang tersebut, bisa diklasifikasi menjadi dua, yaitu mengelola komponen organisasi sekolah yang berupa manusia, dan komponen organisasi sekolah yang berupa benda.
Tugas di bidang supervisi adalah tugas-tugas kepala sekolah yang berkaitan dengan pembinaan guru untuk perbaikan pengajaran. Supervisi merupakan suatu usaha memberikan bantuan kepada guru untuk memperbaiki atau meningkatkan proses dan situasi belajar mengajar. Sasaran akhir dari kegiatan supervisi adalah meningkatkan hasil belajar siswa.
Keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan merupakan faktor yang paling penting dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam mengelola kantor, mengelola sarana prasarana sekolah, membina guru, atau mengelola kegiatan sekolah lainnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan kepala sekolah. Apabila kepala sekolah mampu menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan anggota secara tepat, segala kegiatan yang ada dalam organisasi sekolah akan bisa terlaksana secara efektif. Sebaliknya, bila tidak bisa menggerakkan anggota secara efektif, tidak akan bisa mencapai tujuan secara optimal. Untuk memperoleh gambaran yang jelas, bagaimana peranan kepemimpinan dalam pengelolaan sekolah, maka perlu diuraikan tentang konsep dasar kepemimpinan kepala sekolah dasar.
BAB III
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DASAR
Istilah kepemimpinan bukan merupakan istilah baru bagi masyarakat. Di setiap organisasi, selalu ditemukan seorang pemimpin yang menjalankan organisasi. Pemimpin berasal dari kata "leader" yang merupakan bentuk benda dari "to lead" yang berarti memimpin. Untuk memahami pengertian kepemimpinan secara jelas, maka perlu dikaji beberapa definisi yang dikemukakan para ahli kepemimpinan.
Banyak ahli yang mengemukakan pengertian kemimpinan. Feldmon (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah usaha sadar yang dilakukan pimpinan untuk mempengaruhi anggotanya melaksanakan tugas sesuai dengan harapannya. Di sisi lain, Newell (1978) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai pengembangan atau tujuan organisasi. Kedua pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Stogdil yang mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas kelompok untuk mencapai tujuan organisasi (Wahyosumidjo, 1984).
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan para ahli kepemimpinan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah suatu proses menggerakkan, mempengaruhi dan membimbing orang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian kepemimpinan, yaitu unsur orang yang menggerakkan yang dikenal dengan pemimpin, unsur orang yang digerakkan yang disebut kelompok atau anggota, unsur situasi dimana aktifitas penggerakan berlangsung yang dikenal dengan organisasi, dan unsur sasaran kegiatan yang dilakukan.
Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan. Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan tersebut diterapkan dalam organisasi pendidikan, maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi (1985) yang mengemukakan bahwa kepemimpinan pendidikan adalah proses mempengaruhi, menggerakkan, memberikan motivasi, dan mengarahkan orang-orang yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam organisasi pendidikan yang menjadi pemimpin pendidikan adalah kepala sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah memiliki sejumlah tugas dan tanggung jawab yang cukup berat. Untuk bisa menjalankan fungsinya secara optimal, kepala sekolah perlu menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat.
Peranan utama kepemimpinan kepala sekolah tersebut, nampak pada pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para ahli kepemimpinan. Knezevich yang dikutip Indrafachrudi (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sumber energi utama ketercapaian tujuan suatu organisasi. Di sisi lain, Owens (1991) juga menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan merupakan sarana utama untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk itu, agar kepala sekolah bisa melaksanakan tugasnya secara efektif, mutlak harus bisa menerapkan kepemimpinan yang baik.
Ada banyak teori gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan kepala sekolah. Bila ditelaah dari perkembangan teori, ada banyak teori kepemimpinan yang bisa ditelaah untuk mengkaji masalah kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang pertama-tama dikembangkan adalah teori sifat atau trait theory. Pada dasarnya teori sifat memandang bahwa keefektifan kepemimpinan itu bertolak dari sifat-sifat atau karakter yang dimiliki seseorang. Keberhasilan kepe-mimpinan itu sebagian besar ditentukan oleh sifat-sifat kepribadian tertentu, misalnya harga diri, prakarsa, kecerdasan, kelancaran berbahasa, kreatifitas termasuk ciri-ciri fisik yang dimiliki seseorang. Pemimpin dikatakan efektif bila memiliki sifat-sifat kepribadian yang baik. Sebaliknya, pemimpin dikatakan tidak efektif bila tidak menunjukkan sifat-sifat kepribadian yang baik
Penelitian tentang kepemimpinan berdasarkan trait theory ini telah banyak dilakukan. Stogdil membedakan tiga karakteristik yang menunjukkan pemimpin yang efektif, yaitu (1) kepribadian, (2) kemampuan, dan (3) ketrampilan sosial (Feldmon & Arnold, 1983). Pada perkembangan selanjutnya, oleh Bass dan Stogdil, diklasifikasi menjadi dua, yaitu traits yang antara lain mencakup karakter tegas, bekerja sama, berpengaruh, memiliki keyakinan diri, energik, dan bertanggung jawab, dan skill yang antara lain mencakup pandai, kreatif, lancar berbicara, memiliki kemampuan konseptual dan ketrampilan sosial. Dari sejumlah traits tersebut, selanjutnya diklasifikasi menjadi lima dimensi besar, yaitu surgence, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan intellectance (Lunenburg & Ornstein, 2000).
Berdasarkan beberapa hasil studi, ditemukan keterbatasan trait theory yakni terlalu menekankan pada karakter personal pemimpin. Keberhasilan kepemimpinan tidak semata-mata ditentukan oleh karakter personal, tetapi justru banyak ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin. Keefektifan kepemimpinan banyak tergantung pada perilaku yang diterapkan pemimpin dalam situasi organisasi. Untuk itu, muncul teori-teori yang bertolak dari pendekatan perilaku yang dikenal dengan istilah behavior theory.
Teori kepemimpinan berdasarkan pendekatan perilaku tersebut tidak didasarkan pada sifat atau ciri-ciri kepribadian seseorang, tapi lebih cenderung berdasarkan perilaku atau proses kepemimpinan yang ditunjukkan dalam organisasi yang dipimpin. Kualitas kepemimpinan tidak dinilai dari karakter personal, tapi lebih ditekankan pada fungsi, peranan, atau perilaku yang ditampilkan dalam kelompok. Salah satu teori kepemimpinan yang dikembangkan berdasarkan perilaku adalah teori kepemimpinan dua dimensi (two dimensional theory).
Berdasarkan teori kepemimpinan dua dimensi, gaya kepemimpinan itu mengacu pada dua sisi, yaitu sisi tugas atau hasil, dan sisi hubungan manusia atau proses. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) adalah gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada tugas atau pencapaian hasil. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola, penetapan metode dan prosedur pencapaian tujuan. Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia (people oriented) adalah gaya kepemimpinan yang meneknakan pada hubungan kemanusiaan dengan bawahan. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan kehangatan hubungan antar anggota (Owens, 1991).
Banyak ahli yang mengkaji teori kepemimpinan dua dimensi dengan istilah yang berbeda-beda. Cartwright dan Zander menggunakan istilah pencapaian tujuan (goal achievement), dan pertahanan kelompok (group maintenance). Halpin dan Winner mengemukakan dengan istilah struktur inisiasi (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Danil Cartz menyebut dengan istilah orientasi pada produksi (production oriented) dan orientasi pada pekerja (employee oriented). Likert menyebut dengan istilah berpusat pada tugas (job centered) dan berpusat pada pekerja (employee centered). Blake dan Mouton menggunakan istilah perhatian pada aspek hasil (concern for production) dan perhatian pada aspek manusia (concern for people) (Owens, 1991).
Semua istilah dimensi kepemimpinan tersebut, oleh Hoy dan Miskel (1987) diklasifikasi menjadi dua, yaitu perhatian pada organisasi (concern for organization) dan perhatian pada hubungan individual (concern for individual relationship).
Ada beberapa ciri perilaku yang menunjukkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hubungan manusia. David dan Sheasor mengemukakan empat ciri, yaitu memberikan dukungan, menjalin interaksi, merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan (Hoy dan Miskel, 1987). Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu memberikan dukungan dan menjalin interaksi.
Di sisi lain, Halpin mengemukakan delapan komponen. Empat komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu menetapkan peranan, menetapkan prosedur kerja, melakukan komunikasi satu arah, dan mencapai tujuan organisasi. Empat komponen menunjukkan perilaku yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu menjalin hubungan akrab, menghargai anggota, bersikap hangat dan menaruh kepercayaan kepada anggota (Hoy dan Miskel, 1987).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat digarisbawahi karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah melakukan komunikasi satu arah, menyusun rencana kerja, merancang tugas-tugas, menetapkan prosedur kerja, dan menekankan pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia adalah menjalin hubungan yang akrap, menghargai anggota, bersikap hangat, dan menaruh kepercayaan kepada anggota.
Berdasarkan dua orientasi kepemimpinan tersebut, selanjutnya gaya kepemimpinan bisa diklasifikasi menjadi empat, yaitu: (1) task oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada tugas, dan rendah pada hubungan manusia, (2) relationship oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada hubungan manusia, tetapi rendah pada tugas, (3) integrated leadership, yakni gaya kepemimpinan yang beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan manusia, dan (4) impoverished leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi rendah pada tugas dan hubungan manusia (Rossow, 1990). .
Pada perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa tidak setiap organisasi bisa digunakan pendekatan kepemimpinan yang sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang menekankan pada orang cenderung lebih efektif. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang menekankan pada tugas justru lebih efektif (Feldmon & Arnold, 1983; Hoy & Miskel, 1987; Gorton, 1991). Hal ini disebabkan oleh karakteristik organisasi yang berbeda.
Berdasarkan landasan tersebut, lalu dikembangkan pendekatan kepemimpinan baru yang dikenal dengan pendekatan kepemimpinan situasional. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situasi organisasi. Beberapa komponen yang perlu dipertimbangkan adalah keadaan bawahan, tuntutan pekerjaan, dan lingkungan organisasi itu sendiri (Newell, 1978).
Selanjutnya ada banyak teori kepemimpinan yang mempertimbangkan faktor situasi organisasi. Beberapa teori yang cukup dominan, antara lain sistem manajemen yang dikembangkan Likert, teori kepemimpinan tiga dimensi yang dikembangkan Reddin, teori kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan Fiedler, teori kontingensi normatif yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, teori substitutes yang dikembangkan oleh Kerr dan Jermier, teori path goal yang dikembangkan House, dan teori kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (Owens, 1981; Hoy & Miskel, 2005).
Berdasarkan teori kepemimpinan situasional, yang menekankan bahwa keberhasilan kepemimpinan ditentukan oleh perilaku pemimpin dan faktor-faktor situasional organisasi, seperti jenis pekerjaan, lingkungan organisasi, dan karakteristik individu yang terlibat dalam organisasi. Tidak ada satu gaya kepemimpinan yang paling efektif untuk semua organisasi. Kepemimpinan yang efektif adalah perilaku kepemimpinan yang sesuai dengan karakteristik organisasi, terutama kondisi kematangan bawahan.
Pada perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa keberhasilan kepemimpinan tidak hanya ditekankan pada perilaku yang ditampilkan pimpinan dalam kelompok, tetapi perlu ditelaah dari sisi perilaku yang ditampilkan anggota dalam organisasi. Untuk itu, pimpinan harus bisa mentransformasi nilai kepada bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu pendekatan kepemimpinan yang dikembangkan adalah kepemimpinan transformasional.
Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah dasar bisa memilih teori dan menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat dari beberapa gaya kepemimpinan yang ada sesuai dengan karakter pribadi, dan kondisi organisasi sekolah yang dipimpin. Yang penting kepala sekolah dasar, harus bisa menampilkan peranan kepemimpinan yang baik. Berkaitan dengan peranan kepemimpinan kepala sekolah tersebut, Sergiovanni (1991) mengemukakan enam peranan kepemimpinan kepala sekolah, yaitu kepemimpinan formal, kepemimpinan administratif, kepemimpinan supervisi, kepemimpinan organisasi, dan kepemimpinan tim. Kepemimpinan formal mengacu pada tugas kepala sekolah untuk merumuskan visi, misi dan tujuan organisasi sesuai dengan dasar dan peraturan yang berlaku. Kepemimpinan administratif, mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membina administrasi seluruh staf dan anggota organisasi sekolah. Kepemimpinan supervisi mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membantu dan membimbing anggota agar bisa melaksanakan tugas dengan baik. Kepemimpinan organisasi mengacu pada tugas kepala sekolah untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif, sehingga anggota bisa bekerja dengan penuh semangat dan produktif. Kepemimpinan tim mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membangun kerja sama yang baik diantara semua anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi sekolah secara optimal.
BAB IV
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DASAR DI ERA DESENTRALISASI
Dewasa ini terjadi perubahan dalam sistem pengelolaan sekolah, termasuk sekolah dasar. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, terjadi desentralisasi pendidikan, yaitu adanya pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat ke daerah, termasuk kewenangan dalam pengelolaan pendidikan. Salah satu pendekatan pengelolaan pendidikan yang diterapkan adalah pendekatan pengelolaan pendidikan berdasarkan sekolah, yang dikenal dengan istilah school based management atau manajemen berbasis sekolah.
Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam manajemen sekolah. Manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari istilah school based management, yang pada dasarnya merupakan pemberian kesempatan yang lebih luas kepada sekolah dalam pengelolaan sekolah. Sekolah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola sekolah secara mandiri sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengelolaan pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi banyak ditentukan oleh sekolah. Dengan demikian diharapkan sekolah bisa mampu mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki sekolah dan tuntutan lingkungan masyarakat.
Berdasarkan pedoman pengelolaan sekolah yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2002), manajemen berbasis sekolah diartikan sebagai bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai dengan adanya kewenangan pengambilan keputusan yang lebih luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Keleluasaan pengambilan keputusan di tingkat sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat mengoptimalkan pengelolaan sumber daya dengan mengalokasikan sesuai dengan prioritas program serta lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat yang ditunjang dengan sistem pengelolaan yang baik.
Di beberapa negara, manajemen berbasis sekolah (school based management) dikemukakan dengan beberapa istilah, antara lain site based management, delegated management, community based management, school otonomy atau local management of school. Meskipun sebutannya berbeda, tetapi sasarannya sama, yaitu memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengelola sekolah secara mandiri. Pada prinsipnya, sekolah memperoleh kewenangan (authority), kewajiban (responsibility) dan tanggung jawab (accountability) dalam pengelolaan sekolah. Melalui manajemen berbasis sekolah tersebut diharapkan bisa memberikan layanan pendidikan yang menyeluruh dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat.
Secara umum, tujuan manajemen berbasis sekolah (school based management) ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, kualitas dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui beberapa cara, antara lain melalui keleluasaan mengelola sumber daya atau penyederhanaan birokrasi. Peningkatan kualitas dilakukan melalui peningkatan partisipasi orang tua siswa terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan peningkatan profesionalisme personil sekolah. Sedangkan peningkatan pemerataan pendidikan diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Secara khusus, manajemen berbasis sekolah diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam panduan pengelolaan sekolah, manajemen berbasis sekolah ditekankan pada manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement). Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah pada dasarnya merupakan proses manajemen sekolah yang diarahkan untuk peningkatan mutu pendidikan melalui pelaksanaan otonomi sekolah mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah dengan melibatkan semua stakeholder sekolah. Dengan kata lain, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupaya-kan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua pihak yang terkait atau yang berkepentingan dengan mutu pendidikan. Istilah komponen mengacu pada bidang garapan pendidikan di sekolah, antara lain kurikulum dan pembelajar-an, kesiswaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, dan keuangan. Sedangkan istilah dikelola sendiri mengacu pada diatur sendiri (self managing), dirancang sendiri (self design) atau direncanakan sendiri (self planning), diorganisasi sendiri (self organizing), diarahkan sendiri (self direction) atau dikontrol/ dievaluasi sendiri (self control).
Ada beberapa karakteristik manajemen berbasis sekolah. Secara garis besar, karakteristik umum manajemen berbasis sekolah tersebut meliputi: (a) adanya akses terbuka bagi sekolah untuk tumbuh mandiri, (b) adanya kemi-traan yang erat antara sekolah dengan masyarakat sekitar, (c) adanya sistem disentralisasi, (d) pengelolaan sekolah secara partisipatif, (e) pemberdayaan guru secara optimal, (f) diterapkannya otonomi manajemen sekolah, (g) orientasi pada peningkatan mutu, dan (i) menekankan pada pengambilan keputusan partisipatif (Depdiknas, 2003).
Di sisi lain, Levacic mengemukakan tiga karakteristik kunci manajemen berbasis sekolah, yaitu: (1) kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke stakeholder sekolah, (2) domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, baik keuangan, kepegawaian, sarana prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum, dan (3) walaupun domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah (Bafadal dan Imron, 2004).
Secara lebih khusus, Levacic juga mengidentifikasi bahwa ada tiga tujuan khusus manajemen berbasis sekolah, yaitu mencapai efisiensi, keefektifan dan tanggung jawab pendidikan. Melalui manajemen berbasis sekolah, proses peningkatan mutu akan berlangsung secara efisien, terutama dalam penggunaan sumber daya manusia. Dengan manajemen berbasis sekolah, keefektifan peningkatan mutu pendidikan dasar juga meningkat, melalui peningkatan kualitas pembelajaran. Dengan manajemen berbasis sekolah, respon sekolah juga bertambah besar terhadap siswa.
Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah diarahkan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang dan keluwesan untuk peningkatan mutu pendidikan. Dengan kemandirian diharapkan: (1) sekolah bisa lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya, serta mampu mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah, (2) sekolah dapat mengembangkan sendiri program-programnya sesuai dengan kebutuhannya, (3) sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan kepada orang tua, masyarakat maupun pemerintah, serta (4) sekolah dapat melakukan persaingan secara sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Ada beberapa prinsip yang perlu dipegang dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah. Prinsip-prinsip tersebut adalah: (1) Keterbukaan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan secara terbuka dengan semua sumber daya yang ada, baik kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, maupun masyarakat, (2) Kebersamaan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan bersama oleh sekolah dan masyarakat, (3) Berkelanjutan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan secara berkelanjutan tanpa dipengaruhi pergantian pimpinan sekolah, (4) Menyeluruh, artinya manajemen berbasis sekolah yang disusun hendaknya mencakup semua komponen yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan, (5) Pertanggungjawaban, artinya pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dapat dipertanggungjawabkan ke masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan, (6) Demokratis, artinya keputusan yang diambil dalam manajemen berbasis sekolah hendaknya dilaksanakan atas dasar musyawarah antara komponen sekolah dan masyarakat, (7) Kemandirian sekolah, artinya sekolah memiliki prakarsa, inisiatif, dan inovatif dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan, (8) Berorientasi pada mutu, artinya berbagai upaya yang dilakukan selalu didasarkan pada peningkatan mutu, (9) Pencapaian standar pelayanan minimal, artinya layanan pendidikan minimal harus bisa dilaksanakan sesuai dengan standar minimal secara total, bertahap dan berkelanjutan, dan (10) Pendidikan untuk semua, artinya semua anak memperoleh pendidikan yang sama. Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah dasar harus melaksanakan prinsip-prinsip tersebut dengan baik.
Berdasarkan landasan tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa terdapat pergeseran peranan dalam pengelolaan pendidikan, dari asas sentralisasi ke desentralisasi. Adanya kemandirian, keterbukaan, partisipatif, dan pertanggung-jawaban menunjukkan pengelolaan sekolah secara mandiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki sekolah. Adapun bidang yang menjadi wewenang sekolah mencakup proses belajar mengajar, perencanaan, evaluasi program sekolah, pengelolaan kurikulum, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan perlengkapan sekolah, pengelolaan keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan pengelolaan iklim sekolah (Depdiknas, 2003).
Konsekuensi dari adanya school based management tersebut, tugas dan tanggung jawab kepala sekolah menjadi semakin besar. Kepala sekolah harus bisa memimpin dan memberdayakan semua sumber daya sekolah. Kepala sekolah merupakan motor penggerak dan penentu arah kebijakan sekolah. Untuk itu, kepemimpinan kepala sekolah dasar harus mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran yang baik, lancar dan produktif, menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu yang ditetapkan, menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat agar bisa terlibat aktif dalam mewujudkan tujuan sekolah, bekerja sama dengan tim secara kooperatif, dan berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
BAB V
PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN SEMANGAT KERJA GURU DI SEKOLAH DASAR
Kepemimpinan kepala sekolah yang baik dapat membuat anggota menjadi percaya, loyal, dan termotivasi untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara optimal. Untuk itu, keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah dapat dilihat dari performansi anggota. Salah satu faktor yang menunjukkan performansi anggota adalah semangat kerjanya.
Semangat kerja berasal dari kata morale. Semangat kerja bisa juga diartikan kegairahan kerja. Semangat kerja merupakan salah satu faktor utama yang menentukan terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas. Bila seseorang memiliki semangat kerja yang tinggi akan melaksanakan tugas secara optimal. Sebaliknya, bila seseorang kurang memiliki semangat kerja yang baik, tidak akan bisa melaksanakan tugas secara optimal.
Ada beberapa ahli yang mengemukakan pengertian semangat kerja. Beach (1980) mendefinisikan semangat kerja sebagai kepuasan kerja seseorang yang diperoleh dari pekerjaannya, kelompok kerja, pimpinan, organisasi, dan lingkungannya. Di sisi lain, Burrub mengemukakan bahwa semangat kerja merupakan suatu daya juang kelompok secara teguh dan konsisten untuk mencapai tujuan. Hornby menegaskan bahwa semangat kerja adalah kondisi mental yang penuh kemauan, kesungguhan, kedisiplinan, dan keteguhan dalam menghadapi tantangan untuk mencapai tujuan (Sutheja, 1988).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat digarisbawahi bahwa semangat kerja adalah kondisi mental yang penuh kesungguhan, kedisiplinan, daya juang, dan keteguhan untuk melaksanakan tugas/pekerjaan dalam rangka mencapai tujuan secara optimal. Semangat kerja guru berarti kondisi mental guru yang berupa reaksi emosional yang penuh kesungguhan, kedisiplinan, daya juang, dan keteguhan dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Ditinjau dari komponennya, ada tiga faktor yang terkandung dalam pengertian semangat kerja, yaitu identifikasi (identification), rasa memiliki (belongingness), dan rasionalitas (rationality). Identifikasi menunjuk pada komunalitas tujuan. Seorang guru yang memiliki semangat kerja tinggi merasa kebutuhan individunya sesuai dengan tujuan organisasi. Rasa memiliki artinya ada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan kebutuhan pimpinan. Rasionalitas artinya terdapat kesesuaian antara kebutuhan pimpinan dengan tujuan organisasi (Gorton, 1991).
Semangat kerja bukan merupakan suatu perilaku, namun sangat berpengaruh terhadap perilaku. Seorang yang personel akan berusaha secara optimal dalam melaksanakan tugas bila memiliki semangat kerja yang tinggi. Sebaliknya, seorang personel tidak akan melaksanakan tugas secara baik, bila semangat kerjanya rendah.
Demikian juga untuk jabatan guru. Seorang guru akan berusaha secara optimal dalam melaksanakan tugas-tugasnya, apabila memiliki semangat kerja yang tinggi. Sebaliknya, bila semangat kerjanya rendah, guru tidak akan melaksanakan tugas-tugasnya secara baik.
Ditinjau dari tugasnya, ada beberapa tugas guru sekolah dasar. Daughtrey dan Lewis (1979) mengemukakan tugas guru sekolah dasar menjadi dua, yaitu tugas di sekolah dan tugas di masyarakat. Tugas di sekolah dibedakan menjadi dua, yaitu tugas di bidang administrasi sekolah (general duties) dan tugas di bidang pengajaran (special duties). Sahertian (1990) mengemukakan empat tugas utama guru, yaitu tugas bidang pengajaran, tugas kemasyarakatan, tugas pertumbuhan karir, dan tugas administratif. Di sisi lain, pendapat yang lebih umum, membagi tugas utama guru sekolah dasar menjadi tiga, yaitu tugas profesional, tugas personal, dan tugas sosial (Usman, 1992).
Tugas profesional adalah tugas utama yang berkaitan dengan profesi guru. Tugas ini meliputi tugas mengajar, mendidik, dan membimbing. Kegiatan menyusun rencana pengajaran, menguasai bahan, menggunakan metode dan media pengajaran, mengelola kelas, mengadakan evaluasi, dan melakukan bimbingan merupakan bagian dari tugas profesional. Bahkan menguasai landasan kependidikan dan mengadakan penelitian untuk pengembangan merupakan bagian dari tugas profesional (Raka Joni, 1991).
Tugas personal adalah tugas yang berkaitan dengan pengembangan pribadi guru. Tugas ini mengacu pada usaha untuk menjalankan perilaku diri yang baik. Usaha untuk mewujudkan dirinya, merealisasi potensi yang dimiliki, melakukan auto identifikasi, dan auto pengertian untuk menjadi teladan serta menempatkan diri dalam kehidupan masyarakat termasuk dalam tugas personal.
Tugas sosial adalah tugas yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, guru sekolah dasar memiliki tugas untuk membantu dan mengembangkan kehidupan masyarakat. Di satu sisi, guru diharapkan bisa menerima harapan masyarakat, di sisi lain, guru diharapkan bisa menjadi pembaharu dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan surat keputusan Menpan Nomor 86 tahun 1993, ada empat bidang tugas yang harus dilaksanakan guru, yaitu tugas di bidang pendidikan, proses belajar mengajar dan bimbingan, pengembangan profesi, dan penunjang pendidikan. Berdasarkan beberapa landasan teoritis dan praktis ini, dalam penelitian ini semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas dibatasi pada tugas pokok guru, yaitu tugas di bidang pendidikan, tugas di bidang pengajaran dan bimbingan, serta tugas di bidang penunjang pendidikan.
Kepemimpinan kepala sekolah sangat berpengaruh dalam meningkatkan semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas. Hasil penelitian Hersey menunjukkan bahwa ada sepuluh faktor yang mempengaruhi semangat kerja seseorang dalam melaksanakan tugas, yaitu kesiapan kerja, kondisi kerja, organisasi kerja, kepemimpinan, gaji, kesempatan mengemukakan ide, kesempatan mempelajari tugas, jam kerja, dan kemudahan kerja (Tiffin, 1952). Di sisi lain, hasil penelitian Sylvia dan Hutchison juga menemukan bahwa ada enam faktor yang mempengaruhi turunnya semangat kerja pegawai, khususnya guru, yaitu dukungan teman sejawat, hubungan dengan pimpinan, gaji, pekerjaan dan tanggung jawab, kurangnya kesempatan berkembang, kondisi kerja, dan beban kerja yang berlebihan (Gorton, 1991). Secara lebih jelas, Mc Laughtin menemukan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan rendahnya semangat kerja guru, yaitu kurangnya input dalam pengambilan keputusan, kurangnya hubungan teman sejawat, dan kurangnya pengakuan prestasi.
Berdasarkan landasan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa kepemimpinan sangat berperan dalam meningkatkan semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas di sekolah dasar. Tinggi rendahnya semangat kerja guru banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Semakin baik kepala sekolah menerapkan kepemimpinan, semakin tinggi pula semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas. Sebaliknya, semakin jelek kepala sekolah menerapkan kepemimpinan, semakin rendah pula semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas-tugas di sekolah.
BAB VI
PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU DI SEKOLAH DASAR
Dalam rangka melaksanakan tugas profesionalnya, guru sekolah dasar dituntut untuk memiliki kemampuan yang baik. Sebab hanya dengan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas yang baiklah keberhasilan pendidikan di sekolah dapat tercapai dengan baik. Guru merupakan komponen sentral yang menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah. Pengembangan guru tersebut dilakukan melalui berbagai kegiatan pengembangan profesional guru.
Bila ditelaah dari sisi historis, perkembangan kegiatan pengembangan guru berkaitan erat dengan perkembangan ilmu manajemen. Ada tiga tahap perkembangan ilmu manajemen yang mewarnai perkembangan kegiatan pengembangan guru, yaitu scientific management yang berkembang mulai awal tahun 1900 sampai dengan tahun 1936, human relation management, yang berkembang mulai tahun 1937 sampai dengan tahun 1959, dan behavior research management, yang berkembang mulai tahun 1960 sampai dengan tahun 1970 (Owens, 1991). Dewasa ini, yang sedang banyak dikembangkan adalah human resources management.
Ditinjau dari teknik yang digunakan, kegiatan pengembangan profesional guru, secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengembangan intensif (intensive development), pengembangan kooperatif (cooperative development), dan pengembangan mandiri (self directed development) (Glatthorm, 1991).
Pengembangan intensif (intensive development) adalah bentuk pengembangan yang dilakukan pimpinan terhadap guru yang dilakukan secara intensif berdasarkan kebutuhan guru. Model ini biasanya dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi dan pertemuan balikan atau refleksi. Teknik pengembangan yang digunakan antara lain melalui pelatihan, penataran, kursus, loka karya, dan sejenisnya.
Pengembangan kooperatif (cooperative development) adalah suatu bentuk pengembangan guru yang dilakukan melalui kerja sama dengan teman sejawat dalam suatu tim yang bekerja sama secara sistematis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan profesional guru melalui pemberian masukan, saran, nasehat, atau bantuan teman sejawat. Teknik pengembangan yang digunakan bisa melalui pertemuan kelompok kerja guru (KKG). Teknik ini disebut juga dengan istilah peer supervision atau collaborative supervision.
Pengembangan mandiri (self directed development) adalah bentuk pengembangan yang dilakukan melalui pengembangan diri sendiri. Bentuk ini memberikan otonomi secara luas kepada guru. Guru berusaha untuk merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, dan menganalisis balikan untuk pengembangan diri sendiri. Teknik yang digunakan bisa melalui evaluasi diri (self evaluation) atau penelitian tindakan (action research).
Di sisi lain, hasil penelitian Raudenbush (1993) menunjukkan bahwa internal supervision yang termasuk kegiatan pengembangan guru, memiliki dampak terhadap pengajaran guru. Hasil penelitian Bisset dan Nichol (1998) juga menunjukkan bahwa pengembangan profesional guru melalui kegiatan supervisi yang menekankan action research bisa meningkatkan kemampuan profesional guru. Hasil penelitian Horn (1992) juga menunjukkan bahwa pengalaman guru berpengaruh terhadap pertumbuhan personal dan jabatan guru. Lebih lanjut, berdasarkan hasil telaah Neagley dan Evans (1980), Glickman (1981) atau Sergiovanni (1991) menunjukkan bahwa kegiatan supervisi yang termasuk pada kegiatan pengembangan guru dapat meningkatkan kemampuan profesional guru dalam melaksanakan tugas, khususnya tugas di bidang pengajaran.
Di sisi lain, hasil penelitian White (1992) menunjukkan bahwa kesempatan guru untuk terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah berpengaruh terhadap pertumbuhan jabatan guru. Hasil penelitian Berends (2000) juga menunjukkan bahwa karakteristik program sekolah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan profesio-nalisme guru.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang ada, dapat digarisbawahi kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas. Kepemimpinan kepala sekolah yang baik, akan memberikan kesempatan kepada anggotanya, terutama gurunya, untuk selalu meningkatkan diri. Demikian juga kepemimpinan kepala sekolah yang baik, juga akan berusaha untuk selalu mengembangkan kemampuan anggotanya, terutama para gurunya, baik melalui pengembangan dari atas, pengembangan teman sejawat, atau pengembangan diri sendiri. Dengan meningkatnya kemampuan anggota, khususnya guru, akan meningkatkan kinerja anggota. Dengan meningkatnya kinerja anggota, pada akhirnya akan bisa meningkatkan ketercapaian tujuan organisasi sekolah.
Tujuan akhir dari program peningkatan sumber daya manusia dalam suatu organisasi adalah pencapaian profesionalisme personel dalam menjalankan tugas. Peningkatan kemampuan personel pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme personel dalam melaksanakan tugas. Demikian juga, peningkatan semangat kerja personel dalam organisasi, pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme personel dalam melaksanakan tugas. Dengan demikian, peningkatan semangat kerja ataupun kemampuan guru dalam melaksanakan tugas pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas-tugas sebagai guru.
Istilah profesionalisme guru bukan merupakan istilah asing dalam dunia pendidikan. Secara sederhana, profesional berasal dari kata profesi yang berarti jabatan. Orang yang profesional adalah orang yang mampu melaksanakan tugas jabatannya secara mumpuni, baik secara konseptual maupun aplikatif. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan yang mumpuni dalam melaksanakan tugas jabatan guru.
Bila ditinjau secara lebih detail,ada beberapa karakteristik profesionalisme guru. Rebore (1991) mengemukakan bahwa karakteristik profesionalisme guru bisa ditinjau dari enam komponen, yaitu: (1) pemahaman dan penerimaan dalam melaksanakan tugas, (2) kemauan melakukan kerja sama secara efektif dengan siswa, guru, orang tua siswa, dan masyarakat, (3) kemampuan mengembangkan visi dan pertumbuhan jabatan secara terus menerus, (4) mengutamakan pelayanan dalam tugas, (5) mengarahkan, menekan dan menumbuhkan pola perilaku siswa, serta (6) melaksanakan kode etik jabatan.
Di sisi lain, Glickman (1981) memberikan ciri profesionalisme guru dari dua sisi, yaitu kemampuan berpikir abstrak (abstraction) dan komitmen (commitment) guru. Guru yang profesional memiliki tingkat berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep, menangkap, mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang didasari dengan rasa penuh tanggung jawab.
Lebih lanjut, Welker (1992) mengemukakan bahwa profesionalisme guru dapat dicapai bila guru ahli (expert), dalam melakasanakan tugas, dan selalu mengembangkan diri (growth). Lebih lanjut, Glatthorm (1990) mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme guru, disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan aspek komitmen dan tanggung jawab (responsibility), serta kemandirian (autonomy).
Berdasarkan berbagai kajian teori tersebut, dapat digarisbawahi bahwa secara umum ada empat karakteristik profesionalisme guru, yaitu (1) ahli dalam melaksanakan tugas (expert), (2) memiliki rasa tanggung jawab (responsibility), (3) memiliki kemandirian (autonomy), dan (4) selalu berusaha untuk mengembangkan diri (professional growth). Profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas tercermin pada keahlian, tanggung jawab, kemandirian, dan kemauan guru untuk terus mengembangkan diri secara terus-menerus dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan guru.
Bila ditelaah dari unsur-unsurnya, pada dasarnya ada dua aspek yang menentukan tingkat profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, yaitu aspek kemampuan dan kemauan. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan kemauan yang baik dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan. Dengan kata lain, memiliki kemampuan dan semangat kerja yang baik dalam melaksanakan tugas. Untuk itu, dalam meningkatkan profesionalisme guru, perlu didukung dengan kemampuan yang baik dan semangat kerja yang baik. Dan semua itu, bisa berkembang dengan baik, bila kepala sekolah menerapkan kepemimpinan yang baik. Kontribusi kepemimpinan kepala sekolah terhadap kemampuan dan semangat kerja, serta profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6.1 Gambaran Profesionalisme Guru
Berdasarkan gambar tersebut di atas, dapat digarisbawahi bahwa peranan kepemimpinan sangat besar dalam meningkatkan kemampuan guru, semangat kerja guru, dan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas. Bahkan dapat dikatakan kepemimpinan kepala sekolah merupakan faktor kunci yang menentukan terhadap peningkatan kemampuan, semangat kerja, dan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas. Guru akan bisa berkembang, bila kepala sekolah menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan guru bisa berkembang dengan baik. Guru juga akan memiliki semangat kerja yang baik, bila kepala sekolah mampu menciptakan iklim kerja yang kondusif. Dengan meningkatnya kemampuan dan semangat kerja guru yang berkelanjutan merupakan kunci tercapainya profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas. Dengan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas, akan menjadi sarana tercapainya keefektifan kerja organisasi sekolah, yang secara langsung akan menjadi sarana utama tercapainya tujuan penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara optimal.
BAB VII
PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN KEEFEKTIFAN KERJA TIM GURU DI SEKOLAH DASAR
Motivasi kerja, kemampuan, dan profesionalisme melaksanakan tugas cenderung mengacu pada perilaku individu dalam organisasi. Untuk melihat keberhasilan kepemimpinan, juga perlu dilihat pengaruhnya terhadap anggota secara kelompok. Adanya kerja sama yang baik di antara anggota secara kelompok akan lebih menunjang terhadap pencapaian tujuan organisasi sekolah, dibandingkan bekerja secara sendiri-sendiri. Bahkan dari beberapa kajian teori yang ada, perilaku kepemimpinan yang utama bisa diarahkan pada dua fungsi, yaitu perilaku yang berkaitan dengan tugas yang harus dilaksanakan, dan perilaku yang berkaitan dengan hubungan dalam kerja kelompok dengan bawahan. Salah satu komponen yang menunjukkan keberhasilan anggota secara kelompok adalah keefektifan kerja tim.
Kelompok dalam organisasi secara sederhana dapat diartikan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam suatu cara tertentu (Hughes, Ginnet & Curphy, 1999). White dan Bednar (1991) mengemukakan bahwa kelompok adalah dua orang atau lebih yang saling berkomunikasi, memiliki keterikatan masa lalu atau masa depan, dan memiliki fungsi saling bergantung dalam rangka mencapai tujuan bersama. Di sudut lain, Robbins (2001) mengemukakan bahwa kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai tujuan. Tim merupakan kelompok yang efektif.
Ada empat komponen yang membedakan tim dengan kelompok, yaitu memiliki rasa identifikasi yang lebih kuat, memiliki konsensus terhadap tujuan yang lebih kuat, memiliki saling ketergantungan yang lebih kuat, dan memiliki peranan yang lebih khusus dalam mencapai tujuan. (Hughes, Ginnet, & Curphy, 1999). Tim kerja menghasilkan sinergi positif melalui usaha yang terkoordinasi (Robbin, 2001).
Keefektifan kerja tim bisa dilihat dari beberapa aspek. Hal itu bisa dikaji dari teori keefektifan tim. Banyak ahli yang mengemukakan karakteristik tim kerja yang efektif dari beberapa sudut pandang. Secara sederhana, White dan Bednar (1991) mengemukakan tiga karakteristik keefektifan tim, yaitu (1) hasil kerja tim dapat mencapai tujuan, yakni sesuai dengan harapan pengguna, (2) kemampuan anggota dalam bekerja sama dapat dipertahankan dan di-tingkatkan, dan (3) anggota memiliki kepuasan terhadap hasil kerja tim.
Di sisi lain, Jenk (1990) mengemukakan karakteristik tim kerja yang efektif dari tujuh komponen. Dari sisi interaksi, ada kejujuran, keterbukaan, dan komunikasi dua arah di antara anggota dalam mencapai tujuan organisasi. Dari sisi tujuan, setiap anggota memahami dengan jelas, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Dari sisi keanggotaan, antara anggota satu dengan lainnya saling mengenal dan saling mempertahankan tim yang efektif. Dari sisi kekohesifan, masing-masing anggota saling menerima dan memberikan dukungan. Dari sisi norma, setiap anggota memahami dan mematuhi aturan yang telah disepakati. Dari sisi dinamika, keputusan yang penting selalu ditetapkan bersama, bila ada konflik tidak ditekan atau dibiarkan, tetapi dianggap sebagai aspek komunikasi yang terbuka.
Di sisi lain, Kreitner dan Kinicki (1992) mengemukakan dua kriteria keefektifan tim kerja, yaitu: (1) dari sisi performansi, hasil kerja dapat mencapai tujuan, yakni sesuai dengan pengguna, dan (2) dari sisi keberlangsungan, anggota memiliki kepuasan terhadap kerja tim, serta berkemauan untuk mempertahankan kelompok.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1992) ada tiga komponen utama yang menentukan keefektifan kerja tim, yaitu kooperatif, kepercayaan dan kekohesifan. Kooperatif mengacu pada keterpaduan dalam melaksanakan kerja sama yang baik di antara anggota. Hal tersebut mencakup kolaborasi dan koordinasi. Tiap anggota memiliki tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan, dan terdapat koordinasi yang baik di antara anggota dalam melaksanakan tugas. Kepercayaan memiliki makna antara anggota saling memiliki kepercayaan dalam melaksanakan tugas, baik yang berkaitan dengan niat, tujuan atau perilaku untuk untuk mencapai tujuan organisasi. Kekohesifan mengacu pada tingkat keharmonisan dan keeratan hubungan di antara anggota melebihi perbedaan yang dimiliki masing-masing anggota.
Di sisi lain, Gordon, Mondy dan Sharphin (1990) mengemukakan delapan karakteristik keefektifan kerja tim, yaitu: (1) semua anggota memahami dan berusaha mencapai tujuan, (2) semua anggota saling mendengarkan dan berpartisipasi, (3) semua anggota bebas mengekspresikan dan menerima respon, (4) bila ada masalah yang muncul, didiagnosa dengan hati-hati dan dipecahkan bersama, (5) semua anggota memiliki kesempatan sama dalam mendukung organisasi sesuai dengan kemampuannya, (6) semua anggota mendukung terhadap konsensus yang telah dibuat, (7) antara anggota satu dengan lainnya saling memiliki kepercayaan, dan (8) memiliki fleksibilitas dalam menemukan cara baru yang lebih baik.
Secara singkat Wagner dan Hollenbeck (1998) mengemukakan tiga kreteria keefektifan kerja tim, yaitu: (1) hasil kerja tim sesuai dengan standar yang ditetapkan, (2) kepuasan anggota terpenuhi, dan (3) meningkatkan kerja sama anggota.
Berdasarkan beberapa landasan tersebut, dapat digarisbawahi bahwa ada beberapa komponen yang menunjukkan keefektifan kerja tim. Komponen-komponen tersebut bisa mencakup proses dan bisa juga mencakup hasil. Adanya kerja sama yang baik, koordinasi yang baik, komunikasi, interaksi, kejujuran, kepercayaan, dan kekohesifan di antara anggota dalam melaksanakan tugas merupakan komponen yang mengacu pada proses. Adanya kepuasan anggota, ketercapaian tujuan sesuai dengan harapan, meningkatnya kerja sama, dan fleksibilitas untuk mengembangkan diri, merupakan komponen yang mengacu pada hasil.
Berdasarkan landasan tersebut, maka keefektifan kerja tim guru dapat ditelaah dari tiga sub dimensi, yaitu (1) kerjasama guru dalam melaksanakan tugas, yang ditandai dengan adanya kebersamaan antar guru dalam melaksanakan tugas, saling jujur, saling percaya, saling terbuka, saling memberikan masukan, saling bekerja sama, dan saling bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, (2) keterpaduan guru dalam melaksanakan tugas, yang ditandai dengan adanya tanggung jawab bersama dalam melaksanakan tugas, ketahanan menjaga kesatuan dalam melaksanakan tugas, memecahkan masalah bersama secara efektif, dan memiliki fleksibiltas untuk mengembangkan cara-cara baru yang lebih baik dalam melaksanakan tugas, serta (3) keefektifan hasil, yang ditandai dengan ketercapaian hasil sesuai dengan standar yang ditetapkan, pemahaman terhadap tujuan semakin meningkat, kerja sama antar guru meningkat, kemampuan guru berkembang, dan kepuasan guru sebagai anggota kelompok juga berkembang.
Keefektifan kerja tim guru, juga dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah. Kepemimpinan yang baik akan menekankan kerja sama tim dibandingkan kerja individual. Dengan menekankan kerja sama tim, dan didukung dengan pemberian perhatian secara adil terhadap semua anggota, akan membawa dampak meningkatnya keefektifan kerja tim anggota. Oleh karena itu, semakin tinggi kepala sekolah dasar menerapkan kepemimpinan secara tepat, akan membawa dampak meningkatnya keefektifan kerja tim guru dalam melaksanakan tugas-tugas sekolah. Keefektifan kerja tim guru bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu kerjasama guru dalam melaksanakan tugas, keterpaduan guru dalam melaksanakan tugas, dan keefektifan hasil yang dicapai guru Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Barnett, McCormick & Conners (1999) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan dengan keefektifan kerja anggota organisasi.
Keefektifan kerja tim guru akan berpengaruh terhadap peningkatan atau pembaharuan sekolah (school improvement). Untuk mencapai suatu perubahan atau pembaharuan organisasi, diperlukan adanya kerja tim yang efektif (Thompson, 2004). Hasil review Joyce (Reynolds, 1996) menunjukkan bahwa hubungan kolaboratif antar personel dalam organisasi merupakan salah satu kunci peningkatan atau pembaharuan organisasi. Komponen tersebut merupakan karakteristik utama keefektifan kerja tim. Oleh karena itu, dapat digarisbawahi bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara keefektifan kerja tim guru dengan peningkatan atau pembaharuan sekolah. Semakin efektif kerja tim guru semakin tinggi tingkat peningkatan, pembaharuan atau kemajuan sekolah.
TUGAS
Untuk pencapaian kompetensi selama diklat fasilitator membimbing peserta untuk melakukan diskusi, bermain peran dan presentasi dengan aturan sebagai berikut :
- Buatlah kelompok masing masing lima orang
- masing masing kelompok menentukan ketua dan sekretarisnya
Tugas :
- Masing masing anggota kelompok membahas studi kasus yang yang telah disiapkan fasilitator sesuai dengan topik : ( 90 menit )
- Peranan kepala sekolah dasar
- Konsep kepemimpinan kepala sekolah dasar
- Peran kepemimpinan kepala sekolah dasar di era desentralisasi
- Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan semangat kerja guru sekolah dasar
- Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme kerja guru
- Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam peningkatan keefektifan kerja tim guru sekolah dasar
- lakukan diskusi dan berikan tanggapan sesama anggota kelompok secara brainstorming. ( 45 menit)
- lakukan presentasi maing masing kelompok dan kelompok lainnya menanggapinya.. ( 45 menit )
- lakukan kegiatan bermain peran berdasarkan topik yang telah ditentukan.
DAFTAR RUJUKAN
Bafadal, I & Imron, A. (2004) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Malang: Kerjasama FIP UM dan Ditjen-Dikdasmen.
Beach, D.S., 1980. Personnel, The Management of People at Work. New York: McMillan Publishing Co, Inc.
Barnett, K., McCormick, J. & Conners, R. 2000. Leadership Behaviour of Scondary School Principals, Teacher Outcomes and School Culture. A paper presented at the Australian Association for Research in Education Annual Conference.
Bisset, R.T. and Nichol, J. 1998. Sense of Professionalism the Impact of 20-day Courses in Subject Knowledge on the Professional Development of Teachers, Teacher Development 2 (3). Hal. 433-451.
Campbell, R.F., Corbally, J.E., & Nystrand, R.O. 1983. Introduction to Educational Administration. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Daughtrey, G. and Lewis, E.C.G. 1979. Effective Teaching Strategies in Secondary Phisical Education. Philadelpia: Saunders Company.
Depdiknas. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Feldmon, C.D, & Arnold, H.J. 1983. Managing Individual and Group Behavioral in Organization. Auckland: Mc Graw Hill Book Company.
Glatthorn, A.A. 1990. SupervisoryLeadership: Introduction to Instructional Supervision. New York: Harper Collins Publishers.
Glickman, C.D. 1981. Developmental Supervision. Washington: Association for Supervision and Curriculum Development.
Gordon, J.R., Mondy, R.W., & Sharplin, A., et al. 1990. Management and Organizational Behavior. Boston: Allyn and Bacon.
Greenberg, J. & Baron, R.A. 1995. Behavior in Organizations: Understanding and Managing the Human Side of Work. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Gorton, R.A, & Schneider, G.T. 1991. School Based Leadership, Challenges and Opportunities. Keeper Boulevard, Dubuque: Wm.C. Brown Publishers.
Horn, J. 1998. Personal Renewal and Professional Growth for Teachers: A Study of Meaningful Learning an Interdisiplinary Environment, Teacher Development 2 (3). Hal. 263-289.
Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 1987. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: Random House, Inc.
Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 2005. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: McGraw Hill Company, Inc.
Hughes, R.L., Ginnet, R.C., & Curphy, G.J. 1999. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience. Boston: McGraw-Hill Companies, Inc.
Indrafachrudi, S. 1983. Pengantar Kepemimpinan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Jenks, V.O. 1990. Human Relation in Organizations. New York: McGraw Hill Company, Inc.
Kimbrough, R.B & Burkett, C.W. 1990. The Principalship: Concepts and Practices. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Kreitner, R. & Kinicki, A. 1992. Organizational Behavior. Boston: Richard D. Irwin, Inc.
Lunenburg, F.C., & Ornstein, A.C. 2000. Educational Administration: Concept and Practices. Belmont: Wardsworth, A Division of Thomson Learning.
Nawawi, H. 1985. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Armas Duta Jaya.
Neagley, R.I. and Evan, N.D. 1980. Handbook for Effective Supervision of Instruction. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Newell, C.A. 1978. Human Behavior in Educational Administration. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in Education. Boston: Allyn and Bacon.
Raka Joni, T. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, Pokok-pokok Pikiran mengenai Pendidikan Guru. Jakarta: PT.Grasindo.
Raudenbush, S.W. et al. 1993. On the Job Improvements in Teacher Competence: Policy Options and Their Effect on Teaching and Learning in Thailand, Educational Evaluation and Policy Analysis 15 (3). Hal. 279-297.
Rebore, R.W. 1991. Personnel Administration in Education. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Reynolds, D., Bollen, R., Creemers, B., et al. 1996. Making Good Schools: Linking School Effectiveness and School Improvement. London: Routledge.
Robbins, S.P. 2001. Organizational Behavior. Upper Saddle River: Prentice Hall, Inc.
Rossow, L.F. 1990. The Principalship, Dimension in Instructional Leadership. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Sahertian, P.A. & Sahertian, I.A. 1990. Supervisi Pendidikan dalam rangka Program Inservice Education. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Sergiovanni, T.J. 1991. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Stoops, E., & Johnson, R.e., 1967. Elementary School Administration. New York: McGraw Hill Book Company.
Sutheja, M.W. 1987. Bagaimana Membangun Semangat Staf Pengantar. Semarang: Satya Wacana.
Thompson, L.L. 2004. Making theTeam: A Guide for Managers. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Tiffin, J. 1952. Industrial Psychology. New York: Prentice Hall, Inc.
Usman, U. 1992. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remadja Rosda Karya.
Wagner, J.A. & Hollenbeck, J.R. 1998. Organizational Behavior: Securing Competitive Advantage. Upper Saddle River: Prentice Hall, Inc.
Wahjosumidjo. 1987. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
White, P.A. 1992. The Teacher Empowerment under "Ideal" School Site Autonomy, Educational Evaluation and Policy Analysis 14 (1). Hal. 69-82.
White, D. & Bednar, D.A. 1991. Organizational Behavior: Understanding and Managing People at Work. Boston: Allyn and Bacon.
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Latihan Pencapaian Kompetensi
Untuk pencapaian kompetensi selama diklat fasilitator membimbing peserta untuk melakukan diskusi dan presentasi dengan aturan sebagai berikut :
- Buatlah kelompok masing-masing lima orang
- masing kelompok menentukan ketua dan sekretarisnya
Tugas :
- Masing masing anggota kelompok membahas studi kasus yang yang telah disiapkan fasilitator sesuai dengan tema tema/kasus kasus yang sering muncul di lingkup sekolah dasar ( 90 menit )
- lakukan diskusi dan berikan tanggapan secara brainstorming. ( 45 menit)
- lakukan presentasi maing masing kelompok dan kelompok lainnya menanggapinya.. ( 45 menit )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar