Minggu, April 05, 2009

        


 



 


 


 


 


 


 

MENUMBUHKAN

SEMANGAT KERJA SAMA


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN

DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU

PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

2008

KATA PENGANTAR


 

    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah berisi standar kualifikasi dan kompetensi pengawas sekolah. Standar kualifikasi menjelaskan persyaratan akademik dan nonakademik untuk diangkat menjadi pengawas sekolah. Stan dar kompetensi memuat seperangkat kemampuan yang harus dimiliki dan dikuasai pengawas sekolah untuk dapat melaksanakan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.

    Ada enam dimensi kompetensi yang harus dikuasai pengawas sekolah yakni: (a) kompetensi kepribadian, (b) kompetensi supervisi manajerial, (c) kompetensi supervisi akademik, (d) kompetensi evaluasi pendidikan, (e) kompetensi penelitian dan pengembangan, dan (f) kompetensi sosial. Dari hasil uji kompetensi di beberapa daerah menunjukkan kompetensi pengawas sekolah masih perlu ditingkatkan terutama dimensi kompetensi supervisi manajerial, supervisi akademik, evaluasi pendidikan dan kompetensi peneli- tian dan pengembangan. Untuk itu diperlukan adanya diklat peningkatan kompetensi pengawas sekolah baik bagi pengawas sekolah dalam jabatan terlebih lagi bagi para calon pengawas sekolah.

    Materi dasar untuk semua dimensi kompetensi sengaja disiapkan agar dapat dijadikan rujukan oleh para pelatih dalam melaksanakan diklat pening-katan kompetensi pengawas sekolah di mana pun pelatihan tersebut dilaksa- nakan. Kepada tim penulis materi diklat kompetensi pengawas sekolah yang terdiri atas dosen LPTK dan widya iswara dari LPMP dan P4TK kami ucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini ada manfaatnya.


 

Jakarta, Juni 2008

Direktur Tenaga Kependidikan

Ditjen PMPTK


 


 

Surya Dharma, MPA., Ph.D

DAFTAR ISI


 

KATA PENGANTAR        i

DAFTAR ISI        ii

BAB I PENDAHULUAN        1

A. Latar Belakang        1

B. Dimensi Kompetensi        1

C. Kompetensi yang Hendak Dicapai        1

D. Indikator Pencapaian Kompetensi        2

E. Alokasi Waktu        2

F. Skenario Pembelajaran        2

BAB II KERJASAMA DALAM ORGANISASI SEKOLAH        4

A. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi Kerjasama        4

B. Menumbuhkan Semangat Kerjasama di Lingkungan Sekolah        9

C. Pemberdayaan Sekolah melalui Kerjasama        14

BAB III PERAN PENGAWAS DALAM PENGEMBANGAN KERJASAMA        20

A. Peranan Pengawas dalam Kerjasama Eksternal Sekolah        20

B. Kerjasama untuk Peningkatan Mutu Pendidikan        28

DAFTAR PUSTAKA        37

LATIHAN        38


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

 

BAB I

PENDAHULUAN


 


 

A. Latar Belakang

Pengawas satuan pendidikan memiliki peran dan fungsi strategis dalam mendorong kemajuan sekolah-sekolah yang menjadi binaannya. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, mereka dapat membe- rikan inspirasi dan mendorong para kepala sekolah, guru serta tenaga kependidikan lainnya untuk terus mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan kinerja mereka. Bagi kepala sekolah, pengawas layaknya mitra tempat berbagi serta konsultan tempat meminta saran dan pendapat dalam pengelolaan sekolah. Sementara itu bagi guru, pengawas selayaknya menjadi "gurunya guru" dalam memecahkan problema dan meningkatkan kualitas pembelajaran.

Untuk dapat menjalankan peran dan fungsi tersebut, Pengawas dituntut memiliki kompetensi sosial, khususnya dalam menjalin kerja sama dengan para kepala sekolah, guru dan stakeholder lainnya. Hal ini karena dalam bekerja pengawas mesti bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang, kondisi serta persoalan yang dihadapi. Mereka juga harus mampu bekerja sama baik dengan individu maupun kelompok.

Untuk membina kemampuan bekerjasama, dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian, kedudukan dan manfaat bekerjasama; menum- buhkan kerjasama di lingkungan sekolah, pemberdayaan sekolah melalui kerjasama, peranan pengawas dalam penguatan kerjasama eksternal, dan kerjasama untuk peningkatan mutu pendidikan


 

B. Dimensi Kompetensi

    Dimensi kompetensi yang diharapkan dibentuk pada akhir pendidikan dan pelatihan ini adalah dimensi kompetensi sosial.

        

C. Kompetensi yang Hendak Dicapai

    Setelah menyelesaikan materi pendidikan dan latihan ini Pengawas diharapkan memiliki kemampuan bekerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan kualitas diri sehingga dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.


 

D.     Indikator Pencapaian

        Setelah menyelesaikan materi pelatihan ini, pengawas diharapkan:

1. Memiliki semangat bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait dengan bidang tugasnya.

2.     Memiliki sikap terbuka terhadap pengetahuan dan pengalaman baru serta pemikiran/gagasan dari orang lain yang positif bagi peningkatan kualitas dirinya.

3.     Memiliki keterampilan bekerja sama, baik dengan individu maupun kelompok dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.


 

E. Alokasi Waktu

No. 

Materi Diklat 

Alokasi 

1. 

Konsep Kerjasama

2 jam

2. 

Kerjasama di Sekolah

2 jam

3. 

Peran Pengawas dalam Mengembangkan Kerjasama

4 jam


 

F. Skenario

    Skenario pelatihan ini dirancang meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

1. Perkenalan

2. Penjelasan tentang dimensi kompetensi, indikator, alokasi waktu dan skenario pendidikan dan pelatihan Pengembangan Kemampuan Bekerja- sama

3. Pre-test

4. Eksplorasi pemahaman peserta berkenaan dengan Pengembangan Kerja Sama pada Warga Sekolah melalui pendekatan andragogi.

5. Penyampaian Materi Diklat:

a. Menggunakan pendekatan andragogi, yaitu lebih mengutamakan pengungkapan kembali pengalaman peserta pelatihan, menganalisis, menyimpulkan, dan mengeneralisasi dalam suasana diklat yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan bermakna. Peranan pelatih lebih sebagai fasilitator.

b. Diskusi tentang indikator keberhasilan Pengawas dalam membangun kerja sama di antara warga sekolah dan stakeholder lainnya.

c. Praktik/Simulasi penyusunan langkah-langkah pengembangan kerja sama.

6. Post test.

7. Refleksi bersama antara peserta dengan pelatih mengenai jalannya pela-tihan.

8. Penutup


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB II

KERJA SAMA DALAM ORGANISASI SEKOLAH


 

    

  1. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi Kerjasama

Kerja sama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Kerja sama memiliki dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif. Dalam hal apa, bagaima- na, kapan dan di mana seseorang harus bekerjasama dengan orang lain tergantung pada kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang terse- but. Semakin modern seseorang, maka ia akan semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan bantuan perangkat teknologi yang modern pula.

Bentuk kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok orang dan usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan bekerjasama sudah diajarkan di dalam kehidupan keluarga. Setelah dewasa, kerjasama akan semakin berkembang dengan banyak orang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pada taraf ini, kerjasama tidak hanya didasarkan hubungan kekeluargaan, tetapi semakin kompleks. Dasar utama dalam kerja sama ini adalah keahlian, di mana masing-masing orang yang memiliki keahlian berbeda, bekerja bersama menjadi satu kelompok/tim dalam menyeleseaikan sebuah pekerjaan. Kerja sama tersebut adakalanya harus dilakukan dengan orang yang sama sekali belum dikenal, dan begitu berjumpa langsung harus bekerja bersama dalam sebuah kolempok. Oleh karena itu selain keahlian juga dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri dalam setiap lingkungan atau bersama segala mitra yang dijumpai.

Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelom- pok masyarakat ada tiga bentuk (Soekanto, 1986: 60-63) yaitu: (a) bargaining yaitu kerjasama antara orang per orang dan atau antarkelompok untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela menerima unsur-unsur baru dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalition yaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di antara oganisasi yang berkoalisi memiliki batas-batas tertentu dalam kerjasama sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas biasanya terjadai dalam dunia politik.

Selain pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula dilihat dari sudut manajemen yaitu dimaknai dengan istilah collaboration. Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart, 1998; 88).

Kerjasama (collaboration) dalam pandangan Stewart merupakan bagian dari kecakapan "manajemen baru" yang belum nampak pada manaje- men tradisional. Dalam manajemen tradisional terdapat tujuh kecakapan/ proses kegiatan manajerial yaitu perencanaan (planning), komunikasi (com- municating), koordinasi (co-ordinating), memotivasi (motivating), pengen-dalian (controlling), mengarahkan (directing), dan memimpin (leading).

Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa kecakapan-kecakapan di atas seperti merencanakan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, dan memo- tivasi perlu dikuasai oleh seorang manajer. Namun demikian, untuk kecakap- an yang ketiga terakhir yaitu mengendalikan, mengarahkan, dan memimpin dianggap "sudah tidak efektif lagi". Menurut Stewart perlu seperangkat kecakapan baru yang perlu dikuasai oleh manajer era baru yaitu harus mampu membuat mampu (enabling), memperlancar (facilitating), berkonsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting).

Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, bekerjasama memiliki kedu- dukan yang sentral karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama. Tidak ada organisasi tanpa kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Manajer akan ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).

Prinsip-prinsip organisasi yang selama ini dikembangkan, hakikatnya merupakan perwujudan bentuk kerja sama yang dilembagakan, di mana setiap orang dalam organisasi tersebut mengakui dan tunduk terhadap organi-sasi. Prinsip-prinsip tersebut tentunya merupakan hasil penelaahan yang lama dan mendalam tentang interaksi manusia dalam organisasi, sehingga dinyata- kan sebagai sesuatu yang hampir niscaya keberadaannya, yaitu:

    Kelima prinsip di atas merupakan perwujudan kerja sama antarindividu, yang telah dibingkai dalam organisasi. Chester I. Barnard mengemukakan bahwa organisasi adalah sistem kerjasama antara dua orang atau lebih (Djatmiko, 2002; 1). James D. Mooney juga berpendapat bahwa organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama.

Sekolah adalah sebuah oganisasi. Di dalam sekolah terdapat struktur organisasi, mulai kepala sekolah, wakil kepala, dewan guru, staf, komite sekolah, dan tentu saja siswa-siswi. Dalam sekolah terdapat kurikulum dan pembelajaran, biaya, sarana, dan hal-hal lain yang harus direncanakan, dilaksankan, dipimpin, dan diawasi. Semuanya itu bermuara pada hubungan kerja sama atau human relation.

    Dalam proses pembinaan atau supervisi, pengawas diharapkan dapat menjalin kerjasama yang harmonis dan egaliter yaitu tidak mengedepankan kewenangan yang dimilikinya. Pendekatan otoritas dalam interaksi dengan bawahan di era sekarang ini sudah kurang relevan. Yang lebih mengena adalah adalah pendekatan kolegial, di mana pengawas menempatkan diri sebagai mitra sekolah dalam mencapai kemajuan.

    Dewasa ini, kata "perintah, petunjuk dan pengarahan" sudah tidak populer lagi, digantikan oleh kata pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini kesan kerja sama lebih terasa.

Pengawas harus mengambil posisi sebagai mitra bagi kepala sekolah dan komite sekolah dalam menjalankan tugasnya. Yang dimaksud pemberda- yaan sekolah adalah membuat mampu (enabling) sekolah dalam menjalankan tugasnya dengan cara memperlancar (facilitating), menyediakan waktu dan tenaga untuk berlangsungnya proses konsultasi (consulting), membina bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting) program positif sekolah.

    
 

Di dalam sekolah, terdapat sejumlah orang yang bekerja pada posisi dan peran masing-masing. Dari sudut pandang ini, sekolah adalah sebuah tim kerja (team work). Kekuatan apakah yang mempengaruhi kuat tidaknya sebuah organisasi/tim?. Salah satu faktor penentunya adalah komitmen dari para anggota organisasi

    Komitmen dapat diartikan sebagai (a) keyakinan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi; (b) kesediaan untuk bekerja dan menjadi bagian dari organisasi; dan (c) bersungguh-sungguh untuk tetap menjadi anggota organisasi.

    Di dalam memahami komitmen, terdapat tiga pendekatan. Pertama adalah komitmen sebagai dorongan pribadi (yang tulus), memiliki tiga elemen kunci, yaitu: continuance (perhitungan untung-rugi), cohesion (relationship-oriented) dan control.( kepatuhan terhadap norma). Kedua, komitmen sebagai hasil interaksi antara individu dengan organisasi. Ketiga, komitmen ditumbuhkan oleh organisasi melalui kemampuannya memperhatikan pekerja.

    Komitmen seorang anggota terhadap organisasi dipengaruhi berbagai variabel, yaitu:

Dalam pandangan Etzioni (1961), komitmen berkaitan dengan dua hal, yaitu (a) orientasi pekerja terhadap organisasinya (dalam arti keterlibatannya), meliput: alienative, calculative dan moral , dan (b) power yang digunakan oleh organisasi terhadap pekerja, berupa: coercive (hukuman); remunerative (memberikan imbalan), dan normatif. Komit- men ideal yang diharapkan adalah "normative compliance", yaitu kepa- tuhan yang didasarkan atas kesadaran normatif, bukan kalkulatif apalagi takut terhadap hukuman.
Hal ini digambarkan pada gambar 2.1


 


 

                        

                


 


 

1

Coercive

Compliance

2 

3 

4 

5

Utilitarian

Compliance

6 

7 

8 

9

Normative

Compliance


 

Gambar 2.1. Hubungan Kerelaan (Compliance Relationships)

Diadaptasi dari McPherson, R.B, Crowson, R.L, & Pitner, N.J. 1986. Managing Uncertainty: Administrative Theory and Practice in Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Pub. Co. p. 150

    Dari gambar di atas dapat dijelaskan, bahwa kerelaan seorang anggota organisasi untuk bekerja (bersungguh-sungguh) terhadap organisasinya dipe- ngaruhi oleh dua dimensi, yaitu bagaimana keterlibatan yang dia rasakan atau kehendaki, dan bagaimana kekuasaan (power) organisasi yang membuat dia "tunduk" terhadap organisasi. Keterlibatan seseorang dalam organisasi, dapat dikatgorikan menjadi tiga, yaitu (a) alienative, maksudnya walau pun ia terlibat, namun ia merasa terkucil/terpinggirkan atau tidak menyatu, (b) calculative, yaitu keterlibatan yang didasarkan pada perhitungan (untung rugi), selagi menguntungkan ia akan terlibat, dan bila tidak ia pun tidak perlu terlibat, (c) moral, yaitu keterlibatan karena panggilan moral atau nilai-nilai yang diyakininya.

    Sisi kedua adalah bagaimana kekuasaan yang digunakan organisasi untuk membuat anggotanya tunduk dan patuh. Terdapat tiga macam kekuasaan, yaitu (a) hukuman, maksudnya anggota patuh karena takut akan hukuman, (b) imbalan, yaitu bila anggota patuh karena mendapat imbalan, dan (c) normative, yaitu bila anggota patuh karena kesadaran akan nilai-nilai yang dibangun oleh organisasi.

    Pertemuan kedua dimensi tersebut akan menghasilkan komitmen seorang anggota terhadap organisasi. Komitmen yang ideal, adalah apabila seorang anggota merasa harus terlibat secara moral, sebaliknya organisasi bukan menggunakan hukuman atau imbalan untuk membuat anggota patuh tetapi menggunakan pendekatan normatif.

    Selanjutnya terbentuknya komitmen pada pribadi seorang anggota organisasi melalui tiga tahapan sebagai berikut. Tahap pertama, masa basic training and initiation, merupakan masa pengembangan sikap seseorang terhadap organisasi, berlangsung selama tahun pertama. Tahap kedua, ber-langsung tahun kedua sampai keempat, dimana seorang pekerja menunjuk- kan kinerjanya untuk mendapatkan citra tentang pribadi (self image) dan nilai kehadirannya dalam organisasi (personal importance). Tahap ketiga, berlang- sung mulai tahun kelima dan seterusnya (outcome) berupa sikap kelompok terhadap organisasi, realisasi harapan, dan internalisasi komitmen terhadap norma-norma kerja.

Selanjutnya setelah komitmen masing-masing anggota bisa dibangun, maka perlu ditumbuhkan semangat kerjasama di lingkungan sekolah. Michael Maginn (2004), mengemukakan cara menumbuhkan semangat kerjasama di lingkungan sekolah sebagai berikut.

    Dari empat belas langkah di atas, dapat dirangkum dalam peta konsep seperti gambar di halaman berikut.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 2.2. Langkah Pembinaan Kerjasama Tim

    
 

    

Pemberdayaan merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan kinerja yang terbaik dari dari staf atau pihak yang dibina. Pemberdayaan lebih dari sekedar pendelegasian tugas dan kewenangan tetapi juga pelimpah- an proses pengembangan keputusan dan tanggung jawab secara penuh (Stewart, 1998; 22 – 23). Manfaat pemberdayaan selain dapat meningkatkan kinerja juga mendatangkan manfaat lain bagi individu-individu dan organi- sasi. Manfaatnya bagi individu adalah dapat meningkatkan kecakapan-kecakapan penting pada saat menjalankan tugasnya, dan memberi rasa berprestasi yang lebih besar kepada staf sehingga akan meningkatkan motivasi kerja. Sedangkan manfaat bagi organisasi adalah menambah efektivitas organisasi.

Untuk dapat memberdayakan organisasi/staf yang dibina, seorang pengawas tentu harus memberdayakan diri anda sendiri terlebih dahulu. Ini modal utama agar dalam upaya pemberdayaan lebih efektif. Bagaimana cara memperdayakan diri?. Stewart (1998: 35 -52) dalam bukunya Empowering People mengajurkan berikut:

Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara memberdayakan sekolah?. Bentuk pemberdayaan yang disarankan adalah kerjasama. Secara tradisional, budaya organisasi itu dapat berjalan menurut empat budaya yaitu budaya kekuasaan, budaya peran, budaya tugas, dan budaya perorangan (Stewart, 1998; 53 – 72). Budaya kekuasaan tercipta pada organisasi yang dibangun oleh seorang penguasa kharismatik. Semua keputusan bersumber dari pusat kekuasaan. Pengawas yang menciptakan iklim organisasi budaya kekuasaan sangat sulit menerima perbedaan pendapat dari sekolah yang dibinanya.

Budaya peran yaitu organisasi yang dibesarkan dengan struktur birokratis dan prosedural. Struktur manajemennya bersifat piramidal dan kekuasaan seseorang diperoleh dari peran dan kedudukan yang dijabatnya. Pengawas yang menganut sistem ini, akan meminta sekolah agar setiap bagian dikerjakan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Organisasi sekolah harus berjalan sesuai aturan yang ketat.

Budaya tugas, yaitu budaya organisasi yang anggotanya bekerja berdasarkan tim proyek. Tipe ini sangat berkembang pada lembaga-lembaga konsultan. Meski ada peran administratif dan manajerial formal, tetapi strukturnya cenderung diletakkan pada dasar bentuk tim proyek. Tim yang bekerja biasanya berumur pendek disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan dalam satu pekerjaan proyek. Tim akan dibentuk lagi dengan anggota yang berbeda untuk mengerjakan proyek yang lainnya.

Budaya perorangan yaitu organisasi yang memberi otonomi yang sangat tinggi kepada orang-orang yang ada di dalamnya. Tidak ada struktur organisasi baku, bahkan kalau pun ada sifatnya hanya mendukung bukan untuk mengendalikan. Organisasi ini hanya bersifat kolegikal dan tidak mudah untuk memadukan orang-orangnya dalam suatu usaha bersama.

Budaya organisasi perorangan dapat "diciptakan" oleh pengawas dengan beranggotakan para kepala sekolah yang berada di bawah binaannya. Sekali waktu, dap[at dilakukan diskusi terfokus (Facused Group Discussion) yang melibatkan para kepala sekolah. untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi bersama. Diskusi dapat difasilitasi oleh pengawas sekolah. Ini adalah salah satu cara untuk mengembangkan kerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas pengawas untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

Budaya organisasi apa yang baik untuk pemberdayan?. Budaya yang kondusif adalah budaya kerjasama dengan piramida terbalik. Para kepala sekolah diarahkan agar memaksimalkan pelayanannya kepada pelanggan (siswa, orang tua dan stakeholder pendidikan lainnya) dengan menyediakan sumberdaya, bimbingan, dan lain-lain yang diperlukan. Para staf barisan depan yaitu seperti guru dan staf administrasi sekolah harus mengetahui benar tentang kebutuhan-kebutuhan pelanggan.

Pengawas yang akan menumbuhkan budaya pemberdayaan di sekolah perlu dua hal yaitu memupuk kepercayaan dan keterbukaan. Dalam membina kepercayaan, pengawas meyakinkan bahwa dirinya memberi kepercayaan kepada sekolah yang dibarengi oleh sikap mentolelir sejumlah kekeliruan. Pengawas sebaiknya dapat menerima sejumlah kesalahan yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi. Ia memaklumi kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh kepala sekolah dan guru sebatas adanya maksud baik dari mereka untuk mencapai tujuan yang baik.

Toleransi terhadap kesalahan-kesalahan tidak berarti menutup mata terhadap kecerobohan akibat ketidak tahuan, keteledoran, dan atau kesenga- jaan. Mengulangi kesalahan-kesalahan yang sebenarnya dapat dihindari tidak pernah dapat diterima. Lain halnya kalau pengulangan kesalahan ditimbulkan oleh karena pengawas mengkritik kekeliruan tersebut tetapi tidak menjelaskan bagaimana cara memperbaiki kekeliruan yang dibuat kepala sekolah atau guru.

Apakah perlu marah jika ada kesalahan?. Sebagian dari kita mungkin masih percaya bahwa untuk mencegah kesalahan terulang lagi diperlukan tindakan dengan cara memarahi. Namun dalam budaya pemberdayaan, cara itu sangat tidak dianjurkan. Kita hanya memiliki hak untuk membuat kepala sekolah, guru dan staf lainnya mengerti bahwa mereka melakukan kesalahan tetapi tidak berhak untuk membuat mereka merasa kecil hati.

Kunci untuk menjaga kepercayaan adalah keterbukaan. Dalam pengawasan, keterbukaan adalah kunci keberhasilan. Pengawas yang tidak memperoleh informasi yang benar dari kepala sekolah dan/atau guru tidak akan mampu melakukan pembinaan dan pemberdayaan. Dalam keterbukaan, ada arus penilaian dari pengawas terhadap sekolah dan sebaliknya. Pengawas perlu mengetahui apakah dirinya telah memenuhi harapan-harapan sekolah, sebaliknya sekolah pun membutuhkan umpan balik yang sama dari pengawas tentang kemajuan sekolahnya menurut penilaian pengawas.

Kerjasama inilah yang dapat meningkatkan kualitas dan kinerja pengawas. Apabila seorang pengawas bersikap otoriter dan tertutup, maka ia tidak akan memperoleh informasi yang diharapkan dan akan melemahkan fungsinya sebagai supervisor. Pengawas tipe ini biasanya hanya akan menjalankan tugasnya secara formalitas. Sebaliknya, bila menghadapi pengawas yang demikian, maka kepala sekolah tidak akan memberikan informasi yang sebenarnya dan cenderung menutupi kelemahannya.

Setelah tumbuh kepercayaan dan keterbukaan, pengawas melakukan kerjasama dengan pihak kepala sekolah dan guru untuk memberdayakan sekolah. Dalam prakteknya, pengawas mengambil peranan sebagai supervisor yang memiliki wawasan pemberdayaan untuk membantu mampu (enabling) kepala sekolah dan guru dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran, memperlancar pengembangan sekolah, menerima konsultasi, menjadi perekat bekerjasama, membimbing dan mendukung pihak terkait dalam menjalankan fungsinya dalam pemberdayaan sekolah.

Pemberdayaan dengan supervisi memiliki filosofi yang sama. Oteng Sutisna (1979: 69) dengan jelas menyatakan bahwa supervisi ialah membantu para guru memperoleh arah diri dan belajar memecahkan sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sesuai dengan itu mendorong mereka kepada kegiatan-kegiatan untuk menciptakan situasi di mana murid-murid dapat belajar lebih efektif. Secara teknis, alternatif pola kerjasama antara pengawas, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru dapat digambar sebagai berikut:


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

    Pengawas berada pada posisi sentral dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Dalam pembinaan sekolah, kepala dinas memberi kepercayaan kepada pengawas untuk bina guru dan kepala sekolah. Pada saat bersamaan, pengawas dapat membina guru melalui kelembagaan MGMP dan membina kepala sekolah melalui MKKS. Hal yang perlu ditegaskan dalam bagan di atas adalah bahwa hubungan antar fihak adalah dalam suasana kemitraan.


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB III

PERANAN PENGAWAS

DALAM PENGEMBANGAN KERJASAMA SEKOLAH


 

A. Peranan Pengawas dalam Pengembangan Kerjasama Eksternal

Dari waktu ke waktu persoalan hubungan antara sekolah daengan masyarakat semakin menuntut perhatian. Sejalan dengan tingkat pendidikan, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat maka apresiasi dan aspirasi mereka terhadap lembaga pendidikan juga semakin meningkat. Aspek yang paling banyak mendapat sorotan tentu saja adalah mutu pendidikan, di samping transparansi pengelolaan.

Banyak definisi tentang hubungan masyarakat. Awalnya hubungan masyarakat dikemukakan kali pertama oleh Thomas Jefferson tahun 1807 yang ketika itu dimaknai sebagai Public Relation.

Ibnoe Syamsi dalam Suryosubroto (2004: 155) mendefinisikan humas sebagai kegiatan organisasi untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat agar mereka mendukungnya dengan sadar dan sukarela. Kegiatan kehumasan adalah melakukan publisitas tentang kegiatan organisasi kerja (sekolah) yang patut diketahui oleh pihak luar secara luas. Bentuknya adalah menyebarluaskan informasi dan memberikan penerangan-penerangan untuk menciptakan pemahaman yang sebaik-baiknya di kalangan masyarakat luas mengenai tugas-tugas dan fungsi yang diemban sekolah tersebut, termasuk mengenai kegiatan yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan berdasarkan volume dan beban kerjanya.

Menurut Suryosubroto (2004; 157), hasil kerja dari kehumasan yang efektif apabila ada saling pengertian antara sekolah dengan pihak masyarakat. Adanya kesediaan untuk untuk membantu karena mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing, dan tumbuhnya rasa ikut bertanggung jawab dari masyarakat terhadap kemajuan sekolah.

Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah ditegaskan eksistensi serta peran dan fungsinya, maka hubungan sekolah dengan masyarakat semakin perlu dikelola dengan sungguh-sungguh. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bawa lemabaga ini memiliki peran memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Implikasinya, masyara- kat berkepentingan terhadap informasi dari sekolah agar mereka dapat memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan terhadap sekolah. Sebaliknya, sekolah harus semakin terbuka terhadap masyarakat dan menjalin hubungan dengan lebih intensif.

Pengawas yang memiliki fungsi supervisi dan perbantuan (enabling) kepada sekolah dituntut untuk dapat membina kerjasama sekolah dengan pihak-pihak lain yang terkait. Di bawah ini akan diajukan sejumlah alternatif dalam membina kerjasama sekolah dengan pihak eksternal dalam kepen-tingan pemberdayaan sekolah:

Dari sekian gagasan pemberdayaan sekolah di atas mungkin saja ada yang melebihi dari tugas dan kewenangan pengawas. Di sinilah pentingnya pengetahuan pengawas tentang peluang dalam memperluas wewenang. Dengan maksud yang baik, pengawas akan lebih dekat dengan sekolah baik dengan kepala sekolah maupun guru. Pengawas menjadi mitra kerja sekolah dan dengan demikian akan menghapus gambaran yang kurang baik tentang pengawas sekolah.

Apakah dengan kemauan yang besar dari pengawas sebagaimana yang telah digambarkan di atas, kinerja sekolah akan meningkat?. Jawaban- nya belum tentu, karena kemampuan sekolah sangat berbeda-beda. Untuk menciptakan sekolah yang dinamis sebagaimana yang diharapkan, pengawas melakukan langkah sebagai berikut:

Dari langkah-langkah di atas, kegiatan yang paling utama dan memi- liki dampak kebijakan secara langsung adalah dari langkah pertama dan kedua yaitu mengkader kepala sekolah dan langkah "mendidik" sekolah. Langkah selanjutnya akan mengikuti seiring dengan perkembangan kondisi tahap kedua.

Untuk menciptakan kegiatan bersama, pengawas perlu melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan dan pembentukan tim panitia dari perwakilan masing-masing sekolah. Dalam penciptaan kegiatan bersama, panitia harus memperhitungkan dampak penetesan (trickling down effect) terhadap kegiatan lainnya. Misalnya untuk memacu penguasaan kompetensi mata pelajaran, tim panitia lebih baik menyelenggarakan kegiatan cerdas cermat daripada lomba pidato, kecuali untuk membina kemampuan berbahasa lebih baik kegiatan lomba pidato daripada cerdas cermat.

Pemilihan kegiatan bersama dapat dirumuskan oleh tim panitia setelah meminta pandangan dari tim pengembang KTSP tiap sekolah, kepala sekolah, dan komite sekolah. Pengawas mencoba membuka jalan dan menghilangkan rintangan-rintangan yang mungkin menghambat terlaksananya kegiatan tersebut. Berikut adalah alternatif langkah membangun kerjasama antar sekolah dalam sebuah kegiatan:


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 3.1. Langkah-langkah Membangun Kerjasama Antarsekolah


 

"Rekayasa" kedua adalah mempertemukan sekolah dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan pengembangan kurikulum. Dalam rencana program kerja tahunan, khususnya pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mungkin membutuhkan tempat praktek kerja dan atau lokasi kunjungan sekolah-sekolah. Atas alasan itu, sekolah dapat diminta oleh pengawas untuk melakukan MoU dengan pihak industri untuk mendukung pelaksanaan kurikulum dengan baik. Berikut adalah contoh "rekayasa" pertemuan sekolah dengan pihak eksternal sekolah seperti industri, musium, swasta, instansi pemerintah, dan lain-lain:


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

    
 


 


 


 


 


 


 

Gambar 3.2. Interaksi Sekolah, Pengawas dan Pihak Eksternal.


 

    Bagan di atas dapat diterangkan sebagai berikut. Pada awalnya pengawas melakukan pemahaman terhadap KTSP yang dikembangkan oleh pihak sekolah. Setelah itu, ia menggali rencana implementasi dari pengembangan kurikulum yang terkait dengan pihak eksternal. Jika sekolah telah memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan dengan pihak eksternal sekolah, tugas pengawas berusaha menghilangkan rintangan yang mungkin akan dijumpai. Tetapi jika ternyata apa yang direncanakan oleh pihak sekolah masih kurang memadai maka pengawas dapat berperan sebagai fasilitator yaitu membantu sekolah mempersiapkan MoU dengan pihak-pihak eksternal.

    Ada kalanya dalam melakukan MoU, pihak sekolah masih merasa ragu, takut salah, dan membutuhkan penguatan dari pengawas. Sebaliknya, pengawas juga terkadang merasa khawatir terhadap inovasi yang lahir dari sekolah. Jika menghadapi kondisi demikian, disarankan untuk kembali pada langkah awal yaitu pemberdayaan diri sendiri terlebih dahulu. Karena barangali kita semua masih tidak memahami kewenangan masing-masing dan tidak mengetahui sejauh mana kewenangan kita dapat diperluas.


 

B. Kerjasama untuk Peningkatan Mutu Pendidikan

Tujuan akhir dari kinerja pengawas hakikatnya adalah untuk menjamin mutu pendidikan pada sekolah-sekolah yang dibinanya. Dengan kemampuan untuk menumbuhkan kerjasama, maka tugas tersebut akan dapat diwujudkan.

Pada materi yang lain mungkin telah dibahas tentang kegiatan penjaminan mutu. Pada kesempatan sekarang, akan diulas kembali secara singkat mudah-mudahan dapat menambah wawasan teoritis. Perbedaannya, pembahasan akan diarahkan pada peningkatan peran pengawas dalam membangun kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait dengan penjaminan mutu pendidikan.

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah banyak di bahas. Di tengah dunia internasional, kemampuan siswa dalam bidang studi matematika menurut TIMSS-Examination Centre, Office of Research and Development, Ministry of National Education (2000) menduduki urutan ke 34 dengan skor 40,3 di bawah Malaysia (urutan ke 16), Thailand (urutan ke 27), dan Turki (urutan ke 31). Begitu pula pada mata pelajaran IPA, siswa Indonesia hanya menduduki urutan ke 32 (Ditjen PMPTK, 2006). Dari hasil studi yang dilakukan oleh IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur juga menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor membaca untuk SD adalah sebagai berikut: (1) Hongkong 75,5, (2) Singapura 74,0, (3) Thailand 65,1, (4) Filipina 52,6, dan (5) Indonesia 51,7. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% materi bacaan. Mereka menemui kesulitan dalam membaca soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Untuk tingkat SLTP, ternyata prestasi belajar mereka juga menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan. The Third International Mathematics and Science Study (IAEA, 1999) melaporkan bahwa diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke–32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Di samping itu, setiap tahunnya sekitar tiga juta anak putus sekolah, dan mereka tidak memiliki keterampilan hidup (Balitbang Diknas, 1999).

Kondisi ini sangat menantang dan seharusnya menjadi panggilan jiwa dari para guru, kepala sekolah, dan pengawas untuk bersama-sama memikirkan pemecahannya. Dalam hal ini, pengawas ikut memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan dan menjamin mutu.

Dalam konsep penjaminan mutu, seringkali dipertanyakan yaitu siapakah yang seharusnya memutuskan suatu produk dan pelayanan tertentu dikatakan bermutu: apakah produsen atau konsumen? Hal ini perlu dipertanyakan sebab antara pandangan produsen dan konsumen tidak selalu sama. Menurut produsen bisa saja dikatakan bahwa produknya bermutu, sempurna, dan bermanfaat tetapi terkadang terjadi penolakan oleh konsumen terhadap produk dan layanan tersebut. Produk yang memenuhi spesifikasi terkadang tidak menjamin meningkatnya jumlah penjualan. Untuk mengatasi perbedaan ini, maka muncullah apa yang kita kenal dengan Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management – TQM).

Organisasi-organisasi yang menganut konsep TQM melihat mutu sebagai sesuatu yang didefinisikan oleh pelanggan-pelanggan mereka. Pelanggan adalah penilai terhadap mutu dan institusi sebagai produsen tidak akan mampu bertahan tanpa mereka. Institusi pelaku TQM akan menggu- nakan semua cara untuk mengeksplorasi kebutuhan pelanggannya. Edwin L. Artzt, CEO Proctor Gamble Company, mengatakan bahwa pe1anggan-pelanggan kami adalah mereka yang menjual dan juga menggunakan produk kami. Dengan demikian, tujuan mutu terpadu adalah memahami kebutuhan pelanggan yang selalu berkemhang, serta menggunakan pengetahuan tersebut untuk diterjemahkan ke dalam produk-produk yang inovatif. Dengan konsep di atas, lahirlah konsep mutu yaitu kemudian didefinisikan sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga dengan istilah, mutu sesuai persepsi (quality in perception).

Ada tiga konsep dasar yang perlu dipahami dalam peningkatan mutu yaitu antara lain kontrol mutu (quality control), jaminan mutu (quality assurance) dan mutu terpadu (total quality). Kontrol mutu secara historis merupakan konsep mutu yang paling tua. Ia melibatkan deteksi dan eliminasi terhadap produk-produk gagal yang tidak sesuai dengan standar. Tujuannya adalah penilaian proses pasca-produksi yang melacak dan menolak item-item yang cacat. Kontrol mutu biasanya dilakukan oleh pekerja-pekerja yang dikenal sebagai pemeriksa mutu. Dalam dunia pendidikan, kontrol mutu diimplementasikan dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) karena hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan untuk kontrol mutu.

Berbeda dengan kontrol mutu, ada lagi istilah tentang jaminan mutu. Jaminan mutu merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan sejak awal proses produksi. Jarninan rnutu dirancang sedemikian rupa untuk menjamin bahwa proses produksi menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Jaminan mutu adalah sebuah cara memproduksi produk yang bebas dari cacat dan kesalahan.

Lebih luas dari jaminan mutu adalah TQM yang berusaha mencipta-kan sebuah kultur mutu, yang mendorong semua anggota stafnya untuk memuaskan para pelanggan. Dalam konsep TQM pelanggan adalah raja. ini merupakan pendekatan yang dipopulerkan oleh Peters dan Waterman dalam In Search of Excellence, dan telah menjadi tema khas dalam tulisan-tulisan Tom Peters (Sallis, 2006; 59). Sifat TQM adalah perbaikan yang terus menerus untuk memenuhi harapan pelanggan. Dengan memuaskan pelang-gan, bisa dipastikan bahwa mereka akan kembali lagi dan memberitahu teman-temannya tentang produk atau layanan tersebut. Inilah yang disebut dengan mutu yang menjual (sell-on quality).


 


Gambar 3. 3 Hirarki Konsep Mutu (Sallis, 2006)


 

    Bagaimana dengan TQM pada dunia pendidikan?. Dunia pendidikan tidak memandang siswa sebagai produk mutu, karena anggapan ini akan membawa kita pada logika bahwa jika ingin menghasilkan produk yang baik maka harus memasukkan "bahan mentah" yang baik pula. Jika logika ini diterapkan dengan ketat maka model pendidikan apakah yang akan kita ciptakan?. Di Indonesia, konsep ini tidak berlaku karena setiap warga negara berhak memperoleh pengajaran.

    Dalam penjaminan mutu dan atau TQM dalam dunia pendidikan terdapat empat komponen dasar pengendalian mutu, yaitu: input, transformasi atau proses, output, dan nilai bagi stakeholders.    



 

Gambar 3.4 Model Pengendalian Mutu di Lingkungan pendidikan


 

Untuk langkah awal, disarankan agar para komunitas pengawas yang bergabung dalam organisasi pengawas seperti Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI) melakukan kajian secara mendalam tentang model yang akan dikembangkan dalam penjaminan mutu di sekolah-sekolah. Kerjasama untuk melahirkan model penjaminan mutu ini selain bermanfaat bagi sekolah juga dapat meningatkan kualitas diri para pengawas untuk mendukung kinerjanya.

    Secara nasional sebenarnya telah dibina mekanisme penjaminan mutu pendidikan yaitu dengan didirikannya institusi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di bawah Dirjen PMPTK. LPMP memiliki konsep tersendiri dalam penjaminan mutu yang harus dipelajari oleh seluruh penga- was. Wujud dari kegiatan penjaminan mutu antara lain menyelenggarakan pelatihan-pelatihan, pemantauan hasil UN, dan menyampaikan berbagai data dan informasi, dan lain-lain.

Gagasan tentang penjaminan mutu juga sejalan dengan konsep Manajmen Berbasis Sekolah yang difokuskan pada peningkatan mutu. Di awalnya disebut dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Kebijakan MPMBS diartikan sebagai model manjemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan lain-lain) untuk meningkatkan mutu sekolah.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 3.4. Koordinasi Pengawas dalam Penjaminan Mutu di Sekolah


 

    Langkah alternatif yang dapat diambil oleh para pengawas dalam merintis kerjasama untuk penjaminan mutu sekolah binaannya adalah berikut:

  1. Pembentukan Tim Satuan Kendali Mutu (SKM) sekolah yang terdiri dari seorang ketua, sekretaris, dan beberapa anggota. Kepengurusan SKM dapat dipilih dari para wakil kepala sekolah, tim KTSP, wali kelas, dan komite sekolah. Setiap unit kegiatan dibentuk Gugus Kendali Mutu (GKM) kegiatan. Tugas SKM adalah:


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 3.5 Alternatif struktur organisasi Satuan Kendali Mutu di sekolah


 

Pembentukan GKM Kegiatan disesuaikan dengan tingkat perkembangan sekolah, misalnya dapat dibentuk GKM pembelajaran, GKM kegiatan ekstrakurikuler, GKM persiapan Ujian Nasional, dan lain-lain. GKM melakukan kegiatan penjaminan mutu dari apa yang menjadi bagiannya. Standar mutu sebagai panduan ketercapaian mutu mengacu pada standar mutu yang telah ditentukan bersama pada tim SKM.

  1. Khusus pada tahap check terdapat titik-titik kendali mutu (quality check-points) di mana setiap penyelenggaraan proses pendidikan pada setiap GKM harus dievalusi atau diukur hasil pelaksanaan tugasnya dengan standar atau sasaran mutu yang telah ditetapkan. Penetapan titik-titik kendali mutu (quality check-points) harus dilakukan pada setiap satuan kegiatan untuk setiap butir mutu. Misalnya, untuk GKM persiapan UN dapat dilihat pada perkembangan hasil tes formatif yang dilakukan pada akhir setiap pokok bahasan. Dengan cara ini, maka GKM dapat mengetahui perkembangan persiapan siswa. Jika siswa telah memperoleh nilai yang baik-baik, GKM dapat meminta kepada guru kelas atau guru bidang studi untuk menaikkan standar soal yang lebih sulit. Dengan cara ini secara bertahap, siswa disekolah tersebut akan memperoleh kesiapan untuk UN.

Pembentukan SKM dan GKM di sekolah-sekolah disarankan agar mendapat dukungan dari pihak sekolah dan berbagai pihak yang terkait. Pengawas dapat meminta komitmen kepada kepala sekolah sejauh kewenangannya untuk meningkatkan mutu pendidikan di lingkungannya. Pengawas secara kelembagaan sebenarnya memiliki jaminan untuk memnta komitmen sekolah karena dalam APSI diterangkan bahwa pengawas merupakan mitra PMPTKk dalam upaya pemberdayaan dan peningkatan mutu kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan lainnya.


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA


 


 

Ancok, D. 2003. Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: UII Press.

Anonim. 2006. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia.

Anonim. 2006. Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang Guru dan Dosen. Bandung: Nuansa Aulia

Anonim.2006.Panduan Penjaminan Mutu Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Lembaga Penerbitan Universitas Pendidikan Indonesia

Blanchard, K., dkk. 2005. Go Team: Mengarahkan Tim Menuju Tahap Next Level. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Maginn, M. 2004. Making Teams Work: 24 Poin Penting Seputar Kesuksesan dalam Bekerjasama. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer

McPherson, R.B, Crowson, R.L, & Pitner, N.J. 1986. Managing Uncertainty: Administrative Theory and Practice in Education. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Pub. Co.

Mulianto, S., dkk, 2006. Panduan Lengkap Supervisi, Jakarta: Elex Media Komputindo

Purwanto, N. 2002. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya

Sallis, E. 2006. Total Quality Management in Education.(Terjemahan):
Yogyakarta: IRCiSoD

Soekanto, S. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Soenerno, A. 2006. Team Building. Yogyakarta: Andi Ofset

Stewart, A. 1998. Empowering People. Yogyakarta: Kanisius

Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta

LATIHAN


 

Metode yang dipilih 

Jenis informasi yang disampaikan Anda 

Komunikasi langsung


 


 

.......................................................................................

.......................................................................................

.......................................................................................

....................................................................................... 

Komunikasi tidak langsung


 


 

.......................................................................................

.......................................................................................

.......................................................................................

.......................................................................................

Komunikasi masa


 


 


 

.......................................................................................

.......................................................................................

.......................................................................................

....................................................................................... 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

  1. Dikusikan bersama teman pengawas lainnya, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah di atas jika ada asumsi bahwa bekerjasama (collaborating) lebih baik daripada mengendalikan (controlling)!


     


     


     


     


     


     


     


     

  2. Kondisi seperti itu, bisa jadi terjadi di sekolah-sekolah yang Anda bina. Jika mempunyai pengalaman, cobalah ceritakan pengalaman Anda dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut!


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Kewenangan pengawas dalam menjalin kerjasama eksternal 

Unsur kewenangan yang dapat diperluas 

Manfaat kewenangan jika diperluas 

   
   
   
   
   


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Kepala Sekolah A 

menyusun jadwal kegiatan untuk mencapai tujuan kerja yang telah ditetapkan bersama 

Kepala Sekolah B 

menentukan cara bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama 

Kepala Sekolah C 

menetapkan job description untuk masing-masing anggota tim

Kepala Sekolah D 

membuat susunan organisasi dan membagi tugas sesuai dengan fungsi jabatannya


 

Tugas Anda menentukan gaya masing-masing kepala sekolah terhadap tindakan kepala sekolah dalam memulai rapat kerjanya. Setelah Anda mengidentifikasi, cara manakah yang akan Anda pilih untuk memulai rapat kerja?


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Sumber dana 

Tingkat Peluang Keberhasilan 

  
  
  
  


 

Nama kegiatan 

Alasan

1 

 

2 

 

3 

 

4 

 

5 

 

6 

 

7 

 

8 

 

9 

 

10 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar