Minggu, April 05, 2009



 


 


 


 


 

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


 


 


 


 


 


 


 


 


 

PENGORGANISASIAN SEKOLAH


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN

DIREKTORAT JENDERAL

PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

TAHUN 2008

PENGANTAR


 

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi kompetensi yaitu: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi dan Sosial. Dalam rangka pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah untuk menguasai lima dimensi kompetensi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan telah berupaya menyusun naskah materi diklat pembinaan kompetensi untuk calon kepala sekolah/kepala sekolah.

Naskah materi diklat pembinaan kompetensi ini disusun bertujuan untuk memberikan acuan bagi stakeholder di daerah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/kepala sekolah agar dapat dihasilkan standar lulusan diklat yang sama di setiap daerah.

Kami mengucapkan terimakasih kepada tim penyusun materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah ini atas dedikasi dan kerja kerasnya sehingga naskah ini dapat diselesaikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi upaya-upaya kita dalam meningkatkan mutu tenaga kependidikan.


 

Jakarta, November 2007

Direktur Tenaga Kependidikan


 


 


 

Surya Dharma, MPA, Ph.D

NIP. 130 783 511

DAFTAR ISI


 

PENGANTAR        i

DAFTAR ISI        ii

DAFTAR GAMBAR        iv

BAB I     PENDAHULUAN        1

A.    Latar Belakang        1

B.    Dimensi Kompetensi.        2

C.    Kompetensi.        2

D.    Indikator Pencapaian Kompetensi.        2

E.    Alokasi Waktu.        4

F.    Skenario        5


 

BAB II     KONSEP DASAR DAN TEORI ORGANISASI        7

A.    Konsep Dasar Organisasi        7

B.    Unsur-Unsur Organisasi        12

C.    Teori-Teori Organisasi        12

D.    Prinsip-Prinsip Organisasi        22

E.    Fungsi-fungsi organisasi        23

F.    Keutungan-keuntungan organisasi        24

G.    Teori Hubungan Kerja dan Batas Kemampuan Pengawasan        24


 

BAB III     EKNIK PENGORGANISASIAN (ORGANIZING)        28

A.    Pengorganisasian sebagai proses.        29

B.    Struktur Organisasi        32

C.    Langkah-Langkah Pengorganisasian        37

D.    Bentuk-Bentuk (Tipe) Organisasi        47

E.    Penerapan Struktur Pengorganisasian di Departemen Pendidikan Nasional        63

BAB IV     KEPALA SEKOLAH SEBAGAI ORGANISATOR        74

A.    Kecenderungan dan Kebijakan Pengorganisasian Pendidikan        74

B.    Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Organisasi        75

C.    Perilaku Keanggotan Organisasi Sekolah        75

D.    Membangun Kelompok Kerja dan Tim di dalam Organisasi Sekolah        77

E.    Strategi Peningkatan Efektivitas Kelompok        81

F.    Proses Pengambilan Keputusan yang Efektif di dalam Organisasi Sekolah        83

G.    Model Pengambilan Keputusan Kelompok        86

H.    Kemampuan Berkomunikasi dalam Organisasi Sekolah        89


 

DAFTAR RUJUKAN        91


 

DAFTAR GAMBAR


 

Gambar 2.1.     Span of control        26

Gambar 3.1.     Proses Pengorganisasian        31

Gambar 3.2.     Proses pengorganisasian        32

Gambar 3.3.    Contoh pembagian tingkatan manajemen dalam struktur organisasi        36

Gambar 3.4.    Organisasi Lini pada Struktur Lembaga Pendidikan        53

Gambar 3.5.    Organisasi tipe Lini dan Staf di Depdiknas Kota/Kabupaten        54

Gambar 3.6.    Contoh Struktur Organisasi Berbentuk Lini dan Staf di SMTA:        55

Gambar 3.7.    Contoh Organisasi bentuk fungsional        56

Gambar 3.8.    Contoh Organisasi bentuk fungsional        56

Gambar 3.9.    Contoh Organisasi bentuk panitia.        57

Gambar 3.10.    Organisasi Manajemen Proyek/ Matriks        61

Gambar 3.11.    Mekanisme Pembentukan Organissai di lingkungan Departemen        68

Gambar 4.1.     Puncuated equlibrium model        81

 

BAB I

PENDAHULUAN


 

  1. Latar Belakang

Kepala sekolah sebagai pengelola sekolah mempunyai peranan yang sangat strategis dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Ia diharapkan mampu meningkatkan iklim sekolah yang kondusif bagi terlaksanannya proses belajar mengajar yang efektif, dan mengaktuaklisasikan sumber daya yang ada di sekolah seoptimal mungkin dalam menunjang prose belajar mengajar. Oleh karena itu, setiap kepala sekolah harus menguasai kemampuan organizational pendidikan yang efektif.

Sebagai seorang manajer, kepala sekolah perlu melakukan pendekatan terhadap strategi global sebagai suatu tuntutan untuk dapat mengelola sebuah organisasi sekolah secara berhasil.

Memimpin sebuah organisasi sekolah yang produktif berarti mengetahui dan memahami perilaku individu di dalam organisasi sekolah tempat kerja para guru dan seluruh staf yang terlibat, dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan organisasi sekolah. Peranan utama kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi (organizational leader) adalah mengerahkan seluruh staf sekolah untuk bekerja sama sebagai sebuah tim dalam rangka melaksanakan program pertumbuhan dan peningkatan bagi seluruh siswa agar secara akademik berhasil. Sehubungan dengan itu, tantangan utama kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi adalah bagaimana dia dapat memadukan antara kepentingan organisasi sekolah dan berbagai potensi, minat dan bakat para anggotanya sebagai asset demi kemajuan sekolah

Untuk mendukung kesuksesan seorang kepala sekolah dalam memimpin organisasi sekolahnya, berikut penyusun memperkenalkan secara garis besar materi pelatihan meliputi:

  1. Konsep Dasar dan Teori Organisasi.
  2. Teknik Pengorganisasian Sekolah.
  3. Kepala Sekolah sebagai Organisator.


 

  1. Dimensi Kompetensi.

        Pengorganisasian sekolah merupakan bagian dari dimensi kompetensi Manejerial.


     

  2. Kompetensi.

Secara umum pelatihan Kepala Sekolah (SMA/SMK/MA) dalam bidang pengorganisasian ini bertujuan agar para perserta dapat meningkatkan kompetensinya dalam memimpin organisasi sekolah, atau kepala sekolah sebagai organisator. Secara khusus kompetensi-kompetensi dimaksud sebagai berikut.

  1. Menguasai konsep dasar dan teori organisasi:
  2. Menguasai teknik pengorganisasian:
  3. Menguasai kemampuan sebagai organisator:
  4. Membangun Iklim, Budaya dan Perilaku Organisasi Sekolah


     

  1. Indikator Pencapaian Kompetensi.
  2. Menguasai konsep dasar dan teori organisasi:
    1. Memahami konsep dasar organisasi, yang menjadi landasan dalam penyusunan organisasi sekolah
    2. Mengidentifikasi unsur-unsur organisasi sekolah
    3. Menguasai kebijakan dan teori-teori dasar organisasi
    4. Memahami prinsip-prinsip dasar, fungsi, dan keuntungan organisasi
    5. Memahami teori hubungan kerja dan batas kemampuan pengawasan dalam organisasi.
  3. Menguasai teknik pengorganisasian:
    1. Memahami teknik pengorganisasian sebagai proses
    2. Memahami dasar penyusunan struktur organisasi
    3. Menerapkan langkah-langkah pengorganisasian kegiatan sekolah baik melalui ragam organisasi formal maupun informal
    4. Memahami dan menerapkan bentuk-bentuk pengorganisasian secara proporsional
    5. Mengembangkan struktur organisasi formal kelembagaan sekolah berdasarkan model struktur organisasi yang relevan
    6. Mengembangkan deskripsi tugas pokok dan fungsi setiap unit kerja yang ada di sekolah sesuai dengan pendekatan, strategi, dan proses pengorganisasian yang baik
    7. Mengembangkan standard operasional prosedur pelaksanaan tugas berdasarkan langkah-langkah operasional pengorganisasian yang baik
    8. Mengenal dan memahami bentuk struktur organisasi di lingkungan Depdiknas dan sekolah
  4. Menguasai kemampuan sebagai organisator:
    1. Memahami kecenderungan dan kebijakan pendidikan nasional dalam pengorganisasian sekolah
    2. Memahami fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi
    3. Memahami perilaklu anggota dalam organisasi sekolah
    4. Menguasai kemampuan penempatan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan kelompok kerja dan tim yang efektif dan tepat persebaran.
    5. Menerapkan strategi peningkatan efektivitas kelompok
    6. Melaksanakan proses pengambilan keputusan secara efektif
    7. Menerapkan model-model pengambilan keputusan dalam proses pemecahan masalah
    8. Menerapkan ketrampilan-ketrampilan dasar berkomunikasi sebagai pemimpin organisasi di sekolah.


 

  1. Alokasi Waktu.

Alokasi waktu materi pelatihan pengorganisasian sekolah bagi Kepala Sekolah adalah sebagai berikut:

POKOK-POKOK MATERI PELATIHAN 

WAKTU 

I.     Konsep Dasar dan Teori Organisasi

6 jam 

A.     Konsep Dasar Organisasi

 

B.     Unsur-Unsur Organisasi

 

C.     Teori-Teori Organisasi

 

D.     Prinsip-Prinsip Organisasi

 

E.     Fungsi-Fungsi Organisasi

 

F.     Keuntungan-keuntungan Organisasi

 

G.     Teori Hubungan dan Batas Kemampuan Pengawasan dalam Struktur Organisasi

 

II.     Teknik Pengorganisasian (Organizing)

14 jam

A     Pengorganisasian sebagai Proses

 

B.     Struktur Organisasi

 

C.     Langkah-Langkah Pengorganisasian

 

D.     Bentuk-Bentuk Organisasi

 

E.     Penerapan Struktur Pengorganisasian di Depdiknas: (kelembagaan di Depdiknas, pembagian tugas dan tanggungjawab di sekolah)

 

III.     Kepala Sekolah sebagai Organisator

10 jam 

A.     Kecenderungan dan kebijakan pengorganisasian pendidikan

 

B.     Kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi

 

C.     Perilaku keanggotan dalam organisasi sekolah

 

D.     Membangun kelompok kerja dan tim dalam organisasi sekolah

 

E.     Strategi peningkatan efektivitas kelompok dalam struktur organisasi sekolah

 

F.     Proses pengambilan keputusan yang Efektif di dalam Organisasi Sekolah

G.     Model pengambilan keputusan kelompok

 

H.    Kemampuan berkomunikasi di dalam organisasi sekolah

 


Total Waktu Pelatihan
 

30 jam 


 


 

  1. Skenario

    Secara tentatif (dapat dikembangkan lebih lanjut oleh fasilitator pendidikan dan pelatihan) strategi pembelajaran yang dikembangkan sebagai berikut :

  1. Perkenalan atau pengkondisian (ice breaker).
  2. Penjelasan singkat, jelas dan terarah tentang dimensi kompetensi, kompetensi.
  3. Pretes
  4. Eksplorasi pemahaman peserta.
  5. Presentasi materi.
  6. Diskusi.
  7. Praktik (simulasi) mengelola organisasi suatu kegiatan sekolah.
  8. Diskusi kelas pembahasan hasil simulasi.
  9. Postes.
  10. Penutup.

Di samping itu, fasilitator mengembangkan skenario pelatihan dengan menyusun hand-out, dan format-format kegiatan pelatihan pengorganisasian sesuai kebutuhan pada satuan pendidikan menengah, untuk diterapkan di dalam proses pembelajaran, dan tugas akhir yang harus dikerjakan di daerah masing-masing terkait dengan kemampuan dalam pengorganisasian.


 


 


 


 


 


 


 

  1.  

    BAB II

    KONSEP DASAR DAN TEORI ORGANISASI


     

    1. Konsep Dasar Organisasi

             Secara konseptual ada dua batasan yang perlu dikemukakan di sini, yakni istilah "organization" sebagai kata benda dan "organizing" (pengorganisasian) sebagai kata kerja, menunjukkan pada rangkaian aktivitas yang harus dilakukan secara sistematis.

    Organisasi adalah suatu sistem, mempunyai struktur dan perencanaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, di dalamnya orang-orang bekerja dan berhubungan satu sama lain dengan suatu cara yang terkoordinasi, kooperatif, dan dorongan-dorongan guna mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Beach, 1980; Champoux, 2003).

    Apabila kita membicarakan organisasi sebagai suatu sistem, berarti memandangnya terdiri dari unsur-unsur yang saling bergantungan dan di dalamnya terdapat sub-sub sistem. Sedangkan struktur di sini mengisyaratkan bahwa di dalam organisasi terdapat suatu kadar formalitas dan adanya pembagian tugas atau peranan yang harus dimainkan oleh anggota-anggota kelompoknya. Perencanaan secara sadar menunjukkan rasionalitas, pedoman, dan pemilihan altematif. Di samping itu, orang-orang yang terlibat dalam organisasi bekerja dengan cara kerja sama dan terkoordinasi dengan baik. Tingkah laku mereka bukanlah tidak terarahkan dan sembarangan saja, melainkan didasarkan pada maksud dan tujuan tertentu. Tujuan-tujuan itu mungkin ditetapkan melalui konsensus kelompok-kelompok yang terlibat baik di dalam maupun luar organisasi atau mungkin pula oleh seorang atau beberapa wakil (figur-figur tertentu) yang diberi kuasa. Ciri-ciri tersebut jelas membedakan organisasi dari pengelompokkan-pengelompokkan temporer, group informal, kelompok persahabatan, sebuah kerumunan, suku, atau golongan.

    Istilah organisasi dapat pula diartikan sebagai suatu perkumpulan atau perhimpunan yang terdiri dari dua orang atau lebih punya komitmen bersama dan ikatan formal mencapai tujuan organisasi, dan di dalam perhimpunannya terdapat hubungan antar anggota dan kelompok dan antara pemimpin dan angota yang dipimpin atau bawahan (Beach and Reinhartz, 2004; Bush and Middlewood, 2005).

    Dari kedua definisi di atas, dapat dinyatakan betapa pentingnya organisasi sebagai alat administrasi dan manajemen dalam melaksanakan segala kebijakan/keputusan yang dibuat pada tingkatan administratif maupun manajerial. Dalam hubungan ini, hakiki organisasi dapat ditinjau dari dua sudut pandangan. Pertama, organisasi dipandang sebagai wadah, tempat di mana kegiatan administrasi dan manajemen dilaksanakan. Kedua, sebagai proses yang berusaha menyoroti interaksi (hubungan) antara orang-orang yang terlibat di dalam organisasi itu. Tinjauan yang kedua ini juga mencoba menganalisis dua macam hubungan yang terjadi di dalam organisasi: hubungan formal dan informal. Hubungan formal selalu diatur atas dasar hukum pendirian organisasi, struktur serta hierarki yang telah ditetapkan. Bahkan mekanisme hubungan formal ini biasanya digambarkan dalam bagan organisasi yang mempunyai kekuatan hukum tertentu seperti tergambar pada bagan struktur organisasi Departemen Pendidikan Nasional tingkat Pusat, Propinsi, Kota dan Kabupaten dan sekolah, semua diatur berdasarkan peraturan-peraturan pemerintah dan keputusan-keputusan pimpinan departemen.

    Sebaliknya, hubungan informal antara orang-orang yang menjadi anggota organisasi tidak diatur dalam dasar hukum pendirian organisasi. Hubungan yang terjadi tidak terlihat pada bagan organisasi. dan memang tidak digambarkan sebagaimana yang formal. Hubungan informal dapat muncul karena: (1) kesamaan kepentingan/minat antar anggota, (2) kesamaan profesi, (3) hubungan-hubungan pribadi yang telah terjalin sebelumnya, dan lain-lain.

    Kedua bentuk hubungan demikian akan menimbulkan apa yang dikenal dengan "informal organization' dan "formal organization". Dari itu muncul persoalan: hubungan yang manakah yang lebih baik dalam menggerakkan kelompok kerja sama secara efektif? Ini merupakan suatu pertanyaan yang relatif sulit dijawab. Kedua bentuk hubungan tersebut perlu dipelihara dengan baik. karena sama-sama mempunyai kepentingan dalam menggalang suatu kelompok kerja yang harmonis, produktif dan dapat memberikan kepuasan kerja pada anggota. Hubungan formal yang terlalu menonjol perlu dicegah, agar jangan sampai hubungan informal itu lenyap sama sekali. Sebaliknya, kadar hubungan informal juga perlu dibatasi jangan sampai terlalu dominan sehingga akan mengurangi respek bawahan terhadap pimpinan. atau mengakibatkan hilangnya bentuk-bentuk hubungan formal. Tindakan demikian perlu diperhatikan. karena adanya aksioma yang mengatakan bahwa "semakin berhasil kelompok pimpinan membina suatu organisasi yang demokratis. semakin menonjol pula hubungan yang bersifat informal, meskipun hubungan-hubungan yang bersifat formal tidak boleh hilang sama sekali" (Siagian, 1980).

    Ungkapan aksiomatis tersebut mengandung makna, bahwa pembinaan organisasi yang demokratis membutuhkan tata hubungan informal, tanpa mengorbankan formalitas yang ada di dalam organisasi. Dengan demikian. kedua bentuk hubungan itu tentu saja harus dipelihara dan dikembangkan secara berimbang demi terciptanya sualu organisasi yang baik.

    Istilah organizing berasal dari perkataan organism yang mempunyai arti menciptakan suatu struktur dengan bagian-bagian yang terintegrasi. sehingga mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Kalau demikian. berarti istilah organisasi yang sudah didefinisikan di atas sebenarnya merupakan hasil daripada pengorganisasian (organizing). Pengorganisasian berarti penyusunan tugas kerja dan tanggung jawab. Mengorganisasi = menghimpun, beberapa orang untuk bersama-sama melakukan pekerjaan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. G. R. Terry dalam Burhanuddin (1994) mengartikan pengorganisasian sebagai kegiatan mengalokasikan seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan antara kelompok kerja dan menetapkan wewenang tertentu serta tanggung jawab masing-masing yang bertanggung jawab untuk setiap komponen kerja dan menyediakan lingkungan kerja yang sesuai dan tepat.

    Definisi lain dapat diketenghkan bahwa rganisasi sebenamya merupakan suatu unit yang terkoordinasi terbentuk dari sedikitnya 2 (dua) orang anggota untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (Gibson, Ivancevich, Donnelly, and Konopaske, 2006).

    Proses pengorganisasian dengan demikian mencakup kegiatan-kegiatan berikut:

    1. Pembagian kerja yang harus dilakukan dan menugaskannya pada individu tertentu, kelompok-kelompok dan departemen.
    2. Pembagian aktivitas menurut level kekuasaan dan tanggungjawab.
    3. Pembagian/pengelompokkan tugas menurut tipe dan jenis yang berbeda-beda.
    4. Penggunaan mekanisme koordinasi kegiatan individu dan kelompok.
    5. Pengaturan hubungan kerja antara anggota organisasi.


     

    Dengan meneliti beberapa batasan dan pokok-pokok pikiran organisasi ini, kita tentu sependapat, bahwa pengorganisasian sebagai fungsi manajemen sebenamya merupakan langkah pertama ke arah pelaksanaan rencana yang telah disusun sebelumnya. Oleh sebab itu, secara hirarkhis di dalam bagian tulisan ini ditempatkan sebagai fungsi manajemen yang kedua (setelah perencanaan). Pelaksanaan fungsi ini dengan baik akan menghasilkan suatu organisasi yang dapat digerakan sebagai suatu kesatuan yang bulat dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan bersama. Dalam prakteknya, ia bisa diterapkan pada lapangan kegiatan yang lebih luas yang meliputi organisasi perusahaan, pemerintahan, militer, perguruan dan sekolah-sekolah serta organisasi layanan publik. Karena begitu luasnya medan penggunaan fungsi manajemen kedua ini, kita perlu memahami di samping hakiki (batasan-batasan) di atas, juga tentang pendekatan tipe dan struktur organisasi maupun teknik-teknik penyusunannya.


     

    1. Unsur-Unsur Organisasi

    Pada hakikatnya organisasi terbentuk dari sekelompok orang, kerja sama dan tujuan bersama. Terdapat 5 cara seseorang menjadi anggota kelompok formal (Filley et al., 1976 dalam Puxty,1990 : 183), yakni

    1. Karena ditunjuk oleh pimpinan.
    2. Dipilih oleh kelompok.
    3. Dipilih oleh perwakilan dari luar kelompok.
    4. Alasan sebagai volunteer (sukarela).
    5. Karena ex-officio suatu jabatan dalam kelembagaan.


       

    1. Teori-Teori Organisasi

    Para ilmuan sejak lama menyadari bahwa adanya teori-teori dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda memunculkan pertanyaan, perbedaan pandangan suatu masalah, dan isu organisasi. Walaupun demikian, fenomena ini justru membantu para ilmuan untuk memberikan sejumlah jawaban terhadap 1 (satu) persoalan yang sama. Dengan berpegang kepada sejuimlah teori dan konsep, kita dapat menghadirkan berbagai pandangan (perspectives) untuk mengkaji isu, masalah, dan pertanyaan yang sama tentang organisasi (Champoux, 2003).

    Para ilmuan menggunakan teori dan konsep-konsep yang berkembang dalam memotret isu organisasi. Seperti halnya seorang photografer, maka teori dan konsep tersebut diibaratkan lensa yang digunakan para ilkmuan untuk mengkaji organisasi dalam segenap perkembangannya. Perkembangan teori-teori organisasi dapat dilihat dan dikaji sejak sejak tahun-tahun pertama abad keduapuluh yang secara garis besar dapat diikhtisarkan menjadi 4 (empat) kelompok besar yakni classic, behavioural, system, dan contingency.


     

    1. Classic

    Pada mulanya teori administrasi/manajemen atau organisasi telah dirancang secara tradisional/klasik, Terdapat 3 (tiga) kategori pokok pendekatan klasik ini: scientific management; (2) administrative management:dan (3) the bureaucratic model of organization (Beach, 1980: 133).


     

    a.     Scientific management.

    Pendiri gerakan manajemen ilmiah ini adalah Frederick W. Taylor (1856-1915), seorang Insinyur dan ahli manajemen Amerika. Dia tidak menciptakan teori umum mengenai organisasi; namun hanya mengusulkan sejumlah teknik dan filsafat yang diturunkan dari pengalamannya yang lebih luas di bidang manajemen dan konsultan. Dia menaruh perhatian pada manajemen pabrik dan efisiensi dan memperkenalkan konsep dan teknik analisa/studi jabatan, analisa waktu, standarisasi jabatan, specialisasi tugas, penentuan keseimbangan kerja, seleksi pegawai secara teliti, teknik pelatihan staf, dan kompensasi berupa insentif gaji untuk membantu mencapai hasil kerja yang lebih tinggi.

    Taylor memindahkan tanggungjawab kegiatan perencanaan yang semula ditangani para pekerja (bawahan) diserahkan kepada seorang spesialis manajemen. Dia juga memperkenalkan sistem pengelolaan pabrik yang disebut dengan functional foremanship (kepengawasan fungsional yang dilakukan para mandor). Meskipun tidak bertahan lama, sistem ini merupakan pembuka jalan ke arah perluasan Perecanaan staf dan sistem pengawasan di pabrik-pabrik.

    Secara umum, kita memandang bahwa gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori Taylor diarahkan pada pencapaian produktivitas kerja yang tinggi, keuntungan yang lebih besar, biaya murah, dan sistem pengawasan mesin-manusia yang lebih efektif.


     

    b.     Administrative Management.

    Kalau scientific management memfokuskan perhatiannya pada organisasi dari level manajemen bawahan (shop management), maka para teoritisi manajemen administratif memandang organisasi dari puncak (from the top-down). Para pemuka manajemen administratif ini antara lain adalah: Henri Fayol, seorang Industrialis Perancis; L. Gulick, spesialis administrasi publik dan akademisian; Lyndall Urwick, seororang teoritisi dan Konsultan Inggris; James D. Mooney dan Alan C Reiley, pimpinan dari General Motor, Amerika (Burhanuddin, 1994).

    Para teoritisi manajemen adminisitratif tersebut mengumandangkan prinsip-prinsip organisasi dan manajemen secara umum. Meskipun prinsip-prinsip yang mereka kemukakan berbeda satu sama lain, namun pada umumnya mereka mempunyai kesatuan proposisi sebagai berikut :

    1. Spesialisasi fungsi dan pembagian kerja penting bagi efisiensi.
    2. Tanggung jawab dan kekuasaan supervisor dan manajer harus dilukiskan secara jelas. Di sana harus terdapat garis kekuasaan secara jelas, dari atas ke bawah. Kekuasaan harus mengalir dari atas ke bawah, melalui struktur organisasi yang ada. Tanggung jawab harus sepadan dengan kekuasaan. Setiap anggota organisasi hanya memiliki satu pimpinan atau komando (unity of command).
    3. Koordinasi fungsi dan anggota kelompok harus dilakukan oleh manajer di setiap unit.
    4. Segala perintah, informasi dan pengaduan-pengaduan harus disalurkan melalui garis kekuasaan yang sudah ditetapkan.
    5. Jumlah bawahan yang harus diawasi oleh seorang supervisor dibatasi antara 5 atau 6 orang. Namun belakangan formulasi demikian tidak begitu diterima, dan diperluas dengan batasan jumlah orang-orang yang diawasi sesuai dengan situasi atau kompleksitas kerja atau faktor-faktor lain.
    6. Pertama-tama, rancanglah organisasi dan tugas-tugas kemudian temukanlah orang-orang yang dapat menangani tugas-tugas yang telah dirumuskan tersebut. Janganlah membentuk pekerjaan (job) untuk dicocokkan pada kemampuan dan minat individual.


     

    c.     Bureaucratic Model

    Konsep model birokrasi ini berasal dari Sosiolog Jerman Max Weber, yang banyak menghasilkan karya tulis pada tahun 1900-1920. Weber memandang dunia, khususnya masyarakat, secara sekular dan rasional. Di dalam membangun dan mengoperasikan suatu lembaga manusia yang terlibat di dalamnya, cenderung mendasarkan tindakannya pada pengetahuan, pengambilan keputusan rasional, teknologi dan sangat sedikit sekali pada hal-hal mistik dan yang gaib-gaib. Dia memandang birokrasi yang ada di organisasi merupakan alat yang sangat efisien dalam mengoperasikan organisasi-organisasi yang berskala besar, baik swasta maupun milik pemerintah.

        Ciri-ciri pokok birokrasi ini adalah :

    1. Pembagian kerja yang tegas dan spesialisasi yang tinggi,
    2. Setiap biro yang ada di bawah berada di bawah kontrol yang lebih tinggi (hierarkis),
    3. Sistem pemerintahan diadministrasikan secara obyektif,
    4. Penempatan tenaga kerja, penugasannya didasarkan pada kualifikasi, bukan pada hubungan sanak famili atau favoritas.
    5. Adanya keamanan kerja bagi bawahan,
    6. Dan penggunaan catatan, dokumen, dan arsip-arsip secara ekstensif.


       

    1. Behavioral Science.

    Para penyokong bidang ini, mulai kerjanya dari tahun 1920-an sampai dengan awal 1950-an. Mereka dinamakan human relationist. Pada tahun-tahun itu mereka tidak disebut sebagai ilmuwan behavioral. Pada pokoknya mereka sebenarnya adalah para psikolog dan sosiolog industri milik Perguruan Tinggi. Industri privat adalah laboratorium mereka.

    Penemuan-penemuan (riset) Elton Mayo dan teman-temannya di Universitas Harvard terhadap Hawthorne Works or The Western Electric Company di Chicago menandai munculnya gerakkan human relation ini. Penelitian tersebut berlangsung sejak tahun 1927 sampai pada tahun 1932. Rangkaian studi ini membuktikan kunci pentingnya tekanan-tekanan kelompok, hubungan sosial, dan sikap terhadap supervisi dan pekerjaan yang menentukan produktivitas kelompok.

    Kalau teoritisi organisasi klasik menaruh perhatian mereka pada tugas, struktur, dan kekuasaan. maka para ahli human relation ini menekankan pada dimensi manusianya. Organisasi dipandang sebagai suatu sistem sosial sebagaimana dikembangkan oleh para sosiolog dalam menawarkan bentuk dan desain organisasi (Champoux, 2003), demikian juga yang diterapkan dalam teknik ekonomi. Kelompok kerja informal diidentifikasikan sebagai sumber kontrol pekerja yang utama. Kedua bentuk organisasi baik formal maupun informal harus diperhitungkan untuk menjelaskan sebagaimana dan mengapa suatu organisasi berfungsi sedemikian rupa.

    Penulis-penulis tradisional memandang kekuasaan pada pemimpin dan upah sebagai motivator primer. Sementara para ahli yang menganut paham hubungan manusiawi menekankan pentingnya faktor-faktor psikologis dan sosial di dalam membentuk tingkah laku anggota organisasi. Kebanyakan para teoritisi hubungan manusiawi beranggapan bahwa perencanaan manajemen dan pengambilan keputusan memberikan pengaruh positif baik terhadap "morale" maupun produktivitas. Para manajer diingatkan bahwa tingkah laku manusia di organisasi terdiri dari komponen rasional dan non rasional Perasaan-perasaan, sentimen, dan nilai-nilai merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para manajer. Pengaruh human relation begitu pesat, sehingga muncul latihan-latihan manajemen di bidang industri dan pemerintah yang memuat program motivasi, "morale" kepemimpinan, komunikasi antar pribadi, keterampilan memberikan penyuluhan, dan dinamika kelompok. Tegasnya manajer-manajer lebih disadarkan pada pentingnya dimensi monusia.

    Walaupun demikian, gerakan human relation ini juga tidak terlepas dari kritik-kritik terutama yang datang dari lapangan industri. Para ahli human relation dianggap terlalu lunak tertadap para pekerja, menekankan pada usaha yang bersifat memanipulasi para bawahan, tidak mengindahkan pengaruh yang muncul dari perserikatan-perserikatan, dan teknologi yang digunakan organisasi.

    Para pendukung modern menolak penggunaan istilah human relations. Mereka sebaliknya menamakan diri dengan istilah behavioral scientists (ilmuwan tingkah laku manusia), Psikolog organisasi, Teoritisi organisasi. dan para ahli pengembangan organisasi. Di antara sekian banyaknya para ahli yang mendukungantara lain: Douglas Mc gregor, Rensis Likert, Frederick Herzberg, Warren Bennis dan Chris Argyris (dalam Burhanuddin, 1994; Yukl, 2002).

    Meskipun masing-masing ahli tersebut memberikan dukungan mereka secara unik bagi pendekatan behavioral science namun terdapat kesatuan dan konsistensi tema di antara pandangan mereka. Mereka menunjukkan suatu pandangan yang optimis terhadap hakikat manusia. Mereka juga mempercayai adanya kemuliaan dasar yang dimiliki manusia. Lebih jauh lagi, bahwa prestasi kerja dapat dicapai melalui bimbingan dan pengawasan secara mandiri, bukan melalui birokrasi yang kaku. Dengan demikian, tindakan job enrichment akan lebih efektif ketimbang model pembagian kerja/pembatasan tugas yang sempit.. Motivasi positif, kepemimpinan suportif, dan metode-metode supervisi kelompok lebih dipentingkan. Mereka juga berpendirian bahwa iklim organisasi yang layak adalah suatu iklim di mana semua anggota kelompok dan manajer lebih bersikap terbuka, tulus dan saling mcmpercayai sama lain. Kerja sama dan teamwork lebih baik daripada sistem kompetisi antar pribadi yang tidak sehat, dan umumnya bersifat merusak seperti kebanyakan kita saksikan di organisasi-organisasi tidak terkecuali lembaga pendidikan semacam sekolah.

    1. System Aproach

    Pendekatan ketiga dalam menganalisis organisasi adalah dengan menerapkan konsep sistem. Teori sistem sudah populer sejak beberapa dasawarsa yang lalu karena kemampuannya dalam menyuguhkan suatu model sistem universal yang mencakup berbagai bidang kehidupan: fisik, biologis, sosial. Dan fenomena tingkah laku manusia. Para teoritisi mencoba menemukan generalisasi-generalisasi yang membantu dalam menjelaskan bagaimana berfungsinya segenap kesatuan dan proses.

    Seperti telah disinggung sebelumnya, para teoritisi organisasi sebenamya memperlakukan organisasi itu sebagai suatu sistem. Sistem adalah suatu keseluruhan yang terorganisir, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantungan satu sarna lain. Ada beberapa konsep penting mengenai penerapan sistem terhadap organisasi, yaitu:

    1. Organisasi manusia lebih bercirikan sistem terbuka, yang-berarti berinteraksi dengan berbagai unsur yang ada di lingkungan.
    2. Organisasi cenderung mengarah kepada suatu dinamika atau keseimbangan yang bergerak (moving equilibrium). Anggota-anggota organisasi berusaha mempertahankan dan memelihara organisasi agar tetap hidup. Mereka mereaksi segenap perubahan dan kekuatan-kekuatan baik yang ada di luar maupun dalam organisasi itu sendiri guna menemukan keadaan baru agar tetap seimbang.
    3. Untuk menjaga keseimbangan sistem organisasi, maka dikelola segenap informasi dari rangkaian kegiatan yang maupun lingkungan, yang dapat memberikan umpan balik penyempurnaan setiap penyimpangan.
    4. Organisasi sebenarnya bagian dari hirarkhi sistem yang terdiri dari devisi, departemen, seksi-seksi dan kelompok individu. Atau tegasnya, organisasi tertentu bisa merupakan bagian atau sub dari sistem yang lebih besar.
    5. Ketergantungan adalah merupakan konsep kunci bagi teori sistem. Diterapkan dalam organisasi, berarti didalamnya terdiri dari komponen-komponen yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
    6. Konsep wholism dalam memahami organisasi menunjukkan bahwa keseluruhan suatu struktur atau kesatuan adalah lebih dari sekedar kumpulan bagian-bagian. Konsep ini melandasi perlunya tindakan terpadu atau kompak (sinergy), yang berkaitan dengan kemampuan komponen-komponen organisasi untuk mencapai sasaran bersama. Dan tindakan bersama melebihi hasil yang di secara perorangan.


     

    Konsep sistem menolong kita dalam mendiagnosa hubungan yang saling berinteraksi di antara tugas/kegiatan, teknologi, lingkungan dan anggota organisasi. Para praktisi menerapkan konsep sistem dalam merancang, membangun, mengoperasikan sistem info manajemen dan proses automasi. Lebih jauh lagi penggunaannya dilihat pada rancangan-rancangan organisasi matriks dan proyek.

    Berbeda dengan model-model organisasi klasik, pendekatan sistem menunjukkan bahwa para manajer sesungguhnya beroperasi dalam situasi yang mudah berubah, dinamis, dan sering tidak menentu. Mereka pada umumnya tidak berada dalam kontrol sepenuhnya (terkendali) terhadap situasi-situasi itu. Dan harus berusaha menyesuaikan kegiatan/tindakan, mencapai kemajuan ke arah tujuan yang ditetapkan, di samping menyadari bahwa hasil-hasil yang akan diperoleh itu juga dipengaruhi oleh banyak faktor dan kekuatan.

    Walaupun begitu, teori sistem yang diterapkan dalam analisis organisasi ini juga mempunyai keterbatasannya. Hal ini disebabkan oleh tahap-tahap perkembangannya yang masih muda. Untuk mengatasi hal itu, para penyokongnya harus turun ke lapangan dalam rangka memperluas penggunaannya secara konkret dan operasional.


     

    1. Contingency

    Sebelumnya teoritisi (ahli-ahli organisasi) memandang, bahwa prinsip-prinsip organisasi dan manajemen telah muncul secara universal. Namun, penelitian empiris yang dilaksanakan selama dua puluh tahun terakhir ini membuktikan bahwa rancangan organisasi secara optimal bergantung pada banyak faktor, baik yang ada di dalam maupun luar organisasi. Oleh karena itu, hasil-hasil pemikiran kontemporer sesungguhnya menganjurkan pendekatan kontigensi ini dalam mendesain suatu organisasi. Dan ini membutuhkan suatu tindakan penilaian terhadap banyak kekuatan atau pendorong yang saling berinteraksi apabila membangun dan mengopensikan suatu organisasi.

    Organisasi menurut pandangan kontigensi ini bukanlah beroperasi dalam suasana vacum, melainkan berada dalam situasi yang lebih kompleks dan menghadapi banyak faktor baik yang bersifat mendorong maupun menghambat yang kesemuanya harus dipertimbangkan cara matang, guna kesuksesan organisasi sendiri.

    1. Prinsip-Prinsip Organisasi

    Untuk dapat menciptakan dan menggerakkan suatu organisasi secara berhasil, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut.

    1. Perumusan tujuan secara jelas. Tujuan menjadi hal mendasar dalam organisasi. Tanpa tujuan, organisasi ibarat kapal yang berlayar tanpa arah, sehingga mudah terombang ambing oleh ombak atau ketidaktentuan.
    2. Setelah tujuan ditetapkan secara tegas, anggota kelompok harus benar-benar memahami dan menjiwai tujuan yang akan dicapai itu. Dengan dipahaminya tujuan-tujuan organisasi dengan baik, maka akan memungkinkan mereka memperoleh pedoman dalam bekerja dan menilai hasil yang telah dicapai. Di samping itu para bawahan dapat bertindak dengan penuh kesadaran, bukan karena terpaksa atau tanpa tujuan.
    3. Adanya pembagian kerja sedemikian rupa. yang dilakukan atas dasar perbedaan kemampuan dan minat anggota organisasi. Tetapi juga harus terkoordinasi dengan baik agar tidak terjadi bekerja sendiri-sendiri tanpa memperhatikan tujuan sebenarnya yang akan dicapai.
    4. Pelimpahan wewenang harus sesuai dengan tanggung jawab.
    5. Penetapan hirarkhi wewenang dari atas sampai ke bawah harus dilakukan secara tegas agar dapat memberikan gambaran pola hubungan kerja yang perlu dipelihara.
    6. Kesatuan arah. Maksudnya semua kegiatan semua sumber yang digunakan dalam organisasi harus mengarah pada tujuan yang sama.
    7. Adanya kesatuan perintah (unity of command). Setiap anggota kelompok hanya memiliki satu pimpinan atau atasan langsung, kepada siapa ia menerima perintah, memberikan laporan dan mempertanggungjawabkan kegiatannya.
    8. Batas kemampuan pengawasan (span of control).


     

    Span of control menggambarkan batas kemampuan seorang pemimpin secara langsung dalam mengawasi bawahannya dengan baik. Karena begitu banyaknya kemungkinan bawahan yang harus diawasi, pemimpin organisasi perlu mengenal karakter mereka dan mengembangkan strategi dasar kepengawasan efektif. Hal ini sangat diperlukan mengingat semakin kompleks dan besar jumlah anggota organisasi, maka transaksi hubungan antar staf dan pimpinan cenderung bertambah besar juga sebagaimana digambarkan pada bagian lain tulisan ini.

    1. Struktur organisasi harus disusun sesederhana mungkin, sesuai dengan kebutuhan yang nyata (Middlewood and Bush, 2005).
    2. Pola dasar organisasi harus relatif permanen. Walaupun fleksibilitas organisasi memang perlu untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan. namun janganlah dijadikan suatu hal yang prinsip. Selama tidak ada hal-hal yang sifatnya memaksa, maka pola dasar organisasi itu hendaknya tidak perlu diubah-ubah.


       

    1. Fungsi-fungsi organisasi
      1. mengatur tugas dan kegiatan kerja sama sebaik-baiknya.
      2. mencegah kelambatan-kelambatan kerja serta kesulitan yang dihadapi.
      3. mencegah kesimpangsiuran kerja.
      4. menentukan pedoman-pedoman kerja.


       

    2. Keutungan-keuntungan organisasi

          Organisasi yang baik memberikan keuntungan sebagai berikut:

      1. setiap orang akan mengerti tugasnya masing-masing,
      2. memperjelas hubungan kerja para anggota organisasi.
      3. terdapat koordinasi yang tepat antar unit kerja.
      4. menggunakan tenaga kerja sesuai dengan kemampuan dan minat.
      5. agar kegiatan administrasi dan manajemen dapat dilakukan secara efektif dan efisiensi.


       

    3. Teori Hubungan Kerja dan Batas Kemampuan Pengawasan

    Seberapa besar jumlah bawahan yang dapat dikendalikan oleh seorang manajer, tidak dapat ditentukan secara pasti. karena amat tergantung pada faktor subyektif dan obyektif. Dalam menentukan berapa jumlah bawahan yang sebaiknya bagi seorang pemimpin. perlu diperhatikan teori hubungan kerja. Seorang pemimpin sebenarnya tidak hanya mengawasi hubungan kerja antara dia dan bawahannya. tetapi juga harus menguasai hubungan kerja antara sesama bawahannya. Graicunas dalam Puxty (1990) menyatakan hal penting dalam sebuah span of control (rentang pengawasan) adalah jumlah hubungan yang terbentuk dalam lingkup span of control tersebut. O'Shaughnessy, 1976 dalam Puxty (1990) menunjukkan bagaimana jumlah hubungan itu muncul dalam 3 (tiga) bagian. Katakan seorang supervisor

    memiliki 2 (dua) orang bawahan, maka:

    1. dia akan memiliki 1 hubungan kepada masing-masing bawahan.
    2. dia akan memiliki 1 hubungan yang secara potensial berbeda dengan 1) manakala ada bawahan lain yang hadir.
    3. para bawahan akan memiliki 1 hubungan dengan sesama bawahan.

    Untuk sebuah kelompok yang terdiri dari 1 pengawas dan 2 bawahan, maka akan ada 6 (enam) hubungan. Ketika span of control meningkat maka jumlah hubungan potensial juga akan bertambah secara dramatis, dan dapat ditemukan dengan formula sebagai berikut.

    N [ 2N + N – 1]

    2

    Sehingga apabila ada 4 orang bawahan berarti akan menjadi 44 hubungan; 7 orang bawahan menjadi 490 hubungan; dan 10 bawahan akan berjumlah 5210 hubungan. Tentu saja hasil model perhitungan ini bukanlah menyarankan bahwa semua jumlah hubungan itu penting diwujudkan; tetapi harus diakui bahwa secara potensial ada, dan hal ini menimbulkan keraguan-keraguan serius tentang span of control yang lebih besar. Implikasi ukuran span of control itu dapat dilihat pada gambar di bawah ini


    Gambar 2.1. Span of control


     

    Dari kedua bentuk struktur organisasi tersebut tergambar bahwa sebuah span of control yang sempit berarti organisasi itu harus memiliki sejumlah besar hirarkhi, yakni jenjang antara direksi dan pekerja (taskforce). Kedua faktor tersebut harus selalu berkaitan, dan oleh karenanya banyak yang mempermasalahkan. Sebagaimana tergambar pada bagan sejumlah argumen telah dipresentasikan untuk menegaskan bahwa dengan span of control yang lebar maka persoalan-persoalan hubungan antar anggota akan muncul dengan cepat, sehingga tidak mungkin bagi seorang manajer mampu meng-handle sekelompok bawahan dengan jumlah yangh besar. Namun jika jumlah itu terbatas, maka jumlah penjenjangan (level) juga bertambah, dan karenanya tidak akan direkomendasikan juga sebab dapat meningkatkan alienasi hirarkhi pada level bawahan, mempertajam jurang manajemen puncak dengan hirarkhi di bawahnya. Manajemen pada level menengah juga merasa terputus dari keputusan-keputusan utama. Semakin banyak hirarkhi, berarti akan semakin besar kemungkinan distorsi informasi dan instruksi ketika diturunkan ke bawahan. Dan pada akhirnya, semakin banyak hirarkhi, maka akan semakin panjang pula rantai promosi yang harus dilewati oleh seorang manajer atau dia harus menempuh waktu panjang kalau ingin mendapatkan kesempatan promosi jabatan.


     


     

    BAB III

    TEKNIK PENGORGANISASIAN (ORGANIZING)


     

    Organisasi sebenamya merupakan suatu unit yang terkoordinasi terbentuk dari sedikitnya 2 (dua) orang anggota untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (Gibson, Ivancevich, Donnelly, and Konopaske, 2006). Tanpa adanya ikatan demikian tak mungkin suatu organisasi muncul. Untuk itu, paling tidak setiap kelompok manusia yang akan mengorganisir sesuatu harus lebih dulu menetapkan sasaran atau tujuan, mengelompokan kegiatan atau tugas-tugas pokok, dan menetapkan pola hubungan kerja antara anggota yang terlibat dalam suatu organisasi. Prinsip ini berlaku baik di lapangan pemerintah maupun swasta, dunia bisnis, politik, layanan kemasyarakatan, dan bagi lembaga-lembaga pendidikan. Sesuai dengan Undang-Undang R.I. nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus memenuhi standard nasional pendidikan yang mencakup antara lain aspek manajemen, termasuk di dalamnya masalah organisasi sekolah.

    Secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 50 ayat (3) ditetapkan tentang struktur organisasi sekolah, misalnya pada satuan pendidikan setingkat SMA/MA/SMALB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat secara struktural satuan pendidikan tersebut dipimpin oleh kepala satuan pendidikan dalam melaksanakan tugasnya dibantu minimal oleh tiga wakil kepala satuan pendidikan yang masing-masing secara berturut-turut, membidangi akademik, sarana, dan prasarana, serta kesiswaan.

    Hal terakhir ini akan menjadi landasan pokok pengorganisasian sekolah di Indonesia.


     

    1. Pengorganisasian sebagai proses.

    Pengorganisasian sebagai proses menunjuk pada rangkaian kegiatan yang menghidupkan suatu struktur organisasi tertentu (Gibson, Ivancevich, Donnelly, and Konopaske, 2006 : Champoux, J.E. 2003.), dan diterapkan dengan mempertimbangkan 4 (empat) faktor yakni: pertama, struktur organisasi harus merefleksikan tujuan-tujuan dan rancangan sebab aktivitas-aktivitas organisasi justru bersumber dari kedua aspek ini. Kedua, struktur itu hendaknya memberikan gambaran garis kekuasaan para manajer organisasi, dan hal ini bergantung pada tipe dan jenis organisasi. Ketiga, seperti halnya perencanaan, struktur organisasi harus merefleksikan lingkungannya baik yang menyangkut ekonomi, teknologi, politik, sosial, maupun etik sehingga tidak akan bertentangan dengan ke semua faktor ini. Struktur organisasi harus dapat membantu kelompok/individu mencapai tujuan secara efisien di dalam situasi mendatang yang berubah-ubah. Tentu saja ia tidak boleh statis dan mekanis. Keempat, organisasi harus diisi dengan tenaga manusia. Pengelompokkan kegiatan dan pembagian kekuasaan yang terlihat pada struktur organisasi disesuaikan dengan kebiasaan dan batas kemampuan seseorang. Hal ini bukan berarti struktur organisasi itu dirancang untuk memenuhi perbedaan individual setiap personel, melainkan difokuskan pada tujuan-tujuan dan aktivitas organisasional. Suatu pertimbangan penting dalam merancang sebuah organisasi adalah jenis orang-orang yang akan dipekerjakan. Sebagaimana para insinyur mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan jenis material yang akan dipergunakan dalam proyek-proyek mereka, begitu pula para organisator mempertimbangkan bahan-bahan mereka yakni orang-orang.

    Setelah memperhatikan sejumlah prinsip proses pengorganisasian itu, baru penyelenggara organisasi itu memulai kegiatannya secara sistematis, yaitu:

    1. Mengidentifikasi dan mengelompokan sejumlah aktivitas yang diinginkan.
    2. Mengelompokan aktivitas menurut sumber dan situasi yang ada.
    3. Mendelegasikan kekuasaan pada anggota tertentu.
    4. Mengadakan koordinasi kekuasaan (wewenang) dan hubungan informasi.

    Proses demikian mengisyaratkan bahwa tahap-tahap pengorganisasian dimulai atas dasar tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada langkah perencanaan. Pada diagram berikut terlihat aktivitas pengorganisasian bermula dari tahap no. 3-6. Langkah 1 dan 2 dilakukan pada kegiatan perencanaan, sementara langkah ke 7, 8 dan 9 termasuk pada tahap pelaksanaan aktivitas administrasi dan manajemen (ketenagaan, kepemimpinan, dan pengawasan).



     

    Gambar 3.1. Proses Pengorganisasian

     

        Pada sumber lain, proses pengorganisasian digambarkan lebih sederhana sebagaimana dikemukakan oleh Gordon, Mondy, Sharplin, and Premeaux, 1990 sebagai berikut:


    Gambar 3.2. Proses pengorganisasian


     

    1. Struktur Organisasi

    Organisasi pada hakikatnya mengandung struktur. Kegiatan yang dilaksanakan harus dikelompokkan menurut jenis tipe ke dalam bentuk divisi, departemen-departemen, seksi-seksi unit-unit. Begitu juga, pekerjaan-pekerjaan organisasi harus dikelompokkan menurut tingkatan yang berbeda-beda; oleh sebab itu, hierarki manajerial harus dibatasi dan ditetapkan. Alat-alat harus pula disebarkan guna menciptakan koordinasi dan integritas anggota kelompok beserta aktivitas mereka.


     

    1. Pengelompokkan aktivitas berdasarkan jenisnya.

    Ada 5 (lima) cara utama dalam mengelompokkan aktivitas-aktivitas kerja, yaitu (a) menurut fungsi, (b) lokasi atau daerah geografis, (c) produk, (d) langganan atau klien, dan (e) jumlah individu. (Beach. 1980)


     

    1. Menurut fungsi.

    Pengelompokkan aktivitas menurut pekerjaan yang sama, pengetahuan, keterampilan dan orientasi tertentu sangat luas dipergunakan di departemen-departemen. Cara ini dilakukan baik untuk "pekerjaan pikir" maupun jenis-jenis kegiatan pekerjaan tangan. Oleh sebab itu, misalnya sering terlihat, para insinyur mesin dikelompokkan ke dalam suatu departemen permesinan (engineering
    department). Personel yang ahli perlistrikkan ditempatkan dalam seksi elektrik, demikian seterusnya. Bagaimana keuntungan dan kelemahan jenis pengelompokkan demikian, dapat dilihat pada tipe organisasi "fungsional ".


     

    1. Lokasi dan daerah geografis.

    Tidaklah sukar untuk memahami cara pengelompokkan demikian, lebih-lebih kalau dihubungkan dengan organisasi-organisasi Depdiknas yang ada di Indonesia misalnya. Alasan pokok penggunaan cara tersebut adalah untuk memberikan layanan langsung kepada individu atau kelompok yang membutuhkan di daerah tertentu. Untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap propinsi, misalnya, maka Depdiknaas pusat mempunyai kantor cabangnya di setiap propinsi. Begitu juga, untuk memberikan pelayanan administratif ke seluruh pelosok, maka di tingkat kecamatan pun dibangun kantor-kantor cabang yang disebut dengan Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten dan Kota.


     

    1. Produk.

    Metode ini lebih umum dipakai di lingkungan perusahaan seperti pabrik -pabrik. Akhir-akhir ini, dunia industri Amerika cenderung menggunakan metode tersebut. Pada mulanya perusahaan-perusahaan diorganisir menurut fungsi tertentu, tetapi ketika banyak menghadapi masalah koordinasi dan integritas usaha yang semakin sulit, maka mereka mulai menerapkan pembagian kerja menurut "produk" yang dihasilkan dan di dalamnya dibagi-bagi berdasarkan fungsi masing-masing unit. Sebagai contoh, dapat dilihat perusahaan listrik terkenal Amerika General Electric Company, mempunyai ratusan departemen yang dibagi menurut produksi yang dihasilkan antara lain Departemen "Oock and Timer", "Power Transformer", "Large Lamp", dan lain-lain.


     

    1. Pelanggan atau klien.

    Sebenarnya juga lebih umum dipakai di lingkungan bisnis, seperti perusahaan-perusahaan swasta maupun milik pemerintah. Bagian penjualan misalnya mungkin dapat dikelompokan ke dalam biro-biro pemerintah, industri, privat. Unit-unit sebuah bank misalnya dapat dispesialisasikan ke dalam departemen-departemen yang lebih kecil seperti untuk usaha simpan pinjam (cicilan) dan departemen untuk kepentingan komersial. Metode tersebut mungkin akan memperoleh keuntungan yang sangat besar apabila sebelumnya sudah diidentifikasi sejumlah kebutuhan pokok yang dimiliki oleh setiap lapangan atau klien.

    1. Jumlah individu.


    Ini sering ditemui di lingkungan militer. Para personel yang terdaftar misalnya dikelompokan menurut skwod, pleton, batalion, dan sejenisnya. Teknik pengelompokan demikian ditempuh guna memudahkan pelaksanaan pengawasan secara efektif.

    Dengan mempelajari teknik-tekmik pengelompokan tersebut, kita memandang setiap organisasi sebenarnya jarang sekali menggunakan salah satu teknik secara murni. Melainkan, cenderung menerapkan cara pengelompokan kombinasi. Dan manakala pengaruh lingkungan dan teknologi merembes ke organisasi, maka cara demikian mungkin berubah dari model yang satu ke mode lain.


     

    1. Mengelompokan aktivitas menurut tingkatan manajemen.

    Pengelompokan merupakan bentuk spesialisai tersebut. Semua jenis pekerjaan yang bersifat teknis mungkin membentuk suatu tingkat hirarkhi organisasi yang paling rendah (bottom level). Sedangkan pekerjaan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan teknis dikelompokan ke tingkat mandor, gang leader, supervisory management, operational management atau lower management. Dalam bahasa sehari-hari disebut dengan manajemen tingkat bawahan. Lebih tinggi lagi, untuk pekerjaan yang berhubungan dengan pengawasan dan koordinasi terhadap kegiatan-kegiatan departemental biasanya menempati tingkat manajemen menengh (middle management) seperti Kepala Bagian kepala Bidang yang ada di lingkungan Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten dan Kota. Untuk kegiatan yang berkenaan dengan pembuatan kebijakan dan pengarahan secara umum yang mengikat seluruh organisasi diserahkan pada tingkat manajemen puncak. Orang-orang yang menduduki posisi tertinggi ini biasa disebut sebagai direktur, administrator, dan pemimpin. Secara hirarkhis dapat digambarkan seperti di bawah ini.


     


    Gambar 3.3. Contoh pembagian tingkatan manajemen dalam struktur organisasi


     

    Pada bagian berikut dapat pula dilihat contoh struktur organisasi yang menunjukkan aneka macam fungsi di berbagai unit, tingkatan manajemen dan jalur-jalur kekuasaan secara formal. Unit-unit di dalamnya meliputi mulai dari Dewan Pimpinan (Board of Directors) sampai dengan para pengawas atau mandor (foreman). Walaupun contoh ini diangkat dari lapangan bisnis atau industri, namun pada prinsipnya dapat digunakan sumber analisis struktur lain, misalnya yang diterapkan di lembaga pendidikan.


     

    1. Langkah-Langkah Pengorganisasian

    Pada dasarnya kegiatan pengorganisasian sebagai proses dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) langkah pokok sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Namun untuk kepentingan operasional bisa dikembangkan lagi lebih terperinci, yakni :

    1. Penentuan tujuan
    2. Perumusan tugas pokok
    3. Perincian kegiatan.
    4. Perincian fungsi.
    5. Pengelompokan fungsi ke dalam seksi-seksi yang lebih spesifik.
    6. Pengadaan staf (staffing).
    7. Penyusunan prosedur dan tata kerja.
    8. Penetapan pola hubungan kerja.
    9. Penyediaan sarana/perlengkapan.
    10. Perwujudan program.


       

    1. Penentuan Tujuan

    Tujuan merupakan dasar bagi penyusunan organisasi. Melalui tujuan, dapat diperkirakan tentang tipe, susunan, corak maupun ukuran besar kecilnya organisasi. Oleh sebab itu para anggota hendaknya lebih dulu merumuskan tujuan-tujuan organisasi secara jelas, lengkap dan rasional. Tujuan-tujuan itu diambil dari rumusan yang telah dibuat pada tahap perencanaan, yakni antara lain memuat tentang hal-hal apa, mengapa, dan bagaimana kegiatan organisasi itu dilaksanakan.


     

    1. Perumusan Tugas Pokok

    Untuk mencapai suatu tujuan organisasi memiliki sejumlah tugas pokok (misi) yang harus dijalankan secara sistematis. Segenap tugas pokok yang dirumuskan harus diorientasikan pada uasaha pencapaian tujuan, dan disesuaikan pada batas kemampuan, waktu dan fasilitas yang tersedia. Prinsip ini perlu dipegang agar tugas pokok (misi) yang diemban itu dapat direalisasikan secara efektif dan efisien (Newton, 2006).


     

    1. Perincian Kegiatan

    Setelah tugas pokok dirumuskan, perlu diperinci lagi menjadi sejumlah kegiatan praktis/operasional, yang dapat mendukung pelaksanaan misi dan tugas pokok organisasi. Untuk memperoleh suatu rumusan yang memenuhi syarat, para anggota organisasi harus berusaha menjawab pertanyaan: "Kegiatan-kegiatan apa saja yang perlu dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pokok?". Langkah ketiga ini harus dilakukan secara lengkap dan benar-benar terperinci. Di samping itu, suatu rumusan hendaknya didasarkan pada skala prioritas kepentingan, mana yang pokok dan mana yang merupakan penunjang. Sehingga segenap kegiatan yang Diselenggarakan dapat memenuhi tuntutan organisasi dan lingkungannya secara memuaskan.


     

    1. Perincian kegiatan ke dalam fungsi-fungsi

    Kegiatan-kegiatan yang telah terperinci itu pada dasarnya masih terlalu banyak dan heterogen. Di antaranya ada yung saling berhubungan dan ada pula yang tidak. Untuk itu perlu dikelompokkan lagi menurut aneka kegiatan yang homogen, yang hasilnya akan membuahkan apa yang lazim disebut dengan "fungsi". Fungsi di sini diberi batasan sebagai kelompok kegiatan yang homogen dalam arti antara kegiatan satu dan lainnya terdapat hubungan yang erat. Untuk membedakan mana yang menjadi tujuan organisasi, tugas pokok. kegiatan dan fungsi tersebut dapat diberikan contoh konkret sebagai berikut.

    1. Tujuan ideal suatu organisasi. misalnya dalam lingkungan SMTA:
  • mendidik siswa menjadi manusia pembangunan sebagai WNI yang berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945, berpengetahuan dan
  • menyiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi.
  • menyiapkan siswa untuk terjun ke dunia kerja.
  1. Untuk merealisasikan tujuan di atas, SMTA sebagai suatu organisasi satuan pendidikan memiliki sejumlah tugas pokok, antara lain:
  • melaksanakan pendidikan dan pengajaran
  • melaksanakan administrasi dan supervisi pendidikan
  • dan pembinaan siswa.
  1. Kegiatan-kegiatan yang perlu diselenggarakan untuk memenuhi tugas-tugas pokok itu. antara lain adalah:
  • menyusun program tahunan sekolah. bulanan dan catur wulan
  • mengelola proses belajar mengajar,
  • pengisian buku untuk murid,
  • mengatur buku-buku pelajaran siswa dan peralatan kelas,
  • mengatur pemeliharaan gedung dan sarana fisik sekolah,
  • mengatur penerimaan keuangan sekolah,
  • mempertanggungjawabkan keuangan,
  • pengelompokan siswa,
  • kepenasihatan pemilihan program studi,
  • mengatur siswa yang mengadakan mutasi,
  • inventarisasi personalia sekolah,
  • merencanakan formasi guru, pembagian tugas dan beban kerja guru,
  • mengatur pengangkatan, kenaikan pangkat dan mutasi guru,
  • mengadakan evaluasi bclajar tahap akhir,
  • laporan kenaikan kelas/kemajuan belajar siswa.
  1. Kegiatan-kegiatan di atas sebenarnya masih terlalu banyak dan beraneka ragam serta heterogen. Untuk memudahkan penyelenggaraannya, perlu dikelompokan lagi ke dalam fungsi-fungsi tcrtentu secara differensial. Umpama: kegiatan-kegiatan penyusunan program tahunan dapat dikelompokan ke dalam fungsi perencanaan pendidikan dan pengajaran sekolah. Pengelolaan kegiatan pembelajaran (KBM) dan pelaksanaan evaluasi dipusatkan pada fungsi pendidikan dan pengajaran sekolah. Kegiatan-kegiatan pengaturan buku-buku pe1ajaran siswa, pemeliharaan gedung dan perlengkapan sekolah dikelompokan ke da1am fungsi "administrasi' perlengkapan". Demikian seterusnya sampai diperolehnya suatu rumusan kegiatan/ fungsi yang spesifik dan homogen.


 

  1. Pengelompokkan fungsi ke dalam seksi-seksi yang lebih khusus

Istilah lain dari langkah kelima ini adalah "departementasi", sebagai proses penerapan fungsi-fungsi menjadi unit-unit kecil organisasi sesuai prinsip-prinsip organisasi yang telah dikemukakan sebe1umnya.

Satuan-satuan organisasi yang dimaksud dapat terdiri dari: biro, bagian, seksi, bidang, divisi, dan sebagainya. Proses diferensiasi menurut unit-unit yang lebih kecil ini dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal. Yang pertama didasarkan pada penyebaran fungsi secara definitif, tanpa membedakan hierarki struktural. Sedangkan yang kedua (vertikal) penyebaran fungsi itu di samping secara spesifik, juga dilihat hierarki strukturalnya secara linear dari atas ke bawah atau sebaliknya.

Secara horizontal misalnya dapat dilihat adanya pengelompokan fungsi pendidikan dan pengajaran ke dalam bidang pengajaran, dan secara vertikal biasanya dipimpin oleh wakil kepala sekolah yang mengurusi bidang pengajaran sebagaimana tergambar pada bagan struktur organisasi SMA. Contoh lain, dalam diferensiasi fungsi administrasi perlengkapan dijelmakan menjadi unit satuan organisasi perlengkapan. Secara vertikal unit perlengkapan ini dipimpin oleh Wakil Kepala Sekolah urusan sarana dan prasarana, yang bertanggung jawab langsung pada kepala sekolah.


 

  1. Pengadaan staf (Staffing)

Secara filosofis, manusia merupakan unsur terpenting dalam suatu organisasi. Tanpa manusia, tak mungkin organisasi lahir. Organisasi yang terbentuk dari kelompok/kerja sama, mempersyaratkan adanya dua orang manusia atau lebih yang secara sadar bersatu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan unsur-unsur lainnya yang memiliki suatu organisasi, seperti uang, materi, mesin-mesin, waktu, dan sebagainya - hanya dapat memberi manfaat jika manusia yang ada dalam organisasi itu menjadi pembangun, dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain, manusia sebenarnya bisa menjadi faktor penunjang dan bisa pula sebagai penghalang bagi kelangsungan organisasi.

Bagaimana memperoleh tenaga atau manusia organisasi yang konstruktif itu? adalah merupakan sebuah pertanyaan yang perlu di jawab melalui kegiatan pengadaan orang atau anggota organisasi, sesuai dengan prinsip administrasi dan manajemen.

Pengadaan tenaga mencakup kegiatan-kegiatan berikut:

  1. Perencanaan ketenagaan,
  2. Penarikan tenaga yang dibutuhkan,
  3. Seleksi ketenagaan untuk menentukan mana yang paling sesuai dengan kebutuhan organisasi atau punya kualifikasi.
  4. Penempatan tenaga,
  5. Pelaksanaan kompensasi seperti: pemberian upah, balas jasa, jaminan sosial sesuai dengan kadar karya tenaga yang bersangkutan.
  6. Pembinaan tenaga melalui pendidikan dan latihan-latihan.
  7. Pemberhentian.

Prinsip pokok yang perlu dipegang dalam proses pengadaan staf organisasi adalah: penempatan orang yang tepat, sesuai dengan kemampuan, minat dan kesukaan masing-masing terhadap tugas-tugas yang akan dihadapi. Ungkapan yang sering digunakan untuk mewakili prinsip ini adalah: "the right man on the right place". Hal ini perlu diwujudkan dalam usaha memperoleh tenaga secara selektif, guna mengisi segenap formasi yang tersedia dalam satuan organisasi. Seleksi dan penempatan personel itu diorientasikan pada dua buah aspek kegiatan, yakni teknis dan manajerial. Semakin tinggi kedudukan yang ditetapkan bagi seseorang, maka semakin besar pula keterampilan manajerial yang dibutuhkannya. Sebaliknya, semakin rendah posisi tenaga yang bersangkutan, maka ia semakin memerlukan lebih banyak keterampilan teknis.


 

  1. Penyusunan prosedur dan tata kerja

Untuk melaksanakan setiap fungsi atau satuan organisasi yang ditetapkan itu, perlu ditempuh melalui cara-cara tertentu. Misalnya seksi atau bidang pengajaran di SMTA memiliki prosedur kerja sebagai berikut :

  1. Mengkaji isi kurikulum sekolah,
  2. Merumuskan program pengajaran,
  3. Membagi tugas dan beban kerja mengajar guru.

Untuk melaksanakan kegiatan di bidang perencanaan, misalnya, ditempuh melalui prosedur tertentu, antara lain :

  1. Mengadakan penelitian, pengumpulan data,
  2. Berdasarkan data yang terkumpul, maka disusunlah rencana dan program organisasi,
  3. Melaksanakan monitoring pelaksanaan program.

Secara garis besar, dengan demikian dapat dirumuskan bahwa prosedur berusaha menjawab persoalan bagaimana kegiatan itu dijalankan? Jawaban harus mengarah pada siapa yang melakukan kegiatan? Dan apakah kegiatan yang telah dilimpahkan pada seseorang? Kepada siapakah personel itu dapat melakukan hubungan kerja sama? Dan kepada siapa ia bertanggung jawab? Selain itu, prosedur biasanya dilengkapi juga dengan sejumlah teknik atau metode kerja, yakni suatu proses pengaturan teknik terbaik untuk melaksanakan segenap aktivitas yang terdapat dalam organisasi.


 

  1. Penetapan Struktur Organisasi dan pola hubungan kerja

Struktur organisasi merujuk pada pola formal hubungan antar anggota dalam organisasi.. Gambar suatu struktur organisasi dapat menyatakan cara atau mekanisme para anggota dalam berhubungan satu sama lain guna mencapai tujuan-tujuan organisasi (Middlewood and Bush, 2005), dan secara langsung menggambarkan secara formal tentang peranan kekuasaan, relationship dan posisi para anggota dalam organisasi. Sehingga suatu strutur organisasi yang sudah terbentuk berarti sudah mencakup di dalamnya bagan organisasi, komite atau satgas, departemen, peranan, dan level hirarkhi dan kekuasaan. Bagaimana pola hubungan kerja yang sebenarnya? banyak tergantung pada jenis organisasi mana yang digunakan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Apa yang sudah tergambar dalam susunan dan organisasi itu harus dipegang dan direalisir secara konsisten, sehingga terwujud suatu usaha yang terpadu dalam mencapai sasaran yang diinginkan.

Tujuan pembuatan struktur organisasi meliputi, antara lain:

  1. Meraih suatu tingkat prestasi kerja yang efisien dan ekonomis
  2. Memudahkan tindakan monitoring terhadap aktivitas organisasi
  3. Menentukan tingkat "accountability" bagi bidang-bidang pekerjaan yang dilaksanakan oleh kelompok dan individu.
  4. Mengkoordinir bagian-bagian yang berbeda-beda dalam suatu organisasi
  5. Fleksibilitas dalam menanggapi tuntutan-tuntutan dan pengembangan-pengembangan di masa akan datang, dan di dalam menyesuaikan diri dengan pengaruh lingkungan yang terus berubah.
  6. Meraih kepuasan sosial bagi orang-orang yang bekerja di dalam organisasi (Middlewood and Bush, 2005),

Suatu ciri mendasar keberadaan struktur oprganisasi adalah adanya penekanan pada hirarkhi. Organisasi-organisasi selalu terpotret secara vertikal, atau piramid. Penerapan hirarkhi dalam sebuah struktur organisasi dapat mengacu pada 4 (empat) tingkatan status atau posisi:

  1. Pimpinan (head)
  2. Pembantu pimpinan (deputy head)
  3. Staf profesional yang lain (other professional staff)
  4. Administrator (bursars or administrators)
  5. (Middlewood and Bush, 2005),


     

  1. Penyediaan sarana/ perlengkapan

Sarana merupakan salah satu unsur dalam proses penyelenggaraan kerja sama sekelompok manusia mencapai tujuannya. Oleh karenanya ia merupakan prasyarat berdirinya administrasi dan manajemen sebagai suatu proses. Untuk menunjang kelancaran kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan, maka sarana/perlengkapan perlu disediakan dalam suatu organisasi.

Memang ada pihak tertentu yang mengatakan bahwa sarana sebenarnya bukan merupakan prasyarat bagi kelangsungan administrasi, dan ia berfungsi hanya sebagai penunjang. Walaupun demikian ada pendapat lain yang memandang sarana dan prasarana sebenarnya menjadi salah satu unsur yang menentukan lahirnya kegiatan administrasi dan manajemen (lihat kembali uraian mengenai konsep administrasi dan manajemen).

Agar sarana yang disediakan itu benar-benar menunjang kelancaran kegiatan organisasi, maka perlu diperhitungkan tentang sifat tujuan yang hendak dicapai, jumlah orang yang terlibat atau membutuhkan sarana prasarana, dan ruang lingkup kegiatan. Semakin sederhana tujuan yang ingin dicapai serta semakin sederhana kegiatan yang hendak dilaksanakan, semakin sederhana pula peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Dan begitu juga bila jumlah personel organisasinya sedikit, peralatan yang diperlukan pun semakin kecil pula.

Yang terakhir, bahwa distribusi sarana terhadap segenap satuan organisasi harus dilakukan secara merata sesuai dengan kadar keperluan satuan yang bersangkutan.


 

  1. Pelaksanaan program

Pada tahap akhir, pemimpin bersama seluruh stafnya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan dan diorganisir sebelumnya. Segenap kegiatan yang sudah dirinci bagi satuan-satuan organisasi diselenggarakan secara kontinu, dengan berorientasi pada tujuan yang ditetapkan dan koordinasi secara integral. Kelancaran perwujudan program sangat didukung oleh motivasi dan kontrol yang dijalankan pimpinan organisasi.


 

  1. Bentuk-Bentuk (Tipe) Organisasi

Secara umum terdapat berbagai macam bentuk atau tipe organisasi yang dapat digunakan dalam teknik pengorganisasian, antara lain:


 

  1. Lini.

Bentuk lini sering pula dinamakan bentuk "lurus", "jalur" dan "militer". Bentuk ini mula-mula diperkenalkan oleh seorang ahli administrasi berkebangsaan Perancis. Henry Fayol. Lini dipandang sebagai bentuk yang paling tua dan dipergunakan secara luas pada masa perkembangan industri pertama, kemudian banyak dipergunakan di lingkungan militer dan perusahaan-perusahaan kecil.


 

  1. Ciri-ciri Lini:
    1. Garis komando langsung dari atasan ke bawahan atau dari pimpinan tertinggi ke berbagai tingkat operasional.
    2. Masing-masing pekerja bertanggungjawab penuh terhadap semua kegiatannya.
    3. Otoritas dan tanggungjawab tertinggi pada puncak makin lama makin berkurang menurut penjenjangan jabatan dalam organisasi.
    4. Organisasinya kecil, begitu pula karyawannya sedikit.
    5. Hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan bersifat langsung.
    6. Tujuan, alat-alat yang digunakan dan struktur organisasinya masih sederhana.
    7. Pemilik organisasi biasanya menjadi pimpinan tertinggi


       

  2. Keuntungan organisasi yang berbentuk Lini:
    1. Kekuasaan dan tanggung jawab dapat ditetapkan secara definitif.
    2. Orang yang mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab diketahui oleh semua pihak.
    3. Proses pengambilan keputusan berjalan dengan cepat, karena jumlah orang yang perlu diajak berembuk tidak begitu banyak.
    4. Disiplin mudah dipertahankan.
    5. Solidaritas para anggota masih besar, karena masih saling kenal mengenal.
    6. Tersedianya kesempatan yang baik bagi pimpinan organisasi untuk mengembangkan bakat-bakat pemimpin.
  3. Kekurangan-kekurangan bentuk lini:
    1. Para anggota kurang mendapatkan kesempatan dalam penetapan kebijakan dan tujuan organisasi.
    2. Kecenderungan pimpinan bertindak otoriter
    3. Kreativitas anggota kurang mendapatkan kesempatan untuk berkembang
    4. Kesempatan para anggota untuk mengembangkan kemampuan mereka sangat
    5. terbatas
    6. Keberlangsungan roda organisasi banyak tergantung pada pimpinan semata


       

  4. Lini dan Staf

Di dalam organisasi-organisasi tipe kecil, semua karyawan supervisor adalah merupakan orang-orang lini (line personnel). Tetapi ketika organisasi mulai membesar dan semakin kompleks, maka semakin terasa pentingnya penyediaan tenaga spesialis yang mampu memberikan nasihat-nasihat teknis dan jasa-jasa kepada unit-unit operasional lainnya. Orang-orang inilah yang biasanya disebut "staf personnel" (anggota organisasi atau unit yang melaksanakan fungsi-fungsi staf. Anggota staf ini dapat digolongkan menjadi dua, yakni: (l) para penasihat dan (2) "auxilliary personnel" yang bertugas melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendukung kelancaran mekanisme organisasi.


 

  1. Ciri-ciri pokok:
    1. Organisasinya besar dan kompleks;
    2. Jumlah karyawannya banyak
    3. Terdapat dua kelompok karyawan (lini dan staf) sebagaimana dijelaskan di atas.
    4. Karena organisasi sudah semakin besar/kompleks, maka hubungan langsung di sini sudah tidak mungkin lagi terjadi antar anggota maupun antara pemimpin dan bawahan.
    5. Nampak adanya spesialisasi yang dikembangkan dipergunakan secara optimal.


       

  2. Kelebihan-kelebihan bnentuk lini dan staf:
    1. Adanya pembagian tugas yang jelas antara kelompok yang melaksanakan tugas pokok organisasi, dan kelompok staf yang melaksanakan kegiatan penunjang.
    2. Asas spesialisasi dapat dijalankan menurut bakat bawaan yang berbeda-beda.
    3. Prinsip "the right man in the right place" dapat diterapkan dengan mudah.
    4. Koordinasi mudah dijalankan dalam setiap unit kegiatan
    5. Dapat dipergunakan o1eh organisasi-organisasi yang lebih besar/kompleks.


       

  3. Kekurangan-kekurangannya:
    1. Pemimpin lini sering mengabaikan advis staf.
    2. Pimpinan staf sering mengabaikan gagasan-gagasan.
    3. Ada kemungkinan pimpinan staf melampaui kewenangan stafnya.
    4. Perintah-perintah lini, nasihat-nasihat dan perintah-perintah staf sering agak membingungkan anggota. Hal ini dapat terjadi, karena kedua jenis hierarki ini tidak selalu seirama dalam memandang sesuatu. Meskipun terdapat kelemahan-kelemahan organisasi tipe lini dan staf ini, namun untuk organisasi yang semakin kompleks seperti dewasa ini lebih cenderung menggunakan bentuk lini dan staf.


     

  4. Bentuk Fungsional

Organisasi fungsional adalah suatu organisasi di mana kekuasaan dari pimpinan dilimpahkan kepada para pejabat yang memimpin satuan-satuan di bawahnya dalam suatu bidang pekerjaan tertentu. Tiap-tiap kepala dari satuan ini mempunyai kekuasaan untuk memerintah semua pejabat bawahan sepanjang mengenai bidangnya (The Liang Gie, 1981). Ciri lain dari organisasi demikian tidak terlalu menekankan pada hierarki struktural, akan tetap lebih banyak didasarkan pada sifat dan macarn fungsi yang harus dijalankan. Sebenamya bentuk ini tidak populer, dan kebanyakan hanya dipergunakan dalam lingkungan usaha swasta seperti toko serba ada, dan yang sejenisnya.


 

  1. Kelebihan bentuk fungsional:
    1. Ada pembagian yang tegas antara kerja pikir dan fisik
    2. Dapat dicapai spesialisasi yang baik.
    3. Solidaritas antar anggota yang menjalankan fungsi yang sama umumnya tinggi.
    4. Moral serta disiplin kerja tinggi.
    5. Koordinasi antara orang-orang yang ada dalam satu fungsi mudah dijalankan.

    

  1. Kelemahan bentuk fungsional:
    1. Rotasi tugas sulit dilakukan, karena harus disesuaikan dengan ketersediaan tenaga dalam bidang keahlian tertentu.
    2. Koordinasi yang bersifat menyeluruh sukar diadakan, karena para karyawan cenderung mementingkan posisinya dalam unit fungsional tertentu.
    3. Inisiatif perorangan sulit disalurkan karena sudah dibatasi pada suatu fungsi.


     

  2. Organisasi Tipe Panitia

Bentuk organisasi ini adalah suatu tipe di mana pimpinan dan para pelaksana diorganisasikan dalarn kelompok-kelompok yang bersifat kepanitiaan. Maksudnya, pada tingkat pimpinan, keseluruhan unsur pimpinan menjadi panitia dan para pelaksana dibagi ke dalam kelompok-kelompok yang disebut dengan "task force" atau satuan tugas.


 

a.     Ciri-cirinya:

  1. Struktur organisasinya tidak begitu kompleks. Biasanya hanya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, ketua seksi dan para petugas
  2. Struktur organisasinya relatif tidak permanen. Organisasi tipe panitia hanya dipakai sewaktu-waktu ada kegiatan khusus (proyek-proyek tertentu), dan setelah kegiatan-kegiatan itu selesai, maka panitia dibubarkan.
  3. Tugas kepemimpinan dilaksanakan secara kolektif
  4. Semua anggota pimpinan mempunyai hak, wewenang dan tanggung jawab yang sama.
  5. Para pelaksana dikelompokkan menurut tugas-tugas tertentu dalam bentuk satuan tugas (task force).


 

b.     Kelebihan-kelebihannya:

  1. Keputusan yang diambil selalu berhasil dengan baik dan tepat, karena sudah dibicarakan secara kolektif.
  2. Kemungkinan penggunaan kekuasaan secara berlebihan oleh pimpinan kecil sekali.
  3. Usaha kerja sama bawahan mudah dilaksanakan.


     

  1. Kelemahan-kelemahannya:
    1. Proses pengambilan keputusan agak lambat karena segala sesuatunya harus dibicarakan lebih dulu dengan para anggota organisasi.
    2. Apabila ada kemacetan kerja, tak seorang pun yang mau diminta pertanggungjawabannya melebihi dari yang lain.
    3. Para pelaksana sering dibingungkan dengan adanya berbagai perintah yang datang beberapa pimpinan.
    4. Kreativitas nampaknya sukar dikembangkan, karena pelaksanaan didasarkan pada kolektivitas.


 

Dari berbagai bentuk organisasi itu, setelah menganalisis kebaikan dan kekurangan masing-masing, kita tentu sependapat bahwa tipe "Lini dan Staf" sebenamya lebih cocok diterapkan bagi organisasi-organisasi yang berkembang pesat dewasa ini. Semakin kompleks organisasi itu, semakin besar pula sebenarnya tingkat spesialisasi yang dibutuhkan. Namun demikian, bukan berarti dengan adanya spesialisasi itu justru mengabaikan kreativitas dan usaha kerja sama anggota kelompok. Melainkan, bahwa kedua aspek ini tetap dipertahankan dengan mengadakan koordinasi secara efektif. Bagaimana wujud konkret bentuk-bentuk organisasi itu, dapat dipelajari melalui contoh-contoh berikut ini:


Keterangan :

Garis komando terbentang lurus dari pimpinan (direktur) melalui Ketua Divisi dan Kasubag


 


Gambar 3.4. Organisasi Lini pada Struktur Lembaga Pendidikan

Sesuai dengan ciri-cirinya, bentuk organisasi ini hanya tepat kalau diterapkan pada organisasi yang berskala kecil atau belum begitu kompleks. Seperti digambarkan di atas, adalah wujud penggunaannya pada sebuah lembaga pendidikan yang kecil baik dari segi jumlah tenaga maupun hasil yang akan dicapai.


Gambar 3.5. Organisasi tipe Lini dan Staf di Depdiknas Kota/Kabupaten


 


 


Gambar 3.6. Contoh Struktur Organisasi Berbentuk Lini dan Staf di SMTA:

Keterangan:

Pada gambar 4 dan 5 terlihat bahwa kekuasaan pimpinan dilimpahkan langsung ke para pembantu pimpinan yang memimpin satuan tugas di bawahnya, dan dibantu oleh staf seperti Kabag, Sekretaris atau yang setingkat dan berada langsung di bawah garis pimpinan, tetapi tidak memiliki garis komando pada unit di bawahnya, melainkan hanya memberikan bantuan berupa layanan admisitratif dan teknis.

 


Gambar 3.7. Contoh Organisasi bentuk fungsional


 


Gambar 3.8. Contoh Organisasi bentuk fungsional


 

Keterangan:

Nampak di sini, bahwa kekuasaan dari pimpinan dilimpahkan kepada para pejabat yang memimpin satuan-satuan di bawahnya (menurut contoh seperti: para manajer dan proyek A sampai dengan D). Sepintas terlihat pada organisasi fungsional ini tidak mementingkan hirarkhi struktural, tetapi lebih banyak didasarkan pada sifat dan macam fungsi yang harus dijalankan. Hal ini dapat dilihat pada bagan yang menunjukkan garis kekuasaan setiap pejabat atasan untuk memerintah para pejabatnya di bawahnya tanpa memperhatikan pada seksi mana mereka berada. Tiap-tiap kepala dari satuan organisasi berhak memerintah semua pejabat di bawahnya sepanjang mengenai bidangnnya (mempunyai kesamaan fungsi).


 


Gambar 3.9.
Contoh Organisasi bentuk panitia.


 

Keterangan:

a.     Pada bagan di atas nampak bahwa pimpinan organisasi adalah personil A, B, C dan D (secara kolektif sesuai dengan ciri pokoknya).

b.    Sedangkan ketua panitianya adalah A.


 

Selain tipe organisasi-organisasi yang telah dikemukakan itu, masih ada jenis yang terbentuk dari berbagai tipe organisasi (gabungan). Bentuk organisasi gabungan ini dapat terjadi, misalnya antara lini dan fungsi, atau dapat pula perpaduan antara ketiga bentuk seperti lini, fungsional dan staf. Di samping itu apabila fungsi staf penasihat dihilangkan, menjadi lini dan fungsional. Secara visual dapat dipelajari pada gambar berikut ini

Gambar 9.
Contoh Organisasi bentuk Lini dan Fungsional

  1. Bentuk Organisasi Proyek dan Matrik

Berbagai tipe struktur organisasi seperti lini, lini dan staf, dan fungsional adalah merupakan pendekatan-pendekatan tradisional yang digunakan dalam penyusunan organisasi. Tujuan utama bentuk-bentuk organisasi demikian adalah menciptakan dan mendistribusikan garis kekuasaan untuk mengkordinasikan dan mengontrol perusahaan dengan lebhih menekankan hubungan vertikal daripada horisontal. Namun dalam banyak pengalaman organisasi-organisasi besar, sesungguhnya kecenderungan pekerjaan itu mengalir tergantung pada distribusi bakat dan kemampuan sumber daya manusia atau anggota organisasi dan kebutuhan perusahaan untuk mengggunakan sumber daya manusia tersebut dalam rangka menghadapi permasalahan organisasi yang muncul. Bentuk-bentuk organisasi yang telah hadir untuk mengatasi tantangan tersebut adalah dikenal dengan organisasi proyek atau organisasi matriks (project and matrix organization).


 

  1. Apakah Organisasi Proyek itu?

Organisasi proyek (project organization) merupakan bentuk organisasi yang dirancang secara temporer untuk menyelesaikan pekerjaan secara spesifik dengan menggunakan kelompok kerja spesialis yang diambilkan dari bidang-bidang fungsional organisasi (Gordon, Mondy, Sharplin, and Premeaux, 1990). Tim ini memusatkan energi dan ketrampilan-ketrampilan dalam menangani proyek yang telah ditugaskan. Ketika proyek khusus itu selesai, tim pelaksana proyek biasanya dibubarkan, dan parta personil yang terlibat ditugaskan kembali ke dalam posisi-poisisi reguler di dalam organisasi atau dilimpahkan ke pada proyek-proyek baru lainnya. Banyak perusahaan-perusahaan dan biro pemerintahan yang telah menerapkan tim kerja model "organisasi proyek" guna memusatkan usaha-usaha pada proyek khusus yang ditugaskan, seperti proyek pengembangan produk teknologi baru atau pembangunan gedung baru.

NASA menjadi contoh yang paling terkenal menerapkan model organisasi demikian. NASA telah membuktikan keberhasilannya berulangkali menggunakan model organisasi proyek tersebut hingga terjadinya kecelakaan peluncuran Chalenger 1986.

Gambar 10 memperlihatkan bagaimana model organisasi proyek ini dibangun menyatu dengan organisasi yang ada. Para personil ditugaskan dalam suatu proyek yang berasal dari organisasi induk itu sendiri dan mereka berada di bawah pimpinan dan kendali manajer proyek. Manajer proyek menentukan secara spesifik usaha-usaha apa yang diperlukan dan kanap pekerjaan itu dilaksanakan, sementara para manajer departemen boleh memutuskan siapa di antara bawahan unit mereka yang akan ditugaskan dan bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan. Departemen-departemen yang ada dalam organisasi induk merupakan sumber tersedianya tenaga proyek yang akan diperlukan seperti departemen engineering, produksi, pembelian, personalia, dan riset dan pengembangan. Seperti terlihat dalam gambar, kekuasaan terhadap keempat anggota tim proyek dipegang bersama oleh manajer proyek dan manajer fungsional yang terkait dalam organisasi permanen. Keempat tenaga spesialis misalnya, mereka bekerja atas dasar dipinjam oleh proyek tertentu dan hanya menghabiskan sebagian waktu kerja mereka untuk proyek itu. Adanya pembagian kekuasaan kedua jenis manajer (manajer fungsional dan manajer proyek) menjadi pemicu munculnya pertanyaan krusial terhadap struktur organisasi proyek. Bahwa konflik kemungkinan akan terjadi antara manajer proyek dengan para manajer fungsional dari dalam organisasi permanenen tersebut. Garis kekuasaan akan selalu overlap, terutama manakala masing-masing berpandangan bahwa segala persoalan atau bidang pekerjkaan dapat diselesaikan oleh departemen dan proyek.

Para manajer proyek dan pimpinan departemen sering terpaksa menggunakan cara-cara tertentu untuk menyelesaikan tugas-tugas di luar kekuasaan formal. Hubungan-hubungan informal menjadi lebih penting daripada ketentuan-ketentuan kekuasaan formal.Di dalam banyak kejadian konflik, perselisihan, maka diskusi dan kopnsensus sangat diperlukan ketimbang tindakan ancaman maupun hukuman. Proses komunikasi secara bebas dan penuh sangat diperlukan oleh para pelaku proyek tanpa harus memperhatikan hirarkhi formal. Perhatian lebih banyak justru diberikan kepada peranan dan kompetensi anggota proyek daripada jenjang-jenjang kekuasaan formal.


 




 

Gambar 3.10. Organisasi Manajemen Proyek/Matriks


 


 

 

  1. Apakah Organisasi Matriks itu?

Organisasi matriks (matrix organization) merupakan bentuk organisasi yang secara permanen dirancang untuk mencapai hasil-hasil pekerjaan spesifik dengan menggunakan anggot-anggota tim sepesialis yang diambilkan dari bidang-bidang fungsional organisasi. Para spesialis ini dipekerjakan apabila organisasi menganggap sangat penting dalam rangka merespon kebutuhan lingkungan organisasi yang berubah dengan cepat (Gordon, Mondy, Sharplin, and Premeaux, 1990). Perusahaan-perusahaan yang sudah banyak menerapkan bentuk organisasi ini ditemukan misalnya di dunia industri seperti perbankan, kimia, komputer, dan listrik. Meskipun demikian, bentuk morganisasi demikian sangat membutuhkan mekanisme koordinasi yang efektif untuk menghindari pengaruh negatif adanya dualisme kekuasaan di dalam organisasi.

Di dalam organisasi matriks, terdapat manajer-manajer fungsional dan produksi. Para manajer fungsional bertanggungjawab terhadap penyediaan sumber daya-sumber daya khusus yang diperlukan seperti produksi, kendali mutu, pendataan, penjadwalan, dan penjualan. Para manajer produksi bertanggungjawab terhadap satu (1) atau lebih jenis-jenis produksi yang dihasilkan dan diberikewenangan untuk menyiapkan strategi produksi dan mengundang para manajer fungsional untuk mendapatkan sumber daya-sumber daya yang diperlukan. Apabila struktur organisasi perusahaan itu berubah menjadi organisasi matriks, maka para manajer fungsional harus menyadari bahwa kekuasaan mereka akan berkurang dan harus mau menempatkan posisi terkadang di bawah kekuasaan manajer produksi, yang memiliki anggaran untuk pengadaan kebutuhan internal. Kenyataannya memang terlihat bahwa organisasi matriks yang sesungguhnya mengisyaratkan bahwa manajer proyek dan manajer lini memiliki kekuasaan yang sama.

Manajemen matriks kadang-kadang dibedakan dengan manajemen proyek, namun ciri-ciri utama yang mendasari bentuk matriks ini sama dengan organisasi proyek (Puxty, 1990), dan kita tidak akan berusaha membedakannya. Manajemen proyek diperlakukan sebagai salah satu jenis manajemen matriks.

Meskipun ada keterbatasan, efektivitas konsep manajemen proyek dan matriks menunjukkan bahwa orang-orang dapat bekerja untuk dua orang manajer atau lebih, dan para manajer tersebut secara efektif dapat memberikan pengaruh terhadap para staf yang sebagian berada di dalam linghkup kekuasaan atau komando mereka. Memang ada kemungkinan terjadinya konflik dan frustrasi, namun kesempatan untuk bekerja dengan baik, dan penyelesaian tugas secara efisien terbuka lebar.


 

  1. Penerapan Struktur Pengorganisasian di Departemen Pendidikan Nasional

Dalam rangka melakukan pembinaan di bidang organisasi dan ketatalaksanaan, kegiatan pokok yang dilakukan adalah penataan kelembagaan, ketatalaksanaan dan analisis jabatan, dan evaluasi kinerja organisasi. Di samping itu, dalam rangka otonomi daerah, dilakukan penataan kembali urusan pendidikan yang diserahkan kepada daerah, pemberian fasilitasi dalam pembentukan organisasi pengelola pendidikan di daerah, pernyempurnaan pedoman standar pelayanan minimal, serta penyusunan mekanisme hubungan kerja antara Depdiknas dengan unit pengelola pendidikan di daerah dan instansi terkait.


 

  1. Kelembagaan

Kebijakan di bidang kelembagaan diarahkan pada penataan dan rasionalisasi kelembagaan dalam rangka membentuk organisasi yang efisien, rasional, dan proporsional (rigthsizing) sehingga dapat diwujudkan kelembagaan departemen yang ramping, efektif, efisien, dan responsif terhadap berbagai perubahan.

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan tersebut masih ditemui berbagai kendala dan permasalahan, antara lain masih digunakannya pendekatan struktural dalam pembentukan organisasi; masih terdapat benturan dan tarik-menarik kewenangan baik antarunit organisasi di lingkungan departemen maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu, tantangan yang dihadapi dalam penataan kelembagaan antara lain adalah sangat cepatnya perubahan tuntutan lingkungan strategis seringnya terjadi perubahan kebijakan kelembagaan pemerintah, dan berbagai perubahan kebijakan pemerintahan lainnya yang cukup berdampak pada perubahan kelembagaan di lingkungan departemen.

Sehubungan dengan hal tersebut strategi penataan kelembagaan di lingkungan Depdiknas diarahkan pada penataan unit organisasi di lingkungan departemen yang mencakup unit utama, pusat, perguruan tinggi, kopertis dan unit pelaksana teknis sesuai dengan perkembangan tuntutan dan kebutuhan lingkungan/stakeholder. Untuk itu, kegiatan yang dilakukan meliputi kajian dan evaluasi terhadap unit organisasi dalam rangka pembentukan, penataan dan penutupan organisasi, penyempurnaan tugas dan fungsi, penyusunan rincian tugas unit organisasi serta penyusunan pedoman model-model organisasi pengelola pendidikan di daerah.
Dalam rangka pembentukan, penataan dan penutupan unit organisasi dilakukan berbagai kegiatan kajian yang meliputi studi kelayakan yang mencakup analisis terhadap lingkungan strategis baik internal maupun eksternal, pengukuran beban kerja, serta kajian terhadap visi dan misi serta tugas dan fungsi unit organisasi. Analisis lingkungan strategis diperlukan untuk mendeteksi dan merespon perubahan lingkungan suatu organisasi yang berdampak kepada masa depan, sedangkan beban kerja digunakan untuk menentukan besaran organisasi sesuai dengan beban tugas yang dipikul oleh unit kerja/organisasi yang bersangkutan.
Kajian terhadap visi dan misi serta tugas dan fungsi organisasi diperlukan untuk mengetahui operasionalisasi tugas dan fungsi organisasi tersebut dalam rangka pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan.

Selain kajian terhadap berbagai hal tersebut, dalam pembentukan, penataan, dan penutupan organisasi disusun pula prosedur/mekanisme yang harus dilalui dalam pembentukan, penataan, dan penutupan organisasi tersebut yang menghasilkan pedoman bagi setiap unit organisasi. Penetapan unit organisasi dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi yang berwenang, antara lain Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Keuangan, dan Presiden.

Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 telah dilakukan penataan terhadap organisasi unit utama di lingkungan departemen. Sesuai dengan Peraturan Presiden tersebut, susunan unit organisasi di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional meliputi :

  1. Sekretariat Jenderal, terdiri dari : 5 Biro, 20 Bagian, dan 61 Subbagian;
  2. Inspektorat Jenderal, terdiri dari 4 Inspektorat, 1 Sekretariat Inspektorat Jenderal, 4 Bagian, dan 12 Subbagian;
  3. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, terdiri dari 5 Direktorat, 1 Sekretariat Direktorat Jenderal, 20 Subdirektorat, 40 Seksi, dan 4 Bagian, 17 Subbagian;
  4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, terdiri dari 4 Direktorat, 1 Sekretariat Direktorat Jenderal, 16 Subdirektorat, 32 Seksi, 4 Bagian, dan 16 Subbagian;
  5. Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, terdiri dari 4 Direktorat, 1 Sekretariat Direktorat Jenderal, 16 Subdirektorat, 28 Seksi, 4 Bagian, dan 16 Subbagian;
  6. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, terdiri dari 4 Direktorat, 1 Sekretariat Direktorat Jenderal, 16 Subdirektorat, 32 Seksi, 4 Bagian, dan 16 Subbagian;
  7. Badan Penelitian dan Pengembangan, terdiri dari 4 Pusat, 1 Sekretariat Badan, 12 Bidang, 6 Bagian, dan 6 Subbagian; serta
  8. Pusat-pusat, terdiri dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Pusat Grafika Indonesia, Pusat Perbukuan, Pusat Bahasa, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan, Pusat pengembangan Kualitas Jasmani, dan Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat.

        Struktur Organisasi Departemen Pendidikan Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 adalah sebagai berikut:



 


 

Adapun sistem dan mekanisme pembentukan, penataan, dan penutupan organisasi di lingkungan departemen digambarkan sebagai berikut.


Sumber: Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional 2005

Gambar 3.11. Mekanisme Pembentukan Organissai di lingkungan Departemen


 

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah khususnya desentralisasi penyelenggaraan pendidikan telah disusun pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota di bidang pendidikan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu juga sedang disipakan konsep pedoman pembentukan unit organisasi pengelola pendidikan yang mencakup kriteria dan model-model organisasi.

Adapun penerapan struktur organisasi di satuan pendidikan menengah dapat dirinci kembali tugas dan tanggung jawab masing-masing komponen struktur organisasi sekolah yang digunakan. Pelaksanaan lingkup kegiatan sekolah yang jumlah siswanya besar, dapat menggunakan struktur organisasi secara operasional, seperti terlihat pada gambar 4. Namun bagi sekolah yang sedang dan kecil dapat dilakukan perangkapan dua macam urusan atau lebih oleh wakil kepala sekolah, dengan kata lain disesuaikan dengan kondisi sekolah.


 

  1. Pembagian tugas dan tanggung jawab dalam sebuah strukturorganisasi sekolah di SMTA.

Sesuai dengan struktur organissai sekolah yang diterapkan dalam SMTA/SMU kepala sekolah bertanggung jawab atas kelancaran dan keberhasilan semua urusan pengaturan dan manajemen sekolah secara formal kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota dan Kabupaten. Secara teknis dalam mengelola sekolah Kepala sekolah dibantu oleh seorang atau beberapa wakil kepala sekolah dan Kabag Tata Usaha. Rincian tugas untuk masing-masing komponen organisasi tersebut dapat diihktisarkan sebagai berikut:


 

a.     Wakil Kepala Sekolah Urusan Kesiswaan bertanggung jawab dalam bidangkegiatan:

  1. Perencanaan dan penerimaan siswa baru (PSB)
  2. Pelaksanan kegiatan ektrakurikuler
  3. Pembinaan OSIS
  4. Pembinaan disiplin/tata tertib siswa
  5. Perencanaan dan pelaksanaan pelulusan siswa


     

b.     Wakil Kepala Sekolah urusan kurikulum, bertanggung jawab melaksanakan kegiatan:

  1. Perencanaan pembelajaran
  2. Pembagian tugas mengajar guru
  3. Mengkoordinir pelaksanaan pembelajaran
  4. Monitoring proses pembelajaran
  5. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran
  6. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kokurikuler


     

c.     Wakil Kepala Sekolah urusan sarana prasarana, antara lain bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan:

  1. Perencanaan sarana prasarana
  2. Pengadaan sarana prasarana
  3. Pelaksanaan inventarisasi
  4. Pendayagunaan sarana prasarana
  5. Pelaksanaan pemeliharaan/perawatan sarana prasarana
  6. Pelaksanaan penghapusan sarana prasarana.


 

d.     Wakil Kepala Sekolah urusan humas/ partisipasi masyarakat, antaralain:

  1. Penyusunan rencana/program peningkatan partisipasi masyarakat bersama orang tua siswa dan pengurus/anggota komite sekolah.
  2. Pelaksanaan program peningkatan partisipasi msyarakat
  3. Pendayagunaan sumber daya lingkungan untuk mendukung program peningkatan mutu pendidikan sekolah
  4. Peningkatan pemahaman anggotan masyarkat terhadap program-program pendidikan sekolah melalui media cetak, elektronik dan pertemuan rutin dengan anggota masyarakat.
  5. Monitoring dan evaluasi program peningkatan partisipasi masyarakat


     

e.     Koordinator Bimbingan dan Penyuluhan, antara lain bertugas dalam bidang:

  1. Penyusunan dan penyuluhan bimbingan di sekolah
  2. Koordinasi pelaksanaan kehiatan bimbingan dan penyuluhan
  3. Pelaksanaan bimbingan belajar siswa
  4. Pelaksanaan bimbingan karier
  5. Monitoring dan evaluasi program binbingan dan penyuluhan di sekolah.


 

f.     Kabag Tata Usaha, bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan kesekretariatan/ketatausahaan, antara lain:

  1. Kesiswaan
  2. Personalia
  3. Keuangan
  4. Sarana Prasarana, dan tata laksana kantor, dan
  5. Koperasi sekolah.


     

  1. Analisis jabatan

Kegiatan analisis jabatan merupakan rangkaian kegiatan yang menguraikan data jabatan menjadi informasi jabatan yang mencakup antara lain uraian tugas jabatan, kualifikasi/persyaratan jabatan, kondisi lingkungan kerja, dan informasi lainnya. Informasi jabatan tersebut merupakan pedoman bagi pegawai dalam pelaksanaan tugasnya. Selain itu, informasi jabatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manajemen antara lain dalam penataan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan.

Pemanfaatan informasi jabatan di bidang kelembagaan antara lain meliputi pembentukan dan penyempurnaan organisasi, penyusunan tugas dan fungsi unit, penyusunan rincian tugas unit. Di bidang kepegawaian, informasi jabatan digunakan antara lain untuk penyusunan formasi pegawai, kualifikasi/persyaratan jabatan, penataan/penempatan pegawai, pengembangan jabatan fungsional, pengembangan sistem insentif dan lain-lain. Pemanfaatan di bidang ketatalaksanaan antara lain digunakan untuk penyusunan sistem dan prosedur kerja, penataan sistem kerja dan lain-lain.

Kegiatan analisis jabatan yang dilakukan di lingkungan departemen meliputi antara lain fasilitasi terhadap unit kerja di lingkungan departemen dalam penyelenggaraan analisis jabatan dan analisis beban kerja, evaluasi terhadap laporan hasil analisis jabatan dari unit organisasi di lingkungan departemen, penyusunan informasi jabatan di lingkungan departemen, yang meliputi klasifikasi jabatan, penyusunan kualifikasi/persyaratan jabatan struktural dan fungsional umum (nonstruktural) serta penyusunan kamus jabatan.


 

  1. Ketatalaksanaan Organisasi

Kebijakan di bidang ketatalaksanaan diarahkan pada pemantapan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi; penyederhanaan sistem dan prosedur kerja, menumbuhkan perilaku aparatur menuju budaya kerja yang produktif, transparan, efisien, efektif, dan disiplin; serta peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Sejalan dengan kebijakan tersebut, kegiatan pokok yang dilakukan di bidang ketatalaksanaan antara lain penyusunan sistem dan prosedur kerja baik intern departemen maupun mekanisme hubungan kerja dengan unit kerja terkait di luar departemen. Sistem dan prosedur kerja ini menggambarkan keterkaitan antara unit kerja satu dengan yang lainnya serta merupakan sarana untuk meningkatkan koordinasi dan keterpaduan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing unit kerja. Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, telah disusun pedoman pelayanan publik serta indeks kepuasaan pelanggan di bidang pendidikan.


 

  1. Evaluasi Kinerja Organisasi

Evaluasi kinerja organisasi dilakukan terhadap seluruh unit kerja di lingkungan departemen. Evaluasi ini dilakukan untuk menilai akuntabilitas kinerja yang dilihat dari keberhasilan atau kegagalan unit kerja dalam melaksanakan program dan kegiatan yang telah direncanakan. Adapun kegiatan yang dilakukan antara lain adalah penyusunan pedoman akuntabilitas kinerja, pengembangan indikator kinerja, evaluasi laporan akuntabilitas kinerja unit kerja di lingkungan Depdiknas serta fasilitasi penyusunan laporan akuntabilitas kinerja kepada unit kerja yang membutuhkan.

Setiap unit kerja di lingkungan Depdiknas mulai dari unit terendah diwajibkan menyusun laporan akuntabilitas kinerja sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan, dan secara berjenjang melaporkan kepada unit kerja atasannya. Selanjutnya laporan tersebut dievaluasi dan disusun menjadi laporan akuntabilitas kinerja departemen untuk dilaporkan/disampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan program dan kegiatan departemen.

BAB IV

KEPALA SEKOLAH SEBAGAI ORGANISATOR


 

  1. Kecenderungan dan Kebijakan Pengorganisasian Pendidikan

Berdarsarkan kajian historis organisasi yang cukup panjang, ditemukan 4 (empat) kecenderungan yang terjadi di lingkungan organisasi sekolah. Kecenderungan tersebut meliputi (1) wujud sekolah sudah berubah, dengan kecenderungan dewasa ini lebih menekankan kepada teknologi, (2) ketersediaan sumber ketenagaan guru menyusul kondisi ekonomi masyarakat. (3) sekolah-sekolah seperti halnya masyarakat lebih bervariasi, dan (4) pengaruh globalisasi yang mampu membawa dunia ke dalam sebuah ruang kelas (Reinhartz and Beach, 2004).

Sebagai seorang manajer, kepala sekolah perlu mewawas pendekatan dan strategi global sebagai suatu tuntutan untuk dapat mengelola sebuah organisasi yang memiliki berbagai karakter sumber daya manusia (Gibson, Ivancebvich, Donnelly Jr., and Konopaske, 2006) Di samping itu secara nasional kepala sekolah perlu menguasai kebijakan-kebijakan pendidikan nasional yang melandasi pembentukan organisasi sekolah, Seperti dengan kehadiran Undang-Undang R.I. nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35, maupun Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 50 ayat (3) telah ditetapkan standard tentang manajemen pendidikan, termasuk di dalamnya struktur organisasi sekolah sebagai lembaga pendidikan


 

  1. Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Organisasi

Memimpin sebuah organisasi sekolah yang produktif berarti mengetahui dan memahami perilaku individu di dalam organisasi sekolah tempat kerja para guru dan seluruh staf yang terlibat, dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan organisasi sekolah. Peranan utama kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi (organizational leader) adalah mengerahkan seluruh staf sekolah bekerja sama sebagai sebuah team untuk melaksanakan program pertumbuhan dan peningkatan bagi seluruh siswa agar secara akademik berhasil. Sehubungan dengan itu, tantangan utama kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi adalah bagaimana dia dapat memadukan antara kepentingan organisasi sekolah dan berbagai potensi, minat dan bakat para anggotanya sebagai asset sekolah demi kemajuan sekolah (Reinhartz and Beach, 2004)

Untuk mendukung kesuksesan seorang kepala sekolah dalam memimpin organisasi sekolahnya, berikut penyusun memperkenalkan secara garis besar tentang bagaimana proses kelompok di dalam organisasi pendidikan, peran dan teknik kepala sekolah dalam mnembangun team kerja, pengembangan kelompok, dan strategi peningkatan efektivitas kelompok di dalam organisasi sekolah.


 

  1. Perilaku Keanggotan Organisasi Sekolah

Untuk memahami sepenuhnya tentang perilaku organisasi kependidikan di sebuah orgamnisasi sekolah, para kepala sekolah tidak dapat hanya memusatkan perhatian pada perorangan guru dalam bekerja secara individual, tetapi juga harus memahami dengan seksama bagaimana para guru bekerja dalam kelompok demikian maupun sekolah. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih tentang dinamika perilaku organisasi yang sedemikian kompleks, Greenberg dan Baron, 2000 menyarankan bahwa para pemimpin perlu memfokuskan perhatian pada 3 level yang berbeda: individu, kelompok, dan organisasi.

Seperti organisasi pada umumnya anggota organisasi sekolah mempunyai perilaku tertentu sebagaimana semangat dan perasaan para guru satu sama lain memberikan dampak dan perbedaan tertentu didalam pelaksanaan tugas mereka di kelas. Hal ini menjadi isu penting bagi pencapaian misi sekolah. Jika para guru tersebut memiliki sikap positip, menghargai pekerjaan/profesi mereka, mempunyai motivasi kerja yang baik, dan mendapatka rasa keamanan dalam bekerja, maka diyakini akan mampu meningkatkan efektivitas sekolah. Dengan demikian para Kepala sekolah berupaya menerapkan berbagai teknik motivasi para guru dalam rangka menumbuhkan perilaku positif guru dalam berorganisasi.

Pengembangan kemampuan memimpin organisasi sekolah membutuhkan suatu strategi penciptaan hubungan baik antara kepala sekolah dengan para guru. Kepemimpinan organisasi pembelajaran seperti halnya sekolah harus dilakukan melalui proses pemahaman sivitas akademik dengan baik. Kepemimpinan adalah merupakan pekerjaan profesional bagi siapapun yang dipercaya menjadi kepala sekolah (Lambert, 2002). Para kepala sekolah perlu menyediakan suatu lingkungan kerja bagi para guru yang memungkinkan mereka bisa bekerja sebagai team, kolaboratif, untuk membangun komunitas pembelajaran yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip kepercayaan, kerjasama, hasil penelitian dan teknologi.


 

  1. Membangun Kelompok Kerja dan Tim di dalam Organisasi Sekolah

Adanya kelompok kerja para guru, staf, orang tua dan para siswa adalah menjadi kunci utama keberhasilan organisasi sekolah. Kelompok-kelompok ini berinteraksi baik di dalam team kerja formal maupun informal, dan susunan tim tersebut sering dibentuk untk sepanjang tahun sesuai dengan prioritas tugas dan perubahan waktu.(Reinhartz and Beach, 2006).

Berbagai contoh kelompok-kelompok yang dibentuk dapat berwujud satuan tugas, panitia, paguyuban, tim pelaksana dan sejenisnya, baik secara formal maupun informal dalam mendukung pelaksanaan program-program sekolah. Pelaksanaan penelitian tindakan, studi lapangan, observasi, pelaksanaan penerimaan siswa baru, kunjungan wisata, dan lain-lain dapat diorganisir dalam bentuk satuan-satuan tugas atau tim.

Untuk membangun dan mempertahankan kelompok-kelompok kerja disekolah para kepala sekolah memiliki peranan untuk terus berupaya meningkatkan kolaborasi dan kerjasama antar anggota kelompok dan pemimpin. Pada saat kelompok-kelompok tersebut bekerja, kepala sekolah sebagai organisator perlu memahami bahwa masing-masing anggota diasumsikan menjalankan peran yang berbeda, mengikuti aturan-aturan dan norma yang berlaku, dan memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam rangka menyelesaikan tugas masing-masing. Konfigurasi kelompok secara dinamis dapat dirubah sesuai kebutuhan dimana masing-masing anggota (bisa para guru) ditunjuk sebagai pemimpin kelompok. Konflik mungkin akan terjadi karena adanya persaingan antar anggota kelompok disebabkan adanya perbedaan peranan dan pendapat. Pemimpin kelompok dalam hal ini harus menjadi rudder untuk melayani dan sekaligus mendorong para anggota untuk terus memfokuskan perhatian dan komitmen mereka terhadap agenda kerja dan tugas. Oleh sebab itu sebelum pembentukan kelompok-kelompok itu sebaiknya para pemimpin kelompok perlu menetapkan aturan-aturan dasar kerja bersama para anggota agar pelaksanaan peran dan tugas masing-masing anggota dapat berjalan dengan baik. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena semua itu juga menjadi bagian proses sosial kelompok, yang meliputi cohesiveness, conformity, cooperation dan competition. Proses sosial ini akan menentukan perilaku kelompok mengkoordinasikan aktifitas kelompok dan mendorong adanya tindakan yang dilakuakan oleh para anggota kelompok. (Riggio,2000)

Norma-norma yang berlaku dalam organisasi sekolah adalah merupakan media yang cukup kuat untuk membentuk perilaku anggota organisasi sekolah, khususnya pada situasi pertemuan-pertemuan kelompok maupun acara-acara rapat disekolah. Dengan demikian para pemimpin sekolah harus mampu membangun norma-norma sekolah dengan cara konstruktif guna membantu sekolah mencapai keberhasilan akademik untuk semua siswa. Kohesifitas kelompok merupakan suatu keadaan dimana para guru dapat bekerja sama dengan baik karena mereka saling kenal satu sama lain dan bersedia bekerjasama; kohesifitas dihubungan dengan kepuasan anggota dalam bekerja. Bisa juga dianggap sebagai keadaan para guru tertarik untuk bekerja secara kelompok, memiliki tanggung jawab personal dalam melaksanakan tugas, dan bekerja sama secara kolaboratif untuk mencapai tujuan sekolah. Untuk meningkatkan kohesifitas atau kekompakan tersebut, para kepala sekolah harus mampu mendorong para guru agar mereka menyadari sebagai bagian dari tim atau kelompok. Salah satu cara yang dapat dilakukaan adalah mengembangkan sistem informasi yang baik di mana masing-masing anggota dapat mengakses informasi secara terbuka melalui proses sharing informasi secara informal, sehingga akan tumbuh adanya perasaan memiliki satu sama lainnya. Kepala sekolah, dengan demikian, perlu bekerja membangun budaya sekolah (school culture) yang mampu menumbuhkan komitmen bersama dalam mencapai tujuan utama sekolah.

Bekerja di dalam sebuah tim, komite, dan kelompok bukanlah sekedar situasi di mana para guru mencari dan melakukan perkerjaan menurut keinginan mereka, melainkan kepala sekolah lebih dulu berusaha secara terencana membangun struktur organisasi dan memberikan penghargaan-penghargaan guna mendorong para anggotanya untuk bekerja di dalam tim sesuai dengan permasalahan yang dihadapi bersama.

Pengembangan kelompok dapat dilakukan melalui 5 (lima) tahapan yakni, forming, storming, norming, perfoming dan adjuorning. Pada tahap forming, para anggota kelompok harus mengenal satu sama lain dan menciptakan aturan-aturan dasar kelompok dalam rangka melaksakanan tugas organusasi maupun mekanisme hubungan-hubungan antar pribadi sesuai dengan struktur organisasi yang telah digambarkan. Langkah ini akan lengkap apabila para anggota sudah sampai kepada suatu keyakinan bahwa mereka menjadi bagian dari kelompok. Para pemimpin sekolah perlu memberikan kesempatan kepada segenap komponen kelompok untuk duduk bersama dan bersedia menjadikan dirinya sebagai bagian dari kelompok. Pada langkah storming ditandai adanya ketegangan dan konflik di dalam kelompok karena para anggota masih sulit menerima pemimpin baru mereka.Melalui keterbukaan dan ketulusan yang ditunjukan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin kelompok yang baru atau yang dipercaya menjadi pemimpin kelompok, maka konflik tersebut dapat dikurangi. Tahap selanjutkan adalah pembentukan norma kelompok (norming) untuk memungkinkan terjalinya hubungan yang erat dan penuh pengertian melalui adanya pengaturan/tata cara bekerja dalam menyelesaikan tugas-tugas demi tercapainya tujuan sekolah. Tahap performing akan terjadi manakala para anggota kelompok di sekolah sudah mulai melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan tujuan kurikulum (program sekolah). Para anggota berusaha bekerja memfokuskan langkah-langkah mereka sesuai dengan visi dan misi sekolah agar tujuan tercapai secara berhasil. Tahap terakhir, adjourning, akan terjadi manakala kelompok telah menyelesaikan tugas-tugasnya dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Sumber lain (Gersick dalam Beach and Reinhartz, 2006) mengetengahkan sebuah pandangan yang berbeda tentang pembenntukan dan berfungsinya kelompok yang dikenal dengan istilah puncuated requilibrium model (periksa gambar 1).


Gambar 4.1. Puncuated equlibrium model


 

Ketika kelompok-kelompok terbentuk, fokus perhatian mereka yang pertama adalah pada tugas atau tujuan yang telah ditetapkan. Pada tahap ini kelompok memasuki tahapan suasana yang disebut inertia, dan hal ini harus diatasi agar para anggota mampu bekerja secara penuh untuk mencapai tujuan. Selanjutnya kelompok akan melakukan semua usaha (all-out) manakala deadline waktu penyelesaian tugas sudah dekat. Gambar tersebut mengisyaratkan parameter waktu penyelesaian tugas sebagai faktor sensitif dan pengaruh deadline waktu pada kelompok.


 

  1. Strategi Peningkatan Efektivitas Kelompok

Sebagai pemimpin organisasi, kepala sekolah perlu menguasai strategi peningkatan efektivitas kelompok. Kohn (2002) memperkenalkan 4 (empat) strategi untuk meningkatkan interaksi dan diskusi di dalam kelompok. Strategi itu meliputi brainstorming, dot voting, round robin, dan six points of view. Brainstorming melibatkan

para anggota kelompok dalam mengkaji sejumlah pendapat atau solusi sebanyak mungkin dikaitkan dengan suatu topik permasalahan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan berbagai masukan sebagai bahan pertimbangan, bukan menentukan kualitas suatu pendapat. Dot voting merupakan strategi yang dapat digunakan untuk mengakses pemikiran-pemikiran kelompok secara cepat, untuk menemukan kesamaan pendapat dan prioritas pemecahan masalah begitu alternatif solusi disepakati. Secara teknis hal ini dapat diupayakan dengan meminta masing-masing anggota kelompok memegang 2-3 potong stiker warna dan menempelkannya pada jenis-jenois alternatif solusi yang merekan anggap paling tepat. Variasi lain dot voting adalah dengan memerintahkan masing-masing anggota untuk memberi tanda merah pada jenis pendapat dan solusi yang yang tidak disepakati. Model ini akan menjadi alat yang efektif untuk memudahkan pimpinan kelompok membuat peta (mapping) daerah solusi yang disetujui dan tidak disetujui.

Di dalam strategi round robin, para anggota kelompok diminta memberikan jawaban singkat terhadap sebuahj pertanyaan terbuka, seperti: "dari bahan-bahan yang telah didiskusikan itu, apakah yang dipandang mampu mengembangkan prestasi belajar siswa di dalam kemampuan menulis?" atau "Pesan apakah yang dperoleh dari diskusi itu yang Anda anggap dapat di terapkan di dalam kelas untuk masa akan datang?" Begitu anggota kelompok memberikan responnya, sejumlah informasi yang muncul perlu digenerasikan ketika masing-masing guru misal,nya saling bertukar pikiran. Dalam strategi terakhir, six point of view para anggota diminta mendiskusikan suatu masalah atau issu dari 6 sudut pandang: siswa, orang tua, guru, standard nasional, pelaksana ujian nasional, dan administrator atau pemimpin. Proses kelompok membantu para anggota untuk memngkaji suatu issu dari berbagai sudut pandang, sehingga dapat dihasilkan suatu keputusan solusi yang terbaik.


 

  1. Proses Pengambilan Keputusan yang Efektif di dalam Organisasi Sekolah

Membuat keputusan adalah merupakan bagian pekerjaan organisasi yang harus dilakukan oleh seorang kepala sekolah setiap saat. Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu pilihan dari sejumlah alternatif. Terkadang perbedaan antar alternatif kurang begitu jelas, namun keputusan pilihan harus dibuat. Paara kepala sekolah dan guru barangkali setiap harinya akan banyak melakukan tindakan pengambilan keputusan. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh kepala sekolah akan berdampak pada semua siswa, guru-guru, dan staf sekolah. Dampak tersebut akan dialami terutama dalam bidang apa yang harus diajarkan kepada para siswa. bagaimana cara guru mengajar, dan mengelola kelas. Budaya sekolah dan efektivitas kelompok dapat ditingkatkan melalui kualitas proses pengambilan keputusan, sebagaimana dinyatakan oleh Snowden dan Gorton (2002), bahwa kemampuan pengambilan keputusan yang efektif sangat penting bagi keberhasilan seorang administrator sekolah.

Pengambilan keputusan adalah merupakan fungsi utama para kepala sekolah, dan mereka memerlukan kemampuan melaksanakan fungsi ini apabila menginginkan keberhasilan bagi para siswa dan dewan guru. Botvin (2000) menterjemahkan pengambilan keputusan sebagai "tindakan menentukan pendapat". Di dalam membuat keputusan seorang pemimpin harus (1) mencari informasi, (2) mengantisipasi konsekuensi, (3) bertindak penuh integritas dan menggunkan etika, dan (4) memperkecil kemungkinan munculnya aspek-aspek negatif. Green mengatakan bahwa membuat keputusan yang baik adalah "… kontingent dengan haikat situasi dan proses yang dilakukan oleh sang pimpinan". Pengambilan keputusan dengan demikian, merupakan proses menentukan suatu pilihan yang didasarkan pada informasi yang tersedia, alternatif yang diajukan, nilai-nilai yang dianut, dan hasil yang diharapkan. Kualitas pengambilan keputusan dipengaruhi oleh sejumlah pilihan solusi yang tersedia, proses yang dilalui, dan hakikat keputusan itu sendiri. Model umum pengambilan keputusan sebagai suatu proses adalah apendekatan analisis masalah, yakni:

  1. Mengidentifikasi masalah
  2. Menentukan hasil yang diinginkan
  3. Menjajaki kemungkinan alternatif
  4. Menganalisis dan menilai alternatif
  5. Membuat dan menerapkan pilihan alternatif
  6. Menindaklanjuti sesuai hasil yang diharapkan


 

Langkah-langkah di atas merupakan prosedur penting yang perlu diperhatikan oleh seorang kepala sekolah dalam proses pengambilan keputusan, namun tidak harus secara saklek diterapkan untuk semua situasi.

Bagaimana sesungguhnya gaya seorang kepala sekolah dalam proses pengambilan keputusan, dapat digambarkan menjadi 4 (empat) model, yakni: directive style, bahwa kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi lebih suka membuat keputusan-keputusan sederhana, solusi-solusi yang jelas dan cenderung dibuat secara cepat dengan mengikuti protokol dan aturan yang ada dan hanya didasarkan pada sedikit informasi maupuin alternatif. Dengan Analytical style, pemimpin organisasi biasanya ,mengambil keputusan secara hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai alternatif pemecahan masalah dan berusaha menggunakan sebanyak mungkin data atau informasi guna menemukan alternatif solusi terbaik. Para pemimpin yang menerapkan model conceptual style melakukan proses pengambilan keputusan berorientasi pada kepentingan sosial dan oleh karenanya pendekatan mereka dipandang lebih artistik dan humanistik dalam upaya menemukan alternatif pemecahan secara lebih luas dan kreatif. Adapun padsa gaya ke 4, behavioural style, sang pimpinan berupaya mengambil keputusan dengan
memperhatikan sisi manusia dan organisasi serta dalam konteks membantu para anggota memecahkan masalah. Mereka biasanya sangat terbuka terhadap berbagai kritik dan saran pemecahan masalah, dasn berusaha mengambil keputusan atas dasar persetujuan bersama.

Kepala sekolah akan dihadapkan pada situasi, di mana dia harus mengambil keputusan setiap saat. Jenis keputusan yang diambil. Beberapa keputusan mungkin sifatnya rutin, sementara lainnya sangat membutuhkan tindakan pemikiran dan kajian yang lebih teliti. Hanya beberapa yang perlu diambil secara cepat karena dalam situasi yang darurat. Oleh karena itu, pada kebanyakan situasi, sesungguhnya memberikan kesempatan lebih luas kepada para pemimpin organisasi untuk melibatkan segenap anggota dalam proses pengumpulan data dan pengambilan keputusan. Green (2001) menyarankan perlunya kepala sekolah mempertimbangkan aspek budaya, etika profesional, dan mengikutkan para stakeholder dalam memnghasilkan suatu keputusan sekolah yang efektif dan menyeluruh. Proses yang dilakukan dapat melalui: (1) merumuskan tujuan umum bersama, (2) menemntukan sejumlah tindakan yang akan diambil, dan (3) menciptakan perilaku kelompok yang sesuai dengan kepentingan atau misi organisasi sekolah. Kepala sekolah kemungkinan akan memilih model proses pengambilan keputusan yang sederhana, cepat, autokratik dengan mengesampingkan partisipasi luas para anggota dalam memberikan pertimbangan alternatif. Namun proses tersebut tidak akan efektif, karena kurang mampu menghasilkan solusi yang efektif dan hanya akan menimbulkan kekecewaan para anggota. Sebaliknya, model democratic, sang pemimpin berusaha melibatkan semua komponen organisasi, stakeholder dalam mempertimbangkan berbagai alternatif solusi, informasi, dan mengambil keputusan bersama secara musyawarah. Meskipun ini membutuhkan waktu lama dan kopmpleks, namun keputusan-keputusan yang dihasilkan diyakini mampu meningkatkan efektivitas organisasi dan diterima oleh semua pihak atau kekuatan organisasi yang ada. Dalam situasi normal, seyogyanya para kepala sekolah perlu memilih model demokratis dalam proses pengambilan keputusan di sekolah yang mereka pimpin.


 

  1. Model Pengambilan Keputusan Kelompok

Suatu model pengambilan keputusan menyajikan suatu proses yang dapat dijkadikan pimpinan sebagai pedoman dalam kegiatan pengambilan keputusan. Terdapat sejumlah rambu-rambu atau pertanyaan yahng harus dijawab oleh para pengambil keputusan, yang dapat membantu menentukan tingkat efektivitas proses yang diterapkan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi: (1) apakah proses yang dilakukan sudah memmenuhi kriteria yang ditentukan? (2) apakah proses pengambilan keputusan sudah mempertimbangkan berbagai alternatif? dan (3) apakah sudah didasarkan pada informasi yang akurat?

Ketiga pertanyaan di atas dapat dipandang sebagai starting point pimpinan organisasi sekolah dalam mengidentifikasi, mendiagnosis, dann membuat keputusan-keputusan kelompok dan individual. Model-model itu dapat membantu pimpinan untuk menghindari adanya penolakan atau disagreement pada saat keputusan-keputusan telah dibuat. Suatu model yang duiterapkan juga dapayt membantu seorang kepala sekolah melibatkan secara efektif segenap anggota organisasi yang dipimpinnya di dalam forum-forum pengambilan keputusan, dan berguna bagi penyusunan program rencana atau program peningkatan kualitas pembelajaran siswa.

Model pengambilan keputusan yang pernah dikembnangkan oleh Vrodiom dan Yetton, 1973 dan Vroom dan Jago, 1988 dalam Reinhartz and Beach (2004) dibangun atas landasan teori bahwa para pemimpin membuat keputusan secara mandiri atau berkonsultasi dan mel;ibatkan para anggota kelompok seperti halnya komite sekolah. Walaupun demikian, pada akhirnya seorang kepala sekolah akan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh segenap komponen organisasi dan odata yang tersedia.Morgan dan Bowers dalam Reinhartz and Beach (2004) telah mengidentifikasi ada 4 (empat) komponen model pengambilan keputusan, yakni: (1) assessment, (2) metacognition, (3) shared mental model, dan
(4) resource management. Komponen pertama, assessment melibatkan aktivitas identifikasi masalah dan pengumpulan data. Komponen kedua, metacognition memberikan peluang kepada para pengambil keputusan untuk memperbaiki atau memperdalam masalah yang telah dirumuskan. Komponen ketiga, shared mental model merupakan penciptaan pemahaman bersama akan suatu masalah yang dihadapi. Yang terakhir, resource managemen di mana para anggota membuat keputusant dengan menggunakan segenap, pengalaman, ketrampilan, dan pengetahuan yang dimiliki untuk memecahkan masalah yang dihadapi bersama di dalam organisasi.

Disamping model-model pengambilan keputusan tersebut, para kepala sekolah boleh menggunakan sartu dari tiga pendekatan, yaitu cognitive, affective, dan evaluative dalam membuat keputusan-keputusan. Apabila menggunakan pendekatan cognitive, maka kepala sekolah dan kelompok memanfaatkann data yang akurat misalnya dalam menentukan posisi ketenagaan di sekolah, seperti siapa yang dapat diusulkan sebagai calon Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum. Data itu mungkin meliputi pengalaman calon, kesehatan, kompetensi, dan lain-lain. Kemudian data tersebut dianalisis secara objektif sebagai bahan pengambilan keputusan final tentang calon yangh akan dipilih. Di samping menggunakan data, kepala sekolah juga dapat memanfaatkan aspek emosional calon yang akan dinilai, hal ini berarti kepala sekolah sebagai pengambil keputusan menggunakan pendekatan affective. Adapun yang ketiga, evaluative, pada pendekatan ini para pengambil keputusan biasanya sepenuhnya bergantug pada kriteria yang sudajh ada dalam menentukan pilihan alternatif atau keputusan yang diambil. Kriteria yang digunakan bisa bersumber dari pedoman yang sudah baku di sekolah atau ditenmtuklan oleh departemen, bahkan mungkin dapat pula ditetapkan bersama oleh para anggota dalam rangka mengambil keputusan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.


 

  1. Kemampuan Berkomunikasi dalam Organisasi Sekolah

Fungsi komuinikasi sangat penting bagi seorang kepala sekolah dalam memimpin sekolah sebagai organisasi. Komunikasi melibatkan asktivitas interaksi antar person dan kelompok yang ada baik melalui media verbal, elektronik, isyarat, maupun tertulis. Tanpa pelaksanaan komunikasi yang efektif, maka segenap aktivitas komponen oprganisasi sekolah tidak dapat berjalan dengan baik.

Komunikasi yang baik membutuhkan pengembangan ketrampilan kepala sekolah melaksanakan fungsinya secara efektif sebagai komunikator, antara lain:

  1. self diasclosure - kemampuan kepala sekolah kepada para guru dan stafnya tentang apa yang ia rasakan, pikirkan, inginkan;
    1. assertiveness - kemampuan mendukung dan berdiri atas pikiran, pendapat-pendapat, pandangan, dan kepercayaan yang ia anuit sementara juga menunjukkan resfek kepada yang dimiliki oleh para anggota lain.
    2. Dynamic listening- kemampuan mendengarkan orang lain
    3. Critism - kemampuan membangun sistem balikan secara konstruktif berdasarkan pendapat dan saran-saran yang disampaikan orang lain.
    4. Team communication - kemampuan berkomunikasi di dalam situasi kelompok.

Disamping itu, Hiller, (1998; Owen, 2006) menyarankan ketrampilan-ketrampilan tambahan yang perlu dikuasai oleh seorang (kepala sekolah) pemimpin:

  1. Using body language- kemampuan memomnitor gerakan fisik nindividu.
    1. Recognizing prejudice and cultural oimplications – sebagai kemampuan dalam mengatasi masalah dengan berpedoman pada aspek pandangan-pandangan dan budaya yang sensitif.
    2. Asking questions- kemampuan mengajukan pertanyaan-pertanyaan (secara terbuka, tertutup, fact-finding, follow-up, atau feed-back) untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
    3. Taking notes – kemampuan secara cepat menyimak pernyataan-pernyataan tertulis dan lisan.
    4. Giving feed-back- kemampuan melakukan konfirmasi dan memberikan balikan secara akurat.
    5. Using information – kemampuan menggunakan media teknologi infoprmatika seperti mesin faks, komputer, telepon, dan alat elektronik lainnya.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR RUJUKAN


 

Beach, D. S., 1980. Personnel: the Management of Peoiple at Work. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.

Botvim. G.J. 2000. Lifeskills Training. Promoting Health and Personal Development. Princeton, N.J: Prentice Hall Press.

Burhanuddin, 1993. The Leadership Roles of a Principal in Improving School Effectiveness. A Research Thesis. Adelaide: The Flinders Univerdsity of South Australia.

Burhanuddin, 1994. Analisis Administrasi, Manajemen, dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Bush, T. and Middlewood, D. 2005. Leading and Managing People in Education. London: Sage Publication.

Champoux, J.E. 2003. Organizational Behavior. Essential Tenets. Australia: South-Western, Thompson.

Champoux, J.E. 2003. Organizational Behavior. Essential Tenets. Australia: South-Western, Thompson.

Clarck, D. L., Lotto, L.S. and McCarthy, M.M. 1980. Factors Associated with Success in Urban Elementary Schools. Phi Delta Kappan, 61: 467-470.

Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly, J.R., J.H., and Konopaske, R. 2006. Organizations. Behavior, Structure, Processes. Boston: McGraw Hill

Gordon, J.R., Mondy, R.W., Sharplin, A., and Premeaux, S.R. 1990. Management and Organizational Behavior. Boston: Allyn and Bacon.

Greenberg, J. and Baron, R.A. 2000. Behavior in Organizations. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Lambert, L. 2002, A Framework for Shared Leadership. Education Leadership, 59, 8, 37-40.

Newton, R. 2006. Project Management. Step by Step. How to Plan and Manage a Highly Successful Project. Harlow, England: Prentice Hall.

Owen, J. 2006. Leadership Skills Handbook. London and Philadelphia: Kogan Page.

Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Puxty, A. G. 1990. Organization and Management. An Accountant's Perspective. London: Pitman Publishing.

Reinhartz, J. and Beach, D.M. 2004. Educational Lewadership. Boston: Pearson.

Riggio, R.E. 2000. Introduction to Industrial/Organizational Psycholopgy. Upper Saddle River, N.J: Prenticre Hall.

Snowden, P.E. and Gorton, R.A. 2002. School Leadership and Administration. Boston: McGraw-Hill.

Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Yukl, G. 2002. Leaderrship in Organizations. New Jersey: Prentice-Hall International,


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

LAMPIRAN


 

TUGAS DISKUSI DAN LATIHAN


 

  1. Daftar Pertanyaan/Tugas untuk Diskusi Kelompok (materi BAB II) :

Sebagai seorang pemimpin, mengapa seorang kepala sekolah perlu menguasai kompetensi dalam pengorganisasian?

Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem. Bagaimanakah penerapan pandangan tersebut dalam sebuah struktur organisasi sekolah yang Saudara pimpin.

Gambarkanlah sebuah struktur organisasi untuk sekolah yang Saudara pimpin, dan hitunglah kemungkinan jumlah hubungan antar staf dan hirarki organisasi.


 

  1. Tugas-Tugas Diskusi/Latihan kelompok (materi BAB III).

Rumuskanlah langkah-langkah pengorganisasian sebagai suatu proses dalam rangka pelaksanaan program tahunan yang telah direncanakan di sekolah Anda. Kerjakan dalam bentuk matriks menggunakan kertas bufallo, atau kertas double-folio yang telah disediakan (format terlampir)

Gambarkanlah sebuah struktur organisasi di sekolah yang Anda pimpin, dan tentukan bentuk organisasi apakah yang dipilih dalam mendesain struktur organidsasi tersebut

Sesuai dengan program yang tercantum dalam RAPBS sekolah, sekolah Anda telah mencantumkan kegiatan penerimaan siswa baru (PSB) untuik tahun ajaran yang akan datang. Rumuskanlah langkah-langkah pengorganisasian untuk pelaksanaan kegiatan penerimaan siswa baru tersebut. Gunakan format hand-oout terlampir untuk penyelesaian tugas tersebut.


 

  1. Tugas diskusi/latihan kelompok (materi BAB IV).

Studi Kasus

Sebagai Kepala sekolah uang baru ditugaskan di sekolah yang Anda pimpin saat ini, sekolah Anda mendapat tugas yang cukup berat, yakni menyusun RAPBS tahunan bersama dewan guru dan seluruh anggota komite sekolah. Berdasarkan informasi dan perkembangan di lapangan yang telah Anda pelajari, banyak hal baru yang harus dilakukan di sekolah ini. Anda mungkin memiliki sejumlah program-program baru yang sebelumnya tidak dilaksanakan di sekolah. Sementara program-program ini ,membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit, padahal sumber keuangan, tenaga, alat, dan teknologi yang dimiliki oleh sekolah sangat terbatas. Lebih-lebih sebagian besar anggota komite sekolah dikenal sangat kritis, dan kurang kooperatif sebagaimana dialami oleh para kepala sekolah sebelumnya. Fakta yang Anda hadapi juga dipertajam dengan keadaan kualitas pembelajaran sekolah yang sangat kurang memadai, terutama ditandai oleh tingkat perkembangan prestasi belajar anak dan tingkat partisipasi orang tua yang relatif rendah.

Apabila Anda hanya bertindak rutin tanpa pembaharuan seperlunya, maka hal ini akan semakin buruk, sementara tantangan faktor eksternal cukup besar dengan hadirnya sekolah-sekolah lain yang lebih banyak dan berkualitas. Dalam situasi demikian, sebagai pemimpin, Anda mungkin akan terperangkap di tengah-tengah ketidakpastian: di satu sisi kurang adanya dukungan organisatoris, di sisi lain keyakinan Anda untuk melakukan perubahan-perubahan yang harus ditempuh guna memperbaiki kualitas penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih seiring dengan perkembangan yang dihadapi.

Atas dasar teori dan teknik organisasi maupun pengalaman yang sudah Anda miliki, tindakan-tindakan apakah yang harus Anda lakukan agar kepemimpinan Anda di dalam organisasi sekolah berjalan efektif? Untuk memudahkan kajian dan rumusan solusi terhadap permasalahan tersebut, berikut terdapat sejumlah pernyataan atau pertanyaan yang perlu pertama kali Anda jawab, sebagai penuntun dalam perumusan permasalahan dan alternatif pemecahan masalah secara akurat.

  • Kelompok-kelompok apakah yang sekiranya perlu Anda bentuk?
  • Siapakah yang perlu Anda undang pertama kali untuk melakukan konsultasi, dan sharing informasi awal sesuai situasi yang dihadapi?
  • Siapakah yang perlu Anda undang untuk merumuskan program-program kerja, RAPBS?
  • Jenis atau model pengambilan keputusan apakah yang mungkin cocok diterapkan dalam situasi tersebut?
  • Ketrampilan-ketrampilan komunikasi apakah yang perlu diterapkan?
  • Bagaimanakah pendekatan Anda dalam mengusulkan perubahan-perubahan yang perlu dicantumkan dalam RAPBS yang akan datang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar