Minggu, April 05, 2009

                


 



 

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


 


 


 


 

PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN

DIREKTORAT JENDERAL

PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

TAHUN 2007

 

KATA PENGANTAR


 

    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi kompetensi yaitu: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi dan Sosial. Dalam rangka pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah untuk menguasai lima dimensi kompetensi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan telah berupaya menyusun naskah materi diklat pembinaan kompetensi untuk calon kepala sekolah/kepala sekolah.

    Naskah materi diklat pembinaan kompetensi ini disusun bertujuan untuk memberikan acuan bagi stakeholder di daerah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/kepala sekolah agar dapat dihasilkan standar lulusan diklat yang sama di setiap daerah.

    Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah ini atas dedikasi dan kerja kerasnya sehingga naskah ini dapat diselesaikan.

    Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi upaya-upaya kita dalam meningkatkan mutu tenaga kependidikan.


 

Jakarta,

Direktur Tenaga Kependidikan


 


 

Surya Dharma, MPA, Ph.D

NIP. 130 783 511

DAFTAR ISI


 

KATA PENGANTAR    i

DAFTAR ISI        ii

DAFTAR GAMBAR    v

DAFTAR TABEL    vi


 

BAB I     PENDAHULUAN    1

A.    Latar Belakang    1

B.    Dimensi Kompetensi    2

C.    Kompetensi yang Diharapkan Dicapai    2

D.    Indikator Pencapaian Hasil    2

E.    Materi Diklat dan Alokasi Waktu    3

F.    Skenario    3


 

BAB II     PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TINJAUAN TEORI DAN PRAKTEK SECARA UMUM    5

A.    Konsep Psikologi Kepribadian    5

B.    Pengertian Kepribadian    11

C.    Pola Kepribadian    17

D.    Perubahan Kepribadian    22

F.    Aplikasi Psikologi Kepribadian    35

G.    Evaluasi    36


 

BAB III    PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: PSIKOANALITIK    38

A.    Paradigma Psikoanalitik Carl Gustav Jung    38

B.    Struktur Kepribadian C.G Jung    39

C.    Simbolisasi (Symbolization)    47

D.    Tipologi Jung (Gabungan Sikap-Fungsi)    50

E.    Dinamika Kepribadian    54

F.    Perkembangan Kepribadian    60

G.    Tahap-Tahap Perkembangan    62

H.    Aplikasi    67


 

BAB IV    PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: TRAIT    71

A.    Paradigma Trait Abraham Maslow    71

B.    Motivasi: Teori Hirarki Kebutuhan    74

C.    Mencapai Aktualisasi Diri    85

D.    Organisasi Kepribadian    91

E.    Aplikasi    95

F.    Evaluasi    97


 

BAB V    PARADIGMA PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: KOGNITIF DAN BEHAVIORISTIK    99

A.    Konsep Psikologi Kepribadian: Kognitif    99

B.    Psikologi Kepribadian: Behavioristik    97

C.    Aplikasi    114

D.    Evaluasi    116


 

DAFTAR RUJUKAN    117

LAMPIRAN…….    118

LAMPIRAN 1 :     Instrument Pengembangan Diri (Trustworthiness Inventory)    118

LAMPIRAN 2 : Gambaran Diri    122

LAMPIRAN 3 : Mengenal Diri    126


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR GAMBAR


 

Gambar 2.1     Diagram Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-concept    20

Gambar 2.2     Pola Tingkah Laku    28

Gambar 3.1     Struktur Kepribadian Menurut Jung    39

Gambar 5.1     Ruang Hidup dan Daerah Pribadi    100

Gambar 5.2a     Anak Menginginkan Permen yang Dijual di Toko    110

Gambar 5.2b     Ayah Memberi Uang untuk Membeli Permen    110

Gambar 5.2c     Ayah Menolak Memberi Uang, Anak Meminjam Uang Temannya.    111


 

DAFTAR TABEL


 

Tabel 1.1     Materi Pelatihan dan Alokasi Waktu    3

Tabel 2.1     Tipologi Temperamen Oleh Sheldon    25

Tabel 2.2     Tipologi Temperamen Oleh Galenius    25

Tabel 3.1     Ikhtisar Tipologi C.G Jung    53

Tabel 3.2     Menaksir Value Unconscious    56

Tabel 4.1     Kebutuhan Meta: Kebutuhan Estetik dan Kognitif    82

Tabel 4.2     Contoh Sindrom Keamanan    91

Tabel 5.1     Menstruktur Lingkungan Psikologis    89

Tabel 5.2     Asal Muasal Konflik Emosional: Situasi Belajar yang Kritis    113


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

 

BAB I

PENDAHULUAN


 

  1. Latar Belakang

    Reformasi pendidikan di tanah air, mulai marak terutama diawali sejak ditetapkan ketentuan perundang-undangan. Diawali UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dilengkapi dengan PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PerMendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, PerMendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan, PerMendiknas nomor 24 tahun 2006 tentang Standar Proses, PerMendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru, serta PerMendiknas nomor 13 tentang Sertifikasi Kepala Sekolah. Ketentuan perundang-undangan tersebut merupakan hajat publik untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk karakter warga masyarakat Indonesia yang bermartabat.

    Standar Nasional Pendidikan menetapkan 8 standar, yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelola, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Tenaga Kependidikan di tingkat satuan pendidikan terdiri atas: Kepala TK/RA, Kepala SD/MI, Kepala SMP/MTs, Kepala SMA/MA, Kepala SMK/MAK, Kepala SDLB/SMPLB, dan SMALB, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan.

    Standar Kompetensi Kepala Sekolah meliputi (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi manajerial, (3) kompetensi supervisi, dan (4) kompetensi sosial. Sub-Kompetensi kepribadian terdiri atas: (1) memiliki integritas sebagai pemimpin, (2) memiliki keinginan yang kuat dalam mengembangkan diri sebagai Kepala Sekolah, (3) bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, (4) mengendalikan diri dalam menghadapi masalah sebagai Kepala Sekolah, dan (5) memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.

    Dalam rangka meningkatkan mutu kinerja Kepala Sekolah senantiasa diselenggarakan DIKLAT berbasis kompetensi. Untuk mendukung kompetensi kepribadian Kepala Sekolah maka disiapkan bimbingan teknis Diklat Pengembangan Kepribadian. Diklat Pengembangan Kepribadian disusun menjadi 4 bagian, yakni (1) Psikologi Kepribadian tinjauan Teori dan Praktek, (2) Paradigma Psikologi Kepribadian: Psikoanalitik (3) Paradigma Psikologi Keperibadian Trait, (4) Paradigma Psikologi Kepribadian: Kognitif dan Behavioristik.


 

  1. Dimensi Kompetensi

    Dimensi kompetensi yang diharapkan dibentuk pada akhir pendidikan dan pelatihan ini adalah dimensi kompetensi keperibadian.


 

  1. Kompetensi yang Diharapkan Dicapai

    Berkepribadian yang patut diteladani oleh warga sekolah.


 

  1. Indikator Pencapaian Hasil
    1. Mampu menjelaskan Konsep dan teori Kepribadian secara umum.
    2. Mampu menjelaskan Paradigma Psikologi Kepribadian : Psikoanalitik.
    3. Mampu menjelaskan Paradigma Psikologi Kepribadian Trait.
    4. Mampu menjelaskan Paradigma Psikologi Kepribadian: Kognitif dan Behavioristik.


 

  1. Materi Diklat dan Alokasi Waktu

    Tabel 1.1 Materi Pelatihan dan Alokasi Waktu

NO 

MATERI PELATIHAN 

Alokasi Waktu 

A 

Materi Umum 

 

1 

Kebijakan umum Direktorat Pendidikan Menengah Umum dan Kejuruan. 

 

2 

Kebijakan Manajemen Keuangan Sekolah dalam Kerangka

Otonomi Daerah 

 

B 

Materi Inti 

 

1 

KONSEP PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: TEORI DAN PRAKTIK

 

2 

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: PSIKOANALITIK

 

3 

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: TRAIT

 

4 

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: KOGNITIF

 

5 

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: BEHAVIORISTIK

 

C 

Materi Khusus 

 

1 

Pre – test 

 

2 

Post – test 

 

3 

Evaluasi penyelenggaraan pelatihan

 
 

Jumlah 

 


 

  1. Skenario

    Secara tentatif (dapat dikembangkan lebih lanjut oleh fasilitator pendidikan dan pelatihan), skenario pendidikan dan pelatihan Pengembangan Kepribadian ini sebagai berikut :

  1. Perkenalan
  2. Penjelasan singkat, jelas, dan terarah tentang dimensi kompetensi, kompetensi, indikator, alokasi waktu dan skenario pendidikan dan pelatihan Pengembangan Keperibadian
  3. Pre-test
  4. Eksplorasi pemahaman peserta berkenaan dengan seluk beluk Pengembangan Keperibadian melalui pendekatan andragogi
  5. Presentasi materi supervisi akademik dengan pendekataninteraktif dan multi media teknologi, paling tidak dalam bentuk tayangan power point yang menarik dan penuh dengan diagram, gambar, foto-foto praktik pengembangan diri, dan bilamana dimungkinkan diputarkan prilaku diri positif dan prilaku diri negatif
  6. Diskusi penyusunan program, indikator keberhasilan, dan teknik evaluasi program pengembangan diri
  7. Praktek (simulasi) pengembangan diri, dimana ada seorang yang ditunjuk melakukan prilaku pengembangan diri, ada yang ditunjuk memberikan feed back, ada yang menjadi pengamat dsb.
  8. Diskusi kelas, pembahasan hasil simulasi praktek pengambangan diri
  9. Post-test
  10. Penutup


 


 


 


 

BAB II

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TINJAUAN TEORI

DAN PRAKTEK SECARA UMUM


 

  1. Konsep Psikologi Kepribadian
    1. Latar Psikologi Kepribadian

        Ilmu Psikologi lahir pada akhir abad 18, salah satu topik yang menarik untuk dikaji adalah kepribadian. Sebagai ilmu, psikologi lahir, berusaha memahami manusia seutuhnya (totality), dapat dilakukan melalui pemahaman tentang kepribadian. Teori Psikologi Kepribadian ssmelahirkan konsep-konsep, seperti dinamika tingkah laku, pola tingkah laku, model tingkah laku, dan perkembangan tingkah laku, dalam rangka mengurai kompleksitas tingkah laku manusia. Ahli-ahli psikologi kepribadian melakukan riset yang cermat untuk menguji konsep-konsep itu, memakai kaidah-kaidah ilmiah agar memperoleh teori yang handal, yakni teori yang dapat mengemban fungsi deskriptif dan prediktif dalam kerangka pendekatan psikologik.

        Teori psikologi kepribadian bersifat deskriptif dalam rangka menggambarkan organisasi perilaku secara sistematis dan mudah dipahami. Tidak satupun tingkah laku terjadi begitu saja tanpa alasan, pasti ada faktor-faktor antiseden, sebab musabab, pendorong, motivator, saran, tujuan, dan latar belakangnya. Faktor-faktor tersebut harus ditempatkan pada suatu kerangka saling berhubungan yang bermakna, agar mendapat tinjauan analitik dan cermat ketika dilakukan pemerian tingkah laku dan agar perian dilakukan memakai sistematika yang ajeg dan komunikatif. Sifat prediktif teori kepribadian pada sisi lain justru mendapat bukti bahwa konsep-konsepnya teruji kebenarannya. Sekalipun tidak ada prediksi yang benar seratus persen, tetapi psikologi kepribadian dapat membantu proses pengambilan keputusan. Nilai prediktif dapat menjadi handal bila secara terus menerus dilakukan riset dalam psikologi kepribadian.

        Kepribadian adalah domain kajian psikologi; pemahaman tingkah laku pikiran, perasaan, dan tindakan manusia, memakai sistemik, metode, dan disiplin ilmu yang lain, seperti biologi, sejarah, ekonomi. Teori psikologi kepribadian mempelajari individu secara spesifik, yakni siapa dia, apa yang dimilikinya, dan apa yang dikerjakannya.

        Kepribadian merupakan bagian jiwa yang membangun keberadaan manusia menjadi suatu kesatuan (totalitas), tidak terpisah-pisah fungsinya. Memahami kepribadian berarti memahami aku, diri, self atau memahami manusia seutuhnya. Berkaitan dengan memahami kepribadian berarti pemahaman dipengaruhi oleh paradigma yang digunakan untuk mengembangkan teori itu sendiri. Para pakar kepribadian meyakini bahwa paradigma yang berbeda-beda mempengaruhi secara sistemik seluruh pola pemikirannya tentang kepribadian manusia. Paradigma yang berbeda yang dikembangkan oleh para ahli akan menghasilkan teori yang berbeda, tidak saling berhubungan bahkan saling berlawanan. Teori-teori kepribadian dikelompokan berdasarkan paradigma yang digunakan untuk mengembangkannya. Ada empat paradigma yang banyak digunakan sebagai acuan memahami kepribadian individu.

    1. Paradigma Psikoanalitik

        Dua asumsi dasar bahwa manusia adalah bagian dari dunia binatang dan manusia adalah bagian dari sistem energi. Asumsi ke dua dapat dipandang sebagai kelanjutan asumsi pertama, sebagai binatang manusia adalah organisme hidup yang membutuhkan energi dan hidup berarti mampu mengelola energi yang dimilikinya.

        Kunci utama memahami manusia menurut paradigma Psikoanalitik adalah mengenali insting-insting seksual dan agresi dorongan biologik yang membutuhkan kepuasan. Insting yang bersifat heriditer ini berkembang sejalan dengan pertumbuhan usia, dalam mana perkembangan biologik menyediakan bagian-bagian tubuh tertentu untuk menjadi pusat sensasi kepuasan. Sepanjang hidup seseorang akan menghadapi gangguan, mengalami konflik yang mengganggu pencapaian kepuasan. Semua penyebab ketidakpuasan merupakan metafora dari virus pengganggu yang harus dieliminasi, jika individu ingin memperoleh kembali hidup dalam kepuasan hidup sehat.

        Energi psikis oleh manusia harus dimanfaatkan untuk sesuatu hal yang positif, untuk kemaslahatan diri. Manakala energi psikis dipakai secara salah maka manusia tidak memperoleh kepuasan secara wajar, sehingga muncullah simpton-simpton neurotik. Psikoanalitik mencoba menjelaskan bagaimana membebaskan energi yang digunakan oleh simpton neurotik, mengembalikan jalur energi instingtif ke aktivitas yang dihekendaki.

        Teori Psikoanalitik dikembangkan pertama kali oleh Sigmund Freud. Belakangan ini banyak pengikutnya yang mengembangkan teori psikologi kepribadiannya sendiri. Para pengikutnya di ataranya adalah: C.G.Yung, A. Adler, Anna Freud, Karen Horney, Eric Fromm, H.S. Sullivan. Setiap teori memerikan wujud kepribadian, bagaimana struktur, dinamika, dan perkembangan elemen-elemen pendukungnya. Kebanyakan pakar Psikoanalitik berlatar profesi medik (Psikiater), maka mereka menempatkan diri sebagai terapis, teknik yang dipakai catharsis dan free association keduanya dipandang sebagai "pil ajaib" untuk menyembuhkan penyakit psikis.

    1. Paradigma Trait

        Paradigma Trait ini berbeda jauh dengan Psikoanalitik, berkembang menjadi Psikologi Eksperimen. Pakar Psikologi Eksperimen adalah Wilhelm Wundt. Psikologi Eksperimen memandang psikologi adalah ilmu yang mempelajari kesadaran. Wundt mencoba menemukan elemen dasar dari pengalaman, memakai teknik-teknik yang semula digunakan untuk eksperimen fisiologi dan pengindraan, dan teknik introspeksi. Menurutnya, untuk memahami tingkah laku harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur terkecil yang mendukung terjadinya tingkah laku di dalam diri manusia. Pendekatan ini yang pada awalnya berkembang dan dikenal sebagai Psikologi Strukturalisme yang pada akhirnya berkembang luas di awal sejarah psikologi

        Pada perkembangan berikutnya strukturalisme dipandang tidak pragmatis dan metode introspeksi eksperimen terbukti kurang obyektif. Akhirnya muncul pemikiran baru yaitu bidang Psikologi Fungsionalisme, Psikologi Gestalt, dan Psikologi Behaviorime.

        Tradisi Fungsionalisme menguraikan tentang habit, ingatan, berfikir, motivasi, dan fungsi jiwa yang lain. William James memandang bahwa manusia adalah kumpulan potensi-potensi dan kepribadian adalah aktualisasi potensi-potensi, bagaimana potensi digunakan dalam kehidupan. Pemahaman dan pengukuran besarnya potensi manusia menjadi domain kajian tradisi Psikologi Pengukuran. Tes psikologi mengukur aktualisasi suatu potensi kemudian menyimpulkan bagian dari potensi yang sudah difungsikan walaupun bagian yang masih laten. Metode kuesioner untuk mempelajari perbedaan individu yang dikembangkan oleh psikologi pengukuran yang tidak terpisahkan dengan psikologi kepribadian.

        Teori Trait dipelopori oleh William James, Murray, Abraham Maslow, R.Cattel, Eysenck, Allport, dan yang lainnya. Muara teori kepribadian adalah pengenalan terhadap model-model fungsi kepribadian dalam kehidupan. Cattel dan Eysenck memakai analisis faktor untuk menemukan faktor yang saling asing dan Murray memakai pendekatan eklektik-interdisiplin dari metoda observasi-interview-kuesioner-proyektif-eksperimen untuk menemukan jenis-jenis need. Kepribadian diamati dalam kaitannnya dengan fungsinya terhadap lingkungan. Paradigma Trait lebih banyak membahas prediksi-prediksi tingkah laku. Nilai praktis dari psikologi kepribadian menjadi sangat tinggi di bidang pendidikan, industri, militer, dan lainnya, dalam arti memprediksikan keberhasilan individu dalam bidang tertentu, memilih atau menempatkan seorang yang tepat pada tempat yang tepat pula.

    1. Paradigma Kognitif

        Gestalt adalah kesatuan, keseluruhan, pola konfigurasi. Pengalaman manusia selalu membentuk kesatuan yang memiliki pola dan konfigurasi tertentu. Max Wertheimer membangun teori Gestalt dari temuannya phy nomenon: ilusi bahwa mobil yang kita naiki sedang berhenti terasa bergerak ketika mobil di sebelah kita bergerak. Itu pertanda atau bukti bahwa pengalaman baru sesudah diterima indra tidak dipersepsi apa adanya, tetapi digabung lebih dahulu dengan pengalaman lama. Teori Gestalt berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia sebagai pemeroses informasi.

        Paradigma kognitif menggunakan kontekstualisme sebagai akar metafora. Konsep dasarnya adalah: keyakinan dan pikiran seseorang menjadi kunci memahami tingkah laku. Ingatan, pikiran, dan keyakinan ini mempunyai referensi khusus terhadap dunia. Persepsi adalah hasil kerja simultan antara dunia (stimulus) dengan pemerhati (kecenderungan untuk memproleh gestalt yang bagus).

        Dunia pendidikan dan sekolah terbantu oleh teori Gestalt, yang secara intensif meneliti bagaimana pikiran, motivasi, perasaan, dan ingatan bekerja dalam kesatuan menangkap sensasi-sensasi baru, bagaimana seseorang mempelajari pengalaman baru.

        Para pakar kepribadian meyakini paradigma kognitif seperti: Kurt Lewin, George Kelly, Carl Rogers, Mechael dan Bandura, cenderung akrab dengan filsafat humanisme. Carl Rogers berpendapat bahwa yang paling tahu tentang diri seseorang adalah diri orang itu sendiri. Setiap orang memiliki kemampuan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya, dan jika terjadi kesalahan tingkah laku, hanya si penderita sendirilah yang dapat mengkoresinya. Proses itu dilakukan di tengah-tengah lingkungan yang berperan sebagai fasilitator, sumber informasi, dan penyedia alternatif. Teknik empathy dan unconditioning positive regard dikembangkan sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ketika membantu mengatasi tingkah laku yang tidak dikehendaki, penekanannya bukan sekadar mengatakan kepada orang itu bahwa ada masalah dengan pikirannya, tetapi paradigma kognitif berusaha mengungkapkan bahwa cara pandang seseorang mencerminkan bagaimana dunia itu bergerak dan cara bagaimana otaknya bekerja. Tetapi kognitif berusaha mendorong orang untuk mengubah keberadaannya di dunianya; mendorong orang untuk berpikir yang baik tentang dirinya sendiri, di samping mendorong orang untuk memilih lingkungan yang tepat dengan dirinya.

    1. Paradigma Behaviorisme

        Kondisioning meyakini bahwa manusia adalah mesin. Tingkah laku manusia itu fungsi stimulus, artinya, diterminan tingkah laku tidak berada di dalam diri manusia tetapi berada di lingkungan. Metafora mekanis semacam itu mungkin dapat dimasukkan ke dalam semua paradigma, walaupun yang paling cocok adalah masuk ke dalam psikologi eksperimen, khususnya behaviorisme. Pendekatan Psikoanalitik bersifat mekanistik karena memandang tingkah laku manusia fungsi dari pengalaman masa lalu. Artinya tingkah laku orang dewasa sekarang bukan ditentukan oleh situasi dorongan pertimbangan rasional sekarang, tetapi ditentukan oleh pengalaman masa kecil di bawah 5 tahun. Pendekatan Trait dan Kognitif juga memakai jargon sebab-akibat, yang berarti merefleksikan model berpikir mekanisme.

        Teori Behaviorisme lebih dekat dengan teori belajar. Pakar behaviorisme berusaha menjelaskan bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan dan bagaimana tingkah laku dapat berubah sebagai dampak dari interaksi itu. Perubahan tingkah laku, apakah itu pengembangan tingkah laku yang lama atau perolehan tingkah laku baru, semuanya disebut belajar. Teori belajar menjadi teori psikologi kepribadian ketika yang dipelajari tingkah laku yang kompleks, yang repertoirnya membutuhkan waktu cukup panjang.

        Pavlov, Skinner, Watson dalam berbagai eksperimen mencoba menunjukkan betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku. Semua tingkah laku termasuk tingkah laku yang tidak dikehendaki diperoleh melalui belajar, dan mengubah tingkah laku itu dilakukan juga dengan mempelajari tingkah laku baru sebagai pengganti. Faktor pendorong agar orang bersedia bertingkah laku mengikuti kemauan lingkungan, di sebut reinforcement. Modifikasi tingkah laku pada paradigma behaviorisme tidak lain dan tidak bukan adalah management reinforcement. Pada anak-anak dan orang dewasa yang kemampuan kecerdasan dan berpikirnya rendah, pengubahan tingkah laku dengan menajemen reinforcement menjadi pilihan yang lebih luas dipakai.


 

  1. Pengertian Kepribadian

    Kepribadian merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu personality. Kata Personality sendiri berasal dari bahasa latin pesona, yang berarti topeng yang digunakan oleh para aktor dalam suatu permainan atau pertunjukan. Pada saat pertunjukan para aktor tidak menampilkan kepribadian yang sesungguhnya menyembunyikan kepribadiaannya yang asli, dan menampilkan dirinya sesuai dari topeng yang digunakannya.

    Dalam kehidupan sehari-hari, kata kepribadian digunakan untuk menggambarkan (1) identitas diri, jati diri seseorang, seperti: "Saya seorang yang pandai bergaul dengan siapa saja", atau "Saya seorang pendiam", (2) kesan seseorang tentang diri anda atau orang lain, seperti "Dia agresif", atau "Dia jujur", dan (3) fungsi-fungsi kepribadian yang sehat atau bermasalah, seperti: "Dia baik", atau "Dia pendendam".
Beberapa istilah dalam teori psikologi kepribadian diberi makna yabg berbeda-beda. Istilah yang berdekatan maknanya antara lain:

  1. Personality (kepribadian): penggambaran tingkah laku secara deskriptif tanpa memberi nilai (devaluative).
  2. Character (karakter): penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit.
  3. Dispotition (watak): karakter yang telah lama dimiliki dan sampai sekarang belum berubah.
  4. Temperamen (temperamen): kepribadian yang berkaitan erat dengan determinan biologik atau fisiologik, disposisi hereditas.
  5. Traits (sifat): respon yang senada (sama) terhadap sekelompok stimuli yang mirip, berlangsung dalam kurun waktu yang (relatif) lama.
  6. Type–attribute (ciri): mirip dengan sifat, namun dalam kelompok stimuli yang lebih terbatas.
  7. Habit: kebiasaan respon yang sama cenderung berulang untuk stimulus yang sama pula.

    Untuk memperoleh pemahaman tentang kepribadian, berikut dikemukakan beberapa pengertian dari para ahli.

  1. Hall dan Lindzey mengemukakan bahwa secara populer, kepribadian dapat diartikan sebagai (1) keterampilan atau kecakapan sosial (social skill), dan (2) kesan yang paling menonjol, yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap orang lain (seperti orang yang dikesani sebagai agresif, atau pendiam).
  2. Woodworth mengemukakan bahwa kepribadian merupakan "kualitas tingkah laku total individu".
  3. Stern mengemukakan bahwa kepribadian adalah kehidupan seseorang secara keseluruhan, individual, unik, usaha mencapai tujuan, kemampuannya bertahan dan membuka diri, kemampuan memperoleh pengalaman.
  4. Guilford mengemukakan bahwa kepribadian adalah pola trait-trait yang unik dari seseorang.
  5. Pervin mengemukakan kepribadian adalah seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak orang yang mengakibatkan pola yang menetap dalam merespon suatu situasi.
  6. Maddy atau Burt mengemukakan bahwa kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan kecenderungan yang stabil yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkah laku psikologik (berpikir, perasaan, dan perbuatan) dari seseorang dalam waktu yang panjang dan tidak dapat difahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan sosial dan tekanan biologik saat itu.
  7. Dashiell mengartikannya sebagai "gambaran total tentang tingkah laku individu yang terorganisasi".
  8. Allport mengemukakan lima tipe definisi kepribadian sebagai berikut:
    1. Rag-Bag (omnibus), yang merumuskan kepribadiannya dengan cara enumerasi (menjumlahkan). Contohnya definisi dari Morton Prince, yaitu "kepribadian merupakan sejumlah disposisi biologis, impuls-impuls, kecenderungan-kecenderungan, dan insting-insting bawaan, dan disposisi lain yang diperoleh melalui pengalaman.
    2. Integratif dan Konfiguratif, yang menekankan kepada organisasi cir-ciri pribadi, seperti definisi dari Warren dan Carmichaeles "kepribadian sebagai organisasi tentang pribadi manusia atau individu pada setiap tahap perkembangan".
    3. Hirarchis, seperti yang dikemukakan oleh Wlliam James, yaitu kepribadian itu dinyatakan dalam empat pribadi (selves): material self, social self, spiritual self, dan puriego atau self of self.
    4. Adjustment, seperti definisi dari Kempfis, yaitu sebagai "integrasi dari sistem kebiasaan individu dalam menyesuaikan dirinya dalam lingkungannya".
    5. Distinctiveness (Uniqueness), seperti yang dikemukakan oleh Shoen, yaitu "sistem disposisi dan kebiasaan yang membedakan antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam satu kelompok yang sama.

    Selanjutnya Allport mengemukakan pendapatnya sendiri tentang pengertian kepribadian ini, yaitu "Personality is the dinamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustment to his environtment". Maksudnya adalah "kepribadian merupakan organisasi yang dinamis dalam individu tentang sistem psikofisik yang menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya".

    Pengertian tersebut dapat diartikan sebagai berikut :

  1. Dynamic, merujuk kepada perubahan kualitas perilaku (karakteristik) individu, dari waktu ke waktu, atau dari situasi ke situasi.
  2. Organization, yang menekankan pemolaan bagian-bagian struktur kepribadian yang independen, yang masing-masing bagian tersebut mempunyai hubungan khusus satu sama lainnya. Ini menunjukkan bahwa kepribadian itu bukan kumpulan sifat-sifat, dalam arti satu sifat ditambah dengan yang lainnya, melainkan keterkaitan antara sifat-sifat tersebut, yang satu sama lainnya saling berhubungan atau berinterelasi.
  3. Psychophysical Systems, yang terdiri atas kebiasaan, sikap, emosi, motif, keyakinan, yang kesemuanya merupakan aspek psikis, tetapi mempunyai dasar fisik dalam diri individu, seperti: syaraf, kelenjar, atau tubuh individu secara keseluruhan. Sistem psikofisik ini meskipun mempunyai fondasi pembawaan, namun dalam perkembangannya lebih dipengaruhi oleh hasil belajar, atau diperoleh melalui pengalaman.
  4. Determine, yang menunjuk pada peranan motivasional sistem psikofisik. Dalam diri individu, sistem ini mendasari kegiatan-kegiatan yang khas, yang mempengaruhi bentuk-bentuk. Sikap, keyakinan, kebiasaan, atau elemen-elemen sistem psikofisik lainnya muncul melalui sistem stimulus, baik dari lingkungan, maupun dari dalam diri individu sendiri.
  5. Unique, yang menunjuk pada keunikan atau keragaman tingkah laku individu sebagai ekspresi dari pola sistem psikofisiknya. Dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan, tidak ada reaksi atau respon yang sama dari dua orang, meskipun kembar identik.

    Berdasarkan pengerian teori dan kepribadian di atas maka, istilah teori kepribadian dapat diartikan sebagai "Seperangkat asumsi tentang kualitas tingkah laku manusia beserta definisi-definisi empirisnya.

    Mengenai asumsi ini dapat diberikan contohnya sebagai berikut:

  1. Semua tingkahlaku dilatarbelakangi motivasi.
  2. Kecemasan yang tinggi menyebabkan penurunan mutu kegiatan bekerja atau belajar.
  3. Perkembangan (psikofisik) individu dipengaruhi oleh pembawaan, lingkungan, dan kematangan. Asumsi ini sering dinyatakan dalam formula.
  4. P (I)= F (H.E.T/M), dimana P= Person, I= Individu, F= Function, H= Heredity (pembawaan/keturunan), E= Environment (lingkungan), T= Time, dan M= Maturation (kematangan).

    Menurut Pervin teori kepribadian itu merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan "what, how, dan why". Pertanyaan "what" terkait dengan karakteristik seseorang dan bagaimana karakteristik tersebut diorganisasikan dalam hubungannya dengan orang lain. Seperti pertanyaan "Apakah dia jujur, ajeg, dan memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi?" Pertanyaan "how" merujuk kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian, seperti "Bagaimana faktor genetika dan lingkungan berinteraksi dalam mempengaruhi kepribadian?" Sementara pertanyaan "why" merujuk kepada faktor motivasional individu berperilaku, seperti pertanyaan "Mengapa seseorang mengalami depresi?" Jawabannya mungkin, karena dia dihina orang, kehilangan orang yang dikasihinya, atau karena dia tidak lulus ujian.

    Selanjutnya ia mengemukakan hakikat kepribadian manusia, yaitu sebagai berikut.

  1. Manusia merupakan makhluk yang unik dibandingkan dengan makhluk (species) lainnya, seperti hewan. Dibandingkan dengan hewan, manusia lebih tergantung kepada faktor psikologis, ia kurang tergantung kepada faktor biologis. Manusia mempunyai kemampuan berfikir konseptual, dan berbahasa atau berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol, sedangkan hewan tidak memilikinya. Dengan kata lain yang membedakan manusia dan hewan adalah kemampuan berbahasa. Namun dalam hal kematangan, manusia lebih lambat dibandingkan dengan hewan.
  2. Tingkah laku manusia bersifat kompleks. Untuk memahami kepribadian harus mampu mengapresiasi tentang kompleksitas tingkah laku manusia. Seringkali terjadi satu perilaku muncul disebabkan oleh beberapa faktor, seperti masalah "depresi" yang telah dikemukakan di atas. Satu perilaku yang sama pada beberapa orang, mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda-beda, seperti: Surini mengalami stress, karena dia takut tidak lulus ujian; sementara Budi mengalami stress, karena di PHK (diputus hubungan kerja) oleh kantornya.
  3. Manusia tidak selalu menyadari atau dapat mengontrol faktor-faktor yang menentukan tingkah lakunya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam suatu saat manusia tidak dapat menjelaskan mengapa melakukan sesuatu, atau akan melakukan sesuatu dengan suatu cara yang sebenarnya berlawanan dengan keinginannya sendiri.


     

  1. Pola Kepribadian

    Elizabeth B. Hurlock (1978) mengemukakan bahwa pola kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi yang terdiri atas "self-concept" sebagai inti atau pusat gravitasi kepribadian dan "traits" sebagai struktur yang mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respon. Setiap pola itu dibahas dalam paparan berikut.

  1. Self-concept (Concept of self )

    Self-concept ini dapat diartikan sebagai (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya sendiri; (b) kualitas penyikapan individu tentang dirinya sendiri; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya.

    Self-concept ini memiliki tiga komponen, yaitu: (a) perceptual atau physical self-concept, citra seseotang tentang penampilan dirinya (kemenarikan tubuh atau bodinya), seperti: kecantikan, keindahan, atau kemolekan tubuhnya; (b) conceptual atau psychological self-concept, konsep seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan ketidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi kualitas penyesuaian hidupnya: honesty, self-confidence, independence, dan courage; dan (c) attitudinal, yang menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan kepenghinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa dewasa, komponen ketiga ini juga terkait dengan aspek-aspek: keyakinan, nilai-nilai, idealita, aspirasi, dan komitmen terhadap way of life hidupnya.

    Dilihat dari jenisnya, Self-concept ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.

  1. The Basic Self-concept. Jane menyebutnya "real-self", yaitu konsep seseorang tentang dirinya sebagaimana adanya. Jenis ini meliputi : persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.
  2. The Transitory Self-concept. Ini artinya bahwa seseorang memiliki "self-concept" yang pada suatu saat dia, memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. "self-concept" ini mungkin menyenangkan tapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman yang lalu.
  3. The Social Self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai "mirror image". Contoh: jika kepada seorang anak dikatakan secara terus-menerus bahwa dirinya "naughty" (nakal), maka dia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak yang nakal. Perkembangan konsep diri sosial seseorang dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial dimana dia hidup, baik keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild mengatakan bahwa apabila seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian guru, dan teman) maka anak akan dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (signifant others) itu menghina, menyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.
  4. The Ideal Self-concept. Konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep diri ideal ini terkait dengan citra fisik maupun psikhis. Pada masa anak terdapat diskrepansi yang cukup renggang antara konsep diri ideal dengan konsep diri yang lainnya. Namun diskrepansi itu dapat berkurang seiring dengan berkembangnya usia anak (terutama apabila seseorang sudah masuk usia dewasa).

    
 


 

    Perkembangan self-concept dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tertera pada gambar berikut.


 

Gambar 2.1 Diagram Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-concept

  1. Traits (Sifat-sifat)

    Traits ini berfungsi untuk mengintegrasikan kebiasaan, sikap, dan keterampilan kepada pola-pola berpikir, merasa, dan bertindak. Sementara konsep diri berfungsi untuk mengintegrasikan kapasitas-kapasitas psikologis dan prakarsa-prakarsa kegiatan.

    Traits dapat diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Dapat diartikan juga sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari lingkungan.

    Deskripsi dan definisi traits di atas menggambarkan bahwa traits merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dipelajari untuk (a) mengevaluasi situasi dan (b) mereaksi situasi dengan cara-cara tertentu.

    Setiap traits mempunyai tiga karakteristik: (a) Uniqueness, kekhasan dalam berperilaku, (b) likeableness, yaitu bahwa trait itu ada yang disenangi (liked) dan ada yang tidak disenangi (disliked), sebab traits itu berkontribusi kepada keharmonisan atau ketidakharmonisan, kepuasan atau ketidakpuasan orang yang mempunyai traits tersebut. Traits yang disenangi seperti: jujur, murah hati, sabar, kasih sayang, peduli, dan bertanggung jawab. Sedangkan yang tidak disenangi seperti: egois, tidak sopan, ceroboh, pendendam, dan kejam/bengis. Sikap seseorang terhadap traits ini merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya; dan (c) consistency, artinya bahwa seseorang itu diharapkan dapat berperilaku atau bertindak secara ajeg.

    Sama halnya dengan "self-concept", "traits" pun dalam perkem-bangannya dipengaruhi oleh faktor hereditas dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah (a) pola asuh orang tua, dan (b) imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa trait dipelajari secara "trial dan error", artinya belajar anak lebih bersifat kebetulan, seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak menangis sambil membanting pintu kamarnya, gara-gara tidak dibelikan mainan yang diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi perbuatan tersebut. Demikian terjadi pada orang dewasa bersikap kurang percaya kepada orang lain sehingga menunjukkan perilaku suka protes seperti "unjuk rasa" sambil berperilaku brutal terhadap ketidakpuasan manajerial perusahaan atau menuntut kenaikan gaji kepada perusahaan. Para pengunjuk rasa melakukan aksi protes dengan cara brutal tersebut apabila pada akhirnya dipenuhi oleh perusahaan maka cara-cara protes demikian akan diulang-ulang untuk mengintimidasi para pengambil kebijakan.

    Anak juga belajar (memahami) bahwa traits atau sifat-sifat dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua kelompok budaya secara universal, seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak orang lain, disiplin, tanggung jawab, dan sikap apresiatif.


 

  1. Perubahan Kepribadian

    Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun dalam kenyataan sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian itu dapat dan mungkin terjadi. Perubahan itu terjadi dipengaruhi oleh faktor gangguan fisik dan lingkungan.

    Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kepribadian di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Faktor Fisik, seperti: gangguan otak, kurang gizi (malnutrisi) mengkonsumsi obat-obat terlarang (NAPZA atau NARKOBA), minuman keras, dan gangguan organik (sakit atau kecelakaan).
  2. Faktor Lingkungan Sosial Budaya, seperti: krisis politik, ekonomi, moral, dan keamanan dapat menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stress, depresi) dan masalah sosial (pengangguran, premanisme, dan kriminalitas).
  3. Faktor Diri Sendiri, seperti: tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan), dan identifikasi atau imitasi tehadap orang lain yang berkepribadian menyimpang.

    Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu: hereditas (genetika) dan lingkungan (environment).

  1. Faktor Genetika (Pembawaan)

    Perpaduan bawaan ayah dan ibu baik fisik maupun psikis akan menentukan potensi-potensi hereditas anak. Beberapa riset tentang perkembangan pranatal (sebelum kelahiran atau masa dalam kandungan) menunjukkan bahwa kemampuan menyesuaikan diri terhadap kehidupan setelah kelahiran (post natal) bersumber pada saat konsepsi.

    Pada saat dalam kandungan dipandang sebagai masa (periode) kritis perkembangan kepribadian, sebab bukan saja sebagai masa pembentukan pola-pola kepribadian, tetapi juga sebagai masa pembentukan kemampuan-kemampuan yang menentukan jenis penyesuaian individu terhadap kehidupan setelah kelahiran.

    Pengaruh pewarisan orang tua terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara langsung, karena yang dipengaruhi genetikan secara langsung adalah (a) kualitas sistem syarat, (b) keseimbangan biokimia tubuh, dan (c) struktur tubuh.

    Lebih lanjut ditemukenali bahwa fungsi hereditas kaitannya dengan perkembangan kepribadian adalah: (a) sebagai sumber bahan mentah (raw materials) kepribadian seperti: fisik, inteligensi, dan temperamen dan (b) membatasi kondisi lingkungannya sangat kondusif, perkembangan kepribadian (sekalipun perkembangan kepribadian itu tidak dapat melebihi kapasitas atau potensi hereditas) dan mempengaruhi keunikan kepribadian.

    Sebagaimana dikemukakan oleh Cattel, dkk. bahwa kemampuan belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi oleh sifat-sifat yang inheren dalam organisme individu itu sendiri. Misalnya fisik (perawakan, energi, kekuatan, dan kemenarikan) dan kapasitas intelektual (cerdas, normal, atau terbelakang). Walaupun begitu, batas-batas perkembangan kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

    Misalnya, seorang anak laki-laki yang tubuhnya kurus, ia akan mengembangkan konsep diri yang kurang nyaman (negatif), bila ia berkembang dalam lingkungan sosial yang sangat menghargai nilai-nilai keberhasilan atletik dan merendahkan kesuksesan dalam bidang lain yang diperolehnya. Demikian seorang anak perempuan yang wajahnya kurang menarik, ia akan merasa rendah diri bila berada di lingkungan keluarga atau lingkungan sosial yang sangat menghargai perempuan dari segi kecantikannya.

    Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hereditas mempengaruhi konsep diri individu sebagai dasar individualitasnya (keunikannya) sehingga tidak ada dua orang yang mempunyai pola-pola kepribadian yang sama, sekalipun kembar identik. Menurut C.S. Hall, dimensi-dimensi temperamen: emosionalitas, aktivitas, agresivitas, dan reaktivitas bersumber dari gen demikian halnya dengan inteligensi.

    Berikut ini studi tetang pengaruh hereditas terhadap kepribadian yang dilakukan oleh Pervin (dalam Yusuf, 2002). Keragaman konstitusi (postur) tubuh, bahwa karakteristik fisik berhubungan dengan kepribadian. Hippocrates meyakini bahwa temperamen manusia dapt dijelaskan berdasarkan cairan-cairan tubuhnya. Kretschemer mengklasifikasikan postur tubuh individu pada tiga tipe utama,dan satu tipe campuran.

    Tipe Piknis (stenis): pendek, gemuk, perut besar, dada dan bahunya bulat. Tipe Asthenis (leptosom): tinggi dan ramping, perut kecil, dan bahu sempit. Tipe Atletik: postur tubuhnya harmonis (tegap, bahu lebar, perut kuat, otot kuat). Tipe Displastis: tipe penyimpangan dari ketiga bentuk di atas

    Tipe-tipe tersebut berkaitan dengan: (a) gangguan mental, seperti tipe piknis berhubungan dengan manik depresif dan asthenis dengan schizophrenia, dan (b) karakteristik individu yang normal seperti tipe piknis mempunyai sifat-sifat: bersahabat dan tenang sedangkan asthenis bersifat serius, tenang, dan senang menyendiri.

    Sebagaimana Sheldon telah mengklasifikasikan postur tubuh manusia adalah: endomorphy, mesomorphy, dan ectomorphy. Klasifikasi ini didasarkan pada hasil pengukuran terhadap aspek-aspek struktural individu yang diambil dari 4000 foto pria telanjang dari posisi depan, belakang, dan samping. Dalam mengembangkan skema untuk mengukur temperamen Sheldon menyusun 650 sifat-sifat menjadi 50 sifat dipilih sebagai dasar penilaian terhadap 33 orang pria yang diwawancarai secara intensif. Hasilnya ia mengkategorikan 3 temperamen, yaitu: viscerotonia, somatotonia, dan cerebrotonia.

Tabel 2.1 Tipologi Temperamen Oleh Sheldon

SOMATOTIPE 

TEMPERAMEN 

SIFAT-SIFAT 

  1. Endomorp= piknis

        (pendek, gemuk)

viscerotonia

Tenang, pandai bergaul, senang bercinta, gemar makan, tidur nyenyak 

  1. Mesomorp= atletik

        (tubuh harmonis)

somatotonia

Aktif, asertif, kompetetif, teguh, dan agresif

3.    Ectomorp= astenis

    (tinggi, kurus)

cerebrotonia

Introvert (senang menyendiri), menahan diri, peragu, kurang berani bergaul dengan orang banyak, (sociophobia), kurang berani berbicara di depan orang banyak 


 

Tabel 2.2 Tipologi Temperamen Oleh Galenius

TEMPERAMEN 

SIFAT-SIFAT 

1.    Sanguinis

a.     Sifat dasar: periang, optimis, percaya diri

b.     Sifat perasannya: mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik hati, tidak serius, kurang dapat dipercaya karena kurang begitu konsekuen

2.     Melankolis

a.     Sifat dasar: pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri

b.     Sifat lainnya: merasa tertekan dengan masa lalunya, sulit menyesuaikan diri, berhati-hati, konsekuen, dan suka menepati janji

3.     Koleris

a.     Sifat dasar: selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif, dan agresif

b.     Sifat lainnya: mudah tersinggung (emosional), suka membuat provokasi, tidak mau mengalah, tidak sabaran, tidak toleran, kurang memiliki rasa homor, cenderung beroposisi, dan banyak inisiatif (usaha)

4.     Plegmatis

a.     Sifat dasar: pendiam, tenang, netral (tidak ada aura perasaan), stabil

b.     Sifat lainnya: merasa cukup puas, tidak peduli (acuh tak acuh), dingin hati (tidak mudah haru), pasif, tidak mempunyai banyak minat, bersifat lambat, sangat hemat, dan tertib/teratur


 

  1. Faktor Lingkungan (environment)

        Faktor lingkungan mempengaruhi kepribadian adalah: keluarga, kebudayaan, dan sekolah.

    1. Keluarga

          Keluarga dipandang sebagai faktor penentu utama terhadap kepribadian anak. Alasannya adalah (1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, (2) anak banyakmenghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota keluarga merupakan "significant others" bagi pembentukan kepribadian anak.

          Keluarga dipandang sebagai suatu lembaga atau unit yang dapat memenuhi kebutuhan individu, terutama kebutuhan pengembangkan kepribadian dan pengembangan ras manusia. Melalui perlakuan dan pengasuhan yang baik oleh orangtua anak dapat memenuhi kebutuhannya, baik fisik-biologis, maupun sosio-psikologisnya. Jika anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka dia cenderung berkembang menjadi seorang pribadi yang sehat.

          Perlakuan orangtua dengan penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial-budaya merupakan faktor kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan warga masyarakat yang sehat dan produktif.

          Iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis yaitu yang dapat memberikan curahan kasih sayang, perhatian, dan bimbingan dalam beragama, maka perkembangan kepribadian anak cenderung positif, sehat (welladjusted). Sebaliknya anak yang dibawa pengasuhan lingkungan keluarga broken home, kurang harmonis, orangtua bersikap keras, kurang memperhatikan nilai-nilai agama, maka perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam menyesuaikan diri (maladjusted).

          Dorothy Law Nolte (Hurlock, 1978: Yusuf, 2002), menggambarkan pengaruh keluarga terhadap perkembangan kepribadian anak sebagai berikut:

      "Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki"

      "Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi"

      "Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri"

      "Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri"

      "Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri"

      "Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri"

      "Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai"

      "Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakukan, ia belajar keadilan"

      "Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya"

      "Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia belajar menemukan cinta"

          Demikian Baldwin, dkk (Yusuf, 2002) mengemukakan temuan penelitiannya bahwa anak yang dikembangkan dalam iklim pengasuhan demokratis, maka ia cenderung memiliki kepribadian lebih aktif, lebih bersikap sosial, lebih memiliki harga diri (percaya diri), lebih memiliki keinginan dalam bidang intelektual, lebih orisinil, dan lebih konstruktif dibandingkan dengan anak yang dibesarkan dalam iklim otoriter.

          Schaefer (Yusuf, 2002) mengkombinasikan pola tingkah laku ibu terhadap anak antara love (cinta kasih sayang) atau hostility (permusuhan), dan control atau autonomy. Kombinasi pola perlakuan ibu digambarkan bagian berikut:


    Gambar 2.2 Pola Tingkah Laku

    1. Kebudayaan

          Kluckhohn berpendapat bahwa "kebudayaan meregulasi kehidupan kita sejak lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak yang mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang telah dibuat orang lain untuk kita".

          Pola-pola perilaku yang sudah terkembangkan dalam masyarakat (bangsa) tertentu (seperti bentuk adat istiadat) sangat memungkinkan mereka untuk memiliki karakteristik kepribadian tertentu yang sama. Kesamaan karakteristik ini mendorong berkembangnya konsep kepribadian dasar (Kardiner: Yusuf, 2002) dan karakter nasional atau bangsa (Gorer: Yusuf, 2002).

          Berikut contoh tipe kepribadian suku Indiana Maya dan Alorese. Suku Indiana memiliki karakteristik: rajin, kurang peka terhadap penderitaan, fatalistik, tidak takut mati, independen namun tidak kompetitif, tidak demonstratif dalam mengekspresikan perasaan, dan jujur. Sementara suku Alorese berkarakteristik: cemas, curiga, kurang percaya diri, kurang berminat ke dunia luar, sangat membutuhkan dorongan kasih sayang, kurang memiliki dorongan untuk mengembangkan keterampilan, dan suka mengkompensasi perasaan rendah dirinya dengan membuat dan membangga-banggakan diri.

          Setiap bangsa di dunia memiliki kepribadian dasar yang relatif berbeda, sebagaimana bangsa Indonesia memiliki kepribadian dasar: religius, ramah, kurang disiplin, bangsa Jepang: ulet, kreatif, dan disiplin; dan bangsa Amerika: optimis, perspektif, disiplin, ulet dalam menyelesaikan sesuatu, namun individualistik.

          Pentingnya peranan kebudayaan terhadap perkembangan kepribadian seseorang tergantung pada tiga prinsip di antaranya: (a) pengalaman awal dalam kehidupan dalam keluarga, (b) pola asuh orangtua terhadap anak, dan (c) pengalaman awal dalam kehidupan anak dalam masyarakat. Jika anak-anak memiliki pengalaman awal kehidupan yang sama dalam suatu masyarakat maka mereka cenderung akan memiliki karakteristik kepribadian yang sama pula.

    2. Sekolah

          Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian anak. Faktor yang dipandang berpengaruh itu di antaranya adalah:

      1. Iklim emosional kelas

            Suasana kelas yang sehat (guru yang ramah, respek antar siswa) memberi dampak posif bagi perkembangan psikis anak, mereka menjadi aman, nyaman, bahagia, mau bekerjasama, termotivasi untuk belajar, mau mentaati peraturan. Sebaliknya kelas yang tidak sejuk (guru bersikap otoriter, tidak menghargai siswa) berdampak kurang baik bagi perkembangan anak, mereka merasa tegang, nervous, mudah marah, malas belajar, berperilaku mengganggu di kelas, tidak tertib.

      2. Sikap dan perilaku guru

            Sikap dan perilaku guru tercermin dalam hubungannya dengan siswa (human relationship). Hubungan guru-siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: strerotip budaya terhadap guru (pribadi dan profesi), positif atau negatif, sikap dan pola pembimbingan guru terhadap siswa, metode mengajar, penegakan disiplin di kelas, dan penyesuaian pribadi guru. Sikap dan perilaku guru secara langsung mempengaruhi "self-concept" siswa, melalui sikap-sikapnya terhadap tugas akademik (kesungguhan dalam mengajar), kedisiplinan dalam mentaati peraturan sekolah, dan perhatiannya terhadap siswa. Secara tidak langsung, pengaruh guru ini terkait dengan upayanya membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan penyesuaian sosialnya.

      3. Disiplin

            Penegakan tata tertib di lingkungan sekolah akan membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Disiplin yang kaku akan mengembangkan sifat-sifat pribadi siswa yang tegang, nervous, dan antagonistik. Disiplin yang bebas, cenderung membentuk sifat siswa yang kurang bertanggungjawab, kurang menghargai otoritas, dan egosentris. Sementara disiplin yang demokratis, cenderung mengembangkan perasaan berharga, merasa bahagia, perasaan tenang, dan sikap bekerjasama.

      4. Prestasi Belajar

            Pencapaian prestasi belajar atau peringkat kelas mempengaruhi peningkatan harga diri dan sikap percaya diri siswa

      5. Penerimaan Teman Sebaya

            Siswa yang diterima oleh teman-temannya, ia akan mengembangkan sikap positif terhadap dirinya, dan juga orang lain. Ia merasa menjadi orang yang berharga.

          

  2. Karakteristik Kepribadian

    Salah satu kata kunci dan definisi kepribadian adalah "penyesuaian (adjustment)". Menurut Alexander A. Schneiders (1964), penyesuaian itu dapat diartikan sebagai "Suatu proses respon individu, baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, tegangan emosional, frustasi dan konflik; dan memelihara keharmonisan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan".

    Dalam upaya memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah yang dihadapi, ternyata tidak semua individu mampu menampilkannya secara wajar, normal atau sehat (well adjustment); di antara mereka banyak juga yang mengalaminya secara tidak sehat (maladjustment).

    E.B. Hurlock (1987) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healty personality) ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.

1.    Mampu menilai diri secara realistik. Individu yang berkepribadian sehat mampu menilai dirinya sebagaimana apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangan atau kelemahannya, yang menyangkut fisik (postur tubuh, wajah, keutuhan, dan kesehatan) dan kemampuan (kecerdasan, dan keterampilan).

2.    Mampu menilai situasi secara realistik. Individu dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerimanya secara wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai suatu yang harus sempurna.

3.    Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu dapat menilai prestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara realistik dan mereaksinya secara rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami " superiority complex", apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan dalam hidupnya. Apabila mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustasi, tetapi dengan sikap optimistik (penuh harapan).

4.    Menerima tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu yang bertanggung jawab. Dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.

5.    Kemandirian (autonomy). Individu memiliki sifat mandiri dalam berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.

6.    Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia dapat menghadapi situasi frustasi, depresi atau stress secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak).

7.    Berorientasi tujuan. Setiap orang memiliki tujuan yang ingin dicapainya. Namun, dalam merumuskan tujuan itu ada yang realistik ada yang tidak realistik. Individu yang sehat kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar. Dia berupaya untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan, perilaku) dan keterampilan.

8.    Berorientasi keluar. Individu yang sehat memiliki orientasi keluar (ekstrovert). Dia bersifat respect, empati terhadap orang lain mempunyai kepedulian terhadap situasi, atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berpikirnya. Barret Leonard mengemukakan sifat-sifat individu yang berorientasi keluar, yaitu (a) menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya sendiri; (b) merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain; (c) tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan tidak mengorbankan orang lain karena kekecewaan dirinya.

9.    Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.

10.    Memiliki filsafat hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari agama, keyakinan, way of life yang dianutnya.

11.    Berbahagia. Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan. Kebahagiaan ini didukung oleh faktor-faktor achievement (pencapaian prestasi), acceptance (penerimaan dari orang lain), dan affection (perasaan dicintai atau disayangi orang lain).

    Berikut ini karakteristik kepribadian yang tidak sehat:

  1. Mudah marah (tersinggung), panik
  2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan berlebihan
  3. Sering merasa tertekan (stres dan dipresi)
  4. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang umurnya lebih muda atau terhadap binatang (sikap intimidasi)
  5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang sekalipun sudah diperingatkan atau dihukum
  6. Mempunyai kebiasaan berbohong, berdusta
  7. Hiperaktif
  8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
  9. Senang mengkritik/mencemooh orang lain
  10. Sulit tidur
  11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab
  12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan bersifat fisiologis)
  13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
  14. Bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan
  15. Kurang bergairan dalam kehidupan ("loyo")

    Kelainan perilaku di atas berkembang bilamana anak hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif dalam perkembangannya. Misalnya, lingkungan keluarga yang kurang berfungsi (disfunctional family) bercirikan "broken home", hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis, kurang menjunjung nilai-nilai agama, orangtua bersikap keras atau kurang memberikan perhatian dengan kasih sayang kepada putra-putrinya.

    Berkembangnya kelainan kepribadian pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang baik, maka upaya pencegahan sebaiknya dilakukan oleh pihak keluarga, sekolah, dan pemerintah bekerja sama untuk menciptakan iklim lingkungan yang memfasilitasi atau memberikan kemudahan kepada anak untuk mengembangkan potensi atau tugas-tugas perkembangannya secara optimal, baik menyangkut fisik, psikis, sosial, dan moral-spiritual.


 

  1. Aplikasi Psikologi Kepribadian

    Teori psikologi kepribadian sebagaimana disebut diatas aplikasinya dalam bidang organisasi, leadership, pendidikan, konseling dan psikoterapi adalah:

  1. Psikologi Organisasi

        Seting organisasi di lingkungan industri dan lingkungan sekolah, rumah sakit, militer dan olah raga. Psikologi kepribadian berusaha untuk memperoleh keseimbangan antara keefektifan organisasi dengan kepuasan anggotanya, membantu pemecahan problem anggota dan motivasi kelompok. Pakar kepribadian banyak mengaplikasikan perspektif lingkungan yang menekankan saling ketergantungan antara individu dengan organisasi. Aplikasi psikologi organisasi di dunia persekolahan dibutuhkan kehadiran pemimpin yang berpotensi mengayomi anggota, berperilaku jujur, kasih sayang kepada sesama, perhatian, terbuka, disiplin, bertanggungjawab, kreatif, menantang terhadap peluang perkembangan, dan sebagainya.

  2. Psikologi Konseling

        Senada dengan psikologi klinik, psikologi konseling menangani gangguan tingkah laku yang ringan, penderita masih dapat melakukan tugas sehari-hari dengan baik, bekerja dan atau berkomunikasi layaknya orang normal. Konselor memberi bantuan kepada konseli memilih jurusan dan karir masa depan, menangani hambatan penyesuaian dalam kaitannya dengan belajar, sosial, pekerjaan, perkawinan, dan kondisi fisik.

  3. Psikologi Pendidikan

        Psikologi kepribadian membantu mengembangkan kepribadian guru, mengenali kepribadian peserta didik dan memanfaatkannya untuk mengoptimalkan prestasi pendidikan, melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebutuhan sekolah dengan tuntutan masyarakat.


     

  4. Evaluasi
    1. Refleksi Diri

        Setelah mengkaji latar psikologi kepribadian, pola-pola kepribadian, faktor pembentuk kepribadian, karakteristik kepribadian, dan aplikasinya maka peserta diharapkan merefleksi pengalaman diri dalam kehidupan dan kinerja profesionalitasnya untuk menyelesaikan tugas berikut:

    1. Menemukan instisari kepribadian menurut pemahaman bahasa sendiri!
    2. Kenalilah karakter/watak/temperamen/trait pribadi anda yang positif dan negatif!
    3. Kenalilah faktor penyebab pembetukan pribadi positif dan/atau negatif anda!
    4. Kenalilah karakter pribadi anda yang cocok menggambarkan profil manajer pendidikan di SMA/MA!
    1. Latihan Gambaran Diri

        Hasil refleksi diri digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan diri dalam latihan berikut:

        Tujuan latihan adalah mengenali profil diri menurut pandangan diri sendiri dan penilaian orang lain.

        Latihan Dalam Kelompok

  1. Bentuklah kelompok kecil 5-6 orang
  2. Tugas setiap peserta mengumpulkan karakter/watak/temperamen/trait anda menurut penilaian teman-teman sebanyak 25 yang berbeda dalam waktu 5 menit. Ambil selembar kertas dan balpoin, catatlah karakter anda menurut teman.
  3. Cocokkan hasil penilaian teman dengan penilaian diri anda
  4. Temukan berapa banyak karakter/watak/temperamen/trait yang sama dan berbeda nilai antara diri dan penilaian teman.
  5. Interpretasikan temuan pada nomor 4. Caranya mengelompokkan penilaian yang sama dan penilaian yang berbeda. Selanjutnya simpulkan sendiri bahwa anda cenderung berkepribadian seperti apa!

BAB III

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: PSIKOANALITIK


 

  1. Paradigma Psikoanalitik Carl Gustav Jung

    Ada beberapa tokoh Psikoanalitik di antaranta Carl Gustav Jung. Jung pada mulanya seorang pengikut setia Freud, namun kemudian mempunyai beberapa pandangan penting yang berbeda. Pertama, Jung menolak pandangan Freud mengenai pentingnya seksualitas. Menurutnya, kebutuhan seks setara dengan kebutuhan manusia lainnya, seperti makan, kebutuhan spiritual, dan pengalaman religius.

    Kedua, Jung menentang pandangan mekanistik terhadap dunia dalam dari Freud; bagi Jung tingkah laku manusia dipicu bukan hanya oleh masa lalu tetapi juga oleh padangan orang mengenai masa depan, tujuan dan aspirasinya. Pandangan Jung bersifat purposive-mechanistic; event masa lalu dan antisipasi masa depan dapat mempengaruhi atau membentuk tingkah laku. Freud memandang kehidupan sebagai usaha memusnahkan atau menekan kebutuhan insting yang terus menerus timbul, sedang Jung memandang kehidupan sebagai perkembangan yang kreatif.

    Ketiga, Jung mengumakakan teori kepribadian yang bersifat racial atau phylogenis (Filogenik: evolusi genetika yang berkait dengan sekelompok makhluk hidup). Asal muasal kepribadian secara filogenik berada pada garis keturunan, melalui jejak ingatan dari pengalaman masa lalu ras manusia). Dasar kepribadian bersifat persona, earth mother, child, wise old man, dan anima, semuanya menjadi predisposisi bagaimana orang menerima dan merespon dunia.


 


 

  1. Struktur Kepribadian C.G Jung

    Kepribadian atau psyche adalah mencakup keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan ketidak sadaran. Kepribadian membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Sejak awal kehidupan, kepribadian adalah kesatuan atau berpotensi membentuk kesatuan. Ketika mengembangkan kepribadian, orang harus berusaha mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen kepribadian.

    Kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran; ego beroperasi pada tingkat sadar, kompleks beroperasi pada tingkat tak sadar pribadi, dan arkhetip beroperasi pada tingkat tak sadar kolektif. Di samping sistem-sistem yang terikat dengan daerah operasinya masing-masing, terdapat sikap (introvers-ekstravers) dan fungsi (pikiran-perasaan-persepsi-intuisi) yang beroperasi pada semua tingkat kesadaran. Ada juga self yang menjadi pusat kepribadian. Struktur kepribadaian Jung digambarkan pada Gambar berikut.


Gambar 3.1 Struktur Kepribadian Menurut Jung

  1. Kesadaran (Consciusness) dan Ego

    Consciusness muncul pada awal kehidupan, bahkan mungkin sebelum dilahirkan. Secara berangsur kesadaran bayi yang umum-kasar, menjadi semakin spesifik ketika bayi itu mulai mengenal manusia dan objek di sekitarnya. Menurut Jung, hasil pertama dari proses diferensiasi kesadaran itu adalah ego. Sebagai organisasi kesadaran ego berperan penting dalam menentukan persepsi, pikiran, perasaan, dan ingatan yang bisa masuk ke kesadaran. Tanpa seleksi ego, jiwa manusia bisa menjadi kacau karena terbanjiri oleh pengalaman yang semua bebas masuk ke kesadaran. Dengan menyaring pengalaman, ego berusaha memelihara keutuhan dalam kepribadian dan memberi orang perasaan kontinuitas dan identitas.

  1. Tak Sadar Pribadi (Personal Unconsciuous) dan Kompleks (Complexes)

    Pengalaman yang tidak disetujui ego untuk muncul ke sadar tidak hilang, tetapi disimpan daam personal unconscious (tak sadar pribadi mirip dengan prasadar dari Freud), sehingga tak sadar pribadi berisi pengalaman yang ditekan, dilupakan, dan yang gagal menimbulkan kesan sadar. Bagian terbesar dari isi tak sadar pribadi mudah dimunculkan ke kesadaran, yakni ingatan siap yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan ke kesadaran.

    Di dalam tak sadar pribadi, sekelompok idea (perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, ingatan-ingatan) mungkin mengorganisir diri menjadi satu, di sebut complexes. Jung menemukan kompleks ini melalui risetnya dalam asosiasi kata. Sering terjadi orang kesulitan dalam ketidaksadaran pribadi berhubungan dengan organisasi pikiran-perasaan-ingatan yang bermuatan emosi yang kuat. Kata apapun yang menyentuh organisasi itu akan menghasilkan respon yang tidak wajar (misalnya respon membutuhkan waktu yang lama sebelum muncul).

    Istilah Kompleks telah menjadi bahasa sehari-hari. Orang dikatakan mempeunyai komplek kalau orang itu jenuh (preoccupied) dengan sesuatu yang mempengaruhi hampir semua tingkah lakunya, sampai-sampai dikatakan oleh Jung, bukan orang itu yang memiliki kompleks, tetapi komplekslah yang memiliki orang itu. Kompleks mempunyai inti, yaitu inti kompleks yang bertindak sebagai magnet menarik atau mengkonsentrasikan berbagai pengalaman kearahnya, sehingga inti itu dipakai untuk menamai kompleks itu. Inti dan unsur yang terkait dengannya bersifat tak sadar, tetapi kaitan-kaitan tersebut dapat dan sering menjadi sadar.

    Misalnya, pegawai atau guru baru di sekolah memiliki kompleks inverior, dia terobsesi dengan penilaian bahwa dirinya kurang berkemampuan, kurang berbakat, kurang menarik, dibanding orang lain. Dia yakin (sadar) bahwa inverioritasnya akibat dari prestasi buruknya di sekolah atau di tempat kerja, hanya mempunyai sedikit teman, dan tidak mampu mengemukakan kemauan dan keinginannya. Orang yang mengidap kompleks pemimpin, maka pikiran, perasaan dan perbuatannya dituntun oleh konsepsi tentang pemimpin-profesionalitas, otoritas, kesuksesan seorang pemimpin. Napoleon terobsesi oleh kekuasaan yang membuatnya mampu mendirikan kekaisaran, Tolstoy terobsesi oleh kesederhanaan, dam Michael Angelo terobsesi oleh keindahan.

    Mula-mula, Jung berpendapat bahwa pengalaman masa kecil memicu    berkembangnya suatu kompleks. Namun sesudah menganalisis bagaimana pengalaman masa kecil itu dapat menimbulkan kekuatan yang sangat besar, Jung menemukan faktor pendukung timbulnya kompleks di dalam tingkat kesadaran yang paling dalam, yaitu tak sadar kolektif.

  1. Tak Sadar Kolektif (Collective Unconscious)

    Tak sadar kolektif di sebut juga transpersonal unconscious, konsep asli Jung yang paling kontroversial; suatu sistem psikis yang paling kuat dan paling berpengaruh, dan pada kasus-kasus patologik mengungguli ego dan ketidaksadaran pribadi. Menurut Jung, evolusi makhluk (manusia) memberi blue-print bukan hanya mengenai fisik atau tubuh tetapi juga mengenai kepribadian. Tak sadar kolektif adalah gudang ingatan laten yang diwariskan oleh leluhur, baik leluhur dalam wujud manusia maupun leluhur pramanusia atau binatang (ingat teori evolusi Darwin). Ingatan yang diwariskan adalah pengalaman-pengalaman umum yang terus menerus berulang lintas generasi. Namun yang diwariskan itu bukanlah memori atau pikiran yang spesifik, tetapi lebih sebagai predisposisi (kecenderungan untuk bertindak) atau potensi untuk memikirkan sesuatu. Adanya predisposisi membuat orang menjadi peka, dan mudah membentuk kecenderngan tertentu, walaupun tetap membutuhkan pengalaman dan belajar. Manusia lahir dengan potensi kemampuan mengamati tiga dimensi, dan kemampuan itu baru diperoleh sesudah manusia belajar melalui pengalamannya. Proses yang sama terjadi pada kecenderungan rasa takut pada ular dan kegelapan, menyayangi anak, serta keyakinan adanya Tuhan.

    Tak sadar kolektif merupakan fondasi ras yang diwariskan dalam keseluruhan struktur kepribadian. Di atasnya dibangun ego, tak sadar pribadi, dan pengalaman individu. Jadi apa yang dipelajari dari pengalaman secara substansial dipengaruhi oleh tak sadar kolektif yang menyeleksi dan mengarahkan tingkah laku sejak bayi. Bentuk dunia yang dilahirkan telah dihadirkan dalam dirinya, dan gambaran yang ada di dalam itu mempengaruhi pilihan-pilihan pengalaman secara tak sadar. Tak sadar pribadi dan tak sadar kolektif sangat membantu manusia dalam menyimpan semua yang telah dilupakan atau diabaikan, dan semua kebijakan dan pengalaman sepanjang sejarah. Mengabaikan tak sadar dapat merusak ego, karena delusi dan sipmtom gangguan psikologik. Isi utama dari tak sadar kolektif adalah arsetip, yang dapat muncul ke kesadaran dalam wujud simbolisasi. Sebagaimana digambarkan pada Struktur Kepribadian menurut Jung.

  1. Arsetip (Archetype)

    Tak sadar kolektif berisi image dan bentuk pikiran yang banyaknya tak terbatas tetapi Jung memusatkan diri pada image dan bentuk pikirian yang muatan emosinya besar, yang dinamakannya archetype (dinamakan juga dominan, primordial image, imago, mitologic image, atau pola tingkah laku). Seperti gambaran primordial lainnya, arsetip adalah bentuk tanpa isi, mewakili atau melambangkan peluang munculnya jenis persepsi dan aksi tertentu. Mereka memiliki kekuatan yang sangat besar, kekuatan pengalaman manusia yang berusia ribuan tahun.

    Arkhetip yang muncul pada pengalaman awal manusia membentuk pusat kompleks yang mampu menyerap pengalaman lain kepadanya. Arkhetip "kekuatan" misalnya; sepanjang sejarah manusia telah dihadapkan dengan kekuatan alam yang dahsyat, arus sungai, air terjun, banjir, badai, petir, kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, lapindo, dan lain-lain. Nenek moyang kita pada generasi manapun mengagumi kekuatan dan berkeinginan kuat untuk menciptakan dan mengontrol kekuatan. Sikap terhadap kekuatan lintas generasi itu akhirnya menjadi unsur yang ikut diturunkan dalam proses kelahiran, dalam bentuk arsetip kekuatan. Bayi yang baru lahir telah memiliki predisposisi untuk mengagumi kekuatan dan hasrat untuk menciptakan dan mengontrolnya. Arsetip ibu menghasilkan gambaran tentang ibu dalam tak sadar kolektif yang kemudian diidentifikasikan dengan ibu yang senyatanya. Dengan kata lain bayi mewarisi kosepsi mengenai ibu yang bersifat umum (yang sudah terbentuk ratusan generasi sebelumnya), yang akan ikut menentukan bagaimana bayi mempersepsikan ibunya. Jadi persepsi bayi kepada ibunya ditentukan oleh arsetip ibu dan pengalaman nyata bayi tersebut dengan ibunya. Kedua faktor itu berpadu secara harmonis, karena arsetip merupakan kumpulan pengalaman universal, yang cocok dipakai siapa saja.

    Jung mengidentifikasi berbagai arsetip; lahir, kebangkitan (lahir kembali), kematian, kekuatan, magi, uniti, pahlawan, Tuhan, setan, orang bijak, ibu pertiwi, binatang, dll. Di antaranya yang paling penting dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku adalah; persona, anima-animus, shadow, dan self. Keempat archetype ini telah berkembang jauh dan sering dipandang sebagai sistem terpisah dalam kepribadian:

    Persona: topeng, wajah yang dipakai menghadapi publik. Itu mencerminkan persepsi masyarakat mengenai peran yang harus dimainkan seseorang dalam hidupnya. Itu juga mencerminkan harapan bagaimana seharusnya diri diamati orang lain. Persona adalah kepribadian publik, aspek-aspek pribadi yang ditunjukkan kepada dunia luar, atau pendapat publik mengenai diri individu- sebagai lawan dari kepribadian diri yang berada di balik wajah sosial.

    Persona dibutuhkan untuk survival, membantu diri mengontrol perasaan, pikiran, dan tingkah laku. Tujuannya adalah menciptakan kesan tertentu kepada orang lain dan sering juga menyembunyikan hakekat pribadi yang sebenarnya. Namun manakala orang mengidentifikasi diri seutuhnya dengan personanya, itu akan membuat dirinya asing dengan dirinya sendiri dan dengan perasaan-perasaanya sendiri. Ia menjadi manusia palsu, sekedar pantulan masyarakat, bukan manusia yang otonom. (Dalam beberapa hal persona mirip dengan konsep super ego dari Freud).

    Anima dan Animus: Manusia pada dasaranya biseks. Begitu pula dalam kepribadian, ada arsetip femini dalam kepribadian pria, disebut anima, dan arsetip maskulin dalam kepribadian wanita disebut animus. Arsetip itu merupakan produk pengalaman ras manusia. Sesudah mengalami hidup bersama berabad-abad, pria menjadi memiliki sifat feminin dan sebaliknya wanita menjadi memiliki sifat maskulin. Sifat-sifat itulah yang diturunkan dalam bentuk arsetip, anima dan animus. Karakter yang digambarkan oleh Jung itu mewujud pada perilaku Kepala Sekolah atau Pemimpin berjenis kelamin perempuan menunjukkan arsetip maskulin di sebut animus, demikian terjadi bagi laki-laki yang berprofesi sebagai Koki cenderung berperilaku gambaran arsetip feminim di sebut anima.

    Anima dan animus menyebabkan masing-masing jenis menunjukkan ciri lawan jenisnya, sekaligus berperan sebagai gambaran kolektif yang memotivasi masing-masing jenis untuk tertarik dan memahami lawan jenisnya. Pria memahami wanita berdasarkan animanya, dan wanita memahami kodrat pria berdasarkan animusnya. Namun identifikasi gambaran ideal anima dan animus tanpa menghiraukan perbedaannya dengan kenyataan, bisa menimbulkan kekecawaan karena keduanya tidak identik. Harus ada kompromi antara tuntunan tak sadar kolektif dengan realitas dunia, agar terjadi penyesuaian yang sehat.

    Shadow: bayangan adalah arsetip yang mencerminkan insting kebinatangan yang diwarisi manusia dari evolusi makhluk tingkat rendahnya. Menurut Darwin manusia adalah evolusi dari binatang, dan sifat-sifat kebinatangan tetap ada dalam diri manusia, dalam wujud arsetip shadow atau bayangan. Jadi bayangan adalah sisi binatang dalam kepribadian manusia, arsetip yang sangat kuat dan berpotensi menimbulkan bahaya. Namun karena bermuatan emosi yang kuat, spontanitas, dan dorongan kreatif, bayangan juga menjadi sumber penggerak kehidupan (ingat konsep ego ideal dari Freud).

    Bayangan bila diprojeksikan keluar apa adanya akan menjadi iblis atau musuh. Bayangan juga mengakibatkan ke dalam kesadaran muncul pikiran-perasaan-tindakan yang tidak menyenangkan dan dicela masyarakat. Karena itu bayangan disembunyikan di balik persona, atau ditahan oleh tak sadar pribadi. Itulah sebabnya arsetip itu mempengaruhi tak sadar pribadi dan pada gilirannya juga akan mempengaruhi ego.

    Apabila bayangan dan ego bekerja sama, kekuatan bayangan tersalur ke dalam tingkah laku yang berguna, dan dampaknya orang menjalani hidup dengan penuh semangat. Tetapi jika bayangan tidak tersalur dengan baik, kekuatan bayangan menjadi agresi, kekejian yang merusak diri sendiri dan orang lain. Bayangan adalah insting dasar yang menuntun penyesuaian dengan realita berdasarkan pertimbangan untuk menyelamatkan diri (survival). Insting semacam itu sangat penting dalam situasi yang menuntut keputusan dan reaksi segera, karena bayangan dapat membuat tingkah laku dalam situasi bahaya tetap efektif. Sebaliknya apabila bayangan tidak dapat dimanfaatkan, atau direpress, pikiran sadar dari ego tidak mengambil keputusan dengan cepat, orang akan kebingungan ketika mengahadapi situasi bahaya sehingga tidak dapat bertindak.

    Self: Konsep keutuhan dan kesatuan kepribadian dipandang sangat penting oleh Jung. Self adalah arsetip yang memotivasi perjuangan orang menuju keutuhan. Arsetip self menyatakan diri dalam berbagai simbol, seperti lingkaran magis atau mandala (simbol meditrasi Agama budha, mandala dalam bahasa sansekerta artinya lingkaran), dimana self menjadi pusat lingkaran itu. Bentuk mandala itu di dalamnya sering terdapat segi empat. Lingkaran menjadi simbol dari kesatuan-keutuhan, dan segi empat mempunyai banyak makna, bisa arah mata angin, bisa empat elemen dunia: api-air-tanah-angin.

    Self menjadi pusat kepribadian, dikelilingi oleh semua sistem lainnya. Self mengarahkan proses individuasi, melalui self aspek kreativitas dalam ketidaksadaran diubah menjadi disadari dan disalurkan ke aktivitas produktif. Kalau digambarkan kesadaran dengan ego berada dipusatnya, dapat dibayangkan proses asimilasi isi-isi tak sadar ke dalam sadar membutuhkan pusat yang mengatur keduanya. Titik tengah-tengah antara sadar dan tak sadar itu menjadi tempat self, yang menyeimbangkan antara sadar dan tak sadar, yang menjamin kepribadian memiliki pondasi baru yang lebih kokoh.

    Sebelum self muncul, berbagai komponen kepribadian harus lebih dahulu berkembang sepenuhnya dan terindividuasikan. Karena alasan ini, arsetip diri tidak akan tampak sebelum orang mencapai usia setengah baya. Pada usia itu orang mulai berusaha dengan sungguh-sungguh dan disiplin mengubah pusat kepribadiannya dari ego sadar ke ego yang berada di antara kesadaran dan ketidak sadaran (daerah tempat self). Konsep tentang self mungkin merupakan penemuan psikologik Jung yang terpenting dan merupakan puncak penelitian yang intensif mengenai arsetip.


 

  1. Simbolisasi (Symbolization)

    Simbol adalah tanda yang tampak yang mewakili hal lain (yang tidak tampak). Arsetip yang terbenam di dalam tak sadar kolektif hanya dapat mengekspresikan diri melalui simbol-simbol. Hanya dengan menginterpretasikan simbo-simbol ini, yang muncul dalam mimpi, fantasi, penampakan (vision), myth, seni, dll, dapat diperoleh pengetahuan mengenai tak sadar kolektif dan arsetipnya.

    Simbol beroperasi dalam dua cara. Pertama, dalam bentuk retrospektif, dibimbing oleh insting simbol mungkin secara sederhana menunjukkan impuls yang karena alasan tertentu tidak terpuaskan. Misalnya, dansa mungkin simbolik dari perilaku seks. Simbolisasi retrospektif semacam ini mirip dengan konsep sublimasi dari Anna Freud.

    Kedua, dalam bentuk prospektif, dibimbing oleh tujuan akhir kemanusiaan, simbol mengekspresikan kumpulan kebijaksanaan yang telah dicapai, yang dapat diterapkan pada masa yang akan datang. Misalnya, belajar atau sekolah mungkin simbol dari harapan dan cita-cita. Simbol prospektif menggambarkan tingkat perkembangan yang mendahului keberadaan manusia saat itu. Kebenaran, kesucian, kedermawanan (mirip dengan ego ideal Freud) adalah simbol dari perbuatan yang mengarah ke keyakinan ke Tuhan-an, sebagai puncak evolusi jiwa manusia.

  1. Sikap dan Fungsi (Attitude and Function)

        Kecuali ego, semua aspek kepribadian yang telah dibahas berfungsi pada tingkat tak sadar. Ada dua aspek kepribadian yang beroperasi di tingkat sadar dan tidak sadar, yakni attitude (introversion-ekstroversion) dan function (thinking, feeling, sensing and intuiting).

  1. Sikap Introversi (Introversion) dan Ekstroversion (Extraversion)

        Sikap introversi mengarahkan pribadi ke pengalaman subjektif, memusatkan diri pada dunia dalam dan pribadi di mana realita hadir dalam bentuk hasil pengamatan, cenderung menyendiri, pendiam atau tidak ramah, bahkan kehidupan internal mereka sendiri. Tentu saja mereka juga mengamati dunia luar, tetapi mereka melakukannya secara selektif, dan memakai pandangan subjektif mereka sendiri.

        Sikap ekstraversi mengarahkan pribadi ke pengalaman objektif, memusatkan perhatiannya ke dunia luar alih-alih berpikir mengenai persepsinya, cenderung berinteraksi dengan orang sekitarnya, aktif dan ramah. Orang yang ekstravertif sangat menaruh perhatian mengenai orang lain dan dunia sekitarnya, aktif, santai, tertarik dengan dunia luar. Ekstravert lebih terpengaruh oleh dunia di sekitarnya, alih-alih oleh dunia dalamnya sendiri.

        Kedua sikap yang berlawanan itu ada dalam kepribadian, tetapi biasanya salah satunya dominan dan sadar, sedangkan yang lainnya kurang dominan dan tak sadar. Apabila ego lebih bersifat ekstravert dalam berhubungan dengan dunia luar, maka tak sadar pribadi akan bersifat introvert. Sebaliknya kalau ego introvert, maka tak sadar pribadinya akan ekstravert. Hanya sedikit orang yang murni introvert, demikian murni ekstravert. Umumnya orang memiliki beberapa elemen dari dua sisi itu, artinya manusia umumnya dipengaruhi oleh dunia dalam dan dunia luar secara bersamaan. Juga, keduanya mempunyai nilai yang sama, masing-masing mempunyai kelemahan dan kekuatan. Orang yang sehat psikisnya adalah orang yang mecapai keseimbangan antara dua sikap itu, merasa sama-sama nyamannya dengan dunia dalam dan dunia luarnya.

  1. Pikiran (Thinking) – Perasaan (Feeling) – Pengindraan (Sensing) – Intuisi (Intuiting)

        Pikiran adalah fungsi intelektual, mencari saling hubungan antar ide untuk memahami alam dunia dan memecahkan masalah. Perasaan adalah fungsi evaluasi, menerima atau menolak ide dan obyek berdasarkan apakah mereka itu membangkitkan perasaan positif atau negatif, memberi pengalaman subjektif manusia seperti kenikmatan, rasa sakit, marah, takut, sedih, gembira, dan cinta. Pikiran dan perasaan adalah fungsi rasional karena keduanya melibatkan keharusan memutuskan sesuatu; misalnya apakah dua ide saling berhubungan atau tidak (berpikir) atau sesuatu itu menyenangkan atau tidak menyenangkan (perasaan).

        Pengindraan (pendriaan) melibatkan operasi dari indera-melihat, mendengar, meraba, menjilat, mencium, serta merespon rangsang dari dalam tubuh sendiri. Jadi pengindraan adalah fungsi perseptual atau kenyataan, menghasilkan fakta-fakta kongkrit atau bentuk representasi dunia. Intuisi adalah persepsi secara tak sadar atau subliminal, memperoleh kebenaran tanpa melalui fakta yang kongkrit. Pengindraan dan intuisi adalah fungsi non-rasional. Keduanya merespon stimuli, baik yang nyata maupun tidak nyata, tidak melalui pikiran atau evaluasi.

        Keempat fungsi itu ada pada setiap orang, biasanya dalam tingkat opersional dan perkembangan yang berbeda. Satu fungsi yang paling berkembang dominan di sebut fungsi superior, dibawahnya ada fungsi pelengkap (auxilary) yang akan mengambil peran superior kalau fungsi yang paling dominan itu kerjanya terganggu. Fungsi yang paling kurang berkembang di sebut fungsi inverior, yang direpres menjadi tidak disadari, yang terungkap dalam mimpi dan fantasi. Dalam kelompok rasional, berpikir bertentangan dengan perasaan, sehingga kalau berpikir superior, perasaan menjadi inverior, dan salah satu penginderaan atau intuisi akan menjadi auxilary. Begitu pula halnya, kalau pengideraan superior, intuisi menjadi inverior, dan auxilary berpikir atau berperasaan.

        Tujuan ideal yang diperjuangkan oleh kepribadian adalah mengembangkan keempat fungsi itu dalam tingkat yang sama, sehingga tidak ada yang superior dan inverior. Sintesa semacam itu hanya terjadi apabila diri telah diaktualisasikan sepenuhnya, hal yang tidak pernah dapat dicapai sepenuhnya.


 

  1. Tipologi Jung (Gabungan Sikap-Fungsi)

    Jung memakai kombinasi sikap dan fungsi ini untuk mendeskripsi tipe-tipe kepribadian manusia. Jadi Jung pada dasarnya mengembangkan teori dalam paradigma Psikoanalisis, pada elaborasi konsep sikap dan fungsi memakai paradigma tipe. Dari kombinasi sikap (ekstravers dan introvers) dengan fungsi (perasaan, pikiran, pengindraan, intuisi) dan pada akhirnya diperoleh delapan macam tipe manusia, yakni tipe ekstraversi-pikiran, ekstraversi-perasaan, ekstraversi-pengindraan, ekstraversi-intuisi, introversi-pikiran, introversi-perasaan, introversi-pengindraan, introversi-intuisi. Setiap orang memiliki dua tipe kepribadian, satu beroperasi di kesadaran dan lainnya di ketidaksadaran. Kedua tipe itu saling bertentangan. Kalau tipe sadarnya pikiran ekstravert tipe tak sadarnya perasaan intravert, kalau tipe sadarnya ekstraversi-pengindraaan maka tipe tak sadarnya introversi-intuisi, atau sebaliknya. Tipologi Jung disajikan dalam ikhtisar pada Tabel 3.1 deskripsi masing-masing tipe itu sebagai berikut:

  1. Introversi-pikiran: orang yang emosinya datar, mengambil jarak dengan orang lain, cenderung menyenangi ide-ide abstrak alih-alih menyenangi orang dan benda kongkrit lainnya. Mereka mengembara dengan pikirannya sendiri, tidak peduli apakah ide-idenya bisa diterima orang lain. Terkesan keras kepala, kurang perhatian, arogan, dan dingin atau tidak ramah (kaku). Kata kuncinya adalah sifat mengambil jarak – intelektual – tidak praktis, tipe kepribadian dari filsuf, teoritisi, sehingga kurang cocok dimiliki oleh seorang pemimpin.
  2. Ekstraversi-pikiran: orang yang cenderung tampil seperti tidak kenal orang (impersonal), dingin atau angkuh, menekan fungsi perasaannya, orang berprinsip kenyataan objektif, bukan hanya untuk dirinya tapi juga mengharap orang lain seperti dirinya. Tidak semua fikiran obyektif bersifat produktif. Kalau sama sekali tidak ada interpretasi individu, yang muncul adalah paparan fakta, tanpa orisinalitas atau kreativitas. Kata kuncinya adalah sifat obyektif-kaku- dingin, tipe kepribadian dari matematikawan, fisikawan, peneliti, ahli mesin, akuntan.
  3. Introversi-perasaan: orang yang mengalami perasaan emosional yang kuat tetapi menyembunyikan perasaan itu. Orang yang menilai segala hal dengan memakai persepsi-subyektif alih-alih fakta obyektif, mengabaikan pandangan dan keyakinan tradisional, pendiam, sederhana, tidak dapat diduga. Terkesan memiliki rasa percaya diri dan kehidupan jiwa yang harmonis, tetapi perasaanya tiba-tiba bisa hancur oleh badai emosi. Mengabaikan dunia obyektif, membuat orang di sekitarnya merasa tidak nyaman, atau bersikap dingin kepadanya. Kata kunci adalah pendiam, kekanak-kanakan, tidak acuh, tipe kepribadian seniman, pengarang, dan kritikus seni.
  4. Ekstraversi-perasaan: orang yang perasaannya mudah berubah begitu situasinya berubah. Emosional dan penuh perasaan, tetapi juga senang bergaul dan pamer. Mudah bergaul akrab dalam waktu yang pendek, mudah menyesuaikan diri. Kata kuncinya adalah sifat bersemangat-periang-sosiabel, tipe kepribadian dari aktor, penaksir harga real-estate, politisi, pengacara.
  5. Introversi-pengindraan: cenderung terbenam dalam sensasi-sensasi jiwanya sendiri, dan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak menarik. Orang yang tampil kalem, bisa mengontrol diri, tetapi juga membosankan. Dia bukan tidak dipengaruhi fakta atau kenyataan, tetapi fakta atau kenyataan itu diterima dan dimaknai secara subyektif, yang bisa-bisa tidak ada hubungannya dengan fakta aslinya. Introversi-pengindraan yang ekstrim ditandai oleh halusinasi, bicara yang tidak bisa dipahami, atau esoteris (hanya bisa dipahami orang tertentu saja). Kata kuncinya adalah sifat pasif-kalem-artistik, tipe kepribadian dari pelukis impresionis, pemusik klasik.
  6. Ekstraversi-pengindraan: orang yang realistik, praktis dan keras kepala. Menerima fakta apa adanya tanpa pikiran mendalam. Terkadang mereka juga sensitif, menikmati cinta dan kegairahan. Sensasi indranya tidak dipengaruhi oleh sikap subyektif, mampu membedakan fakta secara rinci. Kata kuncinya adalah sifat realistis-merangsang-menyenangkan, tipe kepribadian dari pekerjaan kuliner, pencicip anggur, ahli cat, pemusik pop, tetapi juga bisa pebisnis
  7. Introversi-intuisi: terisolir dalam dunia gambaran primordial mereka sendiri kadang tidak tahu maknanya. Mereka mungkin juga tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Cenderung praktis, memahami fakta secara subyektif. Namun persepsi intuitif sering sangat kuat dan mampu mendorong orang lain mengambil keputusan yang istimewa. Kata kuncinya adalah sifat mistik-pemimpin-unik, tipe kepribadian dari dukun supranatural/peramal nasib, pemeluk agama yang fanatik. Sepertinya seorang pemimpin perlu memiliki modal sifat introversi-intuisi dalam suatu orgnanisasi.
  8. Ekstraversi-intuisi: orientasinya faktual, tetapi pemahamannya sangat dipengaruhi oleh intuisi, yang mungkin sekali bertentangan dengan fakta itu. Data sensoris justru menjadi sarana untuk menciptakan data baru secara intuitif, untuk memecahkan suatu masalah. Selalu mencari dunia baru untuk ditaklukkan. Mereka sangat hebat dalam mendirikan dan mengembangkan usaha baru, tetapi minatnya terus menerus berubah atau bergerak. Kata kuncinya adalah sifat efektif-berubah-kreatif, tipe kepribadian dari penanam modal, wiraswastawan, penemu (inventor).

Tabel 3.1 Ikhtisar Tipologi C.G Jung

SIKAP 

FUNGSI 

TIPE 

CIRI KEPRIBADIAN 

Ekstraversi 

Pikiran 

Ekstraversi-pikiran 

Manusia ilmiah, aktivitas intelektual berdasarkan data obyektif 

 

Perasaan 

Ekstraversi-perasaan 

Manusia dramatik, menyatakan emosinya secara terbuka dan cepat berubah

 

Pengindraan 

Ekstraversi-pengindraan 

Pemburu kenikmatan, memandang dan menyenagi dunia apa adanya 

 

Intuisi 

Ekstraversi-intuisi 

Pengusaha, bosan dengan rutinitas, terus menerus menginginkan dunia baru untuk ditaklukkan

Introversi 

Pikiran 

Introversi-pikiran 

Manusia filsuf, penelitian intelektual internal 

 

Perasaan 

Introversi-perasaan 

Penulis kreatif, menyembunyikan perasaan, sering mengalami badai emosional 

 

Pengindraan 

Introversi-pengindraan

Seniman, mengalami dunia dengan cara pribadi & berusaha mengekspresikannya secara pribadi 

 

Intuisi 

Introversi-intuisi 

Manusi peramal, pemimpin, sukar mengkomunikasikan intuisinya 


 

  1. Dinamika Kepribadian
    1. Interaksi antar Struktur Kepribadian

    Prinsip Oposisi

    Berbagai sistem, sikap dan fungsi kepribadian saling berinteraksi dengan tiga cara, saling bertentangan (oppose), saling mendukung (compensate), dan bergabung menjadi kesatuan (synthese). Prinsip oposisi paling sering tejadi, karena kepribadian berbagai kecenderungan konflik. Menurut Jung, tegangan (akibat konflik) adalah esensi hidup; tanpa itu tidak ada energi dan tidak ada kepribadian. Oposisi muncul dimana-mana–ego versus shadow, introversi versus ekstraversi, berfikir versus berperasaan, dan anima atau animus versus ego (juga saling kompensasi). Oposisi juga terjadi antar tipe kepribadian, ekstraversi versus introversi, pikiran versus perasaan dan pengideraan versus intuisi.

    Prinsip Kompensasi

    Dipakai untuk menjaga agar kepribadian tidak menjadi neurotik. Umumnya terjadi antara sadar dan tak sadar; fungsi yang dominan pada kesadaran dikompensasi oleh hal lain yang direpres. Misalnya kalau sikap sadar mengalami frustasi, sikap tak sadar akan mengambil alih. Ketika orang tidak mencapai apa yang dipilihnya, dalam tidur sikap tak sadar mengambil alih dan muncul ekspresi mimpi. Arsetip berkompensasi dengan pikiran sadar, anima atau animus berkompensasi dengan karakter feminin atau maskulin.

    Prinsip Penggabungan

    Menurut Jung, kepribadian terus menerus berusaha untuk menyatukan pertentangan-pertentangan yang ada. Berusaha untuk mensintesakan pertentangan untuk mencapai kepribadian yang seimbang dan integral. Integrasi ini hanya sukses dicapai melalui fungsi transenden.

  1. Energi Psikis

    Fungsi Energi

    Interaksi antar struktur kepribadian membutuhkan energi. Jung berpendapat bahwa personaliti adalah sistem yang relatif tertutup, bersifat kesatuan yang saling mengisi, terpisah dari sistem energi lainnya. Kepribadian dapat mengambil energi baru dari proses biologis dan dari sumber eksternal, yakni pengalaman individu, untuk memperkuat energi psikis. Berfungsinya kepribadian tergantung kepada bagaimana energi dipakai. Energi yang dipakai oleh kepribadian di sebut energi psikis, atau energi hidup (life energy). Energi itu tampak dari kekuatan semangat, kemauan dan keinginan, serta berbagai proses seperti mengamati, berpikir, dan memperhatikan. Jung berpendapat ada hubungan saling mempengaruhi antara kekuatan energi fisik dengan kekuatan energi psikis, nemun tidak dijelaskan bagaimana hubungan itu terjadi. Energi psikis berasal dari pengalaman; melalui pengalaman hidup terjadi perubahan energi fisik menjadi energi psikis. Energi psikis kemudian dikonsumsi oleh kepribadiam untuk melakukan semua aktivitas psikis. Namun Jung menyatakan energi psikis sebagai konstruk hipotesis, tidak dapat diukur secara langsung. Energi psikis itu hanya bisa dipahami dari besarnya usaha yang dilakukan pada suatu kegiatan.

    Nilai Psikis (Psychic Value)

    Ukuran banyaknya energi psikis yang tertanam dalam salah satu unsur kepribadian di sebut nilai psikis (psychic value) dari unsur itu. Suatu ide atau perasaan tertentu dikatakan memiliki value psikis yang tinggi kalau ide atau perasaan itu memainkan peran penting dalam mencetuskan dan mengarahkan tingkah laku. Ide tentang keindahan dikatakan mempunyai nilai psikis yang tinggi pada diri seseorang kalau orang itu mencurahkan energinya (fisik ke psikis) agar dirinya dikelilingi oleh obyek-obyek yang indah, berwisata ke tempat-tempat yang indah, dan seterusnya. Pegawai kebersihan di sekolah yang bekerja sekedar untuk mendapat gaji, bekerja memakai energi fisik yang besar tetapi hanya memakai energi psikis sedikit. Sebaliknya pegawai yang bekerja penuh perasaan dan perhatian (karena senang dengan jenis pekerjaannya) dan dengan penuh semangat dan pengabdian (karena senang dengan perlakuan pimpinannya), memakai energi fisik yang besar dibarengi dengan energi psikis yang juga besar.

    Nilai psikis suatu ide atau perasaan tidak dapat ditentukan secara absolut, tetapi nilai relatifnya (mana yang lebih kuat dari yang lain) dapat dianalisis, misalnya dengan menanyakan dan mengobservasi mana yang lebih dipilih atau lebih disukai seseorang di antara beberapa ide yang diperbandingkan, berapa lama waktu yang disediakan untuk berusaha mencapainya, dan besarnya usaha untuk menembus halangan dalam usaha mencapainya.

Tabel 3.2 Menaksir Value Unconscious

METODE 

DESKRIPSI 


 


 

Observasi dan deduksi

Mengamati tingkah laku dan mengamati lingkungan, misalnya, diamati—seorang wanita yang membicarakan ibunya hampir semua percakapan, meniru minat ibunya, meluangkan waktu teman-teman ibunya, memilih membaca buku tentang ibu dan anak, semua pertanda mengacu adanya kompleks ibu.

Jika komplek hanya tampak dalam bentuk tersembunyi, bisa dianalisis elemen tingkah laku yang terpisah dan disimpulkan secara deduktif penyebab yang melatar belakanginya. Misalnya, diamati seorang pria yang patuh tetapi juga semaunya sendiri. Orang tsb mungkin ingin mengontrol orang lain memakai manipulasi yang lembut, suatu kompleks kekuasaan


 

Indikator Kompleks

Mencatat dan meneliti berbagai gangguan tingkah laku seperti salah ucap atau hambatan ingatan. Memanggil istrinya memakai nama ibunya mungkin ungkapan kompleks ibu. Lupa nama temannya (bernama Siti) ketika ingin mengenalkan kepada orang lain


 

Reaksi emosional 

Ditunjukkan kepada seseorang sebagai kata atau kalimat dan mencatat reaksinya, antara lain waktu reaksinya dan pola respon fisiologiknya. Respon lambat mungkin menandai bahwa kata itu berasosiasi dan menyentuh komplek yang disembunyikan. Respon fisiologi yang tidak umum (misalnya denyut jantung meningkat) mungkin menunjukkan emosi yang meningkat.


 

    Cara di atas hanya bermanfaat untuk energi psikis yang dipakai dalam kegiatan di tingkat sadar dan tidak banyak menjelaskan energi psikis di tingkat tak sadar. Nilai psikis tak sadar harus ditentukan dengan menganalisis "daya konstelasi unsur inti suatu kompleks". Kekuatan kompleks adalah jumlah kelompok item atau pengalaman yang dapat disimpulkan berhubungan oleh inti kompleks. Inti kompleks seks misalnya mempengaruhi banyak tingkah laku di sekitarnya, seperti pilihan judul buku yang dibaca, kegiatan olah raga, minat bergaul, koleksi barang, jenis pekerjaan, dan lain-lain. Menaksir kekuatan kompleks itu dapat dilakukan dengan metoda observasi & deduksi, indikator kompleks, dan reaksi emosional sebagaimana diringkas dalam Tabel 3.2.

  1. Kesamaan (Equivalence) dan Keseimbangan (Entropy)

    Energi psikis bekerja mengikuti hukum termodinamika, yakni prinsip ekuivalen dan prinsip entropy. Prinsip ekuivalen menyatakan, jumlah energi psikik selalu tetap hanya distribusinya yang berubah. Jika energi pada suatu elemen menurun, energi pada elemen lain akan menaik. Misalnya, jika perhatian anak kepada orang tuanya menurun, maka perhatiannya kepada teman sebayanya akan naik. Orang yang energi sadarnya bertambah, energi tak sadarnya akan berkurang.

    Prinsip entropy mengemukakan tentang kecenderungan energi menuju ke keseimbangan. Dua benda yang panasnya berbeda, manakala bersentuhan maka benda yang lebih panas akan mengalirkan panasnya ke benda yang lebih dingin, sampai temperatur keduanya sama. Jadi apabila dua nilai psikis kekuatannya tidak sama, maka energi yang lebih tinggi akan mengalir ke energi yang lebih rendah, sampai terjadi keseimbangan. Misalnya, ekstraversi yang tinggi akan mengalirkan energinya sehingga dalam tak sadar introversinya juga semakin tinggi. Tujuan entropy adalah keseimbangan homostatik. Keseimbangan yang sempurna tidak pernah dapat dicapai, karena sistem kepribadian hanya relatif tertutup, masih dimungkinkan adanya perubahan energi akibat dari adanya konflik di dalam maupun pengaruh dari luar. Naik turunnya energi itu disamping disebabkan oleh perpindahan energi dari bagian satu ke bagian yang lain (ekuivalen) dan mengalirnya energi dari yang kuat ke yang lemah (entropy), bisa juga karena penambahan atau pengurangan energi dari luar, baik dari sistem fisik maupun dari lingkungan.

    Hukum umum dari Jung menyatakan bahwa perkembangan hanya satu sisi dari kepribadian akan menimbulkan konflik, sedang tegangan dan perkembangan simultan semua aspek akan menghasilkan harmoni dan kepuasan. Karena bagian atau sistem yang lemah akan selalu berusaha untuk menjadi kuat, bagian dari kepribadian yang sangat kuat terus menerus ditekan oleh bagian lain yang lemah.

  1. Tujuan Penggunaan Energi

    Energi psikis dipakai untuk dua tujuan utama, memelihara kehidupan (preservation of life) dan pengembangan aktivitas kultural dan spiritual (development of cultural and spiritual activity). Ketika manusia menjadi lebih efisien dalam memuaskan kebutuhan dasar dan kebutuhan biologisnya, mereka mempunyai energi lebih banyak untuk mengembangkan minat kultural. Tujuan-tujuan itu diraih melalui gerak progresi (progression) dan/atau gerak regresi (regression):

a.     Progresi adalah gerak maju, berkat keberhasilan ego sadar menyesuaikan tuntutan lingkungan dan kebutuhan tak sadar secara memuaskan, energi akan mendukung gerak progresif dimana kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan disatukan dalam arus yang harmonis.

  1. Regresi adalah gerak mundur dari energi psikis akibat adanya frustrasi, sehingga energi psikis itu banyak dikuasai atau dipakai di dalam proses tak sadar. Regresi tidak selalu buruk, karena gerak mundur itu dapat membantu ego menemukan cara mengatasi hambatan, misalnya regresi itu mungkin dapat mengungkap pengetahuan atau kebijaksanaan yang ada dalam ketidaksadaran sebagai arsetip. Regresi semacam itu biasa muncul dalam bentuk mimpi.

    Gerakan yang didukung energi bukan hanya maju atau mundur. Ketika lingkungan menentang pemuasan kebutuhan instingtif, ego mempunyai dua macam pilihan pemakaian energi, yakni sublimasi atau represi.

  1. Sublimasi adalah mengubah tujuan instingtif yang tidak dapat diterima dengan tujuan yang dapat diterima lingkungan. Ini berarti memindahkan energi dari proses instingtif yang kabur menjadi lebih tegas dan mementingkan tujuan kultural dan spiritual.
  2. Represi adalah menekan instingtif yang tidak mendapat penyaluran rasional di lingkungan, tanpa mengganggu ego. Insting itu ditekan ke tak sadar, energi dipakai untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat membuat insting yang ditekan tidak muncul ke kesadaran.


 

  1. Perkembangan Kepribadian
    1. Mekanistik (Mechanistic), Purposif (Purposive), dan Sinkronisitas (Synchronicity)

        Perkembangan kepribadian adalah salah satu peristiwa yang sangat penting. Pendekatan Jung untuk menjelaskan mengapa peristiwa psikis itu terjadi lebih lengkap dibanding Freud. Pandangan Freud bersifat mekanistik atau kausalistik, menurutnya semua peristiwa disebabkan oleh sesuatu yang terjadi pada masa lalu. Jung mengedepankan pandangan purposif atau teleologik, yang menjelaskan kejadian sekarang ditentukan oleh masa depan atau tujuan. Jung yakin bahwa dua pandangan ini, mekanistik dan purposif dibutuhkan untuk melengkapi pemahaman terhadap kepribadian; masa kini ditentukan bukan hanya oleh masa lalu tetapi juga oleh masa depan. Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsra karena terpenjara masa lalu. Manusia tidak bisa bebas menentukan tujuan atau membuat rencana karena masa lalu yang tidak dapat diubah itu yang menentukan apa yang akan terjadi. Sebaliknya, prinsip purposif membuat orang mempunyai perasaan penuh harapan, ada sesuatu yang membuat orang berjuang dan bekerja.

        Menurut Jung peristiwa psikis tidak selalu dapat dijelaskan dengan prinsip sebab akibat. Dua peristiwa psikis yang terjadi secara bersamaan dan tampak saling berhubungan, yang satu tidak menjadi penyebab dari yang lain, karena keduanya tidak dapat ditunjuk mana yang masa lalu dan mana yang masa depan. Ini dinamakan prinsip sinkronisitas (synchronicity). Jung menyimpulkan dari pengalaman-pengalaman dalam telepati mental, pengindraan batin (clairvoyance), dan fenomena paranormal lainnya; bahwa ada jenis aturan lain di alam semesta di samping aturan sebab-akibat, aturan itulah prinsip sinkronisitas. Dalam banyak kasus, sering orang menjelaskan suatu peristiwa itu terjadi karena orang sangat memikirkan hal itu, atau karena yakin bahwa hal itu akan terjadi. Sekedar memikirkan atau keyakinan jelas tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan peristiwanya. Jung memakai prinsip sinkronisitas untuk menjelaskan tata kerja arsetip. Arsetip sebagai isi tak sadar tidak menjadi sebab terjadinya peristiwa mental atau fisik. Prinsip sinkronisitaslah yang membuat peristiwa mental atau fisik terjadi bersamaan dengan aktifnya isi-isi tak sadar.

    1. Individuasi (Individuation) dan Transendensi (Transcendent)

        Tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan yang disebut realisasi diri. Orang dikatakan mencapai realisasi diri, kalau dia dapat mengintegrasikan semua kutub-kutub yang berseberangan dalam jiwanya, menjadi kesatuan pribadi yang homogen. Realisasi diri berarti meminimalkan persona, menyadari anima atau animusnya, menyeimbangkan introversi dan ekstraversi, serta meningkatkan empat fungsi jiwa dan pikiran, perasaan, pengindraan, intuisi dalam posisi tertinggi. Realisasi diri juga berarti asimilasi tak sadar ke dalam keseluruhan kepribadian, dan menyatukan ego dengan self sebagi pusat kepribadian. Realisasi diri ini umumnya hanya dapat dicapai sesudah usia pertengahan. Untuk mencapainya, seluruh aspek kepribadian harus dikembangkan melalui proses individuasi, namun harus dijaga agar perkembangan itu tetap dalam satu kebulatan unitas melalui proses transendensi.

    Individuasi

    Proses analitik, memilah-milah, merinci, dan mengelaborasi aspek-aspek kepribadian. Semua aspek beserta percabangan atau rinciannya harus ikut berkembang bersama-sama dalam satu kebulatan. Apabila ada suatu bagian kepribadian yang terabaikan, maka sistem yang terabaikan itu menjadi pusat resistensi. Sistem itu akan berusaha merampas energi dari sistem yang sudah berkembang, agar dia dapat ikut berkembang. Jiwa yang mempunyai banyak resistensi bisa memunculkan gejala-gejala neurotik. Arsetip-arsetip, insting-insting tak sadar harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan diri melalui ego. Bayangan atau shadows misalnya, harus dikembangkan dengan menyalurkan energinya ke arah yang positif. Orang yang mengabaikan kekuatan bayangan ini, akan menjadi orang yang kelelahan, kehilangan semangat.

    Transendensi

    Proses sintetik, mengintegrasikan materi tak sadar dengan materi kesadaran. Mengintegrasikan aspek-aspek di dalam suatu sistem, dan mengintegrasikan sistem-sistem secara keseluruhan agar dapat berfungsi dalam satu kesatuan secara efektif. Represi dan regresi mungkin menghambat proses transendensi, tetapi arsetip transenden ini sangat kuat. Jung banyak menemukan arsetip transendensi atau kebutuhan integrasi ini pada mimpi, mitos, dan simbolisasi mandala. Menurut Jung gambar atau lukisan mandala bisa mempunyai efek teraputik (karena mendorong proses integrasi) dan banyak pasien Jung yang membayangkan lukisan mandala secara spontan. Jung yakin, tidak ada orang yang dapat mengabaikan pengaruh arsetip integrasiunitas, walaupun tingkat pencapaiannya bervariasi. Mencapai kesempurnaan, diferensiasi yang tuntas, keseimbangan dan unitas yang sempurna, mungkin hanya dimiliki oleh para nabi.


 

  1. Tahap-Tahap Perkembangan

    Hereditas diberi peranan penting dalam psikologi Jung. Pertama, hereditas berkenaan dengan insting biologik yang berfungsi memelihara kehidupan dan reproduksi. Insting-insting merupakan sisi binatang pada kodrat manusia. Pandangan semacam itu tidak berbeda dengan padangan biologi modern. Kedua, hereditas juga mewariskan pengalaman leluhur dalam bentuk arsetip; ingatan tentang ras yang telah menjadi bagian hereditas karena diulang berkali-kali lintas generasi. Biologi modern mempertanyakan pandangan ini (bagaimana pengalaman dapat mengubah gen?) begitu juga psikologi modern (bagaimana nurture dapat mengubah nature?).

    Jung tidak menyusun tahap-tahap perkembangan seacra rinci seperti Freud. Ada 4 tahap perkembangan, masa anak, remaja & dewasa awal, usia pertengahan, dan usia tua. Perhatian utamanya tertuju pada tujuan-tujuan perkembangan, khususnya tahap ke dua pada tekanan perkembangannya terletak pada pemenuhan syarat sosial dan ekonomi, dan tahap ke tiga ketika orang mulai membutuhkan nilai spiritual.

  1. Usia Anak (Childhood)

        Jung membagi usia anak menjadi tiga tahap, yakni tahap anarkis (anachic), tahap monarkis (monarchic), dan tahap dualistik (dualistic). Tahapan-tahapan itu tidak memakai batasan usia secara kaku, karena ketiganya berada dalam kontinum dan perubahannya terjadi secara perlahan atau berangsur-angsur.

        Tahap anarkis (0-6 tahun): ditandai dengan kesadaran yang kacau dan sporadis (kadang ada kadang tidak). Mungkin muncul "pulau-pulau kesadaran" tetapi antar pulau satu dengan yang lain tidak saling berhubungan. Pengalaman pada fase anarkis ini sering muncul ke dalam kesadaran sebagai gambaran primitif, yang tidak dapat dijelaskan secara akurat.

        Tahap monarkis (6 – 8 tahun): pada anak-anak ditandai dengan perkembangan ego, dan mulainya pikiran verbal dan logika. Pada tahap ini anak memandang dirinya secara obyektif, sehingga sering secara tidak sadar mereka menganggap dirinya sebagai orang ketiga. Pulau-pulau kesadaran semakin luas, semakin banyak (sehingga ada saling hubungan menjadi satu), dihuni oleh ego-primitif.

        Tahap dualistik (8 – 12 tahun): ditandai dengan pembagian ego menjadi dua, obyektif dan subyektif. Anak kini memandang dirinya sebagai orang pertama, dan menyadari eksistensinya sebagai individu yang terpisah. Pada tahap dualistik ini kesadaran terus berkembang, pulau-pulau kesadaran menyatu, dihuni oleh ego-kompleks yang menyadari diri sendiri baik sebagai obyek maupun sebagai subyek. Jung mengamati bahwa anak-anak sering mengalami kesulitan emosional. Menurutnya, hampir pasti kesulitan itu merefleksikan "pengaruh buruk di rumah". Sampai anak masuk sekolah, mereka masih belum memiliki kesadaran identitas diri. Menurut Jung, anak hidup dalam atmosfer jiwa yang tertutup yang diberikan orang tuanya, dan kehidupan psikisnya diatur oleh insting. Kecuali ritme tidur, makan, defakasi, dan tingkah laku biologis dasar lain yang diatur oleh insting, tingkah laku lain bersifat anarkis dan kacau kalau tidak diprogram oleh orang tuanya. Jelas salah sekali menginterpretasi anak yang aneh – keras kepala – tidak patuh atau sukar diasuh, sebagai tingkah laku yang sengaja atau tingkah laku yang terganggu secara serius. Dalam kasus semacam itu selalu harus diuji iklim psikologis dan sejarah pengasuhan anak. Hampir tanpa kecuali akan ditemukan bahwa penyebab "anak sulit" adalah orang tuanya.

  1. Usia Pemuda

        Tahap pemuda berlangsung mulai dari pubertas sampai usia pertengahan. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya; menemukan pasangan, membina rumah tangga, dan mempunyai tempat tinggal. Tahap ini ditandai oleh meningkatnya kegiatan, kematangan seksual, tumbuh-kembangnya kesadaran, dan pemahaman bahwa era bebas masalah dari kehidupan anak-anak sudah hilang. Kesulitan utama yang dihadapi pemuda adalah bagaimana melupakan hidup dengan kesadaran yang sempit pada masa anak-anak. Kecenderungan untuk hidup seperti anak-anak dan menolak menghadapi kelumpuhan pribadi pada separuh kehidupannya yang akan datang, mengalami hambatan usaha mencapai realisasi diri, tidak mampu menciptakan tujuan baru, dan tidak bisa mencari makna baru dalam kehidupan. "kelahiran jiwa" terjadi pada awal pubertas, mengikuti terjadinya perubahan-perubahan fisik dan ledakan seksualitas. Tahap ini ditandai oleh perbedaan perlakuan orang tua, dari perlakukan kepada anak-anak menjadi perlakuan kepada orang dewasa. Tiba-tiba kepribadian harus banyak membuat keputusan dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial. Jika pemuda disiapkan secara baik, perubahan dari aktivitas anak-anak menjadi aktivitas vokasional akan berlangsung lancar. Jika pemuda terikat dengan ilusi anak-anak, atau mengembangkan harapan yang tidak realistik, dia akan menghadapi masalah yang luar biasa besar. Misalnya pemuda yang bercita-cita menjadi pilot, ternyata ketajaman matanya tidak memenuhi syarat, kalau dia tidak segera menggeser tujuannya (berarti dia terikat ilusi masa kecilnya), dia mungkin akan mengalami distres. Tidak semua masalah tahap kedua ini datang dari luar, seperti pilihan pekerjaan tadi.

        Kesulitan bisa datang dari dalam, misalnya yang disebabkan oleh insting seksual, atau terlalu peka, atau perasaan tidak aman. Di dalam lubuk jiwa seseorang, dia mungkin ingin tetap menjadi anak, tetap berada dalam tahap dimana tidak ada masalah nyata dan tidak ada tanggung jawab. Namun tugas dari usia perkembangan tahap kedua ini yang lebih penting adalah menangani masalah yang datang dari luar. Orang harus mampu membuat keputusan, mengatasi hambatan, dan memperoleh kepuasan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.

  1. Usia Pertengahan

        Tahap ini dimulai antara usia 35 atau 40 tahun. Puncak perkembangan sudah lewat, tetapi periode ini justru ditandai dengan aktualisasi potensi yang sangat bervariasi. Pada usia ini orang yang ingin tetap memakai nilai-nilai sosial dan moral usia pemuda, menjadi kaku dan fanatik dalam mempertahankan postur dan kelenturan fisiknya, mereka mungkin berjuang habis-habisan untuk mempertahankan tampang dan gaya hidup masa mudanya. Menurut Jung, kebanyakan orang tidak siap melangkah menuju usia pertengahan, orang berada di usia pertengahan dengan menganggap nilai-nilai mudanya masih bisa berlaku sampai sekarang. Sesuatu yang mustahil karena orang tidak dapat hidup di masa pertengahan dengan aturan anak-anak, apa yang bagus pada masa anak-anak menjadi buruk pada masa pertengahan, apa yang dulu dianggap benar kini menjadi penipuan.

        Menurut Jung, tahap ini ditandai dengan munculnya kebutuhan nilai spiritual, kebutuhan yang selalu menjadi bagian dari jiwa, tetapi pada usia muda dikesampingkan karena pada usia itu orang lebih tertarik dengan nilai materialistik. Pada usia pertengahan orang sudah berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki pekerjaan mantap, kawin, punya anak, ikut serta dalam kegiatan sosial. Tiba-tiba mereka menemukan dirinya kehilangan tidak tahu makna dan tujuan hidupnya sendiri. Mereka tidak lagi berminat kepribadiannya menjadi kosong. Mereka membutuhkan nilai-nilai baru yang dapat memperluas pandangan hidup yang materialistik. Usia pertengahan adalah usia realisasi diri. Mereka ingin memahami makna kehidupan dirinya, ingin memahami kehidupan di dalam diri mereka sendiri.

  1. Usia Tua

        Tahap usia tua kurang mendapat perhatian Jung. Menurutnya, usia tua mirip dengan usia anak-anak; pada kedua tahap itu fungsi jiwa sebagian besar bekerja di tidak sadar. Pada anak-anak belum terbentuk pikiran dan kesadaran ego, sedang pada orang tua mereka berangsur-angsur tenggelam dalam tak sadar, dan akhirnya hilang-masuk ke dalamnya. Jika pada awal kehidupan orang takut hidup (nanti kerja apa, rumahnya dimana, dan seterusnya), pada usia tua hampir pasti orang takut mati. Takut mati mungkin sesuatu yang normal, namun menurut Jung mati adalah tujuan hidup. Hidup hanya benar-benar bermakna kalau kematian dipandang sebagai tujuan hidup.

        Kebanyakan klien Jung berusia pertengahan dan usia tua, dan banyak di antara mereka yang mengalami kesengsaraan karena berorientasi ke belakang, merangkul kuat-kuat tujuan dan gaya hidup masa lalu dan menjalani hidup tanpa tujuan. Jung mengobati mereka dengan membantu memantapkan tujuan baru dan menemukan makna kehidupan melalui pemahaman yang benar makna kematian. Jung menggarap hal itu melalui interpretasi mimpi, karena mimpi orang usia tua sering penuh dengan simbol-simbol kelahiran kembali, seperti; mimpi mengembara ke tempat yang jauh atau mimpi pindah rumah. Jung memakai simbol-simbol itu untuk memahami sikap tak sadar klien terhadap kematian, dan membantu mereka memahami makna kehidupan secara filosofis.


 

  1. Aplikasi
    1. Psikometeri: Tes Asosiasi kata

        Jung bukan orang pertama yang memakai teknik asosiasi, tetapi dia dihargai karena mengembangkan dan menyempurnakan tes itu. Pada mulanya dia memakai teknik itu untuk menunjukkan validitas hipotesa Freud, bahwa tak sadar beroperasi sebagai proses otonom. Kini, tujuan tes asosiasi Jung adalah untuk mengungkap perasaan-perasaan yang bermuatan kompleks. Gambaran-gambaran yang terikat dalam lingkaran kompleks mempunyai muatan emosi yang besar, dan ungkapan emosional itu dapat diukur. Jung memakai 100 kata sebagai stimulus, yang dipilih dan disusun untuk memancing reaksi emosi. Klien diperintah untuk merespon setiap kata dengan kata pertama yang muncul dalam pikirannya. Respon kata itu dicatat, dilengkapi dengan pengukuran waktu reaksi, detak jantung, dan respon galvanik kulit. Dilakukan tes ulang untuk memperoleh konsistensi jawaban. Reaksi-reaksi tertentu menjadi pertanda bahwa stimulus kata itu menyentuh kompleks.

    1. Psikoterapi

        Teori Jung tidak banyak berpengaruh dalam psikoterapi-psikoanalisis. Secara tidak langsung teori Jung justru tampak pada pendekatan terapi dari Rogers (fenomolog) dan dari Maslow (humanistik), keduanya mengembangkan teori kepribadian memakai paradigma di luar paradigma psikoanalitik.

        Ketika menjalani terapi, menurut Jung kliennya akan melewati empat tahapan yakni pengakuan (confession), pencerahan (elucidation), pendidikan (education), dan perubahan (transformation).

    1. Konfesi: mirip dengan katarsis dari Freud, klien memuntahkan isi-isi tak sadar yang mengganggunya, dengan memakai obyek di sekitarnya (terutama terapis) sebagai sarana.
    2. Eludikasi: termasuk di dalamnya interpretasi dan penjelasan, penyebab timbulnya tingkah laku neurosis yang tidak dikehendaki, mirip dengan trasferensi dari Freud.
    3. Edukasi: terapis mendorong klien untuk mempelajari tingkah laku baru, agar klien dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menjawab tantangan-tantangan yang muncul.
    4. Transformasi: memberi jalan klien mencapai realisasi-diri. Membantu klien belajar membedakan berbagai aspek jiwa sehingga pasien itu mampu mengatur aspek-aspek itu dalam harmoni dan merealisasi semua potensinya.

        Jung memakai pendekatan eklektik dalam teori dan praktek psikoterapinya, perlakuannya kepada klien bervariasi, tergantung kepada usia, tahap perkembangan, dan jenis neurosisnya. Dua pertiga kliennya berusia pertengahan, dan kebanyakan menderita karena kehilangan makna hidup, kehilangan tujuan hidup dan takut mati. Jung berusaha membantu klien semacam itu menemukan orientasi filosofis mereka masing-masing. Dia sangat hati-hati, untuk tidak memakai filosofisnya sendiri sebagai resep kepada kliennya, dan mendorong mereka menemukan makna hidup pribadi mereka sendiri.

        Tujuan terapi Jung adalah membantu klien neurotik menjadi lebih sehat dan mendorong klien yang lebih sehat untuk bekerja mandiri mencapai realisasi-dirinya. Teknik analisis mimpi dipakai untuk menemukan materi tak sadar (yang mengganggu) dan membawanya ke kesadaran.

    Analisis Mimpi

    Pandangan Jung mengenai mimpi ada yang sama dengan Freud ada pula yang berbeda. Persamaannya; mimpi itu mempunyai makna yang harus dicermati secara saksama, mimpi muncul dari dalam dunia tak sadar, dan makna mimpi diekspresikan dalam bentuk simbolik.

    Perbedaannya, Freud memandang mimpi sebagai pemenuhan hasrat (wish fulfillment) dan simbolisasi mimpi berhubungan dengan dorongan seksual, sedang Jung memandang mimpi sebagai usaha spontan mengetahui hal yang tidak diketahui dalam tak sadar sebagai bagian dari pengembangan kepribadian. Mimpi bisa merupakan proses kompensasi (perasaan dan sikap yang tidak dapat diekspresikan ketika terjaga, menemukan celah untuk muncul pada waktu tidur), atau proses tak sadar yang menggambarkan recana masa depan dan pemecahan suatu masalah (membimbing fungsi sadar membuat adaptasi yang lebih memuaskan). Jadi simbolisasi Jung bisa mewakili konsep apapun, bukan hanya representasi seksual. Tujuan interpretasi mimpi dari Jung adalah mengungkap elemen-elemen yang ada di tak sadar pribadi dan tak sadar kolektif, mengintegrasikannya ke dalam kesadaran untuk mempermudah proses realisasi-diri.


 

IV

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: TRAIT


 

  1. Paradigma Trait Abraham Maslow

    Teori Abraham Maslow dimasukkan ke dalam paradigma Traits karena teori itu menekankan pentingnya kebutuhan dalam pembentukan kepribadian. Dalam hal ini kedudukan Maslow menjadi unik. Pada mulanya dia adalah pengikut setia John Watson, sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok behavioris. Namun kemudian dia menyadari bahwa Behaviorisme dan Psikoanalisis yang mengembangkan teori berdasarkan penelitian binatang dan orang neurotik, tidak berhasil menangkap kewajiban nilai-nilai kemanusiaan. Abraham Maslow akhirnya menjadi orang pertama yang memproklamirkan aliran humanistik sebagai kekuatan ketiga dalam psikologi (kekuatan pertama: psikoanalisis, dan kekuatan kedua behaviorisme).

    Humanisme menegaskan adanya keseluruhan kapasitas martabat dan nilai kemanusiaan untuk menyatakan diri (self-realization). Humanisme menentang pesimisisme dan keputusasaan pandangan psikoanalitik dan konsep kehidupan "robot" pandangan behaviorisme. Humanisme yakin bahwa di dalam dirinya manusia memiliki potensi untuk berkembang sehat dan kreatif, dan jika orang mau menerima tanggung jawab untuk hidupnya sendiri, dia akan menyadari potensinya, mengatasi pengaruh kuat dari pendidikan orang tua, sekolah dan tekanan sosial lainnya. Pandangan humanisme dalam kepribadian menekankan hal-hal berikut:

  1. Holisme

    Holisme menegaskan bahwa organisme selalu bertingkahlaku sebagai kesatuan yang utuh, bukan sebagai rangkaian bagian/komponen yang berbeda. Jiwa dan tubuh bukan dua unsur yang terpisah tetapi bagian dari satu kesatuan, dan apa yang terjadi di bagian satu akan mempengaruhi bagian lain. Hukum yang berlaku umum mengatur fungsi setiap bagian. Hukum inilah yang mestinya ditemukan agar dapat dipahami berfungsinya tiap komponen.

    Kepribadian normal ditandai dengan unitas, integrasi, konsistensi, dan koheren (unity, integration, consistency, dan coherence). Organisasi adalah keadaan normal, dan disorganisasi berarti patologik.

  1. Organisme dapat dianalisis dengan membedakan tiap bagiannya, tetapi tidak ada bagian yang dapat dipelajari dalam isolasi. Keseluruhan berfungsi menurut hukum-hukum yang tidak terdapat dalam bagian-bagian.
  2. Organisme memiliki suatu drive yang berkuasa, yakni aktualisasi diri (self- actualization). Orang berjuang tanpa henti (continuous) untuk merealisasi potensi inheren yang dimilikinya pada ranah manapun yang terbuka baginya.
  3. Pengaruh lingkungan eksternal pada perkembangan normal bersifat minimal. Potensi organisme, jika bisa terungkap di lingkungan yang tepat, akan menghasilkan kepribadian yang sehat dan integral.
  4. Penelitian yang komprehensif terhadap satu orang lebih berguna daripada penelitian ekstensif terhadap banyak orang mengenai fungsi psikologis yang diisolir.
  1. Menolak Riset Binatang

    Psikologi humanistik menekankan perbedaan antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku binatang. Riset binatang memandang manusia sebagai mesin dan mata rantai refleks-kondisioning, mengabaikan karakteristik manusia yang unik seperti idea, nilai-nilai, keberanian, cinta, humor, cemburu, dosa, serta puisi, musik, ilmu, dan hasil kerja berfikir lainnya. Menurut Maslow, behaviorisme secara filosofis berpandangan dehumanisasi.

  1. Pandangan Tentang Manusia: Baik dan Bukan Setan

    Menurut Maslow, manusia memiliki struktur psikologik yang analog dengan struktur fisik: mereka memiliki "kebutuhan, kemampuan, dan kecenderungan yang sifat dasarnya genetik." Beberapa sifat menjadi ciri umum kemanusiaan, sifat-sifat lainnya menjadi ciri unik individual. Kebutuhan, kemampuan, dan kecenderungan ini secara esensial suatu yang baik, atau paling tidak suatu yang netral, itu bukan setan. Pandangan Maslow ini menjadi pembaharuan terhadap pandangan yang menganggap kebutuhan dan tendensi manusia itu buruk atau antisosisal (misalnya apa yang di sebut dosa warisan oleh ahli agama dan konsep ideal dari Freud). Sifat setan yang jahat, destruktif dan kekerasan adalah hasil dari frustasi atau kegagalan memuaskan kebutuhan dasar, dan bukan bagian dari hereditas. Manusia mempunyai struktur yang potensional untuk berkembang positif.

  1. Potensi Kreatif

    Kreativitas merupakan ciri universal manusia, sejak dilahirkan. Itu adalah sifat alami, sama dengan sifat biji yang menumbuhkan daun, burung yang terbang, maka manusia kreatif. Kreativitas adalah potensi semua orang yang tidak memerlukan bakat dan kemampuan yang khusus. Sayangnya umumnya orang justru kehilangan kreativitas ini karena proses pembudayaan (enculturated). Termasuk di dalamnya pendidikan formal, yang memasung kreativitas dengan menuntut keseragaman berfikir kepada semua siswanya. Hanya sedikit orang yang kemudian menemukan kembali potensi kreatif yang segar, naif, dan langsung dalam memandang segala sesuatu.


 

  1. Menekankan Kesehatan Psikologik

    Pendekatan humanistik mengarahkan pusat perhatiannya kepada manusia sehat, kreatif dan mampu mengaktualisasikan diri. Ilmu jiwa seharusnya memusatkan analisisnya kepada tema pokok kehidupan manusia, yakni aktualisasi diri. Maslow berpendapat psikopatologi umumnya hasil dari penolakan, frustasi, atau penyimpangan dari hakekat alami seseorang. Dalam pandangan ini, apa yang baik adalah semua yang memajukan aktualisasi diri, dan yang buruk atau abnormal adalah segala hal yang menggagalkan atau menghambat atau menolak kemanusiaan sebagai hakekat alami. Karena itu psikoterapi adalah usaha mengembalikan orang ke jalur aktualisasinya dan berkembang sepanjang lintasan yang diatur oleh alam di dalam dirinya.

    Teori psikoanalisis tidak komprehensif karena didasarkan pada tingkahlaku abnormal atau tingkah laku sakit. Maslow berpendapat bahwa penelitian pada orang lumpuh dan neurotik hanya akan menghasilkan psikologi "lumpuh." Karena ia justru meneliti orang yang berhasil merealisasikan potensinya secara utuh, memiliki aktualisasi diri, memakai dan mengeksploitasi sepenuhnya bakat, kapasitas dan potensinya. Obyek penelitiannya adalah orang-orang yang terkenal, tokoh-tokoh idola yang kreativitas dan aktuaslisasi-dirinya mendapat pengakuan dari masyarakat luas, misalnya: Eleanor Roosevelt, Albert Einstein, Walt Whiteman, dan Ludwig Bethoven.


 

  1. Motivasi: Teori Hirarki Kebutuhan

    Maslow menyusuri teori motivasi manusia, di mana variasi kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk hirarki atau berjenjang. Setiap jenjang kebutuhan dapat dipenuhi hanya kalau jenjang sebelumnya telah (relatif) terpuaskan.

  1. Hubungan Antar Kebutuhan

    Jenjang motivasi bersifat meningkat, maksudnya bahwa kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah harus relatif terpuaskan sebelum orang menyadari atau dimotivasi oleh kebutuhan yang jenjangnya lebih tinggi. Jadi kebutuhan fisiologi harus terpuaskan terlebih dahulu sebelum muncul kebutuhan rasa aman. Sesudah kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpuaskan, baru muncul kebutuhan kasih sayang, begitu seterusnya sampai kebutuhan dasar terpuaskan-baru akan muncul kebutuhan meta.

    Pemisahan kebutuhan tidak berarti masing-masing bekerja secara eksklusif, tetapi kebutuhan bekerja tumpang tindih sehingga orang dalam suatu ketika dimotivasi oleh dua kebutuhan atau lebih. Tidak ada orang yang basic need-nya terpuaskan 100%. Maslow memperkirakan rata-rata orang dapat terpuaskan kebutuhan fisiologisnya 85%, kebutuhan keamanan terpuaskan 70%, kebutuhan mencintai dan dicintai terpuaskan 50%, self-esteem terpuaskan 40%, dan kebutuhan aktualisasi terpuaskan sampai 10%. Orang bukannya bergerak lurus dari kebutuhan fisiologis → terpuaskan → rasa aman → terpuaskan → belonging → dan seterusnya, tetapi tingkat kepuasan pada suatu jenjang mungkin masih sangat rendah, orang sudah memperoleh kepuasan yang lebih besar dari pada jenjang yang lebih tinggi. Tidak peduli seberapa tinggi jenjang yang sudah dilewatinya, kalau jenjang di bawah mengalami ketidakpuasan atau tingkat kepuasannya masih sangat kecil, dia akan kembali ke jenjang yang tak terpuaskan itu sampai memperoleh tingat kepuasan yang dikehendaki.

  1. Kebutuhan Rendah Versus Kebutuhan Tinggi

    Pada umumnya kebutuhan yang lebih rendah mempunyai kekuatan atau kecenderungan yang lebih besar untuk diprioritaskan. Namun bisa terjadi pengecualian, akibat sejarah perkembangan perasaan, minat, dan pola berpikir sejak anak-anak, orang yang kreatif lebih mementingkan ekspresi bakat khususnya alih-alih memuaskan dorongan sosialnya, orang memprioritaskan kebutuhan kepuasan self-esteem di atas kebutuhan kasih sayang dan cinta, atau orang memprioritaskan nilai-nilai atau ide tertentu dan mengabaikan kebutuhan fisiologis dan rasa aman.

    Perkecualian yang lain, kebutuhan itu tidak muncul berurutan dari rendah ke tinggi, tetapi kebutuhan yang lebih tinggi muncul lebih awal mendahului kebutuhan yang lebih rendah. Misalnya pada orang tertentu kebutuhan self-esteem muncul lebih dahulu daripada kebutuhan cinta dan afeksi; dan mungkin pada orang tertentu kebutuhan kreatif-nya mendahului kebutuhan lainnya. Jika orang tidak pernah kekurangan kebutuhan dasar mungkin mereka menjadi cenderung menganggap ringan kebutuhan itu, sehingga kebutuhan itu tidak menjadi motivator tingkah lakunya. Dia meloncat ke kebutuhan kasih sayang yang menjadi sangat kuat karena kedua orang tuanya sibuk-tidak punya waktu untuk memberi perhatian dan cinta kepada anaknya. Baru ketika terjadi bencana, muncul kebutuhan fisiologis yang mungkin mereka tidak segera mampu menanganinya.

    Penbandingan antara kebutuhan-kebutuhan itu dipostulatkan oleh Maslow sebagai berikut:

  1. Kebutuhan meta muncul belakangan dalam evolusi perkembangan manusia. Semua makhluk hidup membutuhkan makan dan minum, tetapi hanya manusia yang memiliki kebutuhan aktualisasi diri, mengetahui dan memahami. Karena itu semakin tinggi tingkat kebutuhan yang dimilikinya semakin jelas beda nilai kemanusiaannya.
  2. Kebutuhan yang lebih tinggi muncul belakangan dalam perkembangan individu. Aktualisasi diri mungkin baru akan muncul pada usia pertengahan. Bayi hanya memiliki kebutuhan fisiologis dan keamanan, dan pada masa adolesen muncul belonging, cinta, dan self-esteem.
  3. Kebutuhan yang semakin lebih tinggi, semakin kurang kaitannya dengan usaha mempertahankan kehidupan, perolehan kepuasan bisa ditunda semakin lama. Gagal memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi tidak mengakibatkan keadaan darurat atau reaksi krisis seperti pada kegagalan memuaskan kebutuhan yang lebih rendah. Kegagalan untuk memuaskan kebutuhan dasar mengakibatkan individu merasakan kekurangan sesuatu, karena itu kebutuhan dasar juga di sebut defisit atau kebutuhan karena kekurangan (deficit need or deficiency need).
  4. Kebutuhan meta memberi sumbangan yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang, dalam bentuk kesehatan yang lebih baik, usia panjang, dan memperluas efisiensi biologis. Karena alasan-alasan itulah kebutuhan meta disebut juga kebutuhan berkembang atau kebutuhan menjadi (growth need or being need).
  5. Kebutuhan yang lebih rendah hanya menghasilkan kepuasan biologis, sedang kebutuhan yang lebih tinggi memberi keuntungan biologis dan psikologis, karena menghasilkan kebahagiaan yang mendalam, kedamaian jiwa, dan keutuhan kebutuhan batin.
  6. Kepuasan pada kebutuhan yang lebih tinggi melibatkan lebih banyak persyaratan dan lebih kompleks dibanding kepuasaan pada tingkat yang lebih rendah. Misalnya usaha memperoleh aktualisasi diri memerlukan prasyarat: semua kebutuhan sebelumnya telah dipuaskan dan melibatkan tingkah laku dan tujuan yang rumit dan canggih dibanding usaha mendapatkan makanan.
  7. Kepuasan pada kebutuhan yang lebih tinggi memerlukan kondisi eksternal-sosial, ekonomi, politik yang lebih baik dibanding kepuasan yang lebih rendah. Misalnya aktualisasi diri memerlukan kebebasan ekspresi dan memperoleh peluang dibanding kebutuhan rasa aman.
  1. Kebutuhan Dasar 1: Kebutuhan Fisiologis

    Umumnya kebutuhan fisiologis bersifat homeostatik (usaha menjaga keseimbangan unsur-unsur fisik) seperti makan, minum, gula, garam, protein, serta kebutuhan istirahat dan seks. Kebutuhan fisiologis ini sangat kuat, dalam keadaan absolut (kelaparan dan kehausan) semua kebutuhan lain ditinggalkan dan orang mencurahkan semua kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan ini. Bisa terjadi kebutuhan fisiologis harus dipuaskan oleh pemuas yang seharusnya (misalnya orang yang kehausan harus minum atau dia mati); tapi ada juga kebutuhan yang dapat dipuaskan dengan pemuas yang lain (misalnya orang minum atau merokok untuk menghilangkan rasa lapar). Bahkan bisa terjadi pemuas fisiologis itu dipakai untuk memuaskan jenjang yang lebih tinggi, misalnya orang yang tidak terpuaskan cintanya, merasa kurang puas secara fisiologis sehingga terus menerus makan untuk memuaskannya.

  1. Kebutuhan Dasar 2: Kebutuhan Keamanan (Safety)

    Sesudah kebutuhan fisiologis terpuaskan secukupnya, muncul kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur hukum, keteraturan, batas, kebebasan dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan fisiologis dan keamanan pada dasarnya adalah kebutuhan mempertahankan kehidupan. Kebutuhan fisiologis adalah pertahanan hidup jangka pendek, sedang keamanan adalah pertahanan hidup jangka panjang.

    Kebutuhan keamanan sudah muncul sejak bayi, dalam bentuk menangis dan berteriak ketakutan karena perlakuan yang kasar atau karena perlakuan yang dirasa sebagai sumber bahaya. Anak akan merasa lebih nyaman pada suasana keluarga yang teratur, terencana, terorganisir, dan disiplin, karena suasana semacam itu mengurangi kemungkinan adanya perubahan, dadakan, kekacauan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Pengasuhan yang bebas tidak mengenakan batasan-batasan, misalnya tidak mengatur interval kapan bayi tidur dan makan, akan membuat bayi bingung dan takut, bayi tidak terpuaskan kebutuhan keamanan dan keselamatannya. Begitu pula peristiwa-peristiwa orang tua berkelahi (adu mulut atau pemukulan), perceraian dan kematian membuat lingkungan tidak stabil-tidak terduga-sehingga bayi merasa tidak aman. Pada masa dewasa kebutuhan rasa aman mewujud dalam berbagai bentuk:

  1. Kebutuhan pekerjaan dan gaji yang mantap, tabungan dan asuransi (jelas dan taspen), memperoleh jaminan masa depan
  2. Praktik beragama dan keyakinan filsafat tertentu yang membantu orang untuk mengorganisir dunianya menjadi lebih bermakna dan seimbang, sehingga orang merasa lebih "selamat" (semasa hidup dan sesudah mati).
  3. Pengungsian, manusia perahu dampak perang, bencana alam atau kerusuhan ekonomi.

    Menurut Maslow gejala neurotik obsesif-kompulsif banyak dilatar belakangi oleh kegagalan memenuhi keamanan. Misalnya orang berulang-ulang meneliti pintunya sudah terkunci atau belum, atau orang kompulsi mencuci pakaian terus menerus agar kumannya hilang.

  1. Kebutuhan Dasar 3: Kebutuhan Dimiliki dan Cinta (Belonging and Love)

    Sesudah kebutuhan fisiologi dan keamanan relatif terpuaskan, kebutuhan dimiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial dan cinta menjadi tujuan yang dominan. Orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan, dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta. Kebutuhan dimiliki ini terus penting sepanjang hidup.

    Maslow menolak pandangan Freud bahwa cinta adalah sublimasi dan insting seks. Menurutnya, cinta tidak sinonim dengan seks, cinta adalah hubungan sehat antara sepasang manusia yang melibatkan perasaan saling menghargai, menghormati, dan mempercayai. Dicintai dan diterima adalah jalan menuju perasaan yang sehat dan berharga, sebaliknya tanpa cinta menimbulkan kesia-siaan, kekosongan, dan kemarahan.

    Ada dua jenis cinta (dewasa) yakni Deficiency atau D-love dan Being atau B-love. Kebutuhan cinta karena kekurangan, itulah D-love; orang yang mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti harga diri, seks, atau seseorang yang membuat dirinya menjadi tidak sendirian. Misalnya, hubungan pacaran, hidup bersama, atau perkawinan yang membuat seseorang terpuaskan keamanan dan kenyamanannya. D-love adalah cinta yang mementingkan diri sendiri, lebih memperoleh daripada memberi.

    B-love didasarkan pada penilaian mengenai orang lain apa adanya, tanpa keinginan mengubah dan memanfaatkan orang lain. Cinta yang tidak berniat memiliki, tidak mempengaruhi, dan terutama bertujuan memberi orang lain gambaran positif, penerimaan diri dan perasaan dicintai, yang membuka kesempatan orang itu untuk berkembang.

    Menurut Maslow, kegagalan memenuhi kebutuhan dimiliki dan cinta menjadi sebab hampir semua bentuk psikopatologi. Pengalaman kasih sayang anak menjadi dasar perkembangan kepribadian yang sehat. Gangguan penyesuaian bukan disebabkan oleh frustasi keinginan sosial, tetapi lebih karena tidak adanya keintiman psikologik dengan orang lain.


 


 

  1. Kebutuhan Dasar 4: Kebutuhan Harga Diri (Self-Esteem)

    Manakala kebutuhan dimiliki dan mencintai lebih telah relatif terpuaskan, kekuatan motivasinya melemah, diganti motivasi harga diri. Ada dua jenis harga diri:

  1. Menghargai diri sendiri (self-respect): kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Orang membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri, bahwa dirinya berharga, mampu menguasai tugas dan tantangan hidup.
  2. Mendapat penghargaan dari orang lain (respect from others): kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi menjadi penting, kehormatan, diterima, apresiasi. Orang membutuhkan pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik oleh orang lain.

        Kepuasan kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan sikap percaya diri, diri berharga, diri mampu, dan perasaan berguna dan penting di dunia. Sebaliknya, frustasi karena kebutuhan harga diri tak terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap inverior, canggung, lemah, pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup dan rendah diri dalam bergaul. Menurut Maslow, penghargaan dari orang lain hendaknya diperoleh berdasarkan penghargaan diri kepada diri sendiri. Orang seharusnya memperoleh harga diri dari kemampuan dirinya sendiri, bukan dari ketenaran eksternal yang tidak dapat dikontrolnya, yang membuatnya tergantung kepada orang lain.


     


     

  1. Kebutuhan Meta: Kebutuhan Aktualisasi Diri

    Akhirnya setelah semua kebutuhan dasar terpenuhi, muncullah kebutuhan meta atau kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan menjadi seseorang itu mampu mewujudkannya memakai (secara maksimal) seluruh bakat-kemampuan-potensinya. Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan diri sendiri (self-fulfilment), untuk menyadari seluruh potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dapat dia lakukan, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencari puncak prestasi potensinya. Manusia yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh, memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu. Mereka mengekspresikan kebutuhan dasar kemanusiaan secara alami dan tidak mau ditekan oleh budaya.

    Empat kebutuhan dasar adalah kebutuhan karena kekurangan atau D-need (deficiency need), sedang kebutuhan meta atau kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan karena ingin berkembang-ingin berubah, ingin mengalami transformasi menjadi lebih bermakna atau B-need (being need). Menurut Maslow kebutuhan dasar berisi kebutuhan konatif, sedangkan kebutuhan meta berisi kebutuhan estetik dan kebutuhan kognitif.

     Maslow menemukan 17 kebutuhan estetika dan kognitif. Keduanya tidak dapat dipisahkan secara tajam mana yang masuk kebutuhan estetik dan mana yang masuk kebutuhan kognitif, karena keduanya saling tumpang tindih. Pada dasar kebutuhan meta need, nomor-nomor kecil lebih banyak muatan kebutuhan estetiknya, semakin besar nomornya-muatan kognitifnya semakin banyak. Kebutuhan-kebutuhan memang tidak dapat dipandang sesuatu yang saling asing. Bahkan saling tumpang tindih itu terjadi antara kebutuhan konatif, estetik, dan kognitif sekaligus, misalnya pada kebutuhan keteraturan (order), dapat masuk ke kebutuhan estetik dalam hal sifat harmoni dan simetri, bisa masuk ke kebutuhan konatif karena menjamin perasaan aman (dari keteraturan hidup), dan juga bisa masuk ke kebutuhan kognitif ketika keteratuan itu menyangkut penyusunan rumus matematik dan alur berfikir yang teratur.

Tabel 4.1 Kebutuhan Meta: Kebutuhan Estetik dan Kognitif

No. 

Metaneed 

Karakter yang sama/berhubungan 

1 

Keanggunan (beauty)

Keindahan, keseimbangan bentuk, menarik perhatian 

2 

Bersemangat (Aliveness)

Hidup, bergerak spontan, berfungsi penuh, berubah dalam aturan

3 

Keunikan (Uniqueness)

Keistimewaan, kekhasan, tak ada yang sama, kebaruan 

4 

Bermain-main (Playfullness)

Gembira, riang, senang, menggelikan, humor 

5 

Kesederhanaan (Simplicity)

Jujur, terbuka, menasar, tidak berlebihan, tidak rumit 

6 

Kebaikan (Goodness)

Positif, bernilai, sesuai dengan yang diharapkan 

7 

Teratur (Order)

Rapi, terencana, mengikuti aturan, seimbang 

8 

Kemandirian (Self sufficiency)

Otonom, menentukan diri sendiri, tidak tergantung 

9 

Kemudahan (Effortlessness)

Ringan, tanpa usaha, tanpa hambatan, bergaya

10 

Kesempurnaan (Perfection)

Mutlak, pantas, tidak berlebih dan tidak kurang, optimal 

11 

Kelengkapan (Completion)

Selesai, tamat, sampai akhir, puas terpenuhi, tanpa sisa 

12 

Berisi (Richness)

Kompleks, rumit, penuh, berat, semua sama penting

13 

Hukum (Justice)

Tidak berat sebelah menurut hukum yang seharusnya

14 

Penyatuan (Dicotomy / Transcendence)

Menerima perbedaan, perubahan, penggabungan 

15 

Keharusan (Necessily)

Tidak dapat ditolak, syarat sesuatu harus seperti itu 

16 

Kebulatan (Wholeness)

Kesatuan, integrasi, kecenderungan menyatu, saling berhubungan 

17 

Kebenaran (Truth)

Kenyataan, apa adanya, faktual, tidak berbohong 


 

  1. Kebutuhan Neurotik

    Kepuasan kebutuhan hirarkis (konatik, estetik, dan kognitif) menjadi dasar dari kesehatan fisik dan psikis seseorang, dan frustasi karena kegagalan memperoleh kepuasan akan menimbulkan gangguan, penyakit pada taraf tertentu. Maslow mengemukakan, manusia masih mempunyai satu kebutuhan, yakni kebutuhan neurotik, yang bekerja terpisah dari tiga kebutuhan itu. Frustasi karena kebutuhan hirarkis yang tidak terpenuhi, dalam keadaan yang ekstrim dan berjangka lama dapat berubah menjadi kebutuhan neurotik. Sesudah berubah wujud menjadi kebutuhan neurotik, kebutuhan ini membuat sistem sendiri yang terpisah dari sistem kebutuhan yang sehat. Kebutuhan neurotik membuat orang mengalami stagnasi atau patologis tak peduli apakah kebutuhan itu terpenuhi atau tidak terpenuhi.

    Kebutuhan neurotik bersifat non-produktif, mengembangkan gaya hidup yang tidak sehat, gaya hidup yang tidak memiliki nilai dalam kaitannya dengan perjuangan mencapai aktualisasi diri, gaya hidup reaktif, berperan sebagai kompensasi dari kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Orang yang kebutuhan keamanannya tidak terpuaskan, mungkin mengembangkan keinginan yang kuat untuk menimbun uang dan harta benda. Dorongan menimbun semacam itu adalah dorongan neurotik, tidak berharga sebagai motivator menuju kesehatan jiwa. Orang yang kebutuhan dimiliki dan cinta-nya terpuaskan, mengembangkan tingkah laku agresif dan marah kepada orang lain secara berlebihan. Kebutuhan agresif dan marah yang berlebih itu adalah kebutuhan neurotik yang tidak mempunyai peran positif dalam gerak menuju aktualisasi diri.

    Kebutuhan neurotik berbeda dengan kebutuhan hirarkis karena kepuasan kebutuhan neurotik tidak membuat orang berkembang menjadi sehat. Memberi semua kekuatan yang diinginkan oleh orang yang kebutuhan neurotiknya haus kekuasaan, tidak membuat neurotiknya mereda, dan jenuh. Berapapun makanan yang disediakan, dia masih tetap lapar (karena dia melihat makanan lain). Apakah kebutuhan neurotik itu terpenuhi atau tidak, kesehatan jiwa tidak menjadi lebih baik. Frustasi (karena tidak terpuaskan) pada setiap jenjang kebutuhan dapat berubah menjadi kebutuhan neurotik, khususnya frustasi pada kebutuhan keamanan dan kebutuhan dimiliki atau cinta.


 

  1. Mencapai Aktualisasi Diri

    Aktualisasi diri dapat dipandang sebagai kebutuhan tertinggi dari suatu hirarki kebutuhan, namun juga dapat dipandang sebagai tujuan final, tujuan ideal dari kehidupan manusia. Konsep tujuan hidup sebagai motivator ini mirip dengan konsep arsetif-self dari Jung, kekuatan-kreatif-self dari Adler, atau realisasi-diri dari Horney. Menurut Maslow, tujuan mencapai aktualisasi diri itu bersifat alami, yang dibawa sejak lahir. Secara genetik manusia mempunyai potensi dasar yang positif. Di samping itu manusia juga mempunyai potensi dasar jalur perkembangan yang sehat untuk mencapai aktualisasi diri. Jadi orang yang sehat adalah orang yang mengembangkan potensi positifnya mengikuti jalur perkembangan yang sehat, lebih mengikuti hakekat alami di dalam dirinya, alih-alih mengikuti pengaruh lingkungan diluar dirinya.

    Kebutuhan neurotik merupakan perkembangan kebutuhan yang menyimpang dari jalur alami. Menurut Maslow penolakan, frustrasi, dan penyimpangan dari perkembangan hakekat alami akan menimbulkan psikopatologi. Dalam pandangan ini, apa yang baik adalah semua yang mendekat ke aktualisasi diri, dan yang buruk atau abnormal adalah segala hal yang menggagalkan atau menghambat atau menolak aktualisasi diri sebagai hakekat alami kemanusiaan. Karena itu psikoterapi adalah usaha mengembalikan orang ke jalur aktualisasi diri-nya dan berkembang sepanjang lintasan yang diatur alam di dalam dirinya.

    Aktualisasi sebagai tujuan final-ideal hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil dari populasi, itupun hanya dalam prosentase kecil. Menurut Maslow rata-rata kebutuhan aktualisasi diri hanya terpuaskan 10%. Kebutuhan aktualsasi ini jarang terpenuhi karena orang sukar menyeimbangkan antara kebanggaan dengan kerendahan hati, antara kemampuan memimpin dengan bertanggung jawab yang harus dipikul, antara mencemburui kebesaran orang lain dengan perasaan kurang berharga. Orang akhirnya menyangkal dan menarik diri karena perkembangan pribadi justru menimbulkan sejenis perasaan takut, terpesona, lemah dan tidak mampu. Orang menyangkal dan menolak kemampuan dan potensi tertingginya dan kreativitasnya. Maslow menamakan perasaan takut, gamang, perasaan tidak berharga, dan meragukan kemampuan diri memperoleh kemasyhuran dan aktualisasi diri sebagai Kompleks Junus – Jonah Complex- (diambil dari kisah Nabi Junus, yang menolak mengingatkan umatnya yang kafir/penyembah setan, dan malahan melarikan diri naik kapal. Tuhan kemudian mengirim badai dan ikan Paus untuk memakannya).

  1. Pengembangan Diri

    Orang gagal mencapai aktualisasi diri karena mereka takut menyadari kelemahan dirinya sendiri. Masyarakat dapat mendorong atau merintangi aktualisasi diri. Sekolah misalnya, dapat mendorong siswanya mengejar aktualisasi diri dengan memberi siswa kepuasan rasa aman, kebersamaan dan esteem. Maslow mengemukakan dua jalur untuk mencapai aktualisasi diri; jalur belajar (mengembangkan diri secara optimal pada semua tingkat kebutuhan hirarkis) dan jalur pengalaman puncak. Ada delapan model tingkah laku yang harus dipelajari dan dilakukan agar orang dapat mencapai aktualisasi diri melalui jalur belajar-pengembangan diri, sebagai berikut:

  1. Alami sesuatu dengan utuh, gamblang, tanpa pamrih. Masukkan diri ke dalam pengalaman mengenai sesuatu, berkonsentrasi mengenainya seutuhnya, biarkan sesuatu itu menyerapmu.
  2. Hidup adalah perjalanan proses memilih antara keamanan (jauh dari rasa sakit dan kebutuhan bertahan) dengan resiko (demi kemajuan dan perkembangan): buat pilihan pertumbuhan "sesering mungkin tiap hari."
  3. Biarkan self tegak. Usahakan untuk mengabaikan tuntutan eksternal mengenai apa yangs seharusnya kamu pikirkan, rasakan, dan ucapkan. Biasakan pengalaman membuatmu dapat mengatakan apa yang sesungguhnya kamu rasakan.
  4. Apabila ragu, jujurlah. Jika kamu melihat ke dalam dirimu dan jujur, kamu akan mengambil tanggung jawab, bertanggung jawab adalah aktualisasi diri.
  5. Dengar dengan seleramu sendiri, bersiaplah untuk tidak populer.
  6. Gunakan kecerdasanmu, kerjakan sebaik mungkin apa yang ingin kamu kerjakan, apakah itu latihan jari di atas tuas piano, mengingat nama setiap tulang-otot-hormon, atau belajar bagaimana memelitur kayu sehingga menjadi halus seperti sutra.
  7. Buatlah pengalaman puncak (peak experience) seperti terjadi, buang ilusi dan pandangan salah, pelajari apa yang kamu tidak bagus dan kamu tidak potensial.
  8. Temukan siapa dirimu, apa pekerjaanmu, apa yang kamu senangi dan tidak kamu senangi, apa yang baik dan buruk bagimu, kemana kamu pergi, apa misimu. Bukalah dirimu kamu dapat mengenali pertahanan dirimu, dan usahakan mendapat keberanian untuk menyerah.
  1. Pengalaman Puncak (Peak Experience)

        Maslow menemukan dalam penelitiannya bahwa banyak orang yang mencapai aktualisasi diri ternyata mengalami pengalaman puncak: suatu pengalaman mistik mengenai perasaan dan sensasi yang mendalam, psikologik dan fisiologik. Suatu keadaan dimana seseorang mengalami ekstasi-keajaiban-terpesona-kebahagiaan yang luar biasa, seperti pengalaman keilahian yang mendalam, dimana saat itu diri seperti hilang atau mengalami transendensi. Pengalaman puncak itu bisa diperoleh dari mengalami sesuatu yang sempurna, nyata dan luar biasa, menuju keadilan atau nilai yang sempurna. Sepanjang mengalami hal itu, orang merasa sangat kuat, sangat percaya diri dan yakin. Pengalaman puncak itu mengubah seseorang menjadi merasa lebih harmoni dengan dunia, pemahaman dan pandangannya menjadi luas. Maslow menerima gambaran pengalaman puncak yang disusun oleh William James, sebagai berikut:

    1. Tak terlukiskan (ineffability): Subjek sesudah mengalami pengalaman puncak segera mengatakan bahwa itu adalah ekspresi keajaiban, yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata, yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain.
    2. Kualitas kebenaran intelektual (neotic quality): Pengalaman puncak adalah pengalaman menemukan kebenaran dari hakikat intelektual.
    3. Waktunya pendek (transiency): Keadaan mistis tidak bertahan lama. Umumnya hanya berlangsung 30 menit atau paling lama satu atau dua jam (jarang sekali berlangsung lebih lama), pengalaman itu menjadi kabur dan orang kembali ke dunianya sehari-hari.
    4. Pasif (passivity): Orang yang mengalami pengalaman mistis merasa kemauan dirinya tergusur (abeyance), dan terkadang dia merasa terperangkap dan dikuasai oleh kekuatan yang sangat besar.

        Pada mulanya Maslow berpendapat bahwa pengalaman puncak ini hanya dapat dialami oleh orang-orang tertentu saja, khususnya mereka yang sudah mencapai aktualisasi diri akan mengalaminya secara teratur berkali-kali. Namun sesudah Maslow semakin terampil mewawancari orang mengenai pengalaman-pengalaman orang itu, dia menemukan bahwa sebagian besar "orang rata-rata" pernah mengalami pengalaman puncak. Masalahnya, orang cenderung mereaksinya dengan melarikan diri alih-alih dengan penerimaan yang "terbuka". Orang yang pandangan hidupnya materialis dan mekanistik adalah orang yang secara sengaja menghilangkan bagian kehidupan spiritual yang sangat penting dari kehidupannya. Pengaruh pengalaman puncak berjangka lama – tidak mudah hilang (lasting), antara lain:

    1. Hilangnya simptom neurotik
    2. Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat
    3. Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dirinya dengan mereka
    4. Perubahan padangan diri mengenai dunia
    5. Munculnya kreativitas, spontanitas dan kemampuan mengekspresikan diri
    6. Kecenderungan mengingat pengalaman puncak itu dan berusaha mengulanginya
    7. Kecenderungan melihat kehidupan secara umum sebagai lebih berharga

        Dapat disimpulkan, aktualisasi diri yang dicapai melalui pengalaman puncak membuat orang lebih religius, mistikal, sholeh, dan indah (poetical) dibanding dengan aktualisasi yang diperoleh melalui pengembangan diri (yang lebih praktis, membumi, terikat dengan urusan keduniaan). Namun secara umum orang yang mencapai aktualisasi diri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  • Orientasinya realistik, memandang realitas secara efisien
  • Menerima diri, orang lain dan alam sekitar apa adanya.
  • Spontan, sederhana, alami
  • Lebih memperhatikan masalah (problem-centered) alih-alih memperhatikan diri sendiri (self-centered)
  • Berpendirian kuat dan membutuhkan privacy
  • Otonom dan bebas dari kultur lingkungan
  • Memahami orang dan sesuatu secara segar dan tidak stereotip
  • Memiliki pengalaman mistikal atau spiritual, walaupun tidak harus religius
  • Mengenal harkat kemanusiaan, memiliki minat sosial (gemeinschaft)
  • Cenderung memiliki hubungan dengan sedikit orang tercinta alih-alih hubungan renggang dengan banyak orang
  • Memiliki nilai dan sikap demokratis
  • Tidak mengacaukan sarana dengan tujuan
  • Rasa humornya filosofik, tidak berlebihan
  • Luluh dengan lingkungan alih-alih sekedar menanganinya
  • Sangat kreatif
  • Menolak bersetuju dengan kultur


 

  1. Organisasi Kepribadian
    1. Sindrom Kepribadian

        Unit utama dari kepribadian adalah sindrom kepribadian (personality syndrome): sejumlah sifat-sifat yang berbeda (tingkah laku, persepsi, pikiran, dorongan untuk berbuat, dll) yang terstruktur, terorganisir, dan saling berhubungan, muncul bersama-sama.

        Maslow baru meneliti tiga sindrom yang terpenting, yakni sindrom harga diri (self-esteem), sindrom keamanan (security), dan sindrom kecerdasan (intelectual). Penelitian dilakukan dengan memakai metode holistik-analitik. Metode ini mementingkan pandangan menyeluruh, manusia sebagai organisme sekaligus analisis terhadap bagian-bagian rincinya. Pendekatan holistik menjelaskan bagaimana interaksi bagian-bagian dalam oragnisasi dinamik dari individu sebagai satu kesatuan. Pendekatan memahami detil, apa, bagaimana dan peran-peran unsur-unsur yang terlibat di dalamnya. Tentu saja, ketika menganalisis komponen-komponen suatu sindrom, harus tetap diingat bahwa komponen-komponen itu menjadi bagian dari unit yang lebih besar lagi, berturut-turut sampai ke unit yang paling besar, yaitu sindrom kepribadian.


 


 

Tabel 4.2 Contoh Sindrom Keamanan

Level 1 

Personality Syndrome 

Security – Insecurity 

Level 2 

Subsyndrome

Kekuatan – Kepatuhan 

Level 3 

Su-subsyndrome 

Curiga – Persamaan Derajat

Level 4 

Sub-sub-subsyndrome 

Warna kulit – Ciri terdalam manusia

Level 5 

Sub-sub-sub-subsyndrome 

Menekankan perbedaan – Menekankan persamaan antar manusia antar manusia


 

    Konsep sindrom kepribadian yang berisi sub sindrom, merupakan bagian dari usaha. Maslow menolak pandangan yang memecah atau memerinci manusia menjadi bagian-bagian kecil yang saling tidak berhubungan, menjadi bagian elementer dalam situasi yang spesifik. Perasaan mudah curiga, itu bukan bagian atau unsur yang menandai adanya sindrom kepribadian, tetapi perasaan curiga itu merupakan wujud lain dari sindrom keamanan. Hubungan antara kecurigaan, kekuatan, dan keamanan, akan menjelaskan bagaimana perasaan aman berubah menjadi perasaan curiga.


 

  1. Kekurangan dan Menjadi (DeficiencyBeing)

    Menurut Maslow, orang berhubungan dengan dunia luar dalam dua bentuk, alam-kekurangan dan alam-menjadi. Alam kekurangan atau D-realm adalah D-need, bisa berwujud D-love. D-value, dan D-lainnya, (D = deficiency = kekurangan); merupakan bentuk hubungan dimana orang terlibat dengan kegiatan memuaskan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, orang berusaha untuk mengatasi atau menghindari kebutuhan kekurangan seperti makanan, minuman, tempat istirahat. Alam menjadi, atau B-realm adalah B-need, bisa berwujud B-love, B-value, dan B-lainnya (B = being = menjadi) lainnya. Bentuk hubungan alam menjadi adalah hubungan orang dengan dunia luarnya sesudah kebutuhan dan motif dasar terpenuhi. Orang kemudian terlibat dalam kegiatan mengembangkan aktualisasi diri dan memperluas eksisitensi.

    Sebagai tambahan dan untuk membedakan motiv/kebutuhan D dengan B, Maslow membedakan jenis kognisi yang menjadi ciri dari dua alam itu, D-cognition dengan B-cognition. Orang mungkin berpikir bahwa B-kognisi lebih diharapkan, namun Maslow mengingatkan bahwa D-kognisi sama-sama dibutuhkan. Semata-mata B-Kognisi bisa membuat orang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak mempedulikan orang lain. Itu tidak sehat, orang harus tetap memikirkan tentang kekurangan dirinya sendiri, membandingkan dirinya dengan orang lain, dan berkomunikasi memakai pikiran orang lain yang "lebih baik" dari pemikiran yang dia miliki. Jadi, mengejar aktualisasi diri berarti harus lebih banyak berfikir B-kognisi dengan D-kognisi dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 4.3 Perbandingan Ciri-ciri D-kognisi dengan B-kognisi

D-Kognisi 

B-Kognisi 

Segala sesuatu dipandang tergantung kepada yang lain, sebagai tidak lengkap.


 

Beberapa aspek dari sesuatu yang diperhatikan; perhatian yang bersamaan diberikan kepada hal lain, faktor yang berkaitan atau kausal.


 

Sesuatu dipandang sebagai anggota dari suatu kelas, contoh, atau sampel.


 


 


 

Segala sesuatu dipandang berhubungan dengan urusan manusia, kegunaannya, keberbahayaannya, dan semacamnya.


 

Segala sesuatu menjadi kurang menarik, kesamaan mengarah ke kebosanan.


 

Pelaku mengalami bukan hanya objek semata, tetapi objek yang terikat dengan self.


 


 

Segala sesuatu dipandang sebagai sarana bagi yang lain.


 


 

Segala sesuatu dipandang pilah-pilah tidak saling berhubungan, sering bertentangan.


 

Dunia dalam dan dunia luar dipandang sebagai yang semakin tidak sama.


 


 

Obyek dipandang sebagai hal yang normal, sehari-hari, tidak ada yang luar biasa.


 


 

Hal yang serius dipandang sangat berbeda dengan sesuatu yang menyenangkan, humor adalah musuh atau tidak ada.

Segala sesuatu dipandang utuh, lengkap.


 


 

Segala sesuatu diperhatikan secara khusus dan dipandang mendalam dan menyeluruh.


 


 

Sesuatu dipandang apa adanya, hal itu saja tanpa dipersaingkan dengan hal lainnya.


 


 

Segala sesuatu dipandang tidak berhubungan urusan manusia.


 


 


 

Segala sesuatu menjadi semakin menarik dengan mengulang mengalaminya.


 

Penerima pengalaman menjadi terlarut dan tidak memunculkan self; pengalaman diorganisir disekitar obyek alih-alih disekitar ego.


 

Segala sesuatu dipandang berakhir sampai itu sebagai hal yang menarik secara hakiki (intrinsik).


 

Dikotomi, polaritas, konflik antar segala sesuatu dipandang perlu dan dibutuhkan oleh keseluruhan.


 

Dunia dalam dan dunia luar dipandang sebagai hal semakin sama.


 

Obyek sering dipandang sebagai suci, sakral, sangat spesial.


 


 


 

Dunia dan self sering dipandang menarik dan pedas; kelucuan dan tragis digabungkan; humor adalah filosofi.


 


 

  1. Aplikasi
    1. Personal Orientation Inventory (Shostrom)

        POI adalah tes yang disusun berdasarkan teori Maslow mengenai aktualisasi diri, dan bertujuan untuk mengukur aktualisasi diri itu dalam diri seseorang, Shostrom melaporkan tes yang disusunnya cukup valid dan reliabel menghasilkan ukuran yang komprehensif mengenai nilai-nilai dan tingkah laku- tingkah laku dari aktualisasi diri seseorang. Tes ini terdiri dari 150 item pilihan ganda, testi diminta untuk memilih mana yang sesuai dengan dirinya, pernyataan (a) atau (b), tetapi mereka boleh tidak menjawab kalau dua pertanyaan itu tidak ada yang cocok dengan dirinya, atau dia sama sekali tidak tahu mengenai pernyataan itu.

        POI mempunyai 2 skala utama dan 10 subskala. Skor tinggi pada 12 skala itu menunjukkan tingginya tingkat aktualisasi diri, sedang skor rendah memberi petunjuk kekurangan-kekurangan dalam nilai-nilai dan tingkah laku-tingkah laku yang membuat orang terhambat mencapai aktualisasi diri. Nilai rendah ini tidak berarti orangnya patologis. Menurut Shostrom, ketika Maslow mengisi POI dengan jujur, dia hanya mencapai skor "berada dalam jalur menuju aktualisasi diri" yang tentu tidak setinggi skor orang yang sudah mencapai aktualisasi diri.


     


     

    1. Neurotik

        Sejak awal telah dikemukakan bahwa Maslow tidak banyak tertarik dengan abnormalitas dan psikoterapi, dan lebih banyak menganalisis orang yang normal bahkan supernormal. Karena itu konsep-konsepnya tentang neurotik tidak utuh, tersebar diberbagai elaborasi konsep lainnya. Menurut Maslow, manusia itu lahir dengan keinginan dasar berkembang sehat, bergerak menuju aktualisasi diri. Gagal dalam mengembangkan keinginan dasar itu akan menimbulkan neurosis dan perkembangan abnormal. Penderita neurotik adalah orang yang terhalang atau menghalangi diri sendiri dari memperoleh kepuasan kebutuhan dasar mereka sendiri. Halangan itu menghentikan gerak maju menuju akutalisasi diri. Jika orang tidak mempunyai makanan dan tempat tinggal, mereka tidak akan mencapai perkembangan ootensi psikologis sepenuhnya. Bayi yang tidak memperoleh pengalaman cinta yang sehat dari orang tuanya, akan mengalami hambatan dalam mengekspresikan kebutuhan dimiliki dan cinta. Individu yang merasa terancam dan tidak aman banyak yang memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang rendah. Kompleks Junus (Jonah Complex) merupakan bentuk hambatan neurotik, yang pada kadar tertentu dimiliki oleh semua orang.

    1. Psikoterapi

        Walaupun Maslow bukan praktisi psikoterapis, dia berpendapat teorinya dapat diaplikasikan ke dalam psikoterapi. Menurutnya, kepuasan kebutuhan dasar hanya dapat terjadi melalui hubungan interpersonal, karena itu terapi harus bersifat interpersonal. Suasana terapi harus melibatkan perasaan saling berterus terang/jujur, saling percaya, dan tidak defensif. Suasana itu juga mengijinkan ekspresi yang kekanak-kanakan dan memalukan. Ekspresi kelemahan diri ini bisa terjadi kalau hubungan terapi mendukung, tidak menimbulkan ancaman. Dalam suasana yang demokratis, terapis harus memberi klien penghargaan, cinta, dan perasaan bahwa klien itu berada dalam alur perkembangan yang benar. Dengan kata lain, terapis harus memuaskan kekurangan kebutuhan dasar klien. Tetapi terapi efektif harus maju lebih jauh. Hubungan teraputik bukan hanya dibangun melalui cinta yang diberikan kepada klien, tetapi juga ekspektasi cinta dan afeksi dari klien kepada terapisnya. Klien secara umum didorong untuk menampilkan nilai-nilai yang berhubungan dengan perkembangan positif. Ia didorong untuk berani membuka diri, belajar memahami lebih lanjut mengenai kompleksitas kehidupan manusia. Maslow menyadari bahwa terapi yang suportif dan hangat tidak dapat dipakai dengan klien tertentu, misalnya mereka yang kronis, neurotik yang melibatkan ketidakpercayaan dan kemarahan kepada orang lain. Pada kondisi semacam itu, Maslow yakin analisis memakai pendekatan Freud lebih berhasil.


 

  1. Evaluasi
    1. Refleksi Diri

        Setelah mengkaji materi pelatihan tentang Paradigma Psikologi Kepribadian C.G. Jung dan Abraham Maslow baik konseptual maupun aplikasinya, peserta diharapkan mampu mengungkap kembali berdasarkan pengalaman diri melalui penyelesaian tugas berikut:

    1. Menemukenali arti kepribadian menurut C.G.Jung dan Abraham Maslow!
    2. Menemukenali tipologi pribadi menurut paradigma C.G Jung!
    3. Menemukenali karakteristik pribadi menurut paradigma Abraham Maslow!
    4. Menemukenali strategi aktualisasi diri melalui pengalaman puncak, sertakan contohnya!
    5. Cara-cara yang mana dapat digunakan untuk membantu kolega yang "minder atau menarik diri"!
    1. Kasuistik

        Sebagai wujud aktualisasi diri seseorang di antaranya adalah menduduki posisi penting dalam suatu institusi. Seorang Kepala Sekolah perempuan lebih berhasil karena animusnya ketimbang laki-laki. Faktor lain yang mendukung keberhasilan pemimpin perempuan adalah jujur, loyal terhadap tupoksi, disiplin tinggi, sekalipun kekurangan itu terjadi dan wajar. Analisislah kasuistik tersebut menurut pandangan Jung dan Maslow!


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB V

PARADIGMA PSIKOLOGI KEPRIBADIAN: KOGNITIF DAN BEHAVIORISTIK


 

  1. Konsep Psikologi Kepribadian: Kognitif
    1. Paradigma Kognitif Teori Medan

        Ilmu fisika dan kimia mempengaruhi psikologi dengan memberi cara berpikir baru mengenai obyek, apa yang harus dipelajari, dan bagaimana mempelajarinya. Teori medan dalam fisika (dikembangkan oleh Michael Faraday, James Maxwell dan Henrich Hertz pada abad 19) menunjukkan fenomena listrik atau magnet, dan grafitasi mempengaruhi medan sekitarnya. Konsep pengaruh medan ini diadopsi ke dalam psikologi menjadi Psikologi Gestalt oleh Max Werheimer, Woalfgang Kohler, Kurt Koffka, dan ahli Gestalt lainnya. Fokus psikologi Gestalt adalah konsep-konsep persepsi, berpikir, dan belajar. Adopsi teori medan dalam psikologi kepribadian dilakukan oleh Kurt Lewin. Memakai asumsi Gestalt, Lewin mendasarkan pengembangan teorinya berdasarkan 3 asumsi:

    1. Dasar pemahaman psikologi bukan elemen (gambaran rincian jiwa) tetapi saling hubungan pola atau konfigurasi. Elemen digambarkan untuk memahami saling hubungannya bukan wujud dan ukurannya.
    2. Beberapa saling hubungan menjadi dasar dari saling hubungan dengan yang lain, sehingga dapat dideskripsikan kecenderungan kepribadian bergerak menuju kesatuan Gestalt.
    3. Psikologi seharusnya difahami dalam bentuk teori medan (field theory), dimana "field" adalah sistem pengaturan diri yang ditentukan oleh saling hubungan antar bagian-bagian dari unsur yang mendukung sistem itu.

        Walaupun Lewin sangat tertarik dengan aspek matematis dari teorinya, sebagian besar ide-ide pokok teorinya dapat dikomunikasikan dalam diagram yang lebih sederhana. Kalau diagram-diagram itu digambarkan dalam bentuk formula matematik, tidak dapat dihindari bentuk formula matematik yang rumit karena sifat jiwa yang sangat kompleks.

    1. Struktur Kepribadian
      1. Unsur-Unsur Pembentuk Kepribadian

          Lewin menggambarkan manusia sebagai pribadi berada dalam lingkungan psikologis, dengan pola hubungan dasar tertentu. Pendekatan matematis yang dipakai Lewin untuk menggambarkan ruang hidup di sebut topologi. Fokusnya adalah saling hubungan antara segala sesuatu di dalam jiwa manusia, hubungan antara bagian dengan bagian dan antara bagian dengan keseluruhan, lebih dari sekedar ukuran dan bentuk. Jadi dalam mempelajari diagram-diagram Lewin, harus diperhatikan saling hubungan dan komunikasi antar daerah alih-alih bentuk dan ukuran yang dipakai untuk menggambarkan daerah-daerah itu sebagaimana gambar 5.1 berikut.

      1. Ruang Hidup (Life Space)

              Ruang hidup adalah seluruh isi elips: keseluruhan kumpulan fakta yang ada pada suatu saat, yang mempengaruhi/menentukan tingkah laku. Ruang hidup merupakan potret sesaat, yang terus menerus berubah, mencakup persepsi orang tentang dirinya sendiri dalam lingkungan fisik dan sosialnya saat itu, keinginan, kemauan, tujuan-tujuan, ingatan tentang peristiwa masa lalu, imajinasinya mengenai masa depan, perasaan-perasaannya, dan sebagainya. Ruang hidup merupakan gabungan antara daerah pribadi dan daerah lingkungan psikologis, yang secara matematis dapat dirumuskan dalam formula sebagai berikut:

      Rh = (P + E)

          Keterangan:

          Rh = Ruang hidup

          P = Daerah Pribadi

          E = Daerah Lingkungan Psikologis


Gambar 5.1 Ruang Hidup dan Daerah Pribadi

  1. Daerah Pribadi (Person Area)

        Lewin biasanya menggambarkan daerah pribadi dengan lingkaran tertutup, menunjukkan bahwa pribadi adalah kesatuan yang terpisah dari hal lain di dunia tetapi tetap menjadi bagian dari dunia. Lingkaran itu berada dalam elips yang menggambarkan bahwa pribadi adalah bagian yang terpisah tetapi berada di dalam ruang hidup, menjadi bagian dari semua yang ada di dalam ruang hidup. Daerah pribadi terdiri dari dua bagian besar, daerah persepsi-motorik dan daerah pribadi-dalam:

  • Daerah persepsi motorik (perception-motor area): menjadi daerah antara yang menghubungkan pribadi-dalam dengan lingkungan psikologis. Pribadi-dalam mempengaruhi tingkah laku melalui fungsi motorik, sebaliknya lingkungan psikologis mempengaruhi pribadi-dalam melalui proses persepsi.
  • Daerah pribadi-dalam (inner-personal area): berisi aspek-aspek motivasional. Daerah ini dibatasi oleh daerah persepsi motorik sehingga tidak dapat berhubungan langsung dengan lingkungan psikologis. Aspek-aspek motivasional didalam pribadi-dalam, digambarkan dalam pecahan-pecahan daerah, disebut sel.
  • Sel (cells): sel yang berdekatan dengan daerah persepsi-motorik disebut sel perifer, sedang sel yang berada di tengah-tengah lingkaran di sebut sel sentral. Semakin dekat dengan lingkaran daerah persepsi-motorik, dorongan motivasional itu semakin besar pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Jumlah dan posisi sel setiap saat bisa berubah-ubah tergantung kepada tujuan, keinginan, kebutuhan dan motivasi yang muncul pada saat dan yang mendesak untuk dilayani dengan tindakan motorik. Sel yang satu akan mempengaruhi sel yang lain, sel-sel itu saling berkomunikasi, saling bersentuhan, saling pengaruh-mempengaruhi, tergantung kepada sifat independensinya.
  1. Daerah Lingkungan Psikologis

        Daerah di dalam elips tetapi diluar lingkaran adalah daerah lingkungan psikologis. Seperti daerah pribadi-dalam, daerah lingkungan psikologis dibagi-bagi dalam pecahan-pecahan, disebut region.

        Region: Semua stimulus yang ditangkap oleh persepsi dan kemudian mempengaruhi atau menjadi bagian yang 'menyibukkan' fungsi kognitif manusia, berarti stimulus itu mempunyai tempat tertentu yang di sebut region dalam lingkungan psikologis seseorang. Satu stimulus atau seperangkat stimulus yang bermakna sebagai satu kesatuan menghuni satu region. Setiap saat region yang ada di lingkungan psikologis berubah-ubah jumlah dan jenisnya, tergantung kepada berapa banyaknya persepsi yang menggugah fungsi kognitifnya. Seperti pada sel, region saling berkomunikasi.

        Bondaris: Semua garis yang tertera pada diagram itu di sebut bondaris, bisa merupakan batas antar sel, antar region atau antara daerah lingkungan psikologis dengan daerah persepsi-motorik dan antara daerah persepsi-motorik dengan daerah pribadi-dalam. Antara unsur-unsur struktur kepribadian yang dibatasi bondaris itu bisa saling berinteraksi (digambarkan dengan garis bondaris yang tipis), atau saling independen (garis tebal). Garis yang tipis menggambarkan sifat bondaris yang permeabel, artinya garis itu mudah ditembus dan dua daerah yang dibatasi garis itu bisa saling mempengaruhi. Garis yang tebal menggambarkan sifat bondaris yang tak-permeabel, artinya garis itu tidak bisa ditembus dan dua daerah yang dibatasi garis itu saling independen, tidak saling mempengaruhi.

  1. Lingkungan Non-Psikologis

        Lingkungan non-psikologis luasnya tidak terhingga sehingga seharusnya tidak mempunyai bondaris (pada gambar dibatasi persegi empat). Apa saja yang ada tetapi tidak menjadi stimulus bagi diri seseorang, termasuk lingkungan non-psikologis, bisa berupa benda/obyek, fakta-fakta atau situasi sosial. Benda, fakta, atau situasi itu bisa sangat dekat secara fisik dengan orang itu, tetapi kalau tidak menyentuh fungsi psikologisnya, berarti benda itu secara psikologis tidak ada di sana, dia tidak ada di daerah psikologis–dia berada di daerah non psikologis (di sebut juga daerah kulit asing).

  1. Isi-isi Ruang Hidup

    Misalnya, ruang kehidupan seorang Kepala Sekolah yang duduk di kantor kepala sekolah di saat UAS, ruang kehidupannya mencakup beberapa hal seperti; keadaan ruang kelas, kursi dimana dia duduk, seorang siswa menghampiri sambil ketakutan karena menunggak SPP, para pengawas bergegas menuju ruang ujian, dan stimulus-stimulus lainnya yang dirasakannya (walaupun dalam tingkatan yang sangat lemah). Fakta-fakta itu termasuk kelompok region, bagian dari daerah lingkungan psikologis.

    Pada saat itu juga Kepala Sekolah memikirkan untuk mengajak ngobrol siswa di dekatnya sambil makan kue, dia juga sedang memikirkan hajatan nanti malam, dan pikirannya terkadang meloncat ke rumahnya yang sangat sempit dan gaduh. Pikiran-pikiran itu masuk dalam kelompok sel, bagian dari pribadi- dalam. Sel (dan juga region) dapat terpecah-pecah menjadi sel yang lebih kecil. Pikiran terhadap hajatan, terpecah menjadi pikiran bagaimana perasaan senang ketika rekan-rekannya hadir, bagaimana bertemu dengan teman lama, bagaimana lezatnya hidangan, dan seterusnya.

    Pengawas yang otoriter yang akan mempengaruhi ketenangan para siswa yang sedang mengerjakan soal ujian. Fakta itu sama sekali tidak ditangkap oleh Kepala Sekolah. Ia berada di dalam kantornya, tetapi atensinya tertuju kepada pribadi-dalam, dia sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri, sehingga kepanikan siswa tidak dapat merangsang persepsinya. Fakta UAS berada di luar ruang hidup dan fakta itu berada di daerah non psikologis.

    Setiap sel atau region dari ruang hidup dihuni oleh fakta yang terpisah. Bagi Lewin, fakta bisa semua hal, baik yang dirasakan (lapar, haus) maupun yang disimpulkan (masalah orang lain, dia orang yang bodoh). Fakta juga bersifat empiris, fenomenal, hipotesis, dinamik. Fakta yang ada di dalam daerah pribadi-dalam di sebut kebutuhan, dan fakta yang ada di lingkungan psikologis berupa objek. Setiap kebutuhan menghuni sel yang terpisah dalam pribadi-dalam, dan setiap objek menghuni region yang terpisah di lingkungan psikologis. Peristiwa (event) adalah hasil interaksi antara dua atau lebih fakta baik di daerah pribadi maupun di daerah lingkungan psikologis. Misalnya, ketika orang bergerak dari satu region ke region lain di daerah lingkungan psikologis, itu adalah peristiwa karena paling kurang melibatkan tiga fakta, region yang ditinggalkan, region yang dituju, dan lingkaran pribadi yang bergerak.


 


 


 

  1. Dinamika Kepribadian
    1. Energi, Tegangan dan Kebutuhan

        Energi

    Bagi Lewin, manusia adalah sistem energi yang kompleks. Energi yang dipakai untuk kerja psikologis disebut Energi psikis (psychic energy). Energi muncul dari perbedaan tegangan antar sel atau antar region. Meningkatnya tegangan di salah satu sel lebih tinggi dibanding sel lain, akan menghasilkan ketidakseimbangan, dan usaha sistem pribadi-dalam untuk menyeimbangkan kembali tegangan antar sel itu akan menimbulkan energi psikis. Ketika sistem kembali seimbang, keluaran energi berhenti dan sistem menjadi istirahat. Ketidakseimbangan akibat peningkatan tegangan juga bisa terjadi antar region di sistem lingkungan psikologis.

        Tegangan

    Tension mempunyai dua sifat; pertama, tegangan cenderung menjadi seimbang, yaitu jika sistem a berada dalam keadaan tegangan tinggi dan sistem b, c, d dalam keadaan tegangan rendah, tegangan akan cenderung bergerak dari a ke b-c-d, sampai ke empat sistem itu berada dalam tegangan yang sama (bandingkan dengan prinsip entropy dari Jung).

    Sifat ke dua dari tegangan adalah kecenderungan untuk menekan bondaris sistem yang mewadahinya. Sel atau region hampir selalu memiliki persinggungan dengan beberapa sel/region lain. Kalau bondaris antar region yang tegang itu dengan region tetangganya permeabel, tegangan akan mengalir kesana. Kalau bondaris itu tak permeabel aliran terhambat dan tegangan akan mencari bondaris yang permeabel.


 

        Kebutuhan

    Tegangan di satu sel meningkat karena munculnya kebutuhan. Misalnya; kondisi fisiologis seperti lapar, haus, atau seks, atau keinginan seperti ingin bekerja menghasilkan uang, atau bisa juga kemauan untuk mengerjakan sesuatu seperti menyelesaikan tugas atau menghadiri pertemuan. Jadi bagi Lewin, kebutuhan itu mencakup pengertian motif, keinginan, dan dorongan.

    Menurut Lewin, kebutuhan yang bersifat spesifik jumlahnya tak terhingga, sebanyak keinginan spesifik manusia. Lewin tidak berusaha mendaftar semua need, dan juga tidak mereduksi jumlah kebutuhan menjadi satu beberapa kebutuhan umum. Dia merasa masih sangat sedikit yang diketahui tentang bagaimana mensistematisirnya. Dalam sistemnya, hanya kebutuhan yang muncul pada saat ini yang akan menghasilkan dampak terhadap situasi. Misalnya, setiap orang dapat merasakan lapar, tetapi hanya kalau kebutuhan itu perlu diperhitungkan. Kebutuhan bisa menjadi sangat spesifik, karena dihubungkan dengan objek tertentu, akibat pengaruh interaksi sosial dan budaya. Kebutuhan semacam itu di sebut kebutuhan semu (Quasy need). Lapar sebagai kebutuhan spesifik, menjadi kebutuhan semu dalam bentuk kebutuhan makan nasi. Kebutuhan mendengar konser piano, menari, atau memelihara ikan hias adalah contoh lain dari kebutuhan semu, karena kebutuhan-kebutuhan itu melibatkan interaksi dengan orang lain dan dengan aspek budaya.

  1. Tindakan (action)

    Menurut Lewin, tegangan yang terkumpul dalam sistem pribadi-dalam, akan menekan bondaris dan kemudian energinya menerobos ke daerah persepsi-motorik, tidak langsung menghasilkan gerakan. Dibutuhkan dua konsep yakni valensi dan vektor untuk menghubungkan motivasi di pribadi-dalam dengan tindakan yang bertujuan di daerah lingkungan psikologis.

        Valensi

    Valensi adalah nilai region dari lingkungan psikologis bagi pribadi. Region dengan valensi positif berisi obyek tujuan yang dapat mengurangi tegangan pribadi, misalnya, bagi orang yang lapar region yang berisi makanan mempunyai valensi positif. Sebaliknya orang yang takut dengan anjing, region yang berisi anjing mempunyai valensi negatif, karena region itu justru dapat meningkatkan tegangan (rasa takut) pribadi. Pada dasarnya, besarnya valensi ditentukan oleh kebutuhan-nilai makanan tergantung kepada tingkat kelaparan seseorang. Di samping itu ada faktor-faktor lain seperti pengalaman dan budaya yang mempengaruhi valensi. Misalnya pada orang lapar, makanan tertentu mungkin mempunyai valensi negatif kalau makanan itu tidak disukainya.

        Vektor

    Tingkah laku gerak seseorang akan terjadi kalau ada kekuatan yang cukup yang mendorongnya. Meminjam dari matematika dan fisika, Lewin menyebut kekuatan itu dengan nama Vektor. Vektor digambar dalam ujud panah, merupakan kekuatan psikologis yang mengenai seseorang, cenderung membuatnya bergerak ke arah tertentu. Arah dan kekuatan vektor adalah fungsi dari valensi positif dan negatif dari satu atau lebih region dalam lingkungan psikologis. Jadi kalau satu region mempunyai valensi positif (misalnya berisi makanan yang diinginkan), vektor yang mengarahkan ke region itu mengenai lingkaran pribadi. Kalau region yang kedua valensinya negatif (berisi anjing yang menakutkan), vektor lain mengenai lingkaran pribadi mendorong menjauhi region anjing. Jika beberapa vektor positif mengenai dia, misalnya, jika orang payah dan lapar dan makanan harus disiapkan, atau orang harus hadir dalam pertemuan penting dan tidak punya waktu untuk makan siang, hasil gerakannya merupakan jumlah dari semua vektor. Situasi ini sering melibatkan konflik, topik yang penelitiannya dimulai oleh Lewin dan menjadi topik yang sangat luas dari Miller dan Dollard.

        Lokomosi

    Lingkaran pribadi dapat pindah dari satu tempat ke tempat lain di dalam daerah lingkungan psikologis. Pribadi pindah ke region yang menyediakan pemuasan kebutuhan pribadi-dalam, atau menjauhi region yang menimbulkan tegangan pribadi-dalam. Perpindahan lingkaran pribadi itu disebut lokomosi (locomotion). Lokomosi bisa berupa gerak fisik, atau perubahan fokus perhatian. Dalam kenyataan sebagian besar lokomosi yang sangat menarik perhatian psikolog berhubungan dengan perubahan fokus persepsi dan proses atensi.

        Event

    Lewin menggambarkan dinamika jiwa dalam bentuk gerakan atau aksi di daerah ruang hidup, dalam bentuk peristiwa atau event. Telah dijelaskan di depan, bahwa peristiwa (event) adalah hasil interksi antara dua atau lebih fakta baik di daerah pribadi maupun di daerah lingkungan. Komunikasi (hubungan antar sel atau region) dan lokomosi (gerak pribadi) adalah peristiwa, karena keduanya melibatkan dua fakta atau lebih. Ada tiga prinsip yang menjadi prasyarat terjadinya suatu peristiwa; keterhubungan (relatedness), kenyataan (concretness), kekinian (contemporary), sebagai berikut:

  1. Keterhubungan: Dua atau lebih fakta berinteraksi, kalau antar fakta itu terdapat hubungan-hubungan tertentu, mulai dari hubungan sebab akibat yang jelas, sampai hubungan persamaan atau perbedaan yang secara rasional tidak penting.
  2. Kenyataan: Fakta harus nyata-nyata ada dalam ruang hidup. Fakta potensial atau peluang yang tidak sedang eksis tidak dapat mempengaruhi event masa kini. Fakta di luar lingkungan psikologis tidak terpengaruh, kecuali mereka masuk ke ruang hidup.
  3. Kekinian: Fakta harus kontemporer. Hanya fakta masa kini yang menghasilkan tingkah laku masa kini, fakta yang sudah tidak eksis tidak dapat menciptakan event masa kini. Fakta peristiwa nyata di masa lalu atau peristiwa potensial masa mendatang tidak dapat menentukan tingkah laku saat ini, tetapi sikap, perasaan, dan pikiran mengenai masa lalu dan masa mendatang adalah bagian dari ruang hidup sekarang dan mungkin dapat mempengaruhi tingkah laku. Jadi, ruang hidup sekarang harus mewakili isi psikologi masa lalu, sekarang, dan masa mendatang.

    Event digambarkan dalam suatu topografi yang melibatkan unsur-unsur ruang hidup, valensi, vektor, region dan permeabilitas bondaris. Pada ilustrasi berikut (Gambar 2.2a, 2.2b, dan 2.2c) dicontohkan event seorang anak yang menginginkan permen yang dijual di sebuah toko. Hanya tergambar 3 vektor yang terlibat dalam event itu. Pada kasus yang sebenarnya, variabel yang terlibat dalam suatu peristiwa bisa sangat banyak sehingga topografi menjadi ilustrasi yang sangat kompleks.


 


 

Misalnya, seorang anak melihat etalase toko yang menyajikan permen, dan dia menginginkan memiliki permen itu. Menurut Lewin, wujud permen itu membangkitkan kebutuhan, dan kebutuhan itu mengakibatkan tiga hal: melepaskan energi, sehingga membangkitkan tegangan di dalam sel pribadi-dalam yakni sel sistem keinginan permen; memberi valensi positif ke region dimana permen itu berada; dan menimbulkan vektor yang mendorong anak itu ke arah permen. Anak kemudian masuk toko dan membeli permen, seperti digambarkan pada diagram.


 


 


 


 


 


 


 

Gambar 5.2a Anak Menginginkan Permen yang Dijual di Toko

Kalau anak tidak mempunyai uang, berarti batas region permen tak permeabel. Dia bisa mendekatkan diri ke permen, misalnya dengan melekatkan hidungnya ke kaca etalase, tetapi tetap dia tidak dapat memperoleh permen. Kalau kemudian anak memutuskan meminta uang kepada ayahnya untuk membeli permen, (mendapat uang dari ayahnya, menurut Lewin merupakan contoh keinginan semu). Diagramnya memiliki 2 vektor, anak mencapai region permen melalui region ayah yang permeabel.


 


 


 


 


 


 

Gambar 5.2b Ayah Memberi Uang untuk Membeli Permen

Tetapi kalau ayah ternyata menolak permintaannya, region ayah menjadi takpermeabel, dan anak kemudian berusaha meminjam uang dari temannya (quasy need). Diagram menjadi memiliki 3 vektor, dimana valensi dan vektor ayah negatif, anak mencapai permen melalui region teman yang permeabel.


 


 


 


 

Gambar 5.2c Ayah Menolak Memberi Uang, Anak Meminjam Uang Temannya.

        Konflik

    Konflik terjadi di daerah lingkungan psikologis. Lewin mendefinisikan konflik sebagai situasi di mana seseorang menerima kekuatan-kekuatan yang sama besar tapi arahnya berlawanan. Vektor-vektor yang mengenai pribadi, mendorong pribadi ke arah tertentu dengan kekuatan tertentu. Kombinasi dari arah dan kekuatan itu di sebut jumlah kekuatan (resultant force), yang menjadi kecenderungan lokomosi pribadi (lokomosi psikologikal atau fisikal). Ada beberapa jenis kekuatan, yang bertindak seperti vektor, yakni:

  1. Kekuatan pendorong (driving force): menggerakkan, memicu terjadinya lokomosi ke arah yang ditunjuk oleh kekuatan itu.
  2. Kekuatan penghambat (restraining force): halangan fisik atau sosial, menahan terjadinya lokomosi, mempengaruhi dampak dari kekuatan pendorong.
  3. Kekuatan kebutuhan pribadi (forces corresponding to a persons need): menggambarkan keinginan pribadi untuk mengerjakan sesuatu.
  4. Kekuatan pengaruh (induced force): menggambarkan keinginan dari orang lain (misalnya orang tua atau teman) yang masuk menjadi region lingkungan psikologis.
  5. Kekuatan bukan manusia (impersonal force): bukan keinginan pribadi tetapi juga bukan keinginan orang lain. Ini adalah kekuatan atau tuntutan dari fakta atau objek.

Konflik tipe 1:

    Konflik yang sederhana terjadi kalau hanya ada dua kekuatan berlawanan yang mengenai individu. Konflik semacam ini di sebut konflik tipe 1. Ada tiga macam konflik tipe 1:

  1. Konflik mendekat-mendekat, dua kekuatan mendorong ke arah yang berlawanan, misalnya orang dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama disenanginya.
  2. Konflik menjauh-menjauh, dua kekuatan menghambat ke arah yang berlawanan, misalnya orang dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama tidak disenanginya.
  3. Konflik mendekat-menjauh, dua kekuatan mendorong dan menghambat muncul dari satu tujuan, misalnya orang dihadapkan pada pilihan sekaligus mengandung unsur yang disenangi dan tidak disenanginya.

Konflik tipe 2:

    Konfik yang kompleks yang bisa melibatkan lebih dari dua kekuatan. Konflik sangat kompleks dapat membuat orang menjadi diam, terpukau atau terperangkap oleh berbagai kekuatan dan kepentingan sehingga dia tidak dapat menentukan pilihan, adalah konflik tipe 2.


 

Konflik tipe 3:

    Orang berusaha mengatasi kekuatan-kekuatan penghambat, sehingga konflik menjadi terbuka, ditandai sikap kemarahan, agresi, pemberontakan, atau sebaliknya penyerahan diri yang neurotik. Pertentangan antar kebutuhan pribadi-dalam, konflik antar pengaruh, dan pertentangan antara kebutuhan dengan pengaruh, menimbulkan pelampiasan usaha untuk mengalahkan kekuatan penghambat. Anak yang dilarang makan permen oleh orang tuanya, berusaha memberontak mengalahkan aturan orang tua. Ketika pemberontakannya tidak berhasil, kemudian mengarahkan kemarahannya kepada teman atau objek disekitarnya, atau menyerah tunduk kepada arahan kekuatan orang tua yang sangat kuat.


 


 


 


 

 

Mendekat-mendekat

(approach-approach)


 

Seorang anak harus memilih antara dua region yang sama-sama disenanginya:

Region piknik bersama keluarga

Region bermain bersama teman 


 


 


 


 

 

Menjauh-menjauh

(Avoidance-avoidance)


 

Seorang anak akan menghindar dari dua region yang sama-sama tidak menyenangkan:

Region mengerjakan tugas dengan Region mendapat hukuman (kalau tugas tidak dikerjakan)


 


 

Mendekat-menjauh

(approach-avoidance)


 

Suatu destinasi yang mempunyai valensi positif dan negatif. Misalnya, anak ingin mengambil perahunya (+) di tengah kolam yang dalam (-)

 


 

Gambar 5.3a Konflik Tipe 1

Anak terperangkap dalam region bervalensi negatif dengan bondaris yang sangat kuat sifat tak permeabel-nya. Anak tidak bisa keluar lokomosi ke region positif. Region aturan ayahnya harus belajar jam 7-9 malam (valensi negatif), dan anak tidak senang belajar (valensi negatif). Anak memperoleh kekuatan negatif dari arah yang berlawanan, tetapi tidak bisa lokomosi.

 


 

Gambar 5.3b Konflik Tipe 2

 

        Tingkat Realita

    Konsep tingkat kerealitaan dari Lewin mengemukakan bahwa realita berisi lokomosi aktual, dan tak-realita berisi lokomosi imajinasi. Realita dan tak-realita adalah suatu kontinum, dari ekstrim realita sampai ekstrim tak-realita. Lokomosi mempunyai tingkat realita atau tak realita yang berbeda-beda. Misalnya, orang ingin menerima tawaran bekerja di tempat lain yang lebih prospektif (realistis), di tempat yang baru dia mengharapkan dapat mempunyai teman baru yang lebih bersahabat dibanding dengan teman-temannya sekarang (kurang realistis), dia juga melamun mengenai ingin menjadi presiden direktur di tempat baru (tidak realistis). Setiap aktivitas mempunyai tingkat realita yang berbeda-beda; merencanakan atau berfikir mengenai sesuatu berada di tingkat tengah-tengah, antara performansi yang realistik dan fantasi yang tidak realistik.

    Konsep realita dan tingkat tak realita juga diterapkan pada daerah pribadi seperti pada daerah lingkungan psikologis. Misalnya, sel di pribadi-dalam mungkin mempengaruhi daerah motorik atau mungkin hanya melakukan hal itu dalam imajinasi. Sel yang berisi dorongan agresi, kalau tingkat realitanya tinggi akan muncul motorik menyerang dan merusak. Sedang agresi yang tingkat realita rendah atau tak realita akan muncul dalam bentuk imajinasi-imajinasi yang tidak realistis.

        Menstruktur Lingkungan

    Lingkungan psikologi adalah konsep yang sangat mudah berubah. Dinamika dari lingkungan dapat berubah dengan tiga cara yakni melalui perubahan valensi, vektor dan bondaris. Masing-masing perubahan itu bisa disebabkan oleh berbagai kejadian, yang kalau semuanya dapat digambarkan dalam suatu topografi, akan diperoleh gambaran struktural lingkungan psikologis. Setiap lokomosi akan mengubah ruang hidup, baik lokomosi psikologis ataupun fisiologis. Pada contoh anak dan permen di atas, gerak mendekati ayah dan teman, serta gerak mendekati toko, adalah gerak fisik, tetapi pikirannya untuk mendapat permen dan mengubah fokus dari ayah ke teman, adalah lokomosi yang bersifat kognitif. Dengan memberi berbagai kemungkinan menstruktur lingkungan, Lewin jelas ingin menekankan sifat dinamik dari gambaran kepribadiannya. Setiap diagram dapat dipandang sebagai kerangka satu adegan film. Jadi untuk menggambarkan tingkah laku dari seseorang dalam satu hari, mungkin dibutuhkan gambaran beratus-ratus diagram.

Tabel 5.1 Menstruktur Lingkungan Psikologis

Fokus perubahan 

Deskripsi 

Valensi 

Region bisa berubah secara kuantitatif – valensinya semakin positif atau semakin negatif, atau berubah secara kualitatif, dari positif menjadi negatif atau sebaliknya, region baru bisa muncul dan region lama bisa hilang

Vektor 

Vektor mungkin berubah dalam kekuatan dan arahnya. 

Bondaris 

Bondaris mungkin menjadi semakin permeabel atau semakin tidak permeabel, mungkin muncul sebagai bondaris atau tidak muncul sebagai bondaris

        

        Mempertahankan Keseimbangan

    Bisa diduga, dalam sistem reduksi tegangan, tujuan dari proses psikologis adalah mempertahankan pribadi dalam keadaan seimbang (ingat dengan teori Freud, Jung, Sulivan). Akumulasi tegangan dalam satu sel pribadi-dalam akan menimbulkan berbagai peristiwa. Ketika bondaris tidak dapat lagi menahan tekanan dari daerah pribadi-dalam, mereka mungkin meledakkan energi ke daerah motor yang akan menghasilkan tingkah laku agitatif, seperti tantrum atau kekerasan yang eksplosif. Jika bondaris antara daerah pribadi-dalam dengan daerah motorik cukup permeabel, tegangan mungkin dapat disalurkan sedikit demi sedikit, dalam kegiatan yang tidak berhenti.

    Yang paling umum dan paling efektif untuk mengembalikan keseimbangan adalah melalui lokomosi dalam lingkungan psikologis memindah pribadi ke region tempat objek yang bervalensi positif (yang memberi kepuasan). Tetapi kalau region yang diinginkan mempunyai bondaris yang tak permeabel, tegangan terkadang dapat dikurangi (dan keseimbangan diperoleh) dengan melakukan lokomosi pengganti, pindah ke region yang dapat memberi kepuasan lain (yang bondarisnya permeabel) ternyata dapat menghilangkan tegangan dari sistem kebutuhan semula. Misalnya marah yang tidak dapat diekspresikan, diganti dengan kepuasan menghabiskan energi fisik dengan bekerja keras atau berolah raga. (Bandingkan dengan konsep kompensasi dari psikoanalisis). Akhirnya, tegangan dapat dikurangi dengan melakukan lokomosi imajinatif. Orang dapat memperoleh kepuasan vikarius melalui melamunkan mengenai bagaimana seharusnya dirinya.

    Kecenderungan mencapai keseimbangan itu tidak berarti membuat diri seimbang sempurna, tetapi menyeimbangkan semua tegangan dalam dareah pribadi-dalam. Lewin menjelaskan bahwa dalam sistem yang komplek, menjadi seimbang bukan berarti hilangnya tegangan, tetapi memperoleh keseimbangan dari tegangan internal. Tujuan utama dari perkembangan psikologis adalah menciptakan semacam struktur internal yang menjamin keseimbangan psikologis, bukan membuat bebas tegangan.

  1. Perkembangan Kepribadian

    Teori Lewin murni psikologis, sehingga ketika membahas perkembangan dia tidak melibatkan diri dengan isu yang menjadi intrik pakar lain, yakni isu keturunan dan lingkungan. Lewin tidak menolak peran keturunan dan kemasakan dalam perkembangan individu, dan tidak menganggap pengaruhnya tidak penting. Ia hanya merasa bahwa psikologi sudah terlalu fokus dengan pola tipikal atau pola umum dari perkembangan dan mengabaikan perkembanagn psikologis lintas waktu dari ruang hidup individu. Perkembangan bagi Lewin adalah suatu yang konkrit dan kontinyu, usia dan tahapan perkembangan dianggapnya tidak terlalu banyak membantu memahami perkembangan psikologis. Konsep-konsep seperti diferensiasi, organisasi, dan integrasi lebih berguna dalam menggambarkan perubahan tingkah laku, alih-alih periodisasi perkembangan.

  1. Perubahan Tingkah Laku

    Menurut Lewin, sejumlah perubahan tingkah laku yang penting terjadi sepanjang perkembangan. Variasi aktivitas, emosi, kebutuhan, hubungan sosial, dan sebagainya semakin banyak ketika orang menjadi semakin tambah usia (variasi itu mungkin akan menurun pada usia udzur). Namun demikian, semakin bertumbuh orang semakin bebas bergerak, dan orientasi waktu semakin luas. Anak-anak adalah makhluk yang hanya berpikir kekinian, sedang orang dewasa yang masak akan berpikir tentang masa lalu dan merencanakan masa depan, sehingga memasukkan ke dalam ruang hidupnya perspektif waktu. Tingkah laku menjadi semakin teroganisir, hirarkis, realistis, dan efektif.

        Organisasi

    Bertambahnya usia membuat orang semakin sadar pentingnya pengorganisasian. Misalnya, anak-anak dapat mempertahankan hubungannya dengan beberapa temannya waktu itu, semakin dewasa mereka akan berinteraksi dengan semakin banyak orang dalam berbagai kelompok. Dibutuhkan suatu sistematik, harus berbuat apa ketika berhubungan dengan orang dalam kelompok yang mana.

        Hirarkis

    Tingkah laku menjadi hirarkis, anak-anak bermain untuk memperoleh kepuasan dari pemainan itu. Semakin dewasa mereka memakai permainan sebagai alat/teknik untuk memperoleh kepuasan bersaing dengan teman lain, dan bersaing menjadi alat/teknik untuk memacu diri berguna mencapai tujuan. Tingkah laku juga bisa menjadi semakin rumit; orang dapat mengubah-ubah tingkah lakunya, pindah dari region satu ke region lainnya.

    Tingkah laku bayi merupakan reaksi yang kacau di seluruh tubuhnya. Lewin menyebut jenis aktivitas umum semacam itu sebagai tingkah laku saling ketergantungan sederhana (simple interdependence) dimana sistem tegangan saling mempengaruhi. Apapun sumber tegangannya lapar, haus, kedinginan, takut, tegangan yang terjadi pada bayi menyebar rata ke seluruh organisme, menghasilkan aktivitas masal (menyeluruh). Semakin mencapai kemasakan, semakin diperoleh saling ketergantungan yang teroganisir (organizational interdependence). Dimana aksi yang independen menjadi terorganisir secara hirarkis. Aktivitas dan kebutuhan yang terpisah dikombinasikan dan diintegrasikan ke dalam keseluruhan yang lebih besar.

        Realistis

    Sesudah kemasakan dicapai, kemampuan kita untuk membedakan realitas dengan fantasi meningkat. Meningkatnya realisme persepsi lebih dikenali pada area hubungan sosial. Misalnya, anak kecil mungkin melihat tingkah laku orang lain sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Anak yang lebih tua memahami secara lebih realistik, bahwa orang lain mempunyai rencana dan tujuan dari tingkah laku mereka sendiri.

        Efektif

    Kemasakan juga membuat tingkah laku menjadi semakin "ekonomis". Orang berusaha untuk memperoleh hasil maksimal dengan usaha yang minimal. Tingkah laku yang efektif menuntut adanya penyesuaian ruang hidup dengan sifat-sifat yang sebenarnya dari lingkungan eksternal fisik dan sosial. Penyesuaian semacam itu hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa yang masak.

        Diferensiasi dan Integrasi

    Diferensiasi menjadi salah satu konsep kunci Lewin, untuk menjelaskan peningkatan variasi tingkah laku, kebebasan bergerak dihubungkan dengan kemampuan untuk mengerjakan hal-hal yang berbeda-beda, perluasan orientasi waktu, dan perbedaan antara yang nyata dan yang tidak nyata. Diferensiasi adalah peningkatan jumlah bagian-bagian dari keseluruhan. Jumlah sel dalam pribadi-dalam berlipat dengan bertambahnya usia, dan jumlah region dalam lingkungan psikologis juga meningkat.

    Ketika belajar membedakan kenyataan dan ketidaknyataan, orang belajar untuk membedakan bukan hanya antara benar dan salah, tetapi juga antara perbedaan tingkat peluang dan kemungkinan. Jadi, kalau pada anak-anak hanya melihat ibu ada disini atau tidak ada disini, semakin dewasa mereka menjadi memahami bahwa ibu tidak ada di rumah sampai sore, karena dia lembur hari itu, atau ibu sedang mampir di rumah tetangga dan segera sampai di rumah. Bertambahnya diferensiasi akan menciptakan bondari-bondaris yang baru. Kekuatan bondaris itu semakin meningkat bersama dengan pertambahan usia. Ini akan mengurangi kekacauan dan mengembangkan kemampuan untuk melakukan pola tingkah laku yang rumit. Anak-anak lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungannya, lebih mudah menghilangkan tegangan secara langsung dibanding orang dewasa. Orang dewasa lebih persisten, mengatur tingkah lakunya dengan pola lokomosi yang rumit dan khas.

    Konsep saling ketergantungan yang terorganisir (organizational interdependence) menjelaskan bagaimana daerah pribadi-dalam dan daerah lingkungan psikologis yang semakin terdiferensiasi dan semakin otonom, dapat bekerja sama menghasilkan tingkah laku yang integratif. Sel dan region diintegrasikan dalam keseluruhan yang lebih besar. Hirarki mengatur hubungan dominasi-subordinasi, region a mengatur region b, b mengatur c, dan d, dan seterusnya, misalnya bayi mungkin bermain dengan boneka dengan cara sederhana, misalnya dengan memukul-mukulkannya. Pada anak yang usianya lebih tua, mereka bermain boneka dengan melibatkan hirarki yang kompleks dari tujuan dan subtujuan. Boneka itu diajak berbicara (fantasi) atau digendong (perasaan kasih sayang), atau dimutilasi (rasa ingin tahu). Semuanya itu merupakan kebutuhan semu, dari kebutuhan untuk diperhatikan orang tua. Kebutuhan diperhatikan merupakan sub kebutuhan kasih sayang. Jadi, setiap subtujuan membentuk tujuan semu sementara, yang terkoordinasi untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, dan memperoleh kepuasan dari pencapaian tujuan tinggi.

        Regresi

    Perkembangan bisa bergerak mundur. Walaupun tidak memerinci periodisasi perkembangan, Lewin malahan menemukan dua macam gerak mundur perkembangan, regresi dan retrogresi. Retrogresi adalah kembali ke bentuk tingkah laku lebih awal dalam sejarah kehidupan manusia, sedang regresi adalah pernah melakukan hal itu. Jadi semua bentuk kemunduran di sebut regresi, dan khusus regresi yang mengulangi tingkah laku yang pernah dialami pada masa yang lalu di sebut retrogresi. Ekspresi regresi, misalnya ketika orang dewasa menyatakan kegembiraannya dengan meloncat-loncat (seperti anak kecil). Kalau memang dari sejarahnya, orang itu pada masa anak-anak menyatakan kegembiraan hatinya dengan meloncat-loncat, respon itu di sebut retrogresi. Menurut Lewin, frustrasi menjadi salah satu faktor terpenting penyebab regresi.

  1. Aplikasi
    1. Zeigarnik Effect

        Banyak penelitian dari Lewin dan pengikutnya, yang semula dimaksudkan untuk meneliti hipotesis dari teori itu, akhirnya dipakai untuk mengembangkan asumsi-asumsi baru dari teori medan. Salah satu contoh fenomena penelitian semacam itu, adalah penelitian yang dilakukan oleh Zeigarnik. Lokomosi, menurut Lewin ditentukan oleh resultansi kekuatan pendorong dan penghambat. Zeigarnik, salah seorang murid Lewin menemukan dalam penelitiannya bahwa lokomosi yang belum selesai tetap menyimpan sejumlah tegangan, yang hanya dapat diredakan kalau tugas lokomosi itu diselesaikan. Dampak dari tegangan yang mengarahkan orang ke tujuan menyelesaikan tugas yang tertunda itu, membuat ingatan orang tentang tugas-tugas yang belum selesai menjadi lebih efisien. Zeigranik effect ini menjelaskan mengapa tugas yang belum selesai lebih lama menempel dalam ingatan, dibanding tugas yang sudah selesai. Dalam kegiatan sehari-hari, sering orang mengalami kegelisahan, tidak dapat tidur, karena belum menyelesaikan suatu tugas. Temuan Zeigarnik oleh Lewin kemudian dikembangkan menjadi asumsi-asumsi berikut:

    Asumsi 1:    Maksud-tujuan (intention) untuk mencapai tujuan tertentu, berhubungan dengan tegangan dalam suatu sistem pribadi. Intensi membuat jumlah tegangan meningkat (lebih besar dari nol).

    Asumsi 2:    Ketika tujuan tercapai, tegangan (yang meningkat lebih besar dari nol) dari sistem yang terkait dengan tujuan itu menjadi reda (menjadi nol).

    Asumsi 3:    Tegangan untuk mencapai tujuan (yang belum tercapai), akan memperkuat tenaga untuk bereaksi menuju tujuan itu.

    Asumsi 4:    Kekuatan orang untuk mengingat tujuan (yang belum tercapai) tergantung kepada tegangan dari sistem tujuan itu. Jika tegangan dalam pribadi tinggi (lebih besar dari nol), ingatan mengenai tujuan yang terkait dengan tegangan itu juga tinggi (lebih besar dari nol).

    1. Psikologi Sosial

        Teori Lewin yang semula dimaksudkan sebagai teori kepribadian, ternyata justru berkembang di ranah psikologi sosial. Sejak kematian Lewin, tidak ada kemajuan yang berarti dalam hal teori kepribadian-nya. Pendukung setianya banyak mengembangkan rintisannya dalam penelitian tentang proses-proses kelompok, penelitian tentang dinamika kelompok, encounter group, dan ketegangan antara ras.


 


 


 


 

  1. Psikologi Kepribadian: Behavioristik
    1. Struktur Kepribadian Stimulus-Response

        Kebiasaan (habit) adalah satu-satunya elemen dalam Teori Dollard dan Miller yang memiliki sifat struktural. Habit adalah ikatan atau asosiasi antara stimulus dengan respon, yang relatif stabil dan bertahan lama dalam kepribadian. Karena itu gambaran kebiasaan seseorang tergantung pada event khas yang menjadi pengalamannya. Namun susunan kebiasaan itu bersifat sementara: kebiasaan hari ini mungkin berubah berkat pengalaman baru besok pagi. Dollard & Miller menyerahkan kepada ahli rincian perangkat habit tertentu yang mungkin menjadi ciri seseorang, karena mereka lebih memusatkan bahasannya mengenai proses belajar, bukan kepemilikan atau hasilnya. Namun mereka menganggap penting kelompok habit dalam bentuk stimulus verbal atau kata-kata – dari orang itu sendiri atau dari orang lain, dan responnya yang umumnya juga berbentuk verbal. Dollar & Miller juga mempertimbangkan dorongan sekunder (secondary drives), seperti rasa takut sebagai bagian kepribadian yang relatif stabil. Dorongan primer (primary drives) dan hubungan S-R yang bersifat bawaan (innate) juga menyumbang struktur kepribadian, walaupun kurang penting dibanding habit dan dorongan sekunder, karena dorongan primer dan hubungan S-R bawaan ini menentukan taraf umum seseorang, bukan membuat seseorang menjadi unik.

    1. Dinamika Kepribadian
      1. Motivasi – Dorongan (Motivation –Drives)

          Dollar & Miller sangat memperhatikan motivasi atau drive. Mereka tidak menggambarkan atau mengklasifikasi motif tertentu, tetapi memusatkan perhatiannya pada motif-motif yang penting, seperti kecemasan. Dalam menganalisa perkembangan dan elaborasi kecemasan inilah mereka berusaha menggambarkan proses umum yang mungkin berlaku untuk semua motif. Dalam kehidupan manusia banyak sekali muncul dorongan yang dipelajari (secondary drives) dari atau berdasarkan dorongan primer seperti lapar, haus dan seks. Dorongan yang dipelajari itu berperan sebagai wajah semu yang fungsinya menyembunyikan dorongan bawaan. Kenyataannya, di masyarakat Barat yang modern, dari pengamatan sepintas terhadap mayarakat dewasa, pentingnya dorongan primer sering tidak jelas. Sebaliknya, yang kita lihat adalah dampak dari dorongan yang dipelajari seperti kecemasan, malu, dan kebutuhan kepuasaan. Hanya dalam proses perkembangan masa anak-anak atau dalam periode krisis dapat dilihat jelas beroperasinya dorongan primer. Dollar & Miller juga mengemukakan bahwa bukan hanya dorongan primer yang diganti oleh dorongan sekunder, tetapi hadiah atau penguat yang primer ternyata juga diganti dengan hadiah atau penguat sekunder. Misalnya, senyum orang tua secara bijak terus menerus dihubungkan dengan aktivitas pemberian makanan, penggantian popok dan aktivitas yang memberi kenyamanan lainnya: "senyum" akan menjadi hadiah sekunder yang sangat kuat bagi bayi sampai dewasa.

          Penting diperhatikan bahwa kemampuan hadiah/penguat sekunder untuk memperkuat tingkah laku itu tidak tanpa batas. Hadiah/penguat sekunder lama kelamaan menjadi tidak efektif, kecuali kalau hadiah/penguat sekunder itu kadang masih berlangsung bersamaan dengan penguat primer.

          Dollar dan Miller setuju dengan Freud yang memandang kecemasan adalah tanda bahaya, semacam antisipasi menghindari rasa sakit (yang pernah dialami pada masa lalu). Behaviorisme menjelaskan perolehan kecemasan sebagai tanda bahaya itu melalui proses kondisioning klasik, dan penyebarannya ke dalam pribadi dijelaskan melalui perolehan reinforsemen dan generalisasi stimulus. Anak yang tersemprot oleh uap panas yang mendesis dari cerek, menjadi takut dengan cerek yang menimbulkan rasa sakit/kepanasan. Suara desis yang membarengi terpancarnya uap panas itu dimaknai sebagai tanda bahaya yang menimbulkan kecemasan. Anak kemudian menggeneralisir suara desis dan menjadi cemas ketika berdekatan dengan tempat tejadinya (cerek, tungku, api), dan mendengar suara-suara desisan lain. Kalau tingkah laku menghindar dari tungku dan dari suara mendesis ternyata dapat membuat dirinya tidak mengalami rasa sakit kepanasan (tidak peduli apakah memang tungku dan desisan yang dihindari berpotensi ancaman timbulnya rasa sakit), tingkah laku menghindar itu akhirnya berperan sebagai reinforsemen. Jadi, kecemasan dan ketakutan adalah bentuk kondisioning dari reaksi sakit, yang berfungsi untuk memotivasi dan mereinforse tingkah laku menghindar agar tidak mengalami rasa sakit.

      1. Proses Belajar

          Dollard dan Miller melakukan eksperimen rasa takut terhadap tikus. Peralatannya adalah kotak yang dasarnya diberi aliran listrik yang menimbulkan rasa sakit; kotak itu diberi sekat yang dapat diloncati tikus, sisi yang satu diberi warna putih dan sisi lain diberi warna hitam. Dibunyikan bel bersamaan dengan pemberian tujuan listrik pada kotak putih yang membuat tikus kesakitan, yang segera dihentikan kalau tikus itu meloncat dari kotak putih ke kotak hitam. Ternyata sesudah terjadi proses belajar, warna kotak putih dan atau bunyi bel saja (tanpa kejutan listrik) telah membuat tikus meloncati sekat. Ini adalah reaksi takut terhadap rasa sakit. Percobaan ditingkatkan dengan menutup sekat dan memasang pengumpil yang harus ditekan tikus agar pintu penghubung ke sekat hitam terbuka (tikus bisa lari ke kotak warna hitam yang bebas dari kejutan listrik dan bel berhenti). Ternyata kemudian tikus berhenti berusaha menabrak sekat (yang tidak dapat diloncati lagi), dan menemukan cara baru yakni menekan pengumpil untuk membuka pintu sekat. Eksperimen ini mendemonstrasikan beberapa prinsip belajar yakni:

      1. Classical conditioning (tikus terkondisi merespon bel sebagai tanda akan ada kejutan listrik)
      2. Instrumental learning (tikus belajar respon meloncati sekat sebagai instrumental menghindari rasa sakit)
      3. Extinction (tingkah laku meloncat tidak dilakukan lagi, diganti dengan menekan pengumpil)
      4. Tampak pula, primary drive (rasa sakit dan tertekan) memunculkan learned atau secondary drive (rasa takut) yang kemudian memotivasi tingkah laku organisme bahkan ketika sumber rasa sakit sudah tidak muncul.

          Dari eksperimen-eksperimennya, Dollard dan Miller menyimpulkan bahwa sebagian besar dorongan sekunder yang dipelajari manusia, dipelajari melalui belajar rasa takut dan anxiety. Mereka juga menyimpulkan bahwa untuk bisa belajar orang harus menginginkan sesuatu, mengenali sesuatu, mengerjakan sesuatu, dan mendapat sesuatu (want something, notice something, do something, get something). Inilah yang kemudian menjadi empat komponen utama belajar, yakni drive, cue, response, & reinforcement.

      1. Drive: adalah stimulus (dari dalam diri organisme) yang mendorong terjadinya kegiatan tetapi tidak menentukan bentuk kegiatannya. Dalam penelitian itu, drive rasa sakit mendorong tikus melakukan "sesuatu" tetapi tidak jelas harus bagaimana. Kekuatan drives tergantung kekuatan stimulus yang memunculkannya. Semakin kuat drive-nya, semakin keras usaha tingkah laku yang dihasilkannya. Drive sekunder atau drive yang dipelajari diperoleh berdasarkan drive primer; rasa takut (sekunder) diperoleh/dibangun di atas drive rasa sakit (primer). Sesudah drive sekunder dimiliki, itu akan memotivasi untuk mempelajari respon baru seperti fungsi dari drive primer. Kekuatan drive sekunder ini tergantung kepada kekuatan drive primer dan jumlah reinforsemen yang diperoleh.
      2. Cue: adalah stimulus yang memberi petunjuk perlunya dilakukan respon yang sesungguhnya. Pengertian cue mirip dengan pengertian realitas subjektif dari Rogers, yakni cue adalah petunjuk yang ada pada stimulus sepanjang pemahaman subjektif individu. Dalam penelitian itu, sesudah suara bel dipahami tikus sebagai tanda bahaya yang harus dihindari, bel menjadi cue bagi tikus untuk melocati sekat. Sesudah pengumpil dipahami dapat dijadikan alat untuk menghilangkan rasa sakit, maka pengumpil menjadi cue variasi itu menentukan bagaimana reaksinya terhadapnya.
      3. Response: adalah aktivitas yang dilakukan seseorang. Menurut Dollard dan Miller, sebelum suatu respon dikaitkan dengan suatu stimulus, respon itu harus terjadi lebih dahulu. Misalnya, anak tidak akan mulai belajar membaca sampai dia nyata-nyata mulai mencoba membaca. Dalam terapi, orang yang takut dengan orang lain dan tidak berpendirian, tidak dapat belajar bersikap tegas (assertive) sampai dia nyata-nyata merespon secara assertive. Dalam situasi tertentu, suatu stimulus menimbulkan respon-respon yang berurutan, disebut initial hierarchy of response. Belajar akan menghilangkan beberapa respon yang tidak perlu, menjadi resultant hierarchy yang lebih efektif mencapai tujuan yang diharapkan.
      4. Reinforcement: agar belajar terjadi, harus ada reinforcement atau hadiah. Dollard dan Miller mendefinisi reinforcement sebagai drive pereda dorongan (drive reduction). Penelitian membuktikan bahwa event yang mengikuti suatu respon sangat menentukan hubungan respon itu dengan stimulusnya. Event yang hanya meredakan sebentar stimuli pendorongnya akan memperkuat respon apapun yang terlibat. Bisa dikatakan, reduksi drive menjadi syarat mutlak dari reinforcement mengenai reduksi drive ini menimbulkan kontroversi, dan Miller sendiri terus berusaha mencari pembenarannya.

          Terkadang, tidak ada respon yang sukses, atau respon yang semula sukses tidak mendapat penguatan lagi. Dilema belajar (Learning dilemma) semacam itu akan menghasilkan extinction, (hilangnya tingkah laku yang tidak efektif), dan berkembangnya respon baru. Dollar & Miller membandingkan rasa takut tikus terhadap event yang berbahaya dengan kecemasan manusia. Proses belajar awal dari tikus yang takut dan berusaha melarikan diri itu menjelaskan bagaimana tingkah laku neurotik orang yang menderita kecemasan. Salah satu metoda menghilangkan repon (neurotik) yang persisten (menetap) itu adalah dengan kondisioning tandingan (counterconditioning): respon yang lebih kuat dibanding dengan respon pertama dikondisikan dengan stimulu asli, untuk mendesak/mengganti respon pertama (yang neurotik) itu.


       


       

      1. Proses Mental yang Lebih Tinggi

        Perluasan Stimulus-Respon

    Seorang pilot yang pesawatnya meledak karena tertembak musuh, menyelamatkan diri dnegan kursi-lontar. Pilot ini menjadi fobia, takut dengan pesawat dan hal-hal yang berkaitan dengan pesawat dan pertempuran. Konsep drive-cue-respon-reinforcement menjadi kurang tepat karena stimuli penyebab rasa takut buka lagi suara ledakan, tetapi juga pikiran mengenai pesawat dan ingatan mengenai kecelakaan itu sendiri. Begitu pula respon bukan hanya meloncat dari pesawat tetapi mencakup mengubah topik pembicaraan atau memikirkan hal lain. Dollard dan Miller memperluas apa yang dimaksud dengan stimulus dan respon dari suara ledakan menjadi pikiran mengenai pesawat atau pikiran mengenai kebakaran, dari respon meloncat menjadi pikiran mengenai keselamatan penerbangan sehingga teori belajar bukan hanya menjelaskan tingkah laku yang sederhana, tetapi juga hal-hal yang makna dan terapannya berkaitan dengan persoalan kepribadian yang kompleks.

    Pakar teori belajar tradisional umumnya beranggapan bahwa mengaburkan objektivitas dari definisi situmulus dan respon akan membuat teori belajar menjadi menghadapi bahaya yang sama dengan yang dihadapi psikoanalisis yakni; menjadi sangat tidak cermat dan menipu. Namun perluasan pengertian itu membuat teori belajar tradisional terhindar dari objektivitas yang steril.

        Generalisasi Stimulus

    Menurut Dollard dan Miller, ada dua tipe interaksi individu dengan lingkungannya. Pertama, interaksi yang umumnya memiliki respon berdampak segera (immediate effect) terhadap lingkungan dan dituntun oleh cue atau situasi tunggal (segera menginjak pedal rem ketika tiba-tiba ada anak menyebrang jalan). Kedua, respon menghasilkan isyarat (cue-producing-response) yang fungsi utamanya membuka jalan terjadinya generalisasi atau diskriminasi.

    Pakar psikologi sebelum Dollard dan Miller telah lama mengetahui bahwa respon yang dipelajari dalam kaitannya dengan suatu stimulus, dapat dipakai untuk menjawab stimulus lain yang bentuk dan wujud fisiknya mirip. Ini disebut generalisasi stimulus (stimulus generalization). Semakin mirip stimulus lain itu dengan stimulus aslinya, peluang terjadinya generalisasi tingkah laku, emosi, pikiran atau sikap semakin besar. Pada manusia, bisa terjadi generalisasi mediasi (mediated stimulus generalization), yakni generalisasi karena stimulus lain dengan stimulus asli dimasukkan ke dalam klasifikasi yang sama berdasarkan alasan (reasoning) tertentu, atau diberi label (nama) yang sama.

        Reasoning

    Cue producing response itu umumnya terjadi melalui sejumlah event internal yang disebut alur berfikir (train of thought), misalnya; melihat toko peralatan à mengingatkan kamu sesuatu yang kamu inginkan à pikiran bahwa kamu membawa uang cukup à dan keputusan untuk masuk ke dalam toko itu. Reasoning memungkinkan orang menguji alternatif respon tanpa nyata-nyata mencobanya, sehingga menyingkat proses memilih tindakan. Reasoning juga memberi kemudahan untuk merencanakan, menekankan tindakan pada masa yang akan datang, mengantisipasi respon agar menjadi lebih efektif.

    Lebih lajut, urutan berpikir itu dapat dipandang sebagai hubungan stimulus-respon dalam kondisioning klasik. Pada contoh percobaan tikus, Miller menunjukkan bahwa tikus yang dimasukkan ke kotak putih sudah panik-ketakutan tanpa ada kejut listrik. Perasaan takut kotak putih yang diperoleh dari belajar (ada dalam pikiran tikus) menjadi drive (kecemasan) yang memotivasi tikus untuk lari dari kotak putih (bukan dari sakit karena kejut listrik lagi). Reinforcement nya bukan hilangnya rasa sakit, tetapi hilangnya warna putih atau hilangnya suara bel. Jadi pikiran yang satu mendorong pikiran yang lain, dan keberhasilan menjadi reinforcement bagi keberhasilan berikutnya.

        Bahasa (Ucapan, Pikiran, Tulisan maupun Sikap tubuh)

    Merupakan respon isyarat yang penting sesudah resoning. Dua fungsinya yang penting sebagi respon isyarat adalah generalisasi dan diskriminasi. Dengan memberi label yang sama terhadap dua atau lebih event yang berbeda, terjadi generalisasi untuk meresponnya secara sama. Sebaliknya label yang berbeda terhadap event yang hampir sama memaksa orang untuk merespon event itu secara berbeda pula. Perbedaan antar stimuli dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural. Masyarakat Cook Islander yang sangat tergantung kepada nilai ekonomi kelapa, memiliki 12 label yang berbeda mengenai kelapa, masing-masing menjelaskan tahap yang berbeda dari kemasakan dan ciri buah kelapa (Budaya Jawa mengenal hanya 5 label, manggar = bunga, bluluk = buah sebesar kepalan tangan, cengkir = buah isinya air, degan = dagingnya lunak, krambil = kelapa tua). Diskriminasi itu akan menimbulkan respon yang juga berbeda-beda.

    Dollard dan Miller sangat mementingkan peran bahasa dalam motivasi, hadiah dan pandangan ke depan. Kata mampu membangkitkan drive dan memperkuat atau memberi jaminan. Kata dapat berfungsi sebagai pengatur waktu; kata dapat menguatkan tingkah laku sekarang secara verbal dengan menggambarkan konsekuensi masa yang akan datang. Jelasnya, intervensi verbal terhadap drive-cue-response-reinforcement telah membuat tingkah laku manusia menjadi semakin kompleks. Tanpa kata atau pikiran untuk mendukung motivasi lintas waktu, tingkah laku mungkin menjadi kurang konsisten dan kurang fleksibel.

        Secondary Drives

    Dalam masyarakat modern yang kompleks, tingkah laku tidak semata-mata diatur oleh penguat primer (misalnya: makanan dan air). Kehidupan manusia modern dibentuk oleh perjuangan memperoleh prestise, status, kebahagiaan, kekayaan, ketergantungan, dan sebagainya. Menurut Dollard dan Miller, stimulus atau cue apapun yang sering berasosiasi dengan kepuasan dorongan primer, dapat menjadi reinforcement sekunder. Bagi bayi, tampilan baru, dan sentuhan ibunya adalah cue yang berulang terjadi berkaitan langsung dengan terpuaskannya rasa lapar dan keadaan fisik yang tidak menyenangkan. Sesudah hubungan itu dipelajari, kehadiran ibu akan menjadi reinforcement yang kuat, mengganti reinforcement makanan. Semua drive sekunder dapat dianalisis asosiasinya dengan drive primer, walaupun terkadang asosiasi itu begitu kompleks sehingga sukar ditemukan jejaknya.

    Umumnya drive sekunder bersifat rentan, manakala drive itu berulang-ulang gagal mendapat reinforcement, drive itu menjadi lemah. Anak yang gagal mendapat pujian orang tua karena usahanya tidak mencapai prestasi yang diharapkan, sering berakibat anak menjadi bosan dan menolak berusaha mendapat pujian. Pada drive primer hal itu tidak terjadi – orang yang berkali-kali gagal berusaha memuaskan kehausannya, tidak akan berhenti berusaha mencari air. Namun ada juga drive sekunder yang sangat mantap, bahkan lebih kuat dibandingkan dengan drive lapar dan rasa sakit. Misalnya, nilai kebenaran dan integritas tetap dipertahankan (sebagai sumber reinforcement) sampai mati.

        Model Konflik

    Formulasi tingkah laku konflik dari Dollard dan Miller sangat terkenal. Tidak ada seorangpun yang kalis dari konflik berbagai motif dan kecenderungan, dan konflik yang parah sering mendasari tingkah laku yang menyedihkan dan symptom
neurotic, karena konflik itu membuat orang tidak dapat merespon yang secara normal dapat meredakan drives yang tinggi. Ada tiga bentuk konflik, yakni konflik approach-avoidance(orang dihadapkan dengan pilihan nilai positif dan negatif yang ada di satu situasi), konflik avoidance-avoidance (orang dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama negatif), dan konflik approach-approach (orang dihadapkan dengan pilihan yang sama-sama positif). Ketiga bentuk konflik itu yang mengikuti lima asumsi dasar mengenai tingkah laku konflik berikut:

  1. Kecenderungan mendekat (Gradient of approach): kecenderungan mendekati tujuan positif semakin kuat kalau orang semakin dekat dengan tujuannya itu.
  2. Kecenderungan menghindar (Gradient of avoidance): kecenderungan menghindar dari stimulus negatif semakin kuat ketika orang semakin dekat dengan stimulus negative itu.
  3. Dua asumsi di atas sebagian dapat dijelakan dari prinsip yang lebih mendasar, yakni kecenderungan mendapat penguatan (gradient of reinforcement) dan generalisasi stimulus. Kecenderungan mendapat penguatan: hadiah dan hukuman yang segera diberikan memberi dampak lebih besar dibanding menundanya semakin dekat ke tujuan, kenikmatan sebagai dampak dari pencapaian tujuan itu akan semakin segera diperoleh.
  4. Generalisasi stimulus: semakin dekat dengan tujuan, semakin jelas tujuannya, terjadi proses generalisasi tujuan sebagai stimulus, dan semakin kuat stimulus itu mendorong terjadinya respon yang sesuai.
  5. Peningkatan gradient of avoidance lebih besar dibanding graient of approach.
  6. Meningkatnya dorongan yang berkaitan dengan mendekat atau menghindar akan meningkatkan tingkat gradient. Jadi meningkatnya motivasi akan memperkuat gradient mendekat atau gradient menjauh pada semua titik jarak dari tujuan. Hal sebaliknya akan terjadi kalau dorongannya menurun.
  7. Manakala ada dua respon bersaing, yang lebih kuat akan terjadi.

        Ketidaksadaran

    Dollard dan Miller memandang penting faktor ketidaksadaran, tetapi formula analisis asal muasal faktor ini berbeda dengan Freud. Dollard dan Miller membagi isi-isi ketidaksadaran mejadi dua. Pertama, ketidaksadaran berisi hal yang tidak pernah disadari, seperti stimuli, drive dan respon yang dipelajari bayi sebelum bisa berbicara sehingga tidak memiliki label verbal. Juga apa yag dipelajari secara nonverbal, dan detil dari berbagai keterampilan motorik. Kedua, berisi apa yang pernah disadari tetapi tidak bertahan dan menjadi tidak disadari karena adanya represi. Orang belajar melakukan represi, atau menolak memikirkan sesuatu yang menakutkan, rasa takut akan berkurang. Kurangnya rasa takut itu dapat dipandang sebagai suatu reinforcement dari tingkah laku tidak memikirkan (represi) hal yang menakutkan. Orang kemudian memiliki repertoire tingkah laku tidak mudah takut.

    Kesadaran verbal sangat penting, karena label verbal sangat esensial dalam proses belajar. Generalisasi dan diskriminasi lebih efisien dengan memakai symbol verbal. Jika tanpa label maka kita dipaksa untuk bekerja dengan tingkat intelektual yang primitif. Kita harus terikat dengan ikatan stimulus yang nyata, dan tingkah laku kita mirip dengan tingkah laku bayi atau binatang yang tidak berbahasa.

  1. Perkembangan Kepribadian
    1. Perangkat Innate: Respon Sederhana dan Primary
      Process

        Dollard dan Miller menganggap perubahan dari bayi yang sederhana mejadi dewasa yang kompleks sebagai proses yang menarik, sehingga banyak karyanya yang menjelaskan masalah ini. Bayi memiliki tiga repertoire primitif yang paling penting, yakni:

    1. Refleks spesifik (specific reflexes): Bayi memiliki beberapa refleks spesifik yang kebanyakan berupa respon tertentu terhadap stimulus atau kelompok stimulus tertentu. Misalnya, rooting reflex: sentuhan pada pipi direspon dengan memutar kepala kearah pipi yang disentuh.
    2. Respon bawaan yang hirarkis (innate hierarchies of response): Kecenderungan melakukan respon tertentu terharap situasi stimulus tertentu sebelum melakukan respon lainnya. Misalnya, bayi berusaha menghindari stimulus yang tidak menyenangkan sebelum menangis.
    3. Dorongan primer (primary drive): Stimulus internal yang kuat dan bertahan lama, yang biasanya berkaitan dengan proses fisiologik seperti lapar, haus da rasa sakit. Drives ini memotivasi bayi untuk melakukan sesuatu tetapi tidak menentukan aktivitas spesifik apa yang harus dilakukan.

        Melalui proses belajar, bayi berkembang dari tiga repertoire tingkah laku primitif di atas menjadi dewasa yang kompleks. Makhluk bayi itu terus menerus berusaha mengurangi tegangan dorongan, memunculkan respon-respon menjawab stimuli baru, memberi reinforcement respon baru, memunculkan motif sekunder dari drive primer, dan mengembangkan proses mental yang lebih tinggi melalui mediasi generalisasi stimulus.

    1. Konteks Sosial

        Kemampuan memakai bahasa dan response isyarat sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dimana orang itu berkembang. Sebagian besar interaksi anak dengan lingkungannya berkenaan dengan bagaimana menghasilkan symbol komunikasi verbal (verbal cues), serta bagaimana memahami symbol verbal produk orang lain. Bahasa adalah produk sosial, dan kalau proses bahasa itu penting, lingkungan sosial pasti juga penting dalam perkembangan kepribadian.

        Dollard dan Miller menekankan saling ketergantungan antara tingkah laku dengan lingkungan sosiokultural. Ditunjukkannya bagaimana psikolog memberikan prinsip belajar yang membantu ilmuwan sosial memperhitungkan secara sistematik event
    cultural yang penting, dan sebaliknya bagaimana ilmuwan sosial membantu teoritisi belajar menyesuaikan prinsip-prinsip belajar dengan pengalaman nyata manusia yang menjadi kondisi belajar. Bagi Dollard dan Miller prinsip-prinsip belajarnya dapat diterapkan lintas budaya. Mereka yakin bahwa tingkah laku orang dipengaruhi oleh masyarakatnya.

    1. Situasi Pembelajaran (Training situation)

        Seperti teoritisi Psikoanalitik, Dollard dan Miller menganggap 12 tahun kehidupan awal sangat penting dalam menentukan tingkah laku dewasa. Berbeda dengan orang dewasa (dan anak) yang memiliki cara untuk keluar dari situasi yang sangat menimbulkan frustasi, bayi yang tidak berdaya sangat kecil kemampuannya untuk memanipulasi lingkungan sehingga sangat mudah menjadi korban dorongan stimuli yang tidak tertahankan dan frustasi yang berlebihan. Bayi belum belajar berpengharapan dan mengamankan diri sendiri, belum belajar berfikir dan merencanakan dan melarikan diri dari tekanan sekarang dengan membangun masa depan. Bayi selalu terdesak, tidak berdaya, tidak berencana, hidup dalam nyeri yang kekal, dan menemukan dirinya dimandikan dalam kebahagiaan yang juga kekal. Ada banyak peristiwa dimana konflik mental parah yang tidak disadari dapat terjadi. Dollard dan Miller mengemukakan empat hal yang mudah menimbulkan konflik dan gangguan emosi yakni; situasi pemberian makan, toilet
    training (latihan kebersihan), pendidikan seks awal, dan latihan mengatur marah dan agresi (Tabel 3.1). Analisi Dollard dan Miller terhadap empat situasi latihan di atas banyak memakai formulasi Freud.

    1. Situasi makan (Feeding situation): adalah situasi pertama yang banyak mengajarkan sesuatu. Misalnya, jika anak yang menangis kelaparan tidak segera diberi makan, akan belajar bersikap apatis dan gelisah (apprehensive). Sebaliknya situasi pemberian makanan yang memuaskan mejadi dasar belajar sikap sosial dan cinta. Bayi yang diberi makan sebelum lapar mungkin tidak pernah belajar menghargai nilai makanan serta kurang menghargai kehadiran ibunya; ini berakibat kurang berkembangnya rasa sosial. Hal penting yang perlu diingat adalah bayi belajar banyak hal dari rasa lapar dan pengaturan makannya, yang oleh Dollard dan Miller disebut: rahasia belajar pada usia awal (secret learning of the early years).
    2. Pendidikan kebersihan (Cleanliness training): Belajar mengontrol proses urinasi dan defakasi merupakan tugas yang kompleks dan sulit bagi bayi. Toilet training dianggap sangat penting bagi banyak orang tua. Anak yang gagal/lambat menguasai ketrampilan ini cepat dihukum, sehingga mengembangkan asosiasi orang tua dengan hukuman, menghindar atau menolak orang tua dapat mengurangi respon kecemasan. Pada kasus lain, anak mungkin merasa harus mengikuti kemauan orang tuanya yang superior, sehingga anak menjadi sangat penurut. Contoh-contoh itu menunjukkan bagaimana Dollard dan Miller menyempurnakan observasi Freud dengan kerangka belajar.
    3. Pendidikan seks awal (Early sex training): Tabu mengenai masturbasi yang membuat anak merasa sangat berdosa sesudah melakukan masturbasi, bersumber dari orang tua yang menanamkan dalam diri anak kecemasan yang sangat dalam seks.
    4. Pengendalian marah dan agresi (Anger-anxiety): Apabila anaknya marah, orang tua sering mengamuk, menghukum, sehingga anak belajar menekan rasa marahnya. Tanpa rasa marah ini akan membuat kepribadian anak tidak dapat berkembang.


       


       


       


       


       

Tabel 5.2 Asal Muasal Konflik Emosional: Situasi Belajar yang Kritis

Situasi Belajar 

Konflik yang dipelajari 

Kemungkinan Akibatnya

Pemberian makan (feeding)

Kepuasan terhadap kebutuhan dasar -vs- Takut, kesendirian, ketidakberdayaan

Gelisah, apatis

Takut kesendirian

Takut kegelapan

Tidak memiliki perasaan sosial 

Kebersihan (Cleanliness)

Senang dengan hal yang menyangkut diri sendiri -vs- takut, marah, berdosa

Cemas dan berdosa mengenai kotoran atau sesuatu yang berkaitan dengan kotoran itu

Takut kehilangan cinta

Malu, tidak berpendirian, merasa tidak berharga 

Perilaku Seksual 

Kenikmatan tubuh -vs- takut, marah

Represi terhadap pikiran dan kebutuhan seksual

Problem masturbasi, homoseksualitas

Problem oedipal 

Marah-Agresi 

Ketegasan diri -vs- celaan, hukuman, penolakan

Persaingan dengan saudara

Tidak sabaran, berpikiran pendek, marah menghadapi frustrasi dengan kemampuannya untuk menyenangkan kondisi dirinya sendiri

Bentuk agresi yang ruwet; gosip, bohong, membingungkan orang lain

Jika sangat dihambat, orang menjadi tergantung, tidak mandiri, miskin kemampuan dan tidak otonom. 


 

  1. Aplikasi
    1. Bagaimana Neurosis Dipelajari

        Dollard dan Miller memandang tingkah laku normal dan neurotic dalam satu kontinum, dan bukannya dua hal yang terpisah. Karena itu tingkah laku neurotic dipelajari memakai prinsip yang sama dengan belajar tingkah laku normal. Inti setiap neurosis adalah konflik ketidaksadaran yang kuat dan hampir selalu bersumber di masa kanak-kanak. Sering selama empat situasi training anak mengembangkan kecemasan dan rasa berdosa yang kuat mengenai ekspresi kebutuhan dasarnya, membentuk konflik yang terus berlanjut sampai dewasa.

        Sama halnya dengan binatang di laboratorium yang belajar respon instrumental yang membuatnya bisa menghindar dari stimulus yang menakutkan, manusia juga mempelajari respon represi yang dapat dipakai untuk menghindar dari perasaan cemas dan berdosa. Represi dalam bentuk "tidak memikirkannya" membuat orang terbebas dari keharusan memakai kemampuan pemecahan masalahnya untuk mengatasi konflik dan tidak menyadari bahwa kondisi yang menimbulkan konflik telah hilang. Sepanjang konflik itu tetap tidak disadari, konflik itu akan terus berlanjut dan menghasilkan symptoms: sensasi spesifik atau tingkah laku yang dialami seseorang sebagai tidak menyenangkan dan tidak normal.

        Symptom sering membuat orang bisa menghindar (sementara) dari takut dan cemas; symptom itu tidak menyelesaikan konflik, tetapi dapat meredakannya. Manakala symptom yang sukses terjadi, itu akan diperkuat karena mengurangi kesengsaraan neurotic. Symptom itu dipelajari sebagai habit. Ada tiga cara yang biasa dipakai orang melakukan represi agar tidak muncul pikiran-pikiran yang menimbulkan kecemasan:

    1. Memberi nama lain (mislabeling): Kehilangan uang dalam jumlah yang besar, dikatakan "sedikit". (tidak timbul kecemasan karena yang hilang hanya sedikit).
    2. Respon pengganti (response substitution): Kecelakaan membuat kaki mejadi pincang, dan gerak dengan berjalan diganti dengan gerak motor tanpa mengenal lelah (tidak timbul kecemasan karena tidak perlu berjalan).
    3. Tidak memikirkan (not thinking): Marah karena difitnah, tidak memikirkan fitnahan itu (tidak timbul kecemasan karena tidak memikirkan fitnah yang terjadi).
    1. Psikoterapi

        Jika tingkah laku neurotik itu hasil belajar, seharusnya itu dapat dihilangkan dengan beberapa kombinasi prinsip-prinsip yang dipakai ketika mempelajarinya. Psikoterapi memantapkan seperangkat kondisi dengan mana kebiasaan neurotik mungkin dapat dihilangkan dan kebiasaan yang tidak neurotik dipelajari. Terapis bertindak layaknya seorang guru dan pasien seorang siswa.

        Meskipun istilah-istilahnya berbeda, Dollard dan Miller memakai kondisi dan prosedur kondisi teraputik konvensional; terapis yang simpatik dan permisif mendorong pasien untuk berasosiasi bebas dan mengungkapkan perasaannya. Terapis kemudian berusaha membantu pasien untuk memahami perasaannya sendiri dan bagaimana perasaan itu berkembang. Pembaharuan Dollard dan     Miller terhadap psikoterapi tradisional adalah pemakaian analisis teori belajar mengenai apa yang telah terjadi.

        Displacement: adalah merubah arah impuls yang dicegah agar tidak diekspresikan (baik oleh event eksternal maupun oleh kecaman dari diri sendiri). Displacement dapat berperan sebagai defense, orang yang takut mengekspresikan rasa marah, menekan rasa marah itu dan mengekspresikannya nanti dalam situasi yang lain. Tampak ada dua respon bertentangan, yakni marah dan respon kedua biasanya takut.

        Sublimasi: adalah bentuk displacement yang lebih adaptif, karena energi yang ada tidak ditumpahkan pada bentuk asli yang dicegah, tetapi disalurkan ke dorongan lain yang bisa diterima (Pada displacement energi itu disalurkan ke objek lain dengan drive yang sama).

        Belajar (menguasai) system syaraf otonom: eksperimen Dollard dan Miller menunjukkan bahwa binatang dan manusia pada tahap tertentu dapat belajar mengontrol respon system syaraf otonom; mereka dapat belajar mempercepat dan memperlambat denyut jantungnya atau konstruksi ususnya. Ini memberi peluang teknik kondisioning instrumental untuk dipakai mengobati gangguan fisik seperti denyut jantung dan tekanan darah. Fenomena ini mengembangkan ranah biofeedback dalam hal penenangan masalah gangguan fisik.


     

  2. Evaluasi
    1. Refleksi Diri

        Setelah mengkaji materi pelatihan tentang Paradigma Psikologi Kepribadian Kurt Lewin dan Dollar & Miller baik konseptual maupun aplikasinya, peserta diharapkan mampu mengungkap kembali berdasarkan pengalaman diri melalui penyelesaian tugas berikut:

    1. Menemukenali arti kepribadian menurut Kurt Lewin dan Dollar & Miller!
    2. Menemukenali tipologi pribadi menurut paradigma Kurt Lewin!
    3. Menemukenali karakteristik pribadi menurut paradigma Dollar & Miller!
    4. Menemukenali empat komponen utama belajar, yakni drive, cue, response, & reinforcement dalam konteks manajerial, sertakan contohnya!

DAFTAR RUJUKAN


 

Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Boeree, C.G. 2006. Personality Theories, Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Terjemahan oleh Inyik Rindwan Muzir. Yogyakarta: Prismasophie

Hurlock, E.B. 1987. Personality Development. New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company.

Schneiders. A.A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Winston.

Suryabrata, S. 2003. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Wenzler, G dan Cremer. 1993. Proses Pengembangan Diri: Permainan dan Latihan Dinamika Kelompok. Jakarta: Grasindo.

Yusuf, Sy. 2002. Pengantar Teori Kepribadian. Bandung: Jurusan PPB FIP UPI.


 


 


 


 


 


 

 

LAMPIRAN


 

LAMPIRAN 1 :     INSTRUMENT PENGEMBANGAN DIRI (TRUSTWORTHINESS
INVENTORY)

    Alat Ukur ini dapat membantu Anda untuk memahami diri anda dengan lebih baik. Jawablah setiap pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Nilailah diri anda berdasarkan masing-masing pertanyaan dengan menggunakan sistem penilaian di bawah ini:

4 =    Hampir selalu

3 =    Sering

2 =    Jarang

1 =    Tidak pernah


 

  1. Ketika saya melakukan sesuatu, saya mengerjakanya sesuai dengan kata hati saya.

    2.     Saya tidak akan membocorkan atau memberitahukan rahasia yang saya ketahui pada siapapun

    3.     Saya menepati janji yang telah saya buat

    4.     Saya tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang lain karena aktivitas yang saya jalani berdasarkan prinsip yang saya pegang

    5.     Saya menyatakan kebenaran walaupun menyakitkan

    6.     Saya mengatakan kepada orang lain tujuan/maksud dan tindakan yang saya lakukan

    7.     Saya diandalkan oleh teman-teman saya ketika mereka membutuhkan

    8.     Saya mempertahankan keyakinan saya, karenanya saya tidak mudahterpengaruh dengan apa yang diyakini oleh orang lain

    9.     Tindakan yang saya lakukan adalah untuk mempertahankan reputasi diri

    10.     Saya mengemukakan ide-ide yang saya miliki secara terbuka

    11.    Saya mengembalikan buku yang saya pinjam dari perpustakaan

    12.     Saya mengembalikan buku perpustakaan sebelum batas akhir pengembalian

    13.     Saya menjaga rahasia orang lain

    14.     Saya lebih memilih untuk melakukan sesuatu sesuai dengan prinsip yang saya anut dibandingkan mengikuti apa yang orang lain lakukan

    15.     Saya terlambat datang ke sekolah

    16.     Saya tidak akan bohong atas suatu fakta yang terjadi

    17.     Saya mengubah suatu hal yang saya yakini

    18.     Saya berkomitmen untuk tetap menjalani apa yang telah saya tetapkan

    19.     Saya merasa teman-teman saya menganggap bahwa saya adalah teman yang baik

    20.     Saya tidak peduli apakah hal baru yang akan saya jalankan itu sulit atau tidak

    21.     Saya mengumpulakn tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan

    22.     Bila saya memberi sesuatu saya berusaha untuk tidak mengharapkan imbalan

    23.     Aktivitas yang saya lakukan adalah untuk membangun dan menjaga reputasi diri saya

    24.     Jika saya memiliki teman yang baru, saya tidak akan melupakan teman lama saya

    25.     Saya membayar utang atas uang yang saya pinjam

    26.     Saya bersedia menanggung resiko dalam melakukan sesuatu yang saya anggap benar

    27.     Saya dipercaya teman-teman saya untuk menjadi penanggung jawab dalam suatu kegiatan

    28.     Saya menemani teman saya disaat ia membutuhkan

    29.     Saya bertingkah laku sesuai dengan prinsip hidup saya

    30.     Saya menjalin komunikasi dengan orang–orang yang peduli terhadap saya

    31.     Saya berani bertindak atas sesuatu yang saya anggap benar

    32.     Saya berusaha untuk dapat memahami perasaan teman-teman saya

    33.     Saya mengingkari janji yang saya buat

    34.     Saya tidak menjadikan rahasia orang lain yang ada pada diri saya sebagai bahan gosip

    35.     Aktivitas yang saya lakukan sejalan dengan hati nurani saya

    36.     Teman-teman saya menceritakan masalah/ rahasianya kepada saya

    37.     Saya akan mengoreksi perlikaku teman saya apabila dirasa kurang baik

    38.     Saya mengembalikan barang yang saya pinjam dari teman saya

    39.     Saya mencoba melakukan hal-hal baru, meskipun saya tahu itu adalah hal yang sulit dan butuh pengorbanan

    40.     Saya tahu kondisi/ keadaan orang-orang terdekat saya

    41.     Saya berani membuat janji karena saya akan menepatinya

    42.     Teman saya menghormati saya karena perilaku saya

    43.     Saya berterus terang atas apa yang saya rasakan kepada orang lain

    44.     Saya membiarkan teman saya menyakiti dirinya sendiri

    45.     Saya melakukan suatu tindakan sesuai dengan apa yang saya ucapkan

    46.     Saya melindungi teman-teman dan keluarga dari hal yang buruk

    47.     Saya mengungkapkan dengan jujur apabila ada yang tidak saya suka pada diri orang lain

    48.     Saya mengembalikan barang yang saya pinjam dari teman saya

    49.     Saya membangun reputasi diri saya melalui perilaku yang saya lakukan

    50.     Barang yang saya pinjam saya jadikan hal milik saya

    51.     Saya tidak mengambil keuntungan dari orang lain yang saya bantu

    52.     Saya memutuskan suatu pilihan berdasarkan kata hati saya

    53.     Saya siap membantu apabila keluarga dan teman membutuhkan


 


 


 


 


 


 


 


 


 

LAMPIRAN 2 : GAMBARAN DIRI

Pengantar

    Latihan gambaran diri ini dimaksudkan untuk mengenal konsep diri seseorang, yaitu cara pandang seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri seseorang akan mempengaruhi perilaku dia sehari-hari dalam segala aspek kehidupannya, termasuk dalam aktivitas belajarnya.

    Latihan gambaran diri kali ini dikhususkan bagi para peserta sebagai insan profesional. Tujuan latihan ini untuk membantu peserta dalam memperoleh gambaran dirinya, khususnya yang berkaitan dengan aktivitasnya.

Latihan 1 :

    Latihan ini dilaksanakan dalam kelompok kecil (anggota kelompok 4-6 orang). Waktu yang diperlukan 10 menit.

    Di bawah ini terdapat sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan akademik dan diri Anda. Jawablah pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan spontan, beri penjelasan secara singkat dan jelas. Tulis jawaban Anda pada lembar kertas yang telah disediakan.

(1)    Tujuan dalam bekerja.

—    Apakan anda mempunyai tujuan tertentu yang dapat mengarahkan tugas anda?

  • Apakah anda mempunyai suatu target dalam bekerja?
  • Apakan tujuan anda sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat anda?


 


 


 

(2)    Kesadaran atas realitas

—    Apakah tujuan bekerja anda didasarkan pada kemampuan dan keadaan lingkungan anda atau berdasarkan bayangan yang tidak nyata?

—    Apakan anda lebih suka merenung atau sebaliknya senang menyibukkan diri dalam melaksanakan tugas?

(3)    Prestasi Kerja

—    Di mana kedudukan/posisi anda dibandingkan dengan teman-teman anda?

—    Apakah anda merasa puas dengan prestasi kerja yang anda peroleh saat ini? Mengapa?

—    Adakah faktor yang mempengaruhi tugas anda? Sebutkan!

—    Adakah faktor yang menghambat tugas anda? Sebutkan!    

(4)    Kondisi emosi

—    Apakah anda cenderung bersikap hangat, dingin, apatis, berubah-ubah terhadap seseorang ataupun kejadian di sekeliling anda?

—    Apakah anda merasa senang menekuni bidang karir anda sekarang ini atau sebaliknya?

—    Apakan anda merasa PD (percaya diri)? Atau cenderung kurang percaya diri?

—    Apakah anda menghargai diri anda sendiri?

—    Apakah anda peka terhadap perasaan orang lain?


 


 

(5)    Kekhawatiran dan tekanan-tekanan

—    Apakah anda sering merasa kesepian?

—    Apakah anda mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota kelompok tertentu dan ingin diterima mereka?

—    Apakah suasana hati anda mudah berubah-ubah?

—    Apakah anda mempunyai rasa khawatir, takut bersalah atau tekanan-tekanan yang lain yang tak dapat diterangkan?

—    Apakah anda mampu menghadapi kesulitan dan bahaya dengan jujur dan berbuat sesuatu untuk mengatasinya?

—    Apakah anda cenderung menganggap segala sesuatu itu enteng dan bisa diatur serta menghindari situasi yang sulit?

(6)    Sejauh mana Anda dapat mengarahkan diri?

—    Dapatkah anda mengarahkan energi anda untuk melakukan sesuatu kegiatan yang sudah direncanakan?

  • Apakah anda menyerah apabila menemui sebuah kesulitan atau hambatan?
  • Apakah anda cenderung kaku dan tidak fleksibel?


 

    Setelah anda selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan anda di atas, lanjutkan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

(a)     Dalam kegiatan profesional, seperti apakah saya sekarang ini?

(b)    Menurut orang lain seperti apakah saya ini?

(c)     Seperti apakan saya pada waktu mendatang?


 

Latihan 2 :

    Setelah anda selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka kegiatan berikutnya, setiap anggota kelompok mengemukakan dalam kelompoknya tentang gambaran dirinya (hasil latihan 1). Pada waktu seorang anggota kelompok mengemukakan gambaran dirinya, maka anggota yang lain mendengarkan dan memperhatikan. Setelah selesai, berikutnya anggota kelompok yang lain memberi balikan, seperti apakah anggota kelompok yang baru saja mengemukakan dirinya? Seperti apakah dia pada waktu yang akan datang? Demikian seterusnya hingga semua anggota kelompok giliran.

    Perlu diperhatikan, dalam memberikan balikan tidak diperkenankan memberikan penilaian.

3 : MENGENAL DIRI

MEMBUKA DIRI :

    Berikan penilaian anda tentang diri anda, yang mengindikasikan seberapa besar anda ingin/bersedia mengungkaokan diri anda. Penilaian bergerak dari score 1 sampai 6.

    Score 1 mengindikasikan bahwa anda tidak ingin dan tidak bersedia mengungkapkan apapun tentang diri anda dan Score 6 mengindikasikan bahwa anda mau dan bersedia mengungkapkan segala sesuatu tentang diri anda.

Kesediaan saya untuk mengungkapkan :

1.    Tujuan hidup saya    . . . . . . .

2.    Kekuatan/kelebihan yang saya miliki    . . . . . . .

3.    Kekurangan/kelemahan yang saya miliki    . . . . . . .

4.    Perasaan-perasaan positif saya    . . . . . . .

5.    Perasaan-perasaan negatif saya    . . . . . . .

6.    Sistem nilai yang saya anut    . . . . . . .

7.    Ide-ide/gagasan saya    . . . . . . .

8.    Keyakinan saya tentang sesuatu    . . . . . . .

9.    Ketakutan dan ketidak yakinan saya    . . . . . . .

10.    Kesalahan kekeliruan saya    . . . . . . .

    Jumlah        . . . . . . .


 

MENERIMA UMPAN BALIK

    Berikan penilaian anda tentang sejauh mana anda bersedia menerima umpan balik "feed back".    

    Penilaian bergerak dari 1 sampai 6. Score 1 mengindikasikan bahwa anda menolak umpan balik dan Score 6 mengindikasikan bahwa anda secara konsisten terdorong mencari umpan balik.

Keadaan saya menerima umpan balik tentang :

1.    Tujuan hidup saya    . . . . . . .

2.    Kekuatan/kelebihan yang saya miliki    . . . . . . .

3.    Kekurangan/kelemahan yang saya miliki    . . . . . . .

4.    Perasaan-perasaan positif saya    . . . . . . .

5.    Perasaan-perasaan negatif saya    . . . . . . .

6.    Sistem nilai yang saya anut    . . . . . . .

7.    Ide-ide/gagasan saya    . . . . . . .

8.    Keyakinan saya tentang sesuatu    . . . . . . .

9.    Ketakutan dan ketidakyakinan saya    . . . . . . .

10.    Kesalahan kekeliruan saya    . . . . . . .

    Jumlah        . . . . . . .


 


 

JENDELA JOHARI ANDA

MENERIMA UMPAN BALIK


 

10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

10        10

15        15

20        20

25        25

30        30

35        35

40        40

45        45

50        50

55        55

60        60

10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar